Dia Bukan Yang Terbaik
Dia Bukan Yang Terbaik
Laki-laki Yang Disebut Bapak
Pandangan mata anak perempuan berambut sebahu itu nanar, tertuju pada mobil truk yang terparkir di halaman rumahnya. Rasa takut selalu muncul setiap kali dia melihatnya, sebab menandakan kepulangan bapak, sosok lelaki yang berprofesi sebagai sopir truk dan, tidak pernah dekat dengannya.
Adanya bapak di rumah, walaupun hanya datang sekali dalam satu pekan, tapi tidak menyenangkan baginya. Bagaimana akan senang, bila setiap kali pria itu ada, maka setiap kali itu pula dia harus menerima kekasaran sikapnya.
Dia pikir bapak tidak pernah menyayanginya karena selalu menyebutnya anak haram. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan dirinya dikatakan demikian. Otak kecilnya masih terlalu dini untuk mencerna kata-kata haram yang bapaknya sematkan.
Winsi Nasriya, anak kelas enam sekolah dasar negeri, berkulit kuning langsat, matanya bulat berbulu lentik hidungnya kecil dan bibir agak tebal mengimbangi dagunya yang lancip. Tubuhnya kurus tapi tinggi badan melebiihi anak-anak seusianya. Dia baru saja pulang sekolah bersama Meri, teman sekelas juga tetangga yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. mereka selalu bersama saat berangkat dan pulang sekolah.
"Tuh, Win. Ayahmu pulang,” kata Meri sambil menyenggol bahu Winsi yang membuat anak itu menoleh gugup sambil tersenyum masam.
“Dia bukan Ayah, tapi Bapak,” jawab Winsi dengan keluguan anak kecil pada umumnya.
“Kan, Ayah atau Bapak, sama saja.”
“Ya, menurut kamu begitu, tapi aku tidak.” Winsi menukas ucapan Meri, tanpa rasa bersalah.
Sebuah dilema bagi gadis kecil itu ketika, hanya dirinya dan dua anak lainnya yang memanggil ayah mereka, dengan sebutan bapak dan semua bapak dari anak-anak itu, galak. Teman-teman yang lainnya kebanyakan memanggil ayah, ada juga yang memanggil abah, papa, papi atau Abi. Ini sebuah ironi baginya hingga dia memiliki penilaian demikian.
Bagi Winsi, sebutan ayah hanya untuk laki-laki yang tidak suka memukul, seperti ayahnya Meri, dia baik dan sering menjemput mereka saat turun hujan pas pulang sekolah, juga pernah mencari dan menjemput sahabatnya pulang karena bermain terlalu lama. Bahkan dia sering melihat teman sebangkunya itu digendong saat mereka berpapasan di jalan sepulang sekolah. Akan tetapi bapaknya tidak, pria itu suka memukul dengan ikat pinggang atau tangannya sendiri, menendangnya sampai tubuhnya terpental, atau menampar wajahnya kalau dia berani melawan.
Winsi juga ingat Erlan, laki-laki kaya yang tinggal di rumah besar di ujung jalan juga, memanggil salah satu orang tuanya dengan sebutan Ayah. Dia pria yang sering membukakan pintu mobil untuk Erlan, dan mengusap kepala anak kecil itu dengan tangannya, bahkan beberapa kali anak gadis itu melihatnya membungkuk hormat pada anak lelaki yang bertubuh gempal.
‘Alangkah enaknya punya Ayah yang selalu menunduk hormat pada anaknya seperti itu’ batin Winsi. Akan tetapi bapaknya tidak, dia suka sekali membentak dan menjambak rambutnya, apalagi kalau tidak ada ibu di rumah, maka lelaki itu akan senang sekali menyakiti dan membuatnya menangis.
“Ya, sudah sana kamu masuk,” kata Meri lagi sambil mendorong teman di sebelahnya yang terlihat diam mematung menahan rasa takutnya, anak perempuan berambut panjang yang selalu dikepang itu tertawa kecil dan melanjutkan ucapannya, “pasti ayahmu bawa oleh-oleh, tuh!”
‘Ah, seandainya saja Bapak kalau pulang bawa oleh-oleh’ batin Winsi. Dia menanggapi candaan Meri dengan malas, tepi dia tetap tersenyum.
“Tapi, Bapak nggak pernah bawa oleh-oleh.”
“Kamu bohong, kan? Ayahku selalu bawa kalo pulang dari kota.”
‘Aku gak bohong'
Runa--Ibunya selalu melarang mengatakan semua kelakuan bapak kepada orang lain. Perempuan yang bertubuh kurus sama dengan anaknya itu selalu mengatakan, bila sifat bapaknya adalah aib yang harus ditutup rapat, sebab kalau kita menutupi aib orang lain, maka Allah akan menutup dosa-dosa kita nanti. Apalagi sangat memalukan kalau saja ada orang tahu bahwa bapak yang dikenal ramah dilingkungan itu ternyata seoarang pemarah dan kasar pada anaknya sendiri.
Sebenarnya Winsi tidak tahan dan ingin sekali mengadukan kelakuan bapak pada orang lain dan ingin laki-laki itu dipukul juga, biar tahu rasanya seperti apa.
‘Dipukul itu sakit, Pak!’ kata Winsi dalam hati.
Akan tetapi dia anak yang penurut, kasih sayang Runa—ibunya yang berkulit serta mata sama dengannya itu, selalu mencurahkan kasih sayang yang cukup, sehingga dia mampu menahan dan tidak mengatakan kejahatan bapak pada siapa pun.
Benar saja, saat Winsi masuk rumah, dia melihat Basri—bapaknya, pria berkulit coklat dan berambut keriting itu, tengah membentak ibunya tanpa dia tahu mengapa bapaknya bersikap begitu. Dia bersembunyi di sisi tembok antara ruang tamu dan ruang tengah rumah sederhananya. Sambil terus melihat apalagi yang akan dilakukan pria itu kali ini.
Tubuh Winsi sudah dipenuhi keringat, jantung berdebar hebat menyaksikan ibunya diperlakukan demikian oleh ayahnya sendiri. Mata bening itu hampir penuh oleh air, bahkan telapak tangannya sudah basah karena rasa ketakutan yang menyelinap hingga ke ujung jari dan ubun-ubunnya, mendengar suara menggelegar dari mulut bapak, saat berkata-kata.
“Kamu pikir, uang dari mana sebanyak itu buat anak harammu? Hah!” Nada suara Basri ketus dan melotot pada Runa. “kamu ini mana tahu, cari uang itu susah! Kamu seharusnya bersyukur aku mau merawat anak itu, mau nerima kamu di sini, coba kalau tidak, kamu sama anak haram itu sudah jadi gembel di luar sana!”
Sementara badan Runa terhuyung sedikit kebelakang saat kepalanya di dorong kuat oleh Basri dengan jari-jari tangannya berulang kali. Wanita itu diam, membenarkan ucapan suaminya tentang dirinya yang waktu itu, dia hidup sebatang kara di kota dan tidak mempunyai apa-apa, kalau bukan karena Basri yang menikahinya, dia mungkin telah menjadi pengemis di jalanan.
Saat Basri pulang tadi, dia meminta sejumlah uang dengan alasan, bila tidak lama lagi akan ada kunjungan wisata di sekolah Winsi dan itu memerlukan biaya, sedangkan ucapan suaminya yang mengatakan bahwa anak perempuan itu adalah anak haram, dia sudah bosan menjelaskan berulang kali bahwa tidak ada yang salah dengan anak kandung dari darah dagingnya sendiri. Setiap kali dia membantah, maka pria bertubuh tambun itu akan menampar, memukul atau menendang tubuh kurus Runa, sebanyak yang dia mau.
“Bilang sama anak harammu itu, nggak usah ikut wisata-wisata segala, percuma juga kalau anak perempuan, sekolah mah sekolah saja!” kata Basri dengan berapi-api.
“Kasian, Pak. Masa anak lain ikut dia enggak, kita juga jarang ngajak dia jalan-jalan.” Runa akhirnya menjawab dengan suara bergetar dan rendah, takut menambah amarah Basri bertambah.
Brakk! Suara meja makan dipukul kuat oleh Basri dengan tangannya yang terkepal.
“Kamu bilang salahku nggak pernah ngajak dia jalan-jalan? Minta sama bapak aslinya, si Anas itu! Kok malah minta sama aku?”
“Pak, Winsi itu anakmu, bukan anak Anas!” Runa meninggikan suaranya. Selama ini, saat mereka bertengkar, tidak pernah sekalipun Basri menyebut nama dari laki-laki yang dia curigai sebagai ayah kandung Winsi, pria itu jijik mengatakannya, tapi sekarang, dia menyebut nama lelaki itu dengan jelas, membuat Runa naik pitam.
Runa khawatir Winsi mendengar ucapan Basri, yang tengah marah kepadanya, sebab sekarang waktunya anak itu pulang sekolah. Dia tidak ingin anaknya tahu soal nama laki-laki yang disebutkan suaminya tadi.
Sementara di balik tembok pembatas ruangan, Winsi berulang kali menghapus air matanya yang mengalir deras. Tidak berani menampakkkan diri karena takut menjadi pelampiasan kemarahan selanjutnya. Dia tahu sekarang penyebab dari kemarahan bapaknya, yaitu karena biaya perjalanan pariwisata sekolahnya. Hatinya bergemuruh lebih keras demi mendengar ucapan Basri saat menyebutkan nama seorang laki-laki yang kemungkinan adalah ayahnya.
Sering dia bertanya pada Runa tentang bapaknya yang selalu menyebutnya anak haram, tetapi Runa dengan tegas mengatakan bahwa dirnya bukan orang lain kecuali Basri—ayahnya. Kalau saja dia biasa memilih, maka dia akan memilih Anas atau, pria lain sebagai ayahnya, mungkin saja pria itu lebih baik dan akan menyayanginya, tidak seperti bapaknya.
‘Siapa Anas, benarkah dia ayahku yang sebenarnya? Mungkin dia tidak seperti bapak!’ batin Winsi sambil menyeka air mata di pipinya.
Bersambung
Jangan lupa like, komen give dan vote
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
𝐙⃝🦜🍌 ᷢ ͩ𝐏𝐞𝐭𝐫𝐮𝐬
ya ampun
2022-08-15
8
Nona Angel™©🍼🍼
Aku mampir ya
Menarik ini cerita nya
Wehh penyiksaan anak
Semangat ya Thor
2022-08-01
7
Simply Yunita
semangat kak... aku ninggalin sandal ya 👣👣👣
Sekalian titip numpang beken dua anak kesayanganku ya kak...
DEBURAN GAIRAH SANG SEGARA
MUARA HASRAT BARUNA
2022-08-01
8