Flash black
Semua dalam ruangan itu masih dalam suasana berkabung. Satu persatu para tamu meninggalkan ruangan, begitupun dengan keluarga. Kepergian tuan Lee, ayahnya Wei menyisakan duka.
Wei berjalan ke ruangan kerja diikuti Steve sang asisten pribadi, yang sedang berada di mansion utama, rumah yang sedari kecil di tempati Wei.
"Kamu gila. Disaat tuan besar membutuhkanmu, kamu malah menghilang. Semua orang menanyakan keberadaan mu. Itu membuat resah semua orang, tahu!" Steve mengusap rambutnya mengingat kejadian beberapa jam ke belakang yang membuat Steve kelimpungan dihujani pertanyaan menanyakan keberadaan Wei saat tuan besar Lee meninggal dunia.
"Maaf! aku dapet musibah." Wei menutup matanya, keningnya berdenyut merasakan sakit.
"Musibah?" Steve terperangah. Dia tak habis pikir ada musibah apa yang menyebabkan Wei telat datang ke pemakaman ayahnya sendiri.
"He'em"
Steve mendekati Wei, mengamati wajahnya dengan tajam sangat penasaran. Lalu musibah apa yang baru menimpa Wei?
"Katakan! Musibah apa sampai kamu menghilang?" Steve masih duduk tanpa mengubah posisi duduknya. Matanya tak terlepas dari menatap Wei.
"Aku sudah menabrak seseorang," jawab Wei menekankan suaranya.
"Apa?" Steve mengangkat badannya pada sandaran kursi, lalu melirik ke samping Wei. Steve menarik nafas keras dan membuangnya.
"Terus sekarang gimana?" Steve yang masih diliputi penasaran tak mau berhenti bertanya.
"Dia selamat, tapi.. aku maui meminta tolong sama kamu" Wei menoleh ke arah Steve.
"Maksudnya?"
"Bawa dia ke rumahmu! Please!"
"Ya elah.. aku ko kena getahnya? Kenapa harus dibawa ke rumah aku segala sih? Emang kamu gak bisa mengantar ke rumahnya?"
"Dia terkena amnesia. Menurut aku rumahmu paling aman buat sementara. Nanti kalau sudah aman aku janji akan membawanya ke apartemen."
"Ya, ampun. Merepotkan sekali sih!" Steve memejamkan mata. Dia tak kuasa untuk menolak saat ini. Dia bisa membayangkan suasana Wei yang baru saja ditinggalkan Tuan Lee .
"Rasanya aku sendiri gak sanggup bareng sama orang amnesia. Terlebih dia gak jelas identitas. Tapi...demi rasa kemanusiaan, aku terpaksa loh Wei." Steve kembali menoleh ke arah Wei, mengungkapkan keberatannya.
"Ma kasih banget sob!" Hati Wei sedikit tenang.
"Ngomong-ngomong dia cewek apa cowok?"
"Cewek."
"Ya ampun!" Steve menegakkan posisi duduknya, kaget. Dia merasa terjebak. Bagaimana dia harus seatap dengan perempuan asing.
"Apa gak ada solusi lain Wei?" Keberatan Steve bertambah ketika mendengar orang yang akan dibawanya adalah seorang perempuan.
"Kalau ada, mana mungkin aku meminta kamu!" Wei kembali memijit keningnya rasa sakitnya kian bertambah. Sekarang kepalanya terlalu penuh memikirkan masalah.
###
"Nyonya Kim, bagaimana kabar Steve?" Aku tak bisa tenang. Aku merasa bersalah pada Steve." Hana menekuk wajahnya seperti lipatan kertas.
"Sudah membaik." Nyonya Kim menarik nafas lalu menghembuskan nya perlahan.
"Bagaimana saya harus menebus kesalahan saya pada Steve?" Mata Hana menatap nyonya Kim, berharap nyonya Kim mempunyai solusi.
"Cepatlah sembuh!" Nyonya Kim yang lama bekerja dengan keluarga Wei, terdengar menyemangati Hana. Dia pandai menempatkan posisi,.
"Apa aku merepotkan mu?" Hana menatap kembali pada nyonya Kim.
"Tidak. Tapi..mungkin yang lain, iya." Nyonya Kim merasa kedatangan Hana akan menjadi masalah besar untuk majikannya.
Hana tertunduk malu, hatinya merasa tersindir.
"Hei.. kalian sedang apa?" Tiba-tiba suara Steve mengagetkan Hana dan nyonya Kim.
"Steve...kapan kamu datang?" Hana mendongak menatapnya. Dia tak ingin menunjukkan wajah sedih.
"Barusan. Kata pelayan katanya kalian ada di belakang. Jadi saya langsung kesini." Steve tersenyum manis. Sejak kemarin Steve berjanji pada dirinya, dia akan berbelas kasihan pada wanita yang kini sedang ada di depannya ini. Di wajahnya tak terlihat sedikitpun raut wajah marah. Senyumnya begitu menggemaskan, terlihat tulus.
"Oh iya, nih...tadi di perjalanan saya beli ini. Barangkali suka?" Steve menyodorkan sebuah kotak yang terbuat dari kertas dengan motif yang manis.
"Apa ini?" Hana menerima pemberian Steve lalu penasaran membukanya.
"Wah... " Matanya melebar dan sudut bibirnya terangkat begitu melihat isi kotak, sepotong kue tart coklat yang dipenuhi coklat parut terlihat begitu menggiurkan.
"Tuan Steve, saya kembali ke dalam." Nyonya Kim ijin pamit.
"Oh iya silahkan!"
"Bagaimana anda suka?" Mata Steve menatap Hana dengan senyumnya yang mengembang terlihat begitu manis mengalahkan kue coklat yang dibawanya.
"Mmm." Hana tak sabar ingin segera mencobanya. Lalu memotong kue itu dan memasukkannya ke dalam mulut. Lidahnya segera bekerja, alat pengecapnya sedang merasakan sensasi coklat berkwalitas premium mengecap-ngecap, lalu menelannya.
"Gak enak ya?" tanya Steve sambil mengerutkan dahi, penasaran apakah Hana menyukai pemberiannya atau tidak. Karena Steve percaya kue coklat mampu mencairkan suasana sedih menjadi rasa senang, seperti endorphin.
"Enakkk... he he." Hana tersenyum, lidahnya seperti sedang dimanjakan. Dia begitu bahagia.
"Sebenarnya saya ingin meminta maaf sama kamu...Bukannya aku yang memberi kejutan, malah kebalik ya?" Hana menundukkan pandangan dengan raut muka bersalah.
"Sudahlah, jangan merusak suasana! Ayo habiskan kue nya! Baru di maafkan." Sudah lama perasaan Steve tak seceria sekarang. Entah apa yanga membuat hatinya begitu merasa dekat.
"Baik. Agar dimaafkan aku akan menghabiskan kue ini." Hana tersenyum begitu manis membalas senyuman Steve. "Hhmm aku suka kue ini. Seperti mengingatkan aku pada seseorang." Celetuknya tanpa disadari.
"Oh, ya? Siapa dia?" Steve mengamati wajah Hana dengan serius.
"Ya beda dikit dengan namaku." Hana masih asik menikmati kuenya.
Jlebb...
"Memangnya nama anda siapa?" Steve sedang mengujinya.
"Hana."
prok.. prok.. prok
"Hebat! Hebat!" Steve mengacungkan dua jempolnya.
"Anda baru saja mengingat sesuatu.
Hhhm...Apakah berkat kue yang enak ini memori anda terbuka lebar?" Steve tersenyum kegirangan.
"Hhmmm?" Hana terdiam, menghentikan suapan kue coklatnya. Berusaha mengingat-ingat sesuatu.
"Baiklah besok-besok saya akan membawakan kue ini lagi. Siapa tahu ingatan anda bisa pulih." Steve menyemangati.
"Berarti aku sudah bisa bertemu suamiku dong?" Anehnya yang terlintas dalam pikiran Hana malah bayangan Wei.
"Ya?" Steve terdiam, kepalanya digaruk iseng.
"Masih belum bisa ya?" Hana menatap kecewa.
"Bukan begitu.. tapi.. " Steve menunduk tak berani memberikan jawaban.
"Iya baik. Aku tahu, suamiku orang penting di perusahaannya." Hana tak ingin Steve merasa terbebani, Padahal dalam hatinya dia begitu ingin bertemu dengannya.
Apakah aku salah jika sekedar rindu? "
###
Hari mulai gelap. Kehadiran Hana di rumah Steve membuat suasana lebih hangat.
Pikiran Hana sedang berjalan-jalan, kemana saja. Dia memikirkan kondisi rumah tangganya. Apakah keadaannya selama ini baik-baik saja? Atau jangan-jangan tak akur.
Setelah kejadian siang itu Hana bersyukur. Ada yang masih bisa diingatnya, ya walau baru namanya. Itu awal yang baik.
"Hei melamun!" Steve mengagetkan Hana. Dia mencoba mengakrabkan diri agar Hana tak merasa canggung.
"Eh Steve.. " Hana menoleh ke arahnya.
"Kenapa belum ngantuk? Malam-malam masih di luar." Steve duduk bersebelahan dengan Hana.
"Masih ingin mencari udara segar." Hana menatap ke depan menikmati pemandangan di sekitar. Duduk di depan kolam renang dengan lampu-lampu hias di taman terasa melegakan hatinya.
"Steve.. "
"Ya.. "
"Kamu sudah lama bekerja dengan Wei?" Hana sedang mengumpulkan informasi.
"Ya. Lumayan." Steve bicara santai.
"Sejak kapan?"
"Semenjak lulus kuliah. Wei mengajakku bekerja di perusahaannya."
"Oh."
"Sebenarnya aku sama Wei temen bermain sewaktu kecil. Kebetulan rumah kami berdekatan. Karena sudah selesai kuliah ayah sama ibuku kembali ke Perancis, jadi aku sering tinggal sendirian disini." Steve bicara tanpa beban.
"Ko bisa aku tinggal disini, tidak di rumahku?" Hana merasa penting untuk menanyakan hal ini.
"Wei menitipkan anda disini."
"Kenapa?"Hana melihat ke samping, alisnya sedikit terangkat.
"Dia sebenarnya khawatir, jika anda tinggal di rumahnya, nanti kesehatan anda malah bisa terganggu. Emosi anda kurang stabil, jadi lebih baik anda memenangkan diri dulu disini."
"Hhmmm." Hana tertunduk.
"Sebaiknya anda cepat tidur. Besok anda harus cek up ke dokter. Nanti saya akan mengantar anda ke rumah sakit, sekalian jalan- jalan agar tak bosan tinggal di rumah."
"Kamu gak kerja?"
"Kerjaan ku mengantar anda sekarang?" Steve tertawa.
"Baik. Aku pergi duluan tidur. Selamat malam."
"Malam."
"Eh.. panggil saja Hana."
"Iya. Hana. Semoga besok ada peningkatan. Ingatanmu bisa cepat kembali pulih."
###
"Bagaimana dok?"
"Untuk bekas luka-lukanya sudah pulih. Mungkin ada yang harus dikontrol rutin"
"Maksudnya?"
"Tuan Wei mana? Anda bukan walinya kan?"
"Iya. Tapi dia sibuk. Jadi untuk urusan yang lainnya dia mempercayakan pada saya." Steve berusaha meyakinkan.
"Ya. Biar nanti saya hubungi Tuan Wei saja."
"Oh begitu ya?" Steve terlihat lesu.
"Untuk gejala amnesianya saya sudah konsultasi kan dengan psikiater. Tapi mendengar kemajuan yang didapat nyonya Wei, itu sudah ada perkembangan yang lumayan bagus."
"Baik dok, saya ucapkan terimakasih!" Steve menyalami tangan dokter setengah baya itu untuk pamitan.
Sementara di tempat lain Hana sudah menunggu.
"Bagaimana menurut dokter?" Hana menghampiri Steve, penuh penasaran begitu keluar dari ruangan.
"Wah baik...tak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk merayakan berita bagus ini, anda boleh meminta apapun."
"Beneran boleh?" Mata Hana berbinar.
"Hhmm..."
"Wei.. " Hana dengan santainya meminta Wei.
"Apa? Gak bisa!" Steve cemberut.
"He.. becanda!"Hana spontan memegang tangan Steve, merajuk.
Steve merasa tak nyaman melihat Hana menyentuhnya "Ya udah, minta yang bisa aja! Jangan yang aneh-aneh!" Steve melepaskan tangan Hana.
Hana mengernyitkan mata. "Memangnya kalau minta suamiku sendiri ga boleh?" Hana menatap Steve manja.
Steve membuang muka agak risih melihat tatapan Hana.
"Mau jalan kemana kita sekarang?" Steve terpaksa mengalihkan pembicaraan.
"Aku mau mi, tapi aku juga pengen es krim coklat yang enak." Senyum Hana mengembang.
"Sesuatu yang berasa coklat ya? Anda pasti hobi sekali makan coklat!"
"He he." Hana tertawa kecil.
"Baik, saya akan antar anda. Let's go." Rupanya ada perasaan yang sedang tumbuh di hati Steve. Perasaan senang yang tak bisa digambarkan dan belum pernah hadir sebelumnya.
Di dalam mobil Steve menyetir dengan gesit diiringi siulan. Kepalanya mengangguk-angguk.
"Perasaan disini ada yang lagi senang ya?" Hana menutup mulut karena tak ingin Steve melihat Hana menertawakan nya.
"Ya. Ada dong!" Steve menjawab santai sambil tersenyum.
Hana melirik Steve dari samping, penasaran.
"Siapa tuh?"
Sebenernya yang lagi senang tuh siapa ya?
"Ya kita lah!" Steve menjawab santai. Kepalanya masih bergoyang-goyang seolah sedang menikmati irama musik.
"Kitaaa?Hhmmm... senang kenapa?" Hana mengernyitkan kedua alisnya.
"Ternyata ada juga yang hobi makan mi sama es krim coklat, sama denganku." Steve melirik Hana sekilas.
"Oh ya? Masa iya sih?" Hana tak percaya. Kali aja Steve ikut-ikutan demi menyenangkannya.
"Suer deh!" Steve mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Pandangannya tetap fokus
"Sejak kapan?" Hana penasaran.
"Sejakkk lamaaa.. Ha ha ha." Steve tertawa lepas.
"Ckkk.. ckkk.. " Hana menggelengkan kepalanya.
Tak berselang lama mobil terparkir di depan toko makanan juga cafe-cafe. Suasananya cukup nyaman. Parkiran dan trotoar pejalan kaki cukup luas. Kursi-kursi dan tenda terpasang di luar memungkinkan para pembeli ingin menikmati suasana angin berhembus tanpa AC.
"Anda mau makan di luar atau di dalam?" Steve menawarkan memilih tempat.
"Aku senang di dalam, dekat jendela." Hana menjawab dengan antusias.
"Dikira Anda mau pilih di luar? Baik kita masuk ke dalam!" Steve berjalan mendahului.
Setelah memesan beberapa makanan yang diinginkan, mereka memilih kursi tepat di pinggir kaca.
"Aku suka makan dekat kaca." Hana menatap ke luar.
"Kenapa?"
"Aku suka menikmati makanan sambil melihat lalu-lalang orang lewat. Kadang-kadang melihat suasana luar dari dalam terlihat sangat menyenangkan."
"Begitu ya... "
"Lah kamu sendiri?"
"Kebalikannya."
"Oh..gimana kalau kita keluar aja?" Hana berdiri, tak enak hati jika Steve kurang suka di dalam.
"Eh, tidak-tidak... Anda cukup duduk manis disini seperti coklat ya! he he." Steve menarik tangan Hana untuk kembali duduk.
"Bukan karena saya tak suka sih. Dulu seringkali aku makan bersama teman-teman. Kadang di dalam ga bisa merokok."
"Kamu merokok?"
"Ya dulu. Sekarang..kadang-kadang."
"Bedanya?" Hana mengernyitkan dahi.
"Dulu waktu sekolah datang kesini rame-rame sama teman, hampir tiap hari. Kalau sekarang saya kerja. Paling kalau week and ngumpul sama teman-teman baru merokok lagi."
"Oh. Jadi anda merokok sejak sekolah ya?" Hana memperhatikan Steve.
"Ya begitulah. Maklum anak muda." Steve menghela nafas.
"Tidak bisa berhenti?"
"Anda ga suka ya?" Steve menatap curiga Hana.
"Ya, kurang lebih begitu. Malah aku sering merajia murid-murid merokok."
"Apa?" Steve mengerutkan kedua alisnya, mendengarkan ucapan Hana. Sepertinya ingatan Hana bertambah.
"Ada yang diingat?"
"Eh makanannya dateng. Wak kayanya enak nih. Aku senang sekali mi." Hana mengabaikan pertanyaan Steve. Sejenak melupakan pertanyaan itu, Hana malah asik dengan pesanan yang sudah terhidang.
"Gimana, enak?" Steve terus saja memperhatikan gerak-gerik Hana, semuanya menjadi daya tarik.
Hana mengangguk.
"Tok.. tok.. tok."
Ada yang mengetuk kaca dari luar. Spontan mata keduanya tertuju ke arah kaca. Di sana sudah ada beberapa anak seumuran, sedang melihat ke dalam. Menajamkan wajahnya di kaca, tepat depan Steve dan Hana makan.
Semua netra menatap.
"Siapa mereka?" Steve bertanya pada Hana.
Hana menggelengkan kepala.
Seseorang memberi isyarat bergerak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Nike Ardila Sari
Duh perokok ya😅
2022-10-25
1
Nike Ardila Sari
Heem😅
2022-10-25
1
Nike Ardila Sari
Wah😅
2022-10-25
0