ADINA & NASIB
Desir pagi mengalir sejuk di antara hijau - hijau ilalang yang banyak menumbuhi sisi-sisi jalan berbatu koral dengan jurang yang cukup terjal di bawahnya.
Embun-embun terangkat perlahan bersama sinar pagi yang menembus setiap relung hijau Bukit, berkilauan di antara rembesan air yang mengalir di dinding batuan cadas tepi jalan. Berhias tumbuhan pakis dan akar - akar rumput liar yang menumbuhinya.
Kicau Burung dan unggas yang terjaga lebih awal dari sepasang langkah yang berjalan berdampingan menyusuri licinnya koral yang masih berselimut sisa embun yang menempel, begitu riang terdengar.
Tiada kebisingan layaknya di Kota besar, hanya langkah-langkah tidak beralas kaki dengan berhias cangkul di pundak dan parang di pinggang. Sebagai alat untuk menguliti punggung Bukit yang bersemak belukar.
Hangat Mentari semakin memenuhi penjuru Bukit, bersanding suara motor-motor tril di kejauhan.
Kepulan asap yang muncul dari Atap-atap rumah nampak terlihat juga menyambut Mentari yang benderang .
Senyum sepasang langkah selalu tercipta saat Batu cadas dan Akar pohon besar menghalangi kaki yang tengah berpijak di tanah. Di jalan setapak, di sisi jalan yang biasa di lalui orang dan motor yang malas bergelut di tengah jalan yang berbatu koral.
Nasib hanya memperhatikan wajah Adina yang mulai berkeringat dengan wajah memerah, meski senyumnya tetap terukir.
Ia tahu Adina menahan rasa pegal di kakinya, apalagi jalan semakin menanjak.
Rencana malam yang di buat bersama untuk melihat Mentari terbit pun, urung terlaksana.
Karena Adina harus bangun telat, dikarenakan semalaman Mereka tidur lebih larut oleh rasa lelah sehabis menempuh perjalanan untuk pulang ke Bukit.
"Enggak capek?"
Mengusap kepala Adina pelan.
Adina hanya tersenyum dengan wajah memerah. Menatap sinar mentari yang menerobos di sela-sela dedaunan rindang pinggir jalan.
"Capek tapi di tahan."Adina seperti malu. Menggenggam tangan Nasib erat.
Nasib tertawa kecil.
"Jangan di tahaaaan!"
"Istirahat sejenak di sini ... Enggak ada yang larang." Berganti mengusap butir keringat di pipi Adina.
Yang di usap pun, langsung duduk di jalan.
Nasib yang melihat semakin tertawa dengan duduk di depan-nya.
"Kalo Aku bilang capek!"
"Bilangnya terlalu urban! Manja lah!"sewot Adina tanpa melihat Nasib.
"Enggak tahan tempa nih!"
"Baru segitu aja udah...."
"Udah apa? Enggak lihat jalan!" Potong Adina menunjuk jalan di bawah Bukit yang berliku. Dengan Atap-atap rumah yang terlihat kecil.
Nasib kembali tertawa.
Adina mendengus kesal.
"Aku kan, sudah bilang. Lihat mentarinya dari jendela aja! Nanti juga lewat di depan rumah."
Kembali mengusap keringat Adina.
"Ya, enggak seru!" Menepis tangan Nasib.
"Lihat balapan aja, kalo mau seru! Jangan lihat mentari!" tanggap Nasib.Tersenyum melihat Adina mengusap keningnya sendiri.
Adina memalingkan wajahnya pelan.
"Apa enggak ada yang berjualan di atas? Aku haus!" Adina seperti mengeluh.
Nasib yang duduk dengan bertumpu tumit pun, terduduk di atas bebatuan koral jalan dengan tertawa.
"Ada!ada!" Disela tawanya.
"Serius?" Adina dengan bangkit berdiri.
Nasib mengangguk, memegang jemari Adina yang mengajaknya berdiri.
Sisa tawanya masih menghiasi di bibir melihat mimik wajah Adina, seperti ingin cepat sampai di atas Bukit.
"Gendong!" Adina dengan menggerakan kakinya seperti memberi tanda ke Nasib.
"Belum hilang sisa manjanya?" Nasib melihat sikap kekanankan di depan-nya.
"Jalan di bebatuan koral seperti ini ... Bukan menghilangkan sisa manja di usia belia,"
"Tapi menghilangkan cairan dalam tubuh, alias dehiderasi!" gerutu Adina seperti menyesali.
Nasib tertawa geli, seraya menarik kepala Adina untuk rebah di pipinya.
Mengusap pelan rambut panjangnya yang di kuncit hingga menyentuh di bawah pundaknya.
Kalau sudah begitu Adina tiada lagi berbicara, terdiam menempelkan keningnya di pipi Nasib dengan memejamkan mata.
Nasib memang sering melakukan hal itu padanya, jika Ia tengah marah atau tengah menggerutu.
Mentari benar-benar mulai terangkat menyinari wajah keduanya begitu hangat, sehangat kasih yang tengah mereka rasakan.
Menjalin kasih ketika semuanya telah berubah, di saat cinta lama telah menemukan jalanya sendiri.
Di mana waktu yang berjalan cepat hanya meninggalkan dan menyisahkan kenangan-kenangan terindah.
"Nasib." Adina menggerakan keningnya. Menyembunyikan pipinya dari Sinar mentari.
Nasib tersenyum menatap bias kemilau di pucuk dedaunan rindang.
"Apakah ini hanya sekejap?"
Nasib menghentikan belaian-nya. Suara di dekat telinganya terasa lirih.
"Enggak Adina,"
"Kau akan selalu dalam dekapku, selamanya." Memeluk erat Adina.
Derai semilir angin yang jatuh dari atas Bukit terasa sejuk menyibak senyum keduanya. Warna kasih yang tercipta merona hijau di relung-relung punggung Bukit.
Bukit memang tetap hijau, namun telah berubah semenjak Adina membawa Nasib untuk tinggal dan bekerja denganya.
Semua yang menjadi kenangan di Bukit seperti telah hilang. Kini tiada lagi Pohon Randu bercabang, tiada lagi Rumah dengan genset saat malam, tiada lagi teman yang dulu selalu menemani di saat kabut turun saat malam, untuk tertawa dalam canda dengan remang lampu-lampu Sentir.
Kini malam di Bukit terlihat bergelimang lampu- lampu listrik yang telah masuk, meski kabut tetap menyelimutinya.
Mungkin memang hanya Kabut saja yang akan tetap abadi setia menemani angkernya Bukit saat malam.
"Nekat masih mau ke atas Adinda?"
Nasib dengan melepaskan pelukanya.
Panggilan Adinda kepada Adina sering Ia ucapkan, di saat Mereka tengah dalam canda dan kasih.
Adina tersenyum mengangguk, menyentuh pelan pipi Nasib.
"Kepalang basah, mungkin mentari telah tinggi. Tapi melangkah bersamamu dalam kesusahan adalah harapan tertinggiku, Kakanda," ucapnya dengan perlahan menyentuh kening Nasib.
Nasib tersenyum memejamkan matanya.
"Memang pegal,memang menyiksa! namun percayalah ... Setiap keluh dan kesahku, sesungguhnya manjaku padamu. Aku ingin kau memelukku." Adina menatap dalam mata Nasib. Meski kata yang terucap begitu bening mengalir, namun rasa hati tetap bersemu di pipinya.
Nasib menghembuskan nafasnya pelan. Menarik tangan Adina pelan untuk kembali berjalan.
Adina hanya tersenyum tertunduk. Mengikuti langkah Nasib.
Nasib yang akan tersenyum melihat Adina di sampingnya, hampir terkejut.
Jemari Adina tiba-tiba menyentuh pipinya.
"Aku takut Kau melihat...."
Nasib lekas tersenyum lebar mendengar apa yang akan di katakan Adina kepadanya.
"Aku hanya melihatmu Adina! Karena semua yang ada di Bukit, hanya tinggal kenangan." Jelasnya.
Membawa jemari Adina ke bibirnya, seperti ingin menghapus keraguan yang sering Adina ungkapkan padanya. Tentang kenangan dari cinta yang pernah ada mewarnai hatinya di Bukit. Dan kini hanya ada Dirinya yang tengah bersemayam di bukit hatinya.
Nasib melepaskan jemari di bibirnya, menatap wajah Adina dengan rasa sayang.
"Jika Aku melihat ke belakang ... Ak hanya ingin memastikan. Bahwa Aku tidak meninggalkanmu di belakang." Memeluk pinggang Adina dan mengajaknya untuk lebih cepat berjalan.
Adina menatap dalam, dengan berganti merangkul pinggang Nasib juga.
Senyum semu Adina terukir di telaga matanya.
"Mulutmu gombalmu! alasanmu! dasar lelaki!" dengan langkah pelan berbisik geram di telinga Nasib.
Nasib hampir ingin mencium Adina. Rasa gemas seketika muncul setelah mendengar tuduhannya.
"Aku tau, Kau akan mengatakan hal itu!"
"Gombalku! iya hatiku!"
"Apa kau percaya Adinda?" Balasnya.
Adina meneliti wajah Nasib.
"Enggak!" Seru bisiknya gemas.
"Aku pun berharap demikian."
Nasib menempelkan keningnya di kening Adina.
Keduanya saling berpandangan, tertawa perlahan mengusir kerikil jalan dengan langkah cinta yang ada di hati.Menatap Mentari yang memayungi desir lirih suara hati.
Kebersamaan yang lama terjalin selama ini, semakin erat saat hati saling terpaut cinta.
Dan Bukit yang selalu berkabut dan hijau, sepertinya pula selalu menjadi saksi akan jalinan kasih yang Nasib rasakan.
Lembab dan basah dengan air mata yang mengalir di jurang-jurang hati, menyatu dengan embun yang tertidur di dedaunan ranum.
Kasih yang telah berganti, kasih yang kini ada di sampingmya, akankah abadi seperti kabut malam yang selalu menyelimuti? atau kabut sesaat di waktu pagi hari?.
Semua hanya tanda tanya di atas bebatuan koral yang tengah di langkahi. Semua pun tiada mungkin semulus harapan yang di pendam.
Mentari terlihat begitu anggun, tersenyum lebar dengan sinarnya. Memberi warna hangat dari sepasang langkah yang tengah bergandengan pinggang.
Puncak Bukit yang telah terlihat membuat Keduanya mempercepat langkahnya.
Adina segera berlari menyibak ilalang yang menghalangi jalan setapak di depan-nya. Keringat di keningnya kini seakan bagai embun yang akan membasahi di leher dan seluruh tubuh.
Matanya berputar cepat ke sekeliling, bergerilya di antara semak dan ilalang yang menumbuhi Puncak Bukit.
Keringatnya pun telah membasahi lehernya.
Dengan lemas segera mengurut bagian atas dengkulnya seraya berjongkok.
Nasib memegang pelan pundak Adina.
Adina pun langsung memukul berulang-ulang bahu Nasib.
Nasib hanya mengaduh dengan berlari menghindar.
Mungkin kesal bercampur haus yang Adina rasakan. Bagaimana tidak? Sudah sampai di atas Bukit dengan keringat yang wah! lumayan bercucuran di sengatan Mentari. Berharap ada sederet minuman segar, setidaknya air mineral dengan embel - embel makanan ringannya. Berjajar di Meja gubuk nan mungil, harus pupus dalam desik ilalang yang tertiup angin.
Boro-boro! ada minuman. Gubuknya saja seperti tiada nampak bekas berdiri, rusak tercabut topan Manghut, berganti semak dan Alang-alang.
"Ada! Ada!" jerit Adina coba menarik baju Nasib yang berlari.
"Memang ada!" Nasib dengan beronta, tertawa.
"Dulu!Dulu! Adinaaa!" Terangmya lagi. Menahan tawanya melihat wajah Adina yang begitu kesal.
"Dulu? Hausku kini gimana?" Wajah Adina kian berkeringat.
"Di tahaaannn!" Memegang tangan Adina yang akan memukul dadanya, "Beberapa jam lagi beduk,Kau boleh minum sepuasmu." dengan mengusap butir keringat di dahi Adina.
"Kau pikir Aku anak kecil yang tengah puasa setengah hari? Puasa beduk!" seru Adina menepis tangan Nasib.
Nasib mengulum tawanya, membelai lembut Pipi Adina. Seperti ingin menenangkanya lagi. "Sedikit belaianku, apa tak mampu menghilangkan rasa dahagamu Adinda?" tanyanya mesra.
Wajah Adina bersemu, menatap kasih wajah Nasib. "Beda dahaga." Beringsut perlahan menghindari jemari Nasib, berjalan menuju bibir Bukit.
Nasib memperhatikan dengan senyum, dan perlahan mengikutinya.
"Aku tetap haus."
Suara di dekat telinga,saat Nasib telah berdiri di samping Adina, yang tengah menatap jauh di antara dua Gunung yang terlihat kecil berwarna biru.
Sementara angin kian deras bercampur sinar Mentari yang kian menyengat pula.
Nasib melebarkan senyumnya menatap pias wajah yang mulai terlihat tenang.
"Untuk sementara." Memberikan beberapa bungkus Permen di telapak tangan.
"Aku tetap haus." Mengambil sebutir dari tangan Nasib.
Tanpa menghilangkan senyum Nasib terus menatap Adina.
Adina memalingkan wajahnya.
Terkadang Ia merasa malu jika Nasib menatapnya sedemikian rupa. Suka! Tapi malu juga!.
Nasib melebarkan senyumnya dengan menarik pinggang Adina membawanya dalam pelukan.
"Masih haus?."
Saat wajah Adina berada dekat di wajahnya.
Adina mengulum senyumnya, lalu mengeluarkan permen di bibirnya.
Sementara kedua tanganya memegang pipi Nasib.
Sesaat Keduanya saling berpandangan, seperti mengoyak sengat Mentari dengan telaga cinta yang memancar sejuk di relung-relung kalbu.
Adina segera memasukan kembali permen di bibirnya saat Nasib akan menggigitnya, lalu tertawa kecil. Seketika pelukan yang terasa pun kian erat melingkar di pinggangnya.
"Sementara cukup." Adina seperti tiada kuasa bergerak. Mendekatkan lebih dekat wajahnya ke wajah Nasib dengan memegang tanganya.
Nasib merenggangkan pelukanya.
Biru di kejahuan kian samar terkupas oleh sinar Mentari yang kian meninggi.
Kendaraan besar dan kecil sesekali terlihat seperti menembus rimbunya pepohonan yang ada, melintas hilir - mudik di jalan lintas Sumatera, membelah kampung-kampung seperti memagarinya.
Nuansa damai di hati begitu terasa menjalari Keduanya.
Kekasih yang ada di dalam dekapan, adalah hal terindah yang kini mereka rasakan.
Meski telat menikmati indahnya Mentari pagi, namun melihat senyumnya seorang kekasih dalam kedamaian adalah Purnama indah di kala malam yang cerah.
*************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments