ADINA. Nasib menghela nafasnya begitu pelan. Nama yang tertera di layar HP-nya baru saja Ia sentuh.
Rasanya baru saja Adina berpamitan padanya dan Ibunya untuk kembali pulang terlebih dahulu. Namun mengapa terasa masih ada di sisinya.
Perlahan melihat ke luar Jendela Rumah. Kepulangan Adina karena Ia tidak tega melihatnya sakit dan memaksakan diri untuk tinggal di Rumahnya.
Mandi dengan kondisi kamar mandi yang berbata merah, itu pun bercampur lumut-lumut hijau yang menumbuhi. Belum lagi tanpa atap dan berpintu papan yang telah keropos di bagian bawahnya.
Adina pun harus di temani Ibunya jika malam ketika akan buang air atau sebagainya, karena kondisinya yang gelap di belakang Rumah.
Cuaca yang dingin di kala malampun tidak terlalu baik untuk tubuh Adina meski berada di dalam Rumah, mengingat Atap rumah yang tidak berplafon. Sehingga udara masih dapat masuk ke dalam.
Memang beberapa hari lagi Retno dan Mukio suaminya, akan pulang untuk tinggal bersama Ibunya. Ia pun tengah menunggu mereka. Hal Itu juga yang menjadi alasannya dan Adina untuk sedikit lama tinggal di Bukit.
Agar bisa menjumpai mereka sebelum meninggalkan Bukit. Sekaligus mengenalkan Adina kepada Adik dan Adik iparnya yang sudah cukup lama tidak bertemu.
Namun sepertinya Ia tidak perlu memaksakan Adina untuk bertahan beberapa hari lagi, meski di hati Ia ingin agar Adina bisa mengenal keluarganya dan tetap bersamanya hingga kembali pulang.
Namun kondisi Adina terlihat semakin sakit.
"Nasib, pakaian Adina sudah Ibu masukkan kedalam tas."
Nasib hampir terkejut. Tersenyum mengangguk
melihat Ibunya yang baru keluar dari kamar.
"Iya Bu, Nasib akan membawanya jika pulang," sahutnya pelan.
Ia segera berdiri, melangkah ke arah kamar di mana Ibunya masih lagi berdiri di depan pintu.
Bu Marimin hanya tersenyum saat Nasib melewatinya untuk masuk ke dalam kamar.
Nasib menatap seisi ruangan.
Amben dengan Kasur kapuk yang keras di mana Adina tidur, yang kini hanya ada Tasnya saja di atasnya.
Perlahan mendekati Amben , lalu duduk di sisinya dengan menyentuh Tas koper beroda berisi pakaian Adina yang telah Ibunya bersihkan.
Wajahnya menoleh sinar yang masuk dari jendela, lembut terasa seperti urai rambut Adina ketika Ia membelainya.
"Nasib."
Nasib menoleh pelan.
Bu Marimin tersenyum mendekatinya.
"Mungkin kali ini Adina tidur di kasur yang keras." jelas Nasib melihat Ibunya.
Bu Marimin tertawa kecil memukul pundak Nasib dengan duduk di sampingnya.
"Adina-adina." Bu Marimin menghela nafasnya.
"Baru aja beberapa hari tinggal, sudah sakit," ucapnya lagi. Tersenyum.
"Kalo ke kamar kecil minta di temenin, takut ada yang ngintip katanya." Bu Marimin seperti mengingat Adina.
Nasib tertunduk, tertawa pelan.
Desir angin terdengar dalam rimbun dedaunan di luar jendela.
Keduanya terdiam dalam senyum yang menghiasi bibir, seperti mengingat-ingat kembali sosok Adina yang baru pergi meninggalkan jejak dalam dinding bata merah meski hanya sesaat.
Sisa tawa yang masih membekas dalam relung-relung angan kian hingar dalam rindu yang mulai tercipta, baru saja berlalu wajah sayang, gemuruh di hati merasa begitu kehilangan.
Nasib mengangkat wajahnya menatap lagi luar jendela mengusir gemuruh hatinya, selalu saja saat Adina jauh Ia selalu memikirkannya.
"Baru pergi?"
Nasib kembali tertunduk tersenyum kecil. sepertinya Ibunya mengetahui apa yang Ia rasakan.
"Bukannya Kau akan segera menyusulnya?" Bu Marimin mendekati jendela.
Nasib memperhatikan-nya.
"Bu...."
Bu Marimin membalikan tubuhnya menatap Nasib.
"Sempurnakan harapan Nasib dengan Doa Ibu."
Nasib menatap Ibunya.
"Selalu Nasib." Senyum Bu Marimin mengembang. "Semoga Kau pun mampu menjaganya, memilikinya untuk menyayanginya, mengasihi dalam cintamu hingga akhir usiamu," ucapnya kemudian.
"Terimakasih Bu." Nasib melebarkan senyumnya.
Terkadang rasa haru menyeruak dalam di dadanya mengingat wanita yang tengah berdiri di depanya, begitu kuat raga dan hatinya untuk membesarkan Dirinya.
Begitu besar kasih sayangnya terhadap anak yang bukan darah dagingnya sendiri, meski hidupnya bergelimang kesusahan. Tiada surut bibirnya memohon dan berusaha agar anak-anak yang dirawatnya menemukan kebahagiannya.
"Nasib, Adina berkata pada Ibu sebelum Ia pamit." Bu Marimin mendekati Nasib kembali.
Nasib menatap terharu.
"Apa itu Bu?" tanyanya pelan.
Bu Marimin tersenyum lebar.
"Adina berkata, Bu ... Jika Adina dan Nasib telah bersama nantinya, bukan berarti Kami akan hidup bahagia selama - lamanya dan lepas dari susah dan derita,"
"Karena Kami akan mengarungi samudera yang luas lagi, dan samudera yang luas tentunya memiliki banyak rintangan lagi baik di dalam maupun di luarnya." Bu Marimin menghela nafasnya menatap Nasib.
"Tapi cinta yang ada, akan menguatkan di saat susah. Akan membahagian dikala suka, karena cinta tentang hati." Bu Marimin meneruskan ucapnya.
Nasib terdiam mendengarkan.
Bu Marimin memegang oundak Nasib. Bibirnya mulai bergetar.
"Adina hanya ingin cinta ini seperti cinta ibu kepada Nasib," ucapnya meneruskan. Matanya mulai sedikit berkaca-kaca, mengingat kembali apa yang Adina utarakan kepadanya.
Nasib seperti mematung menatap rinai yang seakan jatuh di relung hatinya, begitu menusuk sakit, namun sejuk damai merambati saat wajah Adina kembali membayang di pelupuk mata, debar di dada pun kembali terdengar bersama asa." Bahwa cinta ini pun, akan seperti seorang anak kepada Ibunya."
Nasib merebahkan kepalanya di bahu Ibunya. Mencari damai seperti yang dahulu pernah Ia rasakan, saat jiwa dan hatinya merasa tidak tenang.
Belai yang kini mulai terasa di kepalanya, bagai angin yang mengalir sejuk menerbangkan debu-debu kehidupan, agar sejenak bersih dari rasa yang menghimpit di hati.
"Nasib, Ibu tidak bisa mengabulkan keinginan mu dan Adina,"
Bu Marimin masih membelai Nasib.
"Rumah ini tidak bisa Ibu tinggalkan."
Nasib mengangguk pelan di bahu Bu Marimin
"Sebenarnya juga Retno dan Mukio tak perlu menemani Ibu," ucap Bu Marimin kemudian.
Nasib mengangkat kepalanya, menatap wajah Ibunya.
"Ibu harus ada yang menemani Bu, biarkan mereka tinggal di rumah ini lagi," lirih pintanya.
"Jika Ibu enggak bisa tinggal bersama Nasib," lanjutnya dengan memegang jemari Ibunya.
"Biar Ibu enggak kesepian lagi Bu,"
"Apa yang bisa kami lakukan lagi? karena kami sampai kapan pun tidak akan bisa membalas kasihmu Bu." Nasib menundukan wajahnya kembali seperti tiada kuasa melihat Ibunya yang sering Ia tinggalkan sendiri.
Bu Marimin tersenyum haru.
"Melihat kalian ... Melihat kalian menemukan kebahagian, hati ibu sangat senang Nasib. hanya itu yang ibu pinta selama ini,"
"Ibu sudah tua Nasib,"
"lambat laun lagi ibu enggak bisa merasakan tidur di kasur yang empuk jika kalian membelikan,"
"Ibu enggak bisa merasakan lezatnya makanan yang kalian belikan seperti saat ibu masih muda,"
"Ibu enggak bisa menikmati megahnya rumah jika kalian membuatkan,"
"Ibu hanya bisa duduk di pembaringan atau tertidur di kursi roda,"
"Lagian anak-anak ibu enggak ada yang kaya."
Nasib tersenyum haru mendengarkan, kembali merebahkan kepalanya.
"Jadi Ibu pun enggak minta itu semua, ibu hanya minta bisa melihat kebahagian kalian," Bu Marimin membelai Nasib lagi.
"Maafkan Nasib Bu, tiada mampu memberikan apa - apa kepada Ibu." Nasib mengusap linang di pipinya.
"Nasib-nasib, Kau, Retno dan Mukio adalah permata dalam hidup Ibu." Bu Marimin memeluk erat Nasib.
"Dan Ibu adalah harta yang paling berharga yang Kami miliki di dunia ini," tanggap Nasib dengan senyum haru.
Belai di kepalanya pun, terasa seperti belai masa kecilnya. Dimana Ia akan terpejam dalam rasa tenang dan damai yang akan membuatnya tertidur, meski sinar Mentari menyengat pelan di pipi dari luar jendela.
Namun seperti tiada terasa, karena belai seorang ibu adalah peneduh hati bagi anak-anaknya.
Kasih yang tiada akan pernah dapat di balas sampai kapan pun.
Kasih dengan ketulusan sebenarnya.
Kasih yang abadi, melebihi Kabut yang menyelimuti Bukit sepanjang malam.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments