LEBAR angkasa malam terasa memanjakan mata dengan arakan awan putih yang menggumpal, sedang Bintang-bintang kecil tersenyum ramai berkelip bersama angin yang menggulung desir dingin.
Di kejauhan angker puncak Bukit nampak pula berselimut kabut. Sinar terang Bulan yang masih separuh memang cukup menerangi jalan yang lengang.
Sebuah senyum dengan mata meneliti wajah yang tengah mengamati puncak Bukit, yang seperti tiada terusik akan belai yang mulai merambat pelan di kepala dengan rasa sayang.
"Apa Kau berniat kembali bertenda Adina?"
Sebuah lirikan mata pun terlihat, sebuah jawaban akan rasa yang enggan dan malas.
Nasib tersenyum lebar, mengusap rambut Adina di atas telinga, lalu ke arah pipi.
Adina menempelkan pipinya di tangan Nasib, dengan merapatkan jaketnya, menghangatkan perasaan gundah di jiwanya.
"Nasib, Aku enggak mau pulang sendiri," lirihnya di sela tangan Nasib yang tengah membelai pipi.
Nasib menghela nafasnya pelan, mengukir kelamnya puncak Bukit dengan tatapan.
Kerlip-kerlip lampu sesekali terlihat di balik rimbunya dedaunan yang berwarna hitam, yang menutupi sepanjang jalan menuju puncak Bukit.
Tanganya kemudian mengusap lembut jemari Adina, menggenggamnya.
Esok Ia harus melepas Adina untuk pulang terlebih dahulu meski rencana berlibur masih dua pekan kedepan.
"Kesehatanmu jauh lebih penting, ketimbang Kau paksakan bertahan di bukit." Nasib merangkul kepala Adina di bawah dagunya.
"Aku enggak apa-apa." Adina berusaha melihat wajah Nasib.
"Kata itu selalu terucap saat Kita merasa tidak enak hati," ucap Nasib mencoba melihat wajah Adina. Nafas Adina terasa di dadanya.
"Aku dan Ibuku enggak akan mengatakanmu Adina, karena memang tubuhmu kini lemah Adina," jelasnya lagi.
Adina mendengus pelan.
Nasib pun mengecup kepala Adina.
Adina memejamkan matanya, merasakan kasih yang mengalir di dalam hatinya, di antara rasa bimbang, karena sebenarnya Ia belum ingin pulang dari Bukit. Namun Nasib menyuruhnya, hanya karena tubuhnya yang terasa mulai sakit kembali.
Nasib menyentuh lengan Adina.
"Tubuhmu semakin lemah Adina," ucapnya khawatir.
Adina kembali mendengus lirih.
Semua memang karena kecelakaan yang pernah Ia alami, membuatnya mudah sakit. Kesembuhan yang di rasa tidaklah seperti yang Ia rasakan sebelum kecelakaan.
Ia sering mengalami rasa sakit di sekujur tubuh meski tidak terlalu lelah, dan dingin seperti ribuan jarum yang menusuk di persendian tulangnya jika berlama-lama di ruang terbuka yang penuh angin, ataupun ruangan berpendingin.
"Aku akan semakin lemah bila tanpamu di sisi ku, " ucapnya meletakkan kepalanya di bahu Nasib. Melihat pipi Nasib dan perlahan mendekatkan hidungnya. Nasib tersenyum saat hangat terasa di pipinya.
"Kau harus tetap pulang." Nasib berusaha melirik.
"Nasib beneeeeeraaaaannnn!" Gemas Adina tertahan dengan menarik wajah Nasib berhadapan dengannya. "Nasib yang Ku cinta. Coba dong,ngerti-in keinganku dan perasaanku saat ini." ucapnya.
"Udah, karena itu Aku ingin Kau pulang." Nasib mencubit pipi Adina.
"Nasiiiiiib, biarkan Aku terbiasa dengan suasana di sini, karena bila Kita mudik kelak Aku sudah terbiasa." Adina lagi. Menatap lekat mata Nasib.
"Iya, mudiknya telah usai. Sekarang waktunya Kau untuk kembali dulu."
Adina langsung menoleh kesal. Jawaban Nasib seperti jauh dari harapan hatinya. "Bagaimana kalo Kita suit aja? yang kalah boleh pulang." Kesalnya cemberut.
Nasib tertawa pelan. Mengusap-usap kepala Adina.
"Jangan membuatku mencium-mu lagi Adina, Aku gemas melihat wajahmu seperti itu....,"
"Lagian jika Aku kalah! pulangnya kan, deket?" jelasnya.
Nasib pun berdiri di depan Adina.
Adina menatapinya.
Kelam di kejauhan dan deru motor Gunung yang beringsut menjauh seperti mencakar malam dengan bising. Angin malam yang kian berhembus kencang kian dingin oleh perasaan hati yang bimbang.
Adina perlahan menundukan pandangan-nya.
lantai tanah dengan rumput-rumput liar yang biasa memenuhi areal persawahan terasa kelam di bawah kakinya yang berpijak di kayu.
Ia hanya ingin berlama-lama bersama Nasib di Bukit, mengukir kenangan selagi bisa. Dalam lumpur tanah pelosok yang jarang sekali mengotori kakinya selama ini, yang hanya bergelut dengan kemacetan dan hiruk-pikuk kesibukan yang seperti tiada batas.
Namun tubuhnya kini memang tiada se-sehat dahulu, rentan bersama waktu yang berjalan. Ia pun memahami rasa khawatir Nasib akan Dirinya, rasa yang kini Ia temukan dalam belai Nasib.
Tapi Ia ingin selalu dekat Nasib dalam keadaan apaun, Ia ingin sakit di dekat Nasib, Ia hanya ingin cinta yang menyelimutinya saat tiada berdaya.
Adina mengangkat wajahnya pelan seiring jemari yang menyentuh dagunya, menatap wajah yang tengah tersenyum.
"Adina mengertilah, Aku enggak ingin kehilangan orang yang Aku cintai untuk ke tiga kalinya."
Adina menatap bibir yang tengah berbicara padanya. "Kini sebisaku, menjaga apa yang Aku miliki,"
"Memang enggak sebesar perhatian seorang Ibu kepada anaknya." Nasib menghela nafasnya sejenak.
"Namun setidaknya, Kau sehat saat Aku memelukmu," ucapnya lagi.
"Aku sehat kok! Aku sehat!"Adina dengan cepat berdiri memasang wajah ceria, senyum senyum berhias semu di pipi.
"Kebiasaan!"
Nasib dengan meninggalkan Adina.
"Nasiiiib?"
Adina kembali duduk dengan kesal, "Tega," gerutunya lirih.
Matanya kembali menerawang jauh ke puncak Bukit, namun tiba-tiba hatinya berdesir.
Cepat melihat ke arah Nasib yang tengah berjalan. Lalu melihat ke puncak Bukit kembali.
"Nasiiiibb!" Serunya.
Dan langsung berlari mengejar Nasib yang berjalan ke arah Rumah.
Nasib menoleh cepat, namun bukanya menunggu Adina, Ia mempercepat langkahnya dengan berlari pula.
Tentunya disertai dengan tawa.
Tinggalah Adina yang kerepotan mengusir ngeri di hatinya dengan berusaha menyusul Nasib.
"Nasib! Tungguuuu!"
Seru malam yang terdengar tiada se-seru suara Adina yang memecahnya.
Jika saja ada banyak Rumah di dekat jalan tentunya akan membuat mata dan hati para penghuninya melihat apa yang tengah terjadi.
Namun sepasang mata dengan senyum di balik gordeng jendela yang terbuka sedikit, yang semenjak tadi tengah mengamati, turut larut dalam rasa senang di dalam dada.
Bagaikan tengah berlari menuju angkasa yang berbintang.
Bu Marimin segera masuk ke dalam kamar di mana Adina akan tidur. Kamar milik Retno dahulu.
Senyumnya semenjak tadi tiada lepas hingga kedua tanganya membersihkan kasur kapuk dengan sapu lidi.
Jelas terdengar suara Adina dan Nasib di perkarangan Rumah tengah bercengkerama dalam canda.
Perlahan matanya tertuju pada sebuah lemari kayu yang telah banyak lapuk di makan rayap.
Lemari pakaian Retno Masih tetap berada di pojok dekat jendela, dan suara di luar yang terdengar mengingatkanya padanya.
Malam apalagi setiap malam purnama Nasib dan Retno sering bermain di perkarangan, hampir menyerupai tawa yang kini tengah di dengar, jika belum sampai Retno menangis, belum berhenti Nasib bermain dengannya.
"Buuu!"
Adina yang tiba-tiba masuk dengan wajah memerah dan terengap dan langsung merangkulnya.
Bu Marimin pun memegang tubuh Adina, dan melihat Nasib terengap juga dengan senyum di tengah pintu kamar.
"Bu, Nasib Bu."" Bersembunyi di balik tubuh Bu Marimin.
"Nasib?"Bu Marimin menatap tanya.
"Adina ngambek Bu karena di tinggalin." Nasib melangkah masuk kedalam kamar, mendekati Keduanya.
"Bu, malam ini Adina ingin Ibu menemaninya tidur."
Nasib membelai rambut Adina yang memeluk Ibunya.
"Esok Adina kan,pulang Bu," ucap Adina seperti melanjutkan ucapan Nasib.
"Bukan Bu, Adina takut tidur sendirian," sangkal Nasib menimpali.
Sebuah cubitan mampir di tangan Nasib.
Nasib mengaduh tertawa kecil.
"Tapi kalo ibu merasa keberatan? iya , biar Nasib aja yang menemaninya," lanjut Nasib. Masih memegang tangan yang baru di cubit.
Adina langsung melepaskan dekapanya pada Bu Marimin, lalu mengambil bantal dan memukul Nasib.
"Enggak keberatan!Enggak keberatan!" Serunya seiring bantal yang mengenai Nasib.
Nasib yang kian terdesak oleh bantal kapuk akhirnya menyerah dengan kabur keluar kamar meninggalkan Keduanya dengan tawa kemenangannya.
Adina tetap mengejarnya.
Tinggal Bu Marimin yang kaku terdiam tanpa bisa berbuat banyak hanya menatapi dengan rasa suka akan canda anaknya.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments