2. Dingin Dan Angkernya puncak Bukit.

ADINA mengunyah kesal Ubi rambat yang di goreng, yang ada di dalam Rantang plastik. Menatap bara api yang keluar dari Api unggun kecil di depanya. Suara serangga malam dan Burung malam menbuatnya harus melirik ke sekeliling yang gelap.

Tiba-tiba hatinya merasa menyesali akan permintaanya untuk berkemah di atas puncak Bukit, demi melihat terbitnya Mentari.

Desik ilalang baginya kini seperti irama horor yang menyiksa batin untuk bertahan dalam dingin dan gelap.

Jaket tebalnya pun seakan tiada mampu melindungi tubuhnya dari hawa yang membuat bulu kuduk merinding kawat panteng banget! bila menurut Nasib.

"Anteng bener?"

Suara Nasib yang muncul dari kegelapan, membuatnya mesem kesal.

Sorot matanya melihat Nasib bagai ungkapan kesal yang ada di dalam hati, seperti begitu tega meninggalkan-nya walau sesaat demi ranting kering untuk Api Unggun.

Melahap kembali Ubi rambat yang masih tersisa di tanganya.

"Sangking antengnya, sampe panteng banget!" gerutunya tercurah bebas. Setelah melihat senyum lebar Nasib yang berdiri di depanya seperti kegelian yang tertahan melihat keadaanya menahan segala.

Segala derita malam yang angker.

"Mending Aku tersesat di jalan, dari pada harus terpenjara dalam gelap!" ucapnya lagi seperti ingin menyahuti Nasib yang justru tertawa kecil.

Kembali suara Burung malam terdengar. Membuatnya berdiri memeluk Nasib.

Dengan masih tertawa Nasib membelai kepala Adina.

"Nasib, Kita batalin aja rencananya." pelan Adina seperti memohon.

"Tanggung Adina."

"Tanggung?" Menatap wajah Nasib tidak habis pikir.

"Sekarang baru jam delapan malam Nasib,"

"Tanggung itu jika lima menit lagi, atau setengah jam lagi,"

"ini bukan tanggung Nasib, ini manggung! manggung ! Nasib!" Kesalnya melihat Nasib seperti tak ingin menuruti keinginanya.

Matanya pun langsung melirik gelap di mana suara Burung malam kembali terdengar.

Pelukanya pun semakin Ia per-erat.

"Adina iya Adindaku! " Geleng Nasib pelan. senyumnya mengukir malam.

"Kita sudah susah payah repot blepotan keringat membawa perlengkapan kemah, masa harus undur diri?"

"lagian jarang-jarang kita berkemah ngebontot lengkap,"

"Nasi plus mie goreng-mie rebus, serantang gorengan, gula kopi dan teh, belum rantang satunya, lauk pauk dan cemilan,"

"Dan yang enggak kalah penting, ada orang yang bisa kau peluk sesukamu."Jelas Nasib panjang lebar.

Adina langsung melepas pelukannya. Memperhatikan senyum sumringah di matanya.

Nasib yang melihat Adina memperhatikan-nya sedemikan rupa tanpa senyum pula, tanpa binar mata yang senang, hanya sorot mata yang tajam seakan begitu menghujam. langsung terdiam tanpa senyuman.

Namun terkejut, Adina kembali memeluknya lebih erat.

Dera malam yang dingin dan kian hingar dalam juntai bintang-bintang di balik gelombang awan serasa lebur di dalam hangat kasih yang begitu mesra terbawa dalam rasa.

Rasa di mana tempat paling ternyaman saat berdua adalah dalam pelukan dan belaian kekasih.

"Nasib, kini Aku mengerti. mengapa Nada dan Cahaya sering memelukmu," "Aku dapat merasakanya."

Nasib hanya tersenyum heran, bisik Adina yang terdengar seperti menguak angkasa hatinya, akan cinta yang pernah mengisi di dalam hidupnya. Dan telah Ia lupakan.

Nasib memejamkan matanya, membuang dalam gelap bayang wajah-wajah yang sesaat kembali muncul di benaknya. Semua telah lama berlalu, kini cinta yang ada di hati telah bersemayam di hati Adina.

"Seperti sebuah? Entahlah ... Aku merasa damai dalam dekapmu." Adina memejamkan matanya.

Nasib mengusap pelan pipi dari kepala yang rebah di bahunya, merasakan nafas yang mendera di lehernya.

"Adina, tiada keindahan dan kedamain yang Aku miliki. Dan jika Kau merasakan hal itu ... sungguh Aku merasa tersanjung." Dengan terus mengusap pipi Adina.

Derai kasih yang jatuh, kian pekat seiring kabut yang turun. Debar rasa yang terjaring pun kian hangat dalam dekapan di antara Keduanya.

Nasib merapatkan kepalanya di kepala Adina. Membiarkan segala rasa tertumpah.

Desik kini terdengar lirih dan syahdu mengupas semua gelap yang mencekam.

Hanya satu bisik di relung hati, seperti petir yang menguak di kegelapan.

Ia ingin selamanya...

Selamanya bersama Adina, jika waktu tiada memisahkan. Melewati segalanya bersama Adina. Perlahan tanganya membelai punggung Adina, ungkapan dari rasa sayangnya.

"Nasib, Aku haus...."

Suara Adina seperti manja.

Nasib tersenyum lebar.

"Bukanya Kau sudah Aku peluk?" Heranya. lebih erat lagi memeluk Adina

"Sudah cukup." Adina seperti geli sendiri di peluk sedemikan rupa.

"Kebiasaan!" Nasib dengan mengusap-usap kepala Adina.

Keduanya tertawa pelan membongkar pekat dan kelamnya Puncak Bukit.

Mungkin bagi Adina suasana yang begitu menyeramkan dan membuat bulu kuduknya berdiri, sangatlah menguras akal sehatnya di balik gelap - gulitanya Puncak Bukit.

Namun bagi Nasib yang sejak kecil terasuh oleh suasana Bukit merupakan suatu yang biasa di alami, bahkan Ia sering seorang diri hingga terbitnya Mentari di atas Bukit.

"Nasib, Aku heran? Semenjak bersamamu... mengapa Aku selalu haus?" Adina dengan membenamkan kepalanya di dada Nasib.

"Mungkin akan menjadi kebiasaanmu seterusnya." Tanggap Nasib tersenyum lebar.

"Yang Aku heran? mengapa Kau tak lapar?" lanjut Nasib dengan tawa tertahan.

Adina tersenyum di dada Nasib.

Nasib menahan debar di dadanya.

Perlahan Adina mengangkat wajahnya, menatap sayang wajah Nasib. Binar yang terlihat di mata Nasib terasa menyentuh di dalam hatinya.

"Aku belum lapar, mungkin nanti jika Kita memang telah bersama selamanya."

Adina menyentuh pipi Nasib dengan kedua tangan- nya. Seperti ingin di mengerti bahwa Ia begitu menyayangi dan mencintai sepenuh hatinya.

"Aduhhhhh! Enggak kuat nyuapin-nya!" Gelak Nasib. Mendekatkan wajahnya seperti ingin mencium Adina.

Adina melepasakan jemarinya.

"Denger duluuuu!" Dengan manja dan wajah bersemu. Dan memukul kesal dada Nasib.

Nasib memegang tangan Adina, mengusap halus pipi Adina. "Sejak tadi Aku sudah mendengar," ucapnya pelan.

Adina cemberut kecil.

"Aku haus, saat Aku merasa tak damai," "Dan Aku lapar...."

Adina langsung bungkam, kata di bibirnya seakan tertahan saat hangat tiba-tiba menyentuhnya.

Meski sedikit terkejut karena tidak menduga dengan apa yang Nasib lakukan, Ia pun memejamkan Matanya.

Hening, seperti berbisik di telinga. Sedangkan cinta terasa begitu deras mengalir dalam dingin-dingin kabut yang menyelimuti Keduanya. Nasib hanya tersenyum saat Adina membuka matanya.

"Kebiasaan! Apa Kau harus tiba-tiba jika mencium?" tanya Adina langsung. Menatap Nasib dengan rona di pipinya.

"Iya maaf! Kalo orang lapar suka buru-buru cuci tangannya." kilah Nasib dengan senyum lebar.

"Setidaknya Aku bisa mempersiapkan diri," ucap Adina dengan rasa malu hatinya. Merebahkan kepalanya di bahu Nasib, menghindari senyum dan tatapan Nasib kepadanya. Senyumya pun terukir bahagia.

Hangat yang terasa dari sinar Api unggun kecil, cukup mengusir dingin kabut yang semakin pekat.

Suara-suara serangga malam kian senter terdengar di kegelapan.Sesekali juga suara knalpot motor gunung di kejauhan berbaur di telinga.

Tiada seorang pun yang nampak terlihat atau terdengar berada di atas Bukit, karena memang di saat malam hanya ada kabut yang dapat di lihat.

Meski Nasib telah menjelaskan kepada Adina bahwa Ia tidak akan melihat pemandangan yang indah saat malam, namun Adina yang tidak ingin telat lagi untuk melihat Mentari terbit tetap dengan keinginan-nya.

Meski kini Ia pun harus merasakan begitu dingin dan pekatnya kabut yang menghalangi kerlap-kerlip di kejahuan. Seperti yang pernah Ia lihat saat berada di ketinggian di waktu malam di saat bertamasya.

Adina menyentuh hangat bahu Nasib dengan hidungnya. Sungguh, meski angker malam sempat menyiksa batinya, dengan pemadangan yang jauh dari angan bahagianya, yaitu keindahan alam.

Namun begitu, kini ada wajah yang selalu dapat Ia tatap setiap saat, dan Nasib adalah keindahan yang begitu lama Ia pendam.

Sedari pertama mengenalnya saat Nasib masih bersama Nada, hingga kecelakaan yang pernah Ia alami yang membuatnya koma hampir memupuskan harapan hidupnya.

Bertahan dari raga yang sakit untuk berjuang sembuh agar dapat melihat kembali wajah yang berbisik di saat Ia koma. Bisik yang mampu Ia dengar dalam ruang tidak sadarnya. Bisik itu kini kian menjelma dalam setiap dekap yang Ia rasakan.

Kata apa yang mampu Ia ucapkan untuk menyatakan betapa batin terasa bahagia. Hanya rasa syukur akan semua yang telah di lewati di sepanjang kisah di perjalanan hidupnya.

Kini cinta yang selama ini Ia harapkan berbunga dalam jambangan seorang kekasih. Telah tumbuh dalam indah dan harumnya kasih sayang, seperti yang Ia angankan.

Dan jika kini Nasib adalah cinta di dalam hatinya. Sungguh, Ia dapat merasakan arti sebuah cinta yang sebenarnya..

"Adina, kabut semakin tebal Adina," ucap Nasib berbisik pelan dengan merasakan desir angin yang semakin mengusik wajahnya.

Namun Adina hanya terdiam.

"Adina?" Nasib melirik Adina.

Adina hanya membalikan pipinya di dada Nasib seperti tidak mendengar.

Nasib segera melepaskan pelukan Adina, melebarkan bibirnya melihat sikapnya yang berpura-pura tidak mendengarnya. Lalu merangkulnya untuk masuk ke dalam Tenda.

Tenda kemah yang biasa di jual di pinggir- pinggir jalan dengan warna yang sama berwarna putih, cukup menghiasi puncak Bukit yang kelam.

Adina menahan senyum di bibirnya, Ia sangat suka jika Nasib mulai memperlakukannya dengan perhatian.

"Dingin Adinaaaa." Nasib melihat Adina seperti malas untuk masuk ke tendanya.

Adina mengangguk pelan, sesaat menatap wajah Nasib. Menatap rasa dengan rasa indah di dalam hatinya. Lalu tersenyum, masuk kedalam Tendanya.

Nasib menggeleng pelan, lalu segera menutup pintu Tenda, menatap sesaat sebelum akhirmya masuk ke Tendanya yang begitu mepet di tenda Adina.

Membaringkan tubuhnya menghadap ke arah tenda Adina dengan kepala berbantal kedua tangan.

"Nasib."

Nasib tersenyum mendengarnya. Suara Adina terasa tanpa ada sesuatu yang menghalangi. Sedangkan Kain putih tenda menghalangi wajah Keduanya yang jika tanpa penghalang, tentu terlihat tengah saling berhadapan wajah.

"Iya," sahut Nasib menggerakkan kepala seperti berada di atas Bantal kapuknya.

"Dingin."

Suara Adina terdengar kembali.

Nasib tersenyum dengan menghembuskan nafasnya.

"Semakin malam semakin dingin Adina," sahutnya lagi.

"Nasib."

"Aku di dekat mu Adina."

"Dingin."

Nasib melebarkan senyumnya, kini dengan tidur terlentang. Tanganya pun bersedakep.

"Kau kan bawa selimut tebal? kasur kapuk aja kalah tebalnya," ucapnya seperti mengingatkan.

Nasib hampir terbangun, dengan cepat menarik kepalanya ke belakang dengan tersenyum saat kain tenda bergerak.

Sepertinya Adina memukulkan sesuatu.

"Nasib."

Adina kembali memanggil.

Nasib pun kembali berbaring menghadap tenda Adina.

"Iyaaa?" Nasib dengan sisa senyumnya.

"Dinginnnnn!" Adina seperti mengeluh.

"Aku tau Adina, udaranya memang dingin, Lantas Aku harus berbuat apa?" Nasib dengan tatapan seakan ingin menyibak kain tenda di depan wajahnya.

Seketika suasana terasa hening. Hanya angin dan sinar api unggun yang terdengar juga terlihat menari dengan Kabut yang terusik menjauhi hangatnya api unggun.

Nasib mengangkat kepalanya sedikit, suara Adina belum lagi terdengar.

"Nasib."

Nasib merebahkan kembali kepalanya dengan menghembuskan nafas.

"Iya Adina,kenapa?" sahutnya tersenyum. "Apa Kau haus? jangan lapar Adina?"

Nasib kembali menarik kepalanya dari dinding tenda, Adina kembali memukulkan sesuatu ke tendanya. Tertawa kecil, seperti tengah melihat Adina tengah berwajah marah.

Desir Angin di luar membuat tenda bergoyang- goyang karenanya.

Nasib merebahkan kepalanya kembali.

"Adina apa Kau tertidur?" tanyanya pelan.

Tiada sahutan dari Adina.

"Iya udah, selamat malam Adina." Nasib dengan senyum dan memejamkan mata

Meski sebenarnya Ia tidak akan bisa tertidur. Adina akan menjadi penawar rasa kantuknya dalam gelap dan pekatnya kabut, dalam dinginnya Bukit.

Mungkin Ia tidak akan bisa menjaganya seperti Malaikat atau menjadi seperti kekasih yang hebat, namun setidaknya Ia bisa berada dekat diantara nafas yang tengah terlelap. Untuk tetap menjaga dalam mimpi indahnya.

Nasib membuka matanya, melihat putih tenda yang bergerak oleh angin.

Ia tahu Adina belum tertidur, kembali tersenyum dan memejamkan mata.

Dan andai Nasib tahu bahwa Adina tengah tersenyum pula melihat putih tenda yang bergerak, tentunya-lah Ia akan membelai pipi Adina.

Dan jika tanpa tirai yang menghalangi di antara Keduanya.

*****

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!