Hanya Sebatas Kenangan
“Iya, Den.” Anas menghentikan langkahnya dan menunduk hormat pada Erlan, tapi kilatan matanya menatap Winsi sekilas, lalu tersenyum ramah.
Sementara mobil Van yang membawa Badru serta Arkan, sudah keluar dari pekarangan menuju jalanan ke arah rumah sakit daerah di kota.
Erlan menoleh ke belakang dan membuka kaca helmnya. Lalu, dia berkata, “Ini, Mang Anas yang aku bilang, dia orang yang kamu cari bukan?”
Winsi menatap Anas, dengan pandangan penuh tanya untuk menjawab segala rasa penasaran akibat perkataan Basri. Dia sangat membutuhkan kejelasan tentang jati diri anak haram yang sering disebutkan bapaknya. Kebenaran tentang siapa ayah kandungnya, agar dia bisa mendapatkan kasih sayang atau uang yang banyak untuk membayar wisata sekolahnya. Akan tetapi, dia tidak tahu harus bertanya apa pada Anas untuk memastika bahwa dia anaknya atau bukan.
Pria itu pun tersenyum dan menjulurkan tangan untuk mengusap rambut Winsi, sambil berkata, “Kamu anak Mbak Runa, kan?” Winsi yang ditanya seperti itu pun mengangguk. “Kok bisa ada di sini? Pacaran ya, sama Den Erlan?” kata pria itu terkesan hangat. Dia tersenyum lucu dan mengedipkan mata.
Anas dan Erlan memang dekat walau, hubungan mereka hanya antara majikan dan pembantu atau lebih tepatnya tukang kebun. Akan tetapi, majikan kecil itu banyak bertanya tentang tanaman juga binatang peliharaannya yang terdiri dari beberapa satwa langka, semua di rawat dengan baik oleh Anas, di kebun belakang rumahnya.
“Enak saja ... tahu gak Mang, dia tadi nyelonong masuk mobilku.”
“Wah, kok bisa, Den. Nggak sopan si Neng, teh?”
“Eh, nggak apa Mang, soalnya nggak sengaja. Nanti deh, aku cerita kalau pulang.”
“Den Erlan mau ke mana? Jangan lama-lama ya, nanti Ismi nangis lagi loh, Den!”
Mendengar candaan Anas, suara tawa dari dua laki-laki itu pun terdengar ramai, lalu, tanpa menunggu jawaban selanjutnya dari Winsi, Erlan kembali melajukan motor metick, dengan kecepatan rendah ke jalan arah rumah Winsi yang sebenarnya cukup dekat.
Winsi melihat pemandangan rumah besar yang semakin lama semakin jauh dan hilang, berada di tempat itu selama beberapa menit, kini hanya menjadi kenangan. Dia ingin bercerita pada Meri, atau bisa juga tidak, bahwa dia pernah masuk ke sana meskipun hanya di halamannya saja.
Tidak ada obrolan antara Winsi dan Erlan selama perjalanan, hingga sampai di depan rumah, Winsi tidak bertanya apa-apa lagi tentang Anas pada Erlan. Walapun, rasa penasaran masih tinggi menyundul hatinya yang paling dalam. Menurut penilaian anak gadis itu, Anas cukup ramah dan senyumnya lembut. Akan tetapi dia tidak bisa memastikan apakah dia ayah kandungnya atau bukan. Seandaianya benar, maka hatinya akan sangat bersyukur, sebab Anas sepertinya laki-laki yang baik, tidak seperti bapaknya.
Erlan, melepas helmnya, memperlihatkan rambutnya yang acak-acakan, tapi tetap saja menarik bagi Winsi, anak gadis itu menyukainya dan menatap Erlan lekat, seperti yang pernah dilakukannya saat di mobil tadi. Mereka kembali bertukar pandangan dengan jarak yang berdekatan, tapi yang dirasakan Erlan kali ini berbeda. Anak perempuan yang dipanggilnya buluk itu terlihat manis di matanya.
Inilah cinta monyet, suka pada pandangan pertama dengan lawan jenis ketika seoarng anak baru saja menginjak usia remaja.
Erlan sekarang sudah kelas tiga di sekolah menengah pertama swasta yang cukup terkenal di kota. Kabar yang Winsi dengar, hanya anak orang kaya saja yang bisa sekolah di sana. Banyak juga anak dari keluarga sederhana seperti dirinya, tapi mereka mendapatkan beasiswa dan mempunyai prestasi yang luar biasa. Saat Winsi lulus kelas enam nanti, maka Erlan juga lulus dari sekolah menengah pertamanya.
“Heh! Anak Buluk, benar nggak Mang Anas tadi, orang yang kamu cari?” tanya Erlan sambil membuang pandangannya. Lalu, turun dari motor.
“Bukan ... Aku Cuma mau tahu saja, seperti apa orang yang namanya Anas.” Winsi menjawab dengan acuh tak acuh.
“Ck. Aku kira kenapa? Ya, sudah sana, pulang.” Erlan memberi perintah sambil memiringkan kepalanya.
“Iya, ya. Makasih!” sahut Winsi, datar. Akan tetapi dia tetap diam di tempat, tidak juga melangkah masuk ke pekarangan rumahnya, ada keraguan dan ketakutan jelas tersirat di matanya. Mobil bapak masih ada!
Melihat Winsi yang tidak juga memasuki rumahnya, Erlan mengerti bila gadis kecil itu takut, hingga dia berinisiatip mengajaknya masuk dengan dirinya sebagai tameng atau alasan bagi temannya itu.
“Kenapa, Win? Kamu takut pulang, takut kena marah, ya?”
“Ya!” Lagi-lagi Winsi mengucapkan sebuah kejujuran pada laki-laki di hadapannya ini, padahal biasanya dia tertutup dan jarang bicara. Tekanan batin dan ketakutan yang sering mendera dan trauma dengan kekerasan yang acapkali dia terima, mengakibatkannya mengalami sejenis ketidak percayaan diri yang akut.
“Ya sudah, kalau begitu, ayo!” Erlan mengajak Winsi masuk, tapi anak perempuan itu tetap diam membuat Erlan menggamit tangannya secara paksa.
Winsi tersadar dengan tindakan Erlan, yang membuat dirinya gugup hingga spontan melepaskan pegangan tangannya, tiba-tiba wajahnya menghangat dan terlihat merah serta ada rasa sesak dari perut hingga dadanya karena sikap laki-laki itu padanya.
Erlan tahu bahwa Basri tadi mencari anaknya hanya untuk dipukuli, dia merasa miris, ternyata teman wanita yang dia kenal karena tinggal dalam satu komplek dan sering berpapasan itu mengalami hal yang menyakitkan.
‘Dipukul dengan ikat pinggang, itu sakit, kan? Apa kamu sering mengalami hal seperti ini?’ Erlan membatin, tapi dia tidak mempertanyakannya pada Winsi kecuali temannya itu sendiri yang mau bercerita.
“Kamu pulang saja, sana!” tolak Winsi, tidak ingin Erlan menemaninya masuk, dia takut kalau bapaknya masih marah dan menyebutnya anak haram lagi.
“Kenapa,kamu malu ya, kalau aku ikut masuk?” seloroh Erlan mencoba memancing Winsi bicara.
“Tidak, bukannya malu, tapi ....” Belum sempat Winsi mengatakan penyebabnya, dari arah pintu rumah muncul Basri yang sudah berpakaian rapi, sepertinya laki-laki itu hendak pergi. Dia melangkah keluar sambil bersiul dan menyisir rambutnya dengan jari.
Basri menatap Winsi dengan tatapan membara dan tangan yang terkepal, tapi tiba-tiba pandangan matanya melembut, begitu menyadari ada anak lain yang berada di samping Winsi.
“Benar, Om. Saya Erlan.” Erlan berkata, sanbil mengulurkan tangan kanannya untuk menjabat tangan pria gemuk di hadapannya.
‘Wah, ini kesempatan besar ....’ Batin Basri sambil menyambut uluran tangan anak itu.
Bersambung
"Jangan lupa like, komen, give dan vote ... terima kasih atas dukungannya"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Simply Yunita
lanjut kak... semangattt👍💪💪
2022-08-13
6
@E𝆯⃟🚀BuNdAιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
basri ada niat licik nih
2022-07-06
5
Chie📴
ish ish mau ngapain tuh dia
2022-06-29
6