3.Wonderful Deprok.

Wajah Adina berlipat muram menatap persawahan yang tiada berwarna hijau atau menguning saat padi mulai berisi penuh.

Hanya batang-batang padi yang tergenang air dan tumpukan jerami kering di pematangnya. Rambutnya Ia biarkan terurai bebas di terpa angin yang membelai hangat bersama sinar matahari di tiang-tiang kayu Gubuk.

Nafasnya pelan terhembus mengusir debu jalan yang terbang bersama Motor Gunung yang baru saja melewatinya.

Perasaanya begitu terusik.

Bukan karena indahnya Mentari pagi yang terbit yang hanya sesaat. Yang Ia dan Nasib saksikan bersama pagi tadi yang membuat jemarinya dan jemari Nasib menjadi jemari Raya saling menggenggam erat seperti Negara Kesatuan Tercinta.

Namun Wonderful Deprok! Di atas alang-alang itu yang membuatnya hingga saat ini masih merasakan gatal nakal minta di garuk, meski pulang tadi Ia pun langsung mandi.

"Masih gatal?"

Goda Nasib di telinga Adina dengan tawa kecil. Hal itu membuat Adina semakin muram dengan rasa gatalnya.

"Apa enggak ada gunung berapi di sekitar sini?"

Nasib langsung terdiam heran.

Adina melirik.

"Mungkin Aku lebih baik duduk di atas gunung berapi sekalian," ucap Adina seperti menyesali sesuatu.

Nasib terbahak dengan menarik kepala Adina ke lehernya.

Adina meronta kesal.

"Aku menyesal Nasib! Aku menyesal!"

Nasib semakin terbahak dan segera melepaskan Adina, suara motor di kejauhan terdengar mendekati.

Wajah Adina merona, kesal bercampur penyesalan.

Dingin dan seram yang semalam di lewatinya, tidak sebanding dengan rasa gatal yang hinggap, dan sulit untuk di suruh pergi.

"Indahnya hanya sesaat! gatalnya?" "Enggak udah-udah!" gerutunya menatap liar pematang yang gundul tanpa sehelai padi pun.

"iya, di garuk," ucap Nasib mengelus pelan pipi Adina.

"Di garuk?" Bengong Adina menoleh lemas tiang gubuk.

"Pake cangkul!" Kesalnya lagi merasakan gatal di tempat yang bisa di bilang, "malu banget! garuknya!".

Nasib pun semakin geli melihat tingkah Adina, perlahan menarik tangannya untuk di ajak berdiri. "Ibuku bisa membantumu."

Tersenyum kepada Adina yang tengah menahan sesuatu.

Namun Adina seperti enggan untuk berdiri.

"Nasib, Aku malu!" Kesahnya kemudian.

Nasib menoleh Rumahnya, nampak Ibunya tengah berdiri di depan pintu dengan lambaian tangan memanggil.

Adina yang ikut menoleh hanya tersenyum canggung.

"Pilih mana,?" "Ibuku yang mengurus gatalmu?atau Kau sendiri?"

"Tapi Nasib, Aku ...."

"Iya, malu sebagian dari iman." Nasib merangkul Adina untuk berdiri. "Dari pada Kau harus membelakangi cermin untuk mengobati sendiri? kan, susah?" Jelas Nasib geli. Mulutnya langsung menyeringai Adina menarik rambutnya keras.

Terlihat di depan pintu Bu Marimin pun tertawa lantas masuk ke dalam Rumah.

Nasib segera menarik tanganAdina untuk bergegas berjalan. Yang di tarik pun tersenyum kesal.

Terik terasa mulai mendekati di atas kepala, menyengati langkah cepat Keduanya menuju Rumah yang tidak jauh dari Gubuk di pinggir sawah dan jalan.

Hias canda dalam langkah seperti merobek sengat Mentari yang memayungi. Kilau cinta yang kini menerangi hati, terbit sudah menghapus kenangan dan segala kepedihan yang sama-sama mereka rasakan.

Cinta dan kasih layaknya misteri yang sulit untuk di ungkap, seperti langit yang tidak bisa di lihat di kala hari yang cerah.

Bagi Nasib, Adina kini adalah pelabuhan terakhir dari pelayaran kasihnya. Dimana Adina pun sudah cukup lama mengenalnya, membantunya saat masih merantau di Jakarta dan karena itu pula Adina hampir kehilangan hidupnya.

"Adina," panggil Bu Marimin di depan pintu kamar ketika Keduanya memasuki Rumah.

Adina tesenyum malu. Menatap Nasib.

"Mau menanggung gatal sepanjang hari?" Nasib dengan wajah geli melihat gelagat sungkan di wajah Adina.

Adina langsung menarik pipi Nasib disertai cubitan kesal di tangan seraya berlari mendekati Bu Marimin, dan langsung masuk ke dalam kamar.

Nasib mengusap pipi dan perutnya, tersenyum menggelengkan kepala dengan perlahan duduk memperhatikan seisi ruangan.

Tiada yang berubah selama Ia tinggalkan, bahkan kenangan masa lalunya pun masih melekat di dinding-dinding Rumah.

Cepat menoleh, terdengar Ibunya tertawa dari dalam kamar.

Nasib pun tertawa tanpa bersuara, Adina pasti kesal padanya jika mendengar Ia ikut tertawa.

Wajahnya pun memerah menahan tawa."Adina-Adina" ucap di hatinya. Membayangkan wajah Adina di dalam kamar.

Nasib tersenyum, melihat Ibunya yang keluar Kamar dengan wajah penuh senyum dari sesuatu yang lucu yang baru saja di alaminya. langsung duduk di depan-nya.

Di susul Adina keluar dengan wajah bersemu.

Ia pun memperhatikanya dengan rasa geli di hati.

Adina pun menatap dengan tatapan seperti sebuah ancaman.

Namun kali ini Nasib tiada mampu menahan tawanya, terbahak sambil melihat Ibunya.

Bu Marimin terlihat berusaha keras menahan tawanya dengan tangan seolah ingin menepuk pundak Nasib agar tidak tertawa.

"Dari pada pake celana jeans meski pendek, mending pake celana olahraga Retno." Bu Marimin kepada Nasib.

Nasib mengangguk-anggukan kepalanya. Retno adalah Adik angkatnya yang bertubuh pendek dan gemuk.

"Ribet Bu! Ngusapin-nya!"Gelaknya dengan memegang perut yang mulai terasa keram karena tertawa.

Adina yang sudah menduga dengan apa yang akan Nasib lakukan karena melihatnya, mesem mendekatinya. Dan tanpa ampun langsung memukul-mukul pundaknya.

Ibu Marimin yang menyaksikan tiada sanggup lagi membendung tawanya.

"Pantes Adina! Pantes!" Rayu Nasib agar Adina menghentikan pukulanya. "Celana yang Kau pake, memudahkan ibuku mengobatimu." Jelasnya kemudian.

Adina tidak menggubris Nasib, terus saja memukulinya.

Nasib mengaduh dengan tertawa setiap kali tangan Adina memukul pundaknya. Tentu yang membuatnya terpingkal tiada lain karena melihat Adina yang langsing dan lebih tinggi dari Retno, harus menggunkan celana traning olah raga milik Retno.

Kedodoran juga kecingkrangan!.

Nasib menahan gelak tawanya, melihat Ibunya.

"Bu, Nasib curiga? Jangan-jangan? Celana Retno di kasih tali plastik biar enggak terlalu kedodoran?" ucapnya kepada Ibunya.

Adina yang mendengarnya, semakin gencar memukul.

Nasib kembali tertawa dengan memeluk Adina.

Bu Marimin pun langsung ke dapur seperti tidak kuasa lagi dengan tawanya.

Dinding-dinding Rumah seperti kembali menciptakan kenangan dari canda dan tawa yang tiada berbingkai nyata. Namun akan abadi dalam angan setiap kali berada dalam ruangan yang tiada mewah. Hanya berlimpah dengan susah dan sedih akan kehidupan yang pernah di alami.

Adina cemberut berat, menatap penuh kesal dan risih dengan apa yang Ia kenakan.

Nasib pun membelainya sayang.

Adina terdiam tenang.

Bu Marimin yang kembali keruangan dengan sisa senyumnya, menatap senang Adina yang telah tenang dengan menyandarkan kepala di pipi Nasib. Dan belum pun sempat untuk duduk Nasib tiba-tiba tertawa lagi.

Adina langsung menatapnya.

"Aku enggak menertawakanmu," jelas Nasib dengan wajah bersiap menghindar remas geram Adina.

Nasib melihat Ibunya.

"Aku hanya mengingat temanku," ucap Nasib kepada Adina lagi, sebelum remas kesal kembali hinggap di wajahnya. "Andai Dia masih di sini." Nasib memandang Adina.

Adina masih menatap curiga.

Nasib tersenyum. "Menurut mitos yang beredar, bulu kambing gembel bisa untuk mengobati gatal, selain tandukanya," ucapnya menahan tawa.

Bu Marimin yang baru reda tawanya harus kembali tertawa pelan, mendengar ucapan Nasib.

Teman yang Nasib maksud tentulah Lukijo, yang acap kali di tanduk Kambingnya sendiri.

"Enggak ada Nasib! Enggak ada!" Kesal Adina.

"Bulu kambing yang kotor akan menyebabkan iritasi,sedangkan tanduknya akan menyebapkan luka lebam!" Seru gemas Adina tiada lagi tertahan.

Namun belum lagi sempat hasratnya tersalurkan untuk memukul kembali Nasib, sebuah kecupan singgah dulu di pipinya.

Adina terkejut dengan menatap Bu Marimin, yang tersenyum seperti tidak menyangka pula.

"Maaf Bu ... Kebiasaan buruk Nasib kambuh lagi." Adina dengan wajah memerah. Lau melihat Nasib dengan rasa malu di hati.

Nasib hanya mesem menatap Ibunya yang menggelengkan kepala kepadanya.

"Cukup lama enggak pulang."

"Iya nih, Bu! Nakal banget!" Adina sebelum Bu Marimin menuntaskan kalimatnya.

Bu Marimin tertawa kecil.

"Nakal yang masih dapat di maklumi," "Lagian, Aku nakal hanya kepadamu," balas Nasib dan hendak mencium Adina lagi.

"Heeeee! Enggak percaya banget!" Adina beranjak menghindar mendekati Bu Marimin dan langsung merangkulnya seperti anak yang tengah berlindung pada sang Ibu.

Bu Marimin tertawa geli.

Ruang yang hanya berhias dua pasang Kursi dengan Meja kayu tanpa ukiran di atasnya, seakan behias dengan kemilaunya canda yang tercipta.

Kebahagian yang dahulu pernah terukir, seperti kembali terulang. Dimana rasa marah, ceria, manja,tawa, canda,cinta dan kasih sayang pernah lagi mewarnai di atas Meja seperti taplak meja yang berajut indah.

Bagi Bu Marimin, menatap senyum-senyum suka di wajah yang ber-asa bersatu dengan canda yang penuh kasih, seperti membelai gelapnya awang -awang Rumah yang bergelaga hitam bekas asap kayu masa yang lalu dengan rasa suka.

Terasa begitu bahagia.

Terasa semua seperti yang dahulu pernah di rasakan-nya.

Bu Marimin senyum-senyum kepada Nasib.

******

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!