Desir pagi mengalir sejuk di antara hijau - hijau ilalang yang banyak menumbuhi sisi-sisi jalan berbatu koral dengan jurang yang cukup terjal di bawahnya.
Embun-embun terangkat perlahan bersama sinar pagi yang menembus setiap relung hijau Bukit, berkilauan di antara rembesan air yang mengalir di dinding batuan cadas tepi jalan. Berhias tumbuhan pakis dan akar - akar rumput liar yang menumbuhinya.
Kicau Burung dan unggas yang terjaga lebih awal dari sepasang langkah yang berjalan berdampingan menyusuri licinnya koral yang masih berselimut sisa embun yang menempel, begitu riang terdengar.
Tiada kebisingan layaknya di Kota besar, hanya langkah-langkah tidak beralas kaki dengan berhias cangkul di pundak dan parang di pinggang. Sebagai alat untuk menguliti punggung Bukit yang bersemak belukar.
Hangat Mentari semakin memenuhi penjuru Bukit, bersanding suara motor-motor tril di kejauhan.
Kepulan asap yang muncul dari Atap-atap rumah nampak terlihat juga menyambut Mentari yang benderang .
Senyum sepasang langkah selalu tercipta saat Batu cadas dan Akar pohon besar menghalangi kaki yang tengah berpijak di tanah. Di jalan setapak, di sisi jalan yang biasa di lalui orang dan motor yang malas bergelut di tengah jalan yang berbatu koral.
Nasib hanya memperhatikan wajah Adina yang mulai berkeringat dengan wajah memerah, meski senyumnya tetap terukir.
Ia tahu Adina menahan rasa pegal di kakinya, apalagi jalan semakin menanjak.
Rencana malam yang di buat bersama untuk melihat Mentari terbit pun, urung terlaksana.
Karena Adina harus bangun telat, dikarenakan semalaman Mereka tidur lebih larut oleh rasa lelah sehabis menempuh perjalanan untuk pulang ke Bukit.
"Enggak capek?"
Mengusap kepala Adina pelan.
Adina hanya tersenyum dengan wajah memerah. Menatap sinar mentari yang menerobos di sela-sela dedaunan rindang pinggir jalan.
"Capek tapi di tahan."Adina seperti malu. Menggenggam tangan Nasib erat.
Nasib tertawa kecil.
"Jangan di tahaaaan!"
"Istirahat sejenak di sini ... Enggak ada yang larang." Berganti mengusap butir keringat di pipi Adina.
Yang di usap pun, langsung duduk di jalan.
Nasib yang melihat semakin tertawa dengan duduk di depan-nya.
"Kalo Aku bilang capek!"
"Bilangnya terlalu urban! Manja lah!"sewot Adina tanpa melihat Nasib.
"Enggak tahan tempa nih!"
"Baru segitu aja udah...."
"Udah apa? Enggak lihat jalan!" Potong Adina menunjuk jalan di bawah Bukit yang berliku. Dengan Atap-atap rumah yang terlihat kecil.
Nasib kembali tertawa.
Adina mendengus kesal.
"Aku kan, sudah bilang. Lihat mentarinya dari jendela aja! Nanti juga lewat di depan rumah."
Kembali mengusap keringat Adina.
"Ya, enggak seru!" Menepis tangan Nasib.
"Lihat balapan aja, kalo mau seru! Jangan lihat mentari!" tanggap Nasib.Tersenyum melihat Adina mengusap keningnya sendiri.
Adina memalingkan wajahnya pelan.
"Apa enggak ada yang berjualan di atas? Aku haus!" Adina seperti mengeluh.
Nasib yang duduk dengan bertumpu tumit pun, terduduk di atas bebatuan koral jalan dengan tertawa.
"Ada!ada!" Disela tawanya.
"Serius?" Adina dengan bangkit berdiri.
Nasib mengangguk, memegang jemari Adina yang mengajaknya berdiri.
Sisa tawanya masih menghiasi di bibir melihat mimik wajah Adina, seperti ingin cepat sampai di atas Bukit.
"Gendong!" Adina dengan menggerakan kakinya seperti memberi tanda ke Nasib.
"Belum hilang sisa manjanya?" Nasib melihat sikap kekanankan di depan-nya.
"Jalan di bebatuan koral seperti ini ... Bukan menghilangkan sisa manja di usia belia,"
"Tapi menghilangkan cairan dalam tubuh, alias dehiderasi!" gerutu Adina seperti menyesali.
Nasib tertawa geli, seraya menarik kepala Adina untuk rebah di pipinya.
Mengusap pelan rambut panjangnya yang di kuncit hingga menyentuh di bawah pundaknya.
Kalau sudah begitu Adina tiada lagi berbicara, terdiam menempelkan keningnya di pipi Nasib dengan memejamkan mata.
Nasib memang sering melakukan hal itu padanya, jika Ia tengah marah atau tengah menggerutu.
Mentari benar-benar mulai terangkat menyinari wajah keduanya begitu hangat, sehangat kasih yang tengah mereka rasakan.
Menjalin kasih ketika semuanya telah berubah, di saat cinta lama telah menemukan jalanya sendiri.
Di mana waktu yang berjalan cepat hanya meninggalkan dan menyisahkan kenangan-kenangan terindah.
"Nasib." Adina menggerakan keningnya. Menyembunyikan pipinya dari Sinar mentari.
Nasib tersenyum menatap bias kemilau di pucuk dedaunan rindang.
"Apakah ini hanya sekejap?"
Nasib menghentikan belaian-nya. Suara di dekat telinganya terasa lirih.
"Enggak Adina,"
"Kau akan selalu dalam dekapku, selamanya." Memeluk erat Adina.
Derai semilir angin yang jatuh dari atas Bukit terasa sejuk menyibak senyum keduanya. Warna kasih yang tercipta merona hijau di relung-relung punggung Bukit.
Bukit memang tetap hijau, namun telah berubah semenjak Adina membawa Nasib untuk tinggal dan bekerja denganya.
Semua yang menjadi kenangan di Bukit seperti telah hilang. Kini tiada lagi Pohon Randu bercabang, tiada lagi Rumah dengan genset saat malam, tiada lagi teman yang dulu selalu menemani di saat kabut turun saat malam, untuk tertawa dalam canda dengan remang lampu-lampu Sentir.
Kini malam di Bukit terlihat bergelimang lampu- lampu listrik yang telah masuk, meski kabut tetap menyelimutinya.
Mungkin memang hanya Kabut saja yang akan tetap abadi setia menemani angkernya Bukit saat malam.
"Nekat masih mau ke atas Adinda?"
Nasib dengan melepaskan pelukanya.
Panggilan Adinda kepada Adina sering Ia ucapkan, di saat Mereka tengah dalam canda dan kasih.
Adina tersenyum mengangguk, menyentuh pelan pipi Nasib.
"Kepalang basah, mungkin mentari telah tinggi. Tapi melangkah bersamamu dalam kesusahan adalah harapan tertinggiku, Kakanda," ucapnya dengan perlahan menyentuh kening Nasib.
Nasib tersenyum memejamkan matanya.
"Memang pegal,memang menyiksa! namun percayalah ... Setiap keluh dan kesahku, sesungguhnya manjaku padamu. Aku ingin kau memelukku." Adina menatap dalam mata Nasib. Meski kata yang terucap begitu bening mengalir, namun rasa hati tetap bersemu di pipinya.
Nasib menghembuskan nafasnya pelan. Menarik tangan Adina pelan untuk kembali berjalan.
Adina hanya tersenyum tertunduk. Mengikuti langkah Nasib.
Nasib yang akan tersenyum melihat Adina di sampingnya, hampir terkejut.
Jemari Adina tiba-tiba menyentuh pipinya.
"Aku takut Kau melihat...."
Nasib lekas tersenyum lebar mendengar apa yang akan di katakan Adina kepadanya.
"Aku hanya melihatmu Adina! Karena semua yang ada di Bukit, hanya tinggal kenangan." Jelasnya.
Membawa jemari Adina ke bibirnya, seperti ingin menghapus keraguan yang sering Adina ungkapkan padanya. Tentang kenangan dari cinta yang pernah ada mewarnai hatinya di Bukit. Dan kini hanya ada Dirinya yang tengah bersemayam di bukit hatinya.
Nasib melepaskan jemari di bibirnya, menatap wajah Adina dengan rasa sayang.
"Jika Aku melihat ke belakang ... Ak hanya ingin memastikan. Bahwa Aku tidak meninggalkanmu di belakang." Memeluk pinggang Adina dan mengajaknya untuk lebih cepat berjalan.
Adina menatap dalam, dengan berganti merangkul pinggang Nasib juga.
Senyum semu Adina terukir di telaga matanya.
"Mulutmu gombalmu! alasanmu! dasar lelaki!" dengan langkah pelan berbisik geram di telinga Nasib.
Nasib hampir ingin mencium Adina. Rasa gemas seketika muncul setelah mendengar tuduhannya.
"Aku tau, Kau akan mengatakan hal itu!"
"Gombalku! iya hatiku!"
"Apa kau percaya Adinda?" Balasnya.
Adina meneliti wajah Nasib.
"Enggak!" Seru bisiknya gemas.
"Aku pun berharap demikian."
Nasib menempelkan keningnya di kening Adina.
Keduanya saling berpandangan, tertawa perlahan mengusir kerikil jalan dengan langkah cinta yang ada di hati.Menatap Mentari yang memayungi desir lirih suara hati.
Kebersamaan yang lama terjalin selama ini, semakin erat saat hati saling terpaut cinta.
Dan Bukit yang selalu berkabut dan hijau, sepertinya pula selalu menjadi saksi akan jalinan kasih yang Nasib rasakan.
Lembab dan basah dengan air mata yang mengalir di jurang-jurang hati, menyatu dengan embun yang tertidur di dedaunan ranum.
Kasih yang telah berganti, kasih yang kini ada di sampingmya, akankah abadi seperti kabut malam yang selalu menyelimuti? atau kabut sesaat di waktu pagi hari?.
Semua hanya tanda tanya di atas bebatuan koral yang tengah di langkahi. Semua pun tiada mungkin semulus harapan yang di pendam.
Mentari terlihat begitu anggun, tersenyum lebar dengan sinarnya. Memberi warna hangat dari sepasang langkah yang tengah bergandengan pinggang.
Puncak Bukit yang telah terlihat membuat Keduanya mempercepat langkahnya.
Adina segera berlari menyibak ilalang yang menghalangi jalan setapak di depan-nya. Keringat di keningnya kini seakan bagai embun yang akan membasahi di leher dan seluruh tubuh.
Matanya berputar cepat ke sekeliling, bergerilya di antara semak dan ilalang yang menumbuhi Puncak Bukit.
Keringatnya pun telah membasahi lehernya.
Dengan lemas segera mengurut bagian atas dengkulnya seraya berjongkok.
Nasib memegang pelan pundak Adina.
Adina pun langsung memukul berulang-ulang bahu Nasib.
Nasib hanya mengaduh dengan berlari menghindar.
Mungkin kesal bercampur haus yang Adina rasakan. Bagaimana tidak? Sudah sampai di atas Bukit dengan keringat yang wah! lumayan bercucuran di sengatan Mentari. Berharap ada sederet minuman segar, setidaknya air mineral dengan embel - embel makanan ringannya. Berjajar di Meja gubuk nan mungil, harus pupus dalam desik ilalang yang tertiup angin.
Boro-boro! ada minuman. Gubuknya saja seperti tiada nampak bekas berdiri, rusak tercabut topan Manghut, berganti semak dan Alang-alang.
"Ada! Ada!" jerit Adina coba menarik baju Nasib yang berlari.
"Memang ada!" Nasib dengan beronta, tertawa.
"Dulu!Dulu! Adinaaa!" Terangmya lagi. Menahan tawanya melihat wajah Adina yang begitu kesal.
"Dulu? Hausku kini gimana?" Wajah Adina kian berkeringat.
"Di tahaaannn!" Memegang tangan Adina yang akan memukul dadanya, "Beberapa jam lagi beduk,Kau boleh minum sepuasmu." dengan mengusap butir keringat di dahi Adina.
"Kau pikir Aku anak kecil yang tengah puasa setengah hari? Puasa beduk!" seru Adina menepis tangan Nasib.
Nasib mengulum tawanya, membelai lembut Pipi Adina. Seperti ingin menenangkanya lagi. "Sedikit belaianku, apa tak mampu menghilangkan rasa dahagamu Adinda?" tanyanya mesra.
Wajah Adina bersemu, menatap kasih wajah Nasib. "Beda dahaga." Beringsut perlahan menghindari jemari Nasib, berjalan menuju bibir Bukit.
Nasib memperhatikan dengan senyum, dan perlahan mengikutinya.
"Aku tetap haus."
Suara di dekat telinga,saat Nasib telah berdiri di samping Adina, yang tengah menatap jauh di antara dua Gunung yang terlihat kecil berwarna biru.
Sementara angin kian deras bercampur sinar Mentari yang kian menyengat pula.
Nasib melebarkan senyumnya menatap pias wajah yang mulai terlihat tenang.
"Untuk sementara." Memberikan beberapa bungkus Permen di telapak tangan.
"Aku tetap haus." Mengambil sebutir dari tangan Nasib.
Tanpa menghilangkan senyum Nasib terus menatap Adina.
Adina memalingkan wajahnya.
Terkadang Ia merasa malu jika Nasib menatapnya sedemikian rupa. Suka! Tapi malu juga!.
Nasib melebarkan senyumnya dengan menarik pinggang Adina membawanya dalam pelukan.
"Masih haus?."
Saat wajah Adina berada dekat di wajahnya.
Adina mengulum senyumnya, lalu mengeluarkan permen di bibirnya.
Sementara kedua tanganya memegang pipi Nasib.
Sesaat Keduanya saling berpandangan, seperti mengoyak sengat Mentari dengan telaga cinta yang memancar sejuk di relung-relung kalbu.
Adina segera memasukan kembali permen di bibirnya saat Nasib akan menggigitnya, lalu tertawa kecil. Seketika pelukan yang terasa pun kian erat melingkar di pinggangnya.
"Sementara cukup." Adina seperti tiada kuasa bergerak. Mendekatkan lebih dekat wajahnya ke wajah Nasib dengan memegang tanganya.
Nasib merenggangkan pelukanya.
Biru di kejahuan kian samar terkupas oleh sinar Mentari yang kian meninggi.
Kendaraan besar dan kecil sesekali terlihat seperti menembus rimbunya pepohonan yang ada, melintas hilir - mudik di jalan lintas Sumatera, membelah kampung-kampung seperti memagarinya.
Nuansa damai di hati begitu terasa menjalari Keduanya.
Kekasih yang ada di dalam dekapan, adalah hal terindah yang kini mereka rasakan.
Meski telat menikmati indahnya Mentari pagi, namun melihat senyumnya seorang kekasih dalam kedamaian adalah Purnama indah di kala malam yang cerah.
*************
ADINA mengunyah kesal Ubi rambat yang di goreng, yang ada di dalam Rantang plastik. Menatap bara api yang keluar dari Api unggun kecil di depanya. Suara serangga malam dan Burung malam menbuatnya harus melirik ke sekeliling yang gelap.
Tiba-tiba hatinya merasa menyesali akan permintaanya untuk berkemah di atas puncak Bukit, demi melihat terbitnya Mentari.
Desik ilalang baginya kini seperti irama horor yang menyiksa batin untuk bertahan dalam dingin dan gelap.
Jaket tebalnya pun seakan tiada mampu melindungi tubuhnya dari hawa yang membuat bulu kuduk merinding kawat panteng banget! bila menurut Nasib.
"Anteng bener?"
Suara Nasib yang muncul dari kegelapan, membuatnya mesem kesal.
Sorot matanya melihat Nasib bagai ungkapan kesal yang ada di dalam hati, seperti begitu tega meninggalkan-nya walau sesaat demi ranting kering untuk Api Unggun.
Melahap kembali Ubi rambat yang masih tersisa di tanganya.
"Sangking antengnya, sampe panteng banget!" gerutunya tercurah bebas. Setelah melihat senyum lebar Nasib yang berdiri di depanya seperti kegelian yang tertahan melihat keadaanya menahan segala.
Segala derita malam yang angker.
"Mending Aku tersesat di jalan, dari pada harus terpenjara dalam gelap!" ucapnya lagi seperti ingin menyahuti Nasib yang justru tertawa kecil.
Kembali suara Burung malam terdengar. Membuatnya berdiri memeluk Nasib.
Dengan masih tertawa Nasib membelai kepala Adina.
"Nasib, Kita batalin aja rencananya." pelan Adina seperti memohon.
"Tanggung Adina."
"Tanggung?" Menatap wajah Nasib tidak habis pikir.
"Sekarang baru jam delapan malam Nasib,"
"Tanggung itu jika lima menit lagi, atau setengah jam lagi,"
"ini bukan tanggung Nasib, ini manggung! manggung ! Nasib!" Kesalnya melihat Nasib seperti tak ingin menuruti keinginanya.
Matanya pun langsung melirik gelap di mana suara Burung malam kembali terdengar.
Pelukanya pun semakin Ia per-erat.
"Adina iya Adindaku! " Geleng Nasib pelan. senyumnya mengukir malam.
"Kita sudah susah payah repot blepotan keringat membawa perlengkapan kemah, masa harus undur diri?"
"lagian jarang-jarang kita berkemah ngebontot lengkap,"
"Nasi plus mie goreng-mie rebus, serantang gorengan, gula kopi dan teh, belum rantang satunya, lauk pauk dan cemilan,"
"Dan yang enggak kalah penting, ada orang yang bisa kau peluk sesukamu."Jelas Nasib panjang lebar.
Adina langsung melepas pelukannya. Memperhatikan senyum sumringah di matanya.
Nasib yang melihat Adina memperhatikan-nya sedemikan rupa tanpa senyum pula, tanpa binar mata yang senang, hanya sorot mata yang tajam seakan begitu menghujam. langsung terdiam tanpa senyuman.
Namun terkejut, Adina kembali memeluknya lebih erat.
Dera malam yang dingin dan kian hingar dalam juntai bintang-bintang di balik gelombang awan serasa lebur di dalam hangat kasih yang begitu mesra terbawa dalam rasa.
Rasa di mana tempat paling ternyaman saat berdua adalah dalam pelukan dan belaian kekasih.
"Nasib, kini Aku mengerti. mengapa Nada dan Cahaya sering memelukmu," "Aku dapat merasakanya."
Nasib hanya tersenyum heran, bisik Adina yang terdengar seperti menguak angkasa hatinya, akan cinta yang pernah mengisi di dalam hidupnya. Dan telah Ia lupakan.
Nasib memejamkan matanya, membuang dalam gelap bayang wajah-wajah yang sesaat kembali muncul di benaknya. Semua telah lama berlalu, kini cinta yang ada di hati telah bersemayam di hati Adina.
"Seperti sebuah? Entahlah ... Aku merasa damai dalam dekapmu." Adina memejamkan matanya.
Nasib mengusap pelan pipi dari kepala yang rebah di bahunya, merasakan nafas yang mendera di lehernya.
"Adina, tiada keindahan dan kedamain yang Aku miliki. Dan jika Kau merasakan hal itu ... sungguh Aku merasa tersanjung." Dengan terus mengusap pipi Adina.
Derai kasih yang jatuh, kian pekat seiring kabut yang turun. Debar rasa yang terjaring pun kian hangat dalam dekapan di antara Keduanya.
Nasib merapatkan kepalanya di kepala Adina. Membiarkan segala rasa tertumpah.
Desik kini terdengar lirih dan syahdu mengupas semua gelap yang mencekam.
Hanya satu bisik di relung hati, seperti petir yang menguak di kegelapan.
Ia ingin selamanya...
Selamanya bersama Adina, jika waktu tiada memisahkan. Melewati segalanya bersama Adina. Perlahan tanganya membelai punggung Adina, ungkapan dari rasa sayangnya.
"Nasib, Aku haus...."
Suara Adina seperti manja.
Nasib tersenyum lebar.
"Bukanya Kau sudah Aku peluk?" Heranya. lebih erat lagi memeluk Adina
"Sudah cukup." Adina seperti geli sendiri di peluk sedemikan rupa.
"Kebiasaan!" Nasib dengan mengusap-usap kepala Adina.
Keduanya tertawa pelan membongkar pekat dan kelamnya Puncak Bukit.
Mungkin bagi Adina suasana yang begitu menyeramkan dan membuat bulu kuduknya berdiri, sangatlah menguras akal sehatnya di balik gelap - gulitanya Puncak Bukit.
Namun bagi Nasib yang sejak kecil terasuh oleh suasana Bukit merupakan suatu yang biasa di alami, bahkan Ia sering seorang diri hingga terbitnya Mentari di atas Bukit.
"Nasib, Aku heran? Semenjak bersamamu... mengapa Aku selalu haus?" Adina dengan membenamkan kepalanya di dada Nasib.
"Mungkin akan menjadi kebiasaanmu seterusnya." Tanggap Nasib tersenyum lebar.
"Yang Aku heran? mengapa Kau tak lapar?" lanjut Nasib dengan tawa tertahan.
Adina tersenyum di dada Nasib.
Nasib menahan debar di dadanya.
Perlahan Adina mengangkat wajahnya, menatap sayang wajah Nasib. Binar yang terlihat di mata Nasib terasa menyentuh di dalam hatinya.
"Aku belum lapar, mungkin nanti jika Kita memang telah bersama selamanya."
Adina menyentuh pipi Nasib dengan kedua tangan- nya. Seperti ingin di mengerti bahwa Ia begitu menyayangi dan mencintai sepenuh hatinya.
"Aduhhhhh! Enggak kuat nyuapin-nya!" Gelak Nasib. Mendekatkan wajahnya seperti ingin mencium Adina.
Adina melepasakan jemarinya.
"Denger duluuuu!" Dengan manja dan wajah bersemu. Dan memukul kesal dada Nasib.
Nasib memegang tangan Adina, mengusap halus pipi Adina. "Sejak tadi Aku sudah mendengar," ucapnya pelan.
Adina cemberut kecil.
"Aku haus, saat Aku merasa tak damai," "Dan Aku lapar...."
Adina langsung bungkam, kata di bibirnya seakan tertahan saat hangat tiba-tiba menyentuhnya.
Meski sedikit terkejut karena tidak menduga dengan apa yang Nasib lakukan, Ia pun memejamkan Matanya.
Hening, seperti berbisik di telinga. Sedangkan cinta terasa begitu deras mengalir dalam dingin-dingin kabut yang menyelimuti Keduanya. Nasib hanya tersenyum saat Adina membuka matanya.
"Kebiasaan! Apa Kau harus tiba-tiba jika mencium?" tanya Adina langsung. Menatap Nasib dengan rona di pipinya.
"Iya maaf! Kalo orang lapar suka buru-buru cuci tangannya." kilah Nasib dengan senyum lebar.
"Setidaknya Aku bisa mempersiapkan diri," ucap Adina dengan rasa malu hatinya. Merebahkan kepalanya di bahu Nasib, menghindari senyum dan tatapan Nasib kepadanya. Senyumya pun terukir bahagia.
Hangat yang terasa dari sinar Api unggun kecil, cukup mengusir dingin kabut yang semakin pekat.
Suara-suara serangga malam kian senter terdengar di kegelapan.Sesekali juga suara knalpot motor gunung di kejauhan berbaur di telinga.
Tiada seorang pun yang nampak terlihat atau terdengar berada di atas Bukit, karena memang di saat malam hanya ada kabut yang dapat di lihat.
Meski Nasib telah menjelaskan kepada Adina bahwa Ia tidak akan melihat pemandangan yang indah saat malam, namun Adina yang tidak ingin telat lagi untuk melihat Mentari terbit tetap dengan keinginan-nya.
Meski kini Ia pun harus merasakan begitu dingin dan pekatnya kabut yang menghalangi kerlap-kerlip di kejahuan. Seperti yang pernah Ia lihat saat berada di ketinggian di waktu malam di saat bertamasya.
Adina menyentuh hangat bahu Nasib dengan hidungnya. Sungguh, meski angker malam sempat menyiksa batinya, dengan pemadangan yang jauh dari angan bahagianya, yaitu keindahan alam.
Namun begitu, kini ada wajah yang selalu dapat Ia tatap setiap saat, dan Nasib adalah keindahan yang begitu lama Ia pendam.
Sedari pertama mengenalnya saat Nasib masih bersama Nada, hingga kecelakaan yang pernah Ia alami yang membuatnya koma hampir memupuskan harapan hidupnya.
Bertahan dari raga yang sakit untuk berjuang sembuh agar dapat melihat kembali wajah yang berbisik di saat Ia koma. Bisik yang mampu Ia dengar dalam ruang tidak sadarnya. Bisik itu kini kian menjelma dalam setiap dekap yang Ia rasakan.
Kata apa yang mampu Ia ucapkan untuk menyatakan betapa batin terasa bahagia. Hanya rasa syukur akan semua yang telah di lewati di sepanjang kisah di perjalanan hidupnya.
Kini cinta yang selama ini Ia harapkan berbunga dalam jambangan seorang kekasih. Telah tumbuh dalam indah dan harumnya kasih sayang, seperti yang Ia angankan.
Dan jika kini Nasib adalah cinta di dalam hatinya. Sungguh, Ia dapat merasakan arti sebuah cinta yang sebenarnya..
"Adina, kabut semakin tebal Adina," ucap Nasib berbisik pelan dengan merasakan desir angin yang semakin mengusik wajahnya.
Namun Adina hanya terdiam.
"Adina?" Nasib melirik Adina.
Adina hanya membalikan pipinya di dada Nasib seperti tidak mendengar.
Nasib segera melepaskan pelukan Adina, melebarkan bibirnya melihat sikapnya yang berpura-pura tidak mendengarnya. Lalu merangkulnya untuk masuk ke dalam Tenda.
Tenda kemah yang biasa di jual di pinggir- pinggir jalan dengan warna yang sama berwarna putih, cukup menghiasi puncak Bukit yang kelam.
Adina menahan senyum di bibirnya, Ia sangat suka jika Nasib mulai memperlakukannya dengan perhatian.
"Dingin Adinaaaa." Nasib melihat Adina seperti malas untuk masuk ke tendanya.
Adina mengangguk pelan, sesaat menatap wajah Nasib. Menatap rasa dengan rasa indah di dalam hatinya. Lalu tersenyum, masuk kedalam Tendanya.
Nasib menggeleng pelan, lalu segera menutup pintu Tenda, menatap sesaat sebelum akhirmya masuk ke Tendanya yang begitu mepet di tenda Adina.
Membaringkan tubuhnya menghadap ke arah tenda Adina dengan kepala berbantal kedua tangan.
"Nasib."
Nasib tersenyum mendengarnya. Suara Adina terasa tanpa ada sesuatu yang menghalangi. Sedangkan Kain putih tenda menghalangi wajah Keduanya yang jika tanpa penghalang, tentu terlihat tengah saling berhadapan wajah.
"Iya," sahut Nasib menggerakkan kepala seperti berada di atas Bantal kapuknya.
"Dingin."
Suara Adina terdengar kembali.
Nasib tersenyum dengan menghembuskan nafasnya.
"Semakin malam semakin dingin Adina," sahutnya lagi.
"Nasib."
"Aku di dekat mu Adina."
"Dingin."
Nasib melebarkan senyumnya, kini dengan tidur terlentang. Tanganya pun bersedakep.
"Kau kan bawa selimut tebal? kasur kapuk aja kalah tebalnya," ucapnya seperti mengingatkan.
Nasib hampir terbangun, dengan cepat menarik kepalanya ke belakang dengan tersenyum saat kain tenda bergerak.
Sepertinya Adina memukulkan sesuatu.
"Nasib."
Adina kembali memanggil.
Nasib pun kembali berbaring menghadap tenda Adina.
"Iyaaa?" Nasib dengan sisa senyumnya.
"Dinginnnnn!" Adina seperti mengeluh.
"Aku tau Adina, udaranya memang dingin, Lantas Aku harus berbuat apa?" Nasib dengan tatapan seakan ingin menyibak kain tenda di depan wajahnya.
Seketika suasana terasa hening. Hanya angin dan sinar api unggun yang terdengar juga terlihat menari dengan Kabut yang terusik menjauhi hangatnya api unggun.
Nasib mengangkat kepalanya sedikit, suara Adina belum lagi terdengar.
"Nasib."
Nasib merebahkan kembali kepalanya dengan menghembuskan nafas.
"Iya Adina,kenapa?" sahutnya tersenyum. "Apa Kau haus? jangan lapar Adina?"
Nasib kembali menarik kepalanya dari dinding tenda, Adina kembali memukulkan sesuatu ke tendanya. Tertawa kecil, seperti tengah melihat Adina tengah berwajah marah.
Desir Angin di luar membuat tenda bergoyang- goyang karenanya.
Nasib merebahkan kepalanya kembali.
"Adina apa Kau tertidur?" tanyanya pelan.
Tiada sahutan dari Adina.
"Iya udah, selamat malam Adina." Nasib dengan senyum dan memejamkan mata
Meski sebenarnya Ia tidak akan bisa tertidur. Adina akan menjadi penawar rasa kantuknya dalam gelap dan pekatnya kabut, dalam dinginnya Bukit.
Mungkin Ia tidak akan bisa menjaganya seperti Malaikat atau menjadi seperti kekasih yang hebat, namun setidaknya Ia bisa berada dekat diantara nafas yang tengah terlelap. Untuk tetap menjaga dalam mimpi indahnya.
Nasib membuka matanya, melihat putih tenda yang bergerak oleh angin.
Ia tahu Adina belum tertidur, kembali tersenyum dan memejamkan mata.
Dan andai Nasib tahu bahwa Adina tengah tersenyum pula melihat putih tenda yang bergerak, tentunya-lah Ia akan membelai pipi Adina.
Dan jika tanpa tirai yang menghalangi di antara Keduanya.
*****
Wajah Adina berlipat muram menatap persawahan yang tiada berwarna hijau atau menguning saat padi mulai berisi penuh.
Hanya batang-batang padi yang tergenang air dan tumpukan jerami kering di pematangnya. Rambutnya Ia biarkan terurai bebas di terpa angin yang membelai hangat bersama sinar matahari di tiang-tiang kayu Gubuk.
Nafasnya pelan terhembus mengusir debu jalan yang terbang bersama Motor Gunung yang baru saja melewatinya.
Perasaanya begitu terusik.
Bukan karena indahnya Mentari pagi yang terbit yang hanya sesaat. Yang Ia dan Nasib saksikan bersama pagi tadi yang membuat jemarinya dan jemari Nasib menjadi jemari Raya saling menggenggam erat seperti Negara Kesatuan Tercinta.
Namun Wonderful Deprok! Di atas alang-alang itu yang membuatnya hingga saat ini masih merasakan gatal nakal minta di garuk, meski pulang tadi Ia pun langsung mandi.
"Masih gatal?"
Goda Nasib di telinga Adina dengan tawa kecil. Hal itu membuat Adina semakin muram dengan rasa gatalnya.
"Apa enggak ada gunung berapi di sekitar sini?"
Nasib langsung terdiam heran.
Adina melirik.
"Mungkin Aku lebih baik duduk di atas gunung berapi sekalian," ucap Adina seperti menyesali sesuatu.
Nasib terbahak dengan menarik kepala Adina ke lehernya.
Adina meronta kesal.
"Aku menyesal Nasib! Aku menyesal!"
Nasib semakin terbahak dan segera melepaskan Adina, suara motor di kejauhan terdengar mendekati.
Wajah Adina merona, kesal bercampur penyesalan.
Dingin dan seram yang semalam di lewatinya, tidak sebanding dengan rasa gatal yang hinggap, dan sulit untuk di suruh pergi.
"Indahnya hanya sesaat! gatalnya?" "Enggak udah-udah!" gerutunya menatap liar pematang yang gundul tanpa sehelai padi pun.
"iya, di garuk," ucap Nasib mengelus pelan pipi Adina.
"Di garuk?" Bengong Adina menoleh lemas tiang gubuk.
"Pake cangkul!" Kesalnya lagi merasakan gatal di tempat yang bisa di bilang, "malu banget! garuknya!".
Nasib pun semakin geli melihat tingkah Adina, perlahan menarik tangannya untuk di ajak berdiri. "Ibuku bisa membantumu."
Tersenyum kepada Adina yang tengah menahan sesuatu.
Namun Adina seperti enggan untuk berdiri.
"Nasib, Aku malu!" Kesahnya kemudian.
Nasib menoleh Rumahnya, nampak Ibunya tengah berdiri di depan pintu dengan lambaian tangan memanggil.
Adina yang ikut menoleh hanya tersenyum canggung.
"Pilih mana,?" "Ibuku yang mengurus gatalmu?atau Kau sendiri?"
"Tapi Nasib, Aku ...."
"Iya, malu sebagian dari iman." Nasib merangkul Adina untuk berdiri. "Dari pada Kau harus membelakangi cermin untuk mengobati sendiri? kan, susah?" Jelas Nasib geli. Mulutnya langsung menyeringai Adina menarik rambutnya keras.
Terlihat di depan pintu Bu Marimin pun tertawa lantas masuk ke dalam Rumah.
Nasib segera menarik tanganAdina untuk bergegas berjalan. Yang di tarik pun tersenyum kesal.
Terik terasa mulai mendekati di atas kepala, menyengati langkah cepat Keduanya menuju Rumah yang tidak jauh dari Gubuk di pinggir sawah dan jalan.
Hias canda dalam langkah seperti merobek sengat Mentari yang memayungi. Kilau cinta yang kini menerangi hati, terbit sudah menghapus kenangan dan segala kepedihan yang sama-sama mereka rasakan.
Cinta dan kasih layaknya misteri yang sulit untuk di ungkap, seperti langit yang tidak bisa di lihat di kala hari yang cerah.
Bagi Nasib, Adina kini adalah pelabuhan terakhir dari pelayaran kasihnya. Dimana Adina pun sudah cukup lama mengenalnya, membantunya saat masih merantau di Jakarta dan karena itu pula Adina hampir kehilangan hidupnya.
"Adina," panggil Bu Marimin di depan pintu kamar ketika Keduanya memasuki Rumah.
Adina tesenyum malu. Menatap Nasib.
"Mau menanggung gatal sepanjang hari?" Nasib dengan wajah geli melihat gelagat sungkan di wajah Adina.
Adina langsung menarik pipi Nasib disertai cubitan kesal di tangan seraya berlari mendekati Bu Marimin, dan langsung masuk ke dalam kamar.
Nasib mengusap pipi dan perutnya, tersenyum menggelengkan kepala dengan perlahan duduk memperhatikan seisi ruangan.
Tiada yang berubah selama Ia tinggalkan, bahkan kenangan masa lalunya pun masih melekat di dinding-dinding Rumah.
Cepat menoleh, terdengar Ibunya tertawa dari dalam kamar.
Nasib pun tertawa tanpa bersuara, Adina pasti kesal padanya jika mendengar Ia ikut tertawa.
Wajahnya pun memerah menahan tawa."Adina-Adina" ucap di hatinya. Membayangkan wajah Adina di dalam kamar.
Nasib tersenyum, melihat Ibunya yang keluar Kamar dengan wajah penuh senyum dari sesuatu yang lucu yang baru saja di alaminya. langsung duduk di depan-nya.
Di susul Adina keluar dengan wajah bersemu.
Ia pun memperhatikanya dengan rasa geli di hati.
Adina pun menatap dengan tatapan seperti sebuah ancaman.
Namun kali ini Nasib tiada mampu menahan tawanya, terbahak sambil melihat Ibunya.
Bu Marimin terlihat berusaha keras menahan tawanya dengan tangan seolah ingin menepuk pundak Nasib agar tidak tertawa.
"Dari pada pake celana jeans meski pendek, mending pake celana olahraga Retno." Bu Marimin kepada Nasib.
Nasib mengangguk-anggukan kepalanya. Retno adalah Adik angkatnya yang bertubuh pendek dan gemuk.
"Ribet Bu! Ngusapin-nya!"Gelaknya dengan memegang perut yang mulai terasa keram karena tertawa.
Adina yang sudah menduga dengan apa yang akan Nasib lakukan karena melihatnya, mesem mendekatinya. Dan tanpa ampun langsung memukul-mukul pundaknya.
Ibu Marimin yang menyaksikan tiada sanggup lagi membendung tawanya.
"Pantes Adina! Pantes!" Rayu Nasib agar Adina menghentikan pukulanya. "Celana yang Kau pake, memudahkan ibuku mengobatimu." Jelasnya kemudian.
Adina tidak menggubris Nasib, terus saja memukulinya.
Nasib mengaduh dengan tertawa setiap kali tangan Adina memukul pundaknya. Tentu yang membuatnya terpingkal tiada lain karena melihat Adina yang langsing dan lebih tinggi dari Retno, harus menggunkan celana traning olah raga milik Retno.
Kedodoran juga kecingkrangan!.
Nasib menahan gelak tawanya, melihat Ibunya.
"Bu, Nasib curiga? Jangan-jangan? Celana Retno di kasih tali plastik biar enggak terlalu kedodoran?" ucapnya kepada Ibunya.
Adina yang mendengarnya, semakin gencar memukul.
Nasib kembali tertawa dengan memeluk Adina.
Bu Marimin pun langsung ke dapur seperti tidak kuasa lagi dengan tawanya.
Dinding-dinding Rumah seperti kembali menciptakan kenangan dari canda dan tawa yang tiada berbingkai nyata. Namun akan abadi dalam angan setiap kali berada dalam ruangan yang tiada mewah. Hanya berlimpah dengan susah dan sedih akan kehidupan yang pernah di alami.
Adina cemberut berat, menatap penuh kesal dan risih dengan apa yang Ia kenakan.
Nasib pun membelainya sayang.
Adina terdiam tenang.
Bu Marimin yang kembali keruangan dengan sisa senyumnya, menatap senang Adina yang telah tenang dengan menyandarkan kepala di pipi Nasib. Dan belum pun sempat untuk duduk Nasib tiba-tiba tertawa lagi.
Adina langsung menatapnya.
"Aku enggak menertawakanmu," jelas Nasib dengan wajah bersiap menghindar remas geram Adina.
Nasib melihat Ibunya.
"Aku hanya mengingat temanku," ucap Nasib kepada Adina lagi, sebelum remas kesal kembali hinggap di wajahnya. "Andai Dia masih di sini." Nasib memandang Adina.
Adina masih menatap curiga.
Nasib tersenyum. "Menurut mitos yang beredar, bulu kambing gembel bisa untuk mengobati gatal, selain tandukanya," ucapnya menahan tawa.
Bu Marimin yang baru reda tawanya harus kembali tertawa pelan, mendengar ucapan Nasib.
Teman yang Nasib maksud tentulah Lukijo, yang acap kali di tanduk Kambingnya sendiri.
"Enggak ada Nasib! Enggak ada!" Kesal Adina.
"Bulu kambing yang kotor akan menyebabkan iritasi,sedangkan tanduknya akan menyebapkan luka lebam!" Seru gemas Adina tiada lagi tertahan.
Namun belum lagi sempat hasratnya tersalurkan untuk memukul kembali Nasib, sebuah kecupan singgah dulu di pipinya.
Adina terkejut dengan menatap Bu Marimin, yang tersenyum seperti tidak menyangka pula.
"Maaf Bu ... Kebiasaan buruk Nasib kambuh lagi." Adina dengan wajah memerah. Lau melihat Nasib dengan rasa malu di hati.
Nasib hanya mesem menatap Ibunya yang menggelengkan kepala kepadanya.
"Cukup lama enggak pulang."
"Iya nih, Bu! Nakal banget!" Adina sebelum Bu Marimin menuntaskan kalimatnya.
Bu Marimin tertawa kecil.
"Nakal yang masih dapat di maklumi," "Lagian, Aku nakal hanya kepadamu," balas Nasib dan hendak mencium Adina lagi.
"Heeeee! Enggak percaya banget!" Adina beranjak menghindar mendekati Bu Marimin dan langsung merangkulnya seperti anak yang tengah berlindung pada sang Ibu.
Bu Marimin tertawa geli.
Ruang yang hanya berhias dua pasang Kursi dengan Meja kayu tanpa ukiran di atasnya, seakan behias dengan kemilaunya canda yang tercipta.
Kebahagian yang dahulu pernah terukir, seperti kembali terulang. Dimana rasa marah, ceria, manja,tawa, canda,cinta dan kasih sayang pernah lagi mewarnai di atas Meja seperti taplak meja yang berajut indah.
Bagi Bu Marimin, menatap senyum-senyum suka di wajah yang ber-asa bersatu dengan canda yang penuh kasih, seperti membelai gelapnya awang -awang Rumah yang bergelaga hitam bekas asap kayu masa yang lalu dengan rasa suka.
Terasa begitu bahagia.
Terasa semua seperti yang dahulu pernah di rasakan-nya.
Bu Marimin senyum-senyum kepada Nasib.
******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!