Laki-laki Yang Disebut Ayah
Winsi dengan ragu melangkah memasuki ruang makan di mana ibu dan bapaknya berada, seketika kedua orang yang tengah bersitegang itu menoleh melihat kedatangan anak perempuan mereka yang sudah bersimbah air mata. Runa tercengang, hatinya miris, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, dia lebih takut bila Basri semakin marah karena kehadirannya.
“Winsi, Nak ....” kata-kata Runa terputus saat anak perempuan itu langsung menyela ucapannya.
“Siapa Anas, Bu? Benarkah dia ayahku seperti kata Bapak?” Winsi bertanya dengan sesenggukan, dia melirik Basri sekilas tanpa rasa takut. Baginya saat ini, memperoleh keterangan tentang lelaki bernama Anas jauh lebih penting dari pada amarah lelaki yang dipangginya Bapak.
“Winsi ... dia bukan siapa-siapa. Ayahmu ya Bapakmu sekarang ini, Ibu tidak perbah bohong, Nak. Ingat kan, sebagai orang yang beriman kita harus jujur.” Kata Runa sambil berlutut dan membelai kepala dan mengusap air mata di pipi anaknya.
Tiba-tiba Basri tertawa keras dan menunjuk kedua wanita di hadapannya dengan sinis. Lalu, dia berkata setelah selesai dengan tawanya.
“Kalian memang cocok jadi Ibu dan Anak. Kenapa nggak bilang saja terus terang, ha?”
“Bapak. Justru bohong kalau bilang dia bukan anakmu! Aku tidak pernah berhubungan dengan laki-laki lain selain kamu” ucapan Runa terdengar kasar di telinga Basri.
“Jadi, selama ini kamu bilang aku yang bohong, begitu?” kata Basri sambil berkacak pinggang.
“Iya!” sahut Runa tegas sambil kembali berdiri.
“Bagus kalau Bapak bukan Ayahku! Aku gak mau punya Bapak jahat!” kata Winsi sebelum ibu dan ayahnya melanjutkan pertengkaran mereka.
“Apa kamu bilang? Dasar anak kurang ajar!” sahut Basri, sambil membuka gesper di pingganya. Suaranya keras memekakkan telinga dan mendekati Winsi yang kini sudah meringkuk di lantai, dengan kedua tangan diatas kepala melindungi organ paling vital pada tubuhnya . Dia tahu ayahnya mulai marah bila sudah melepaskan ikat pinggang.
“Lari ....” bisik Runa ditelinga anaknya, dia juga ikut berlutut.
Tanpa perintah Runa untuk yang kedua kalinya, Winsi berlari sekuat tenaga. Sampai di luar rumah, dia melihat sebuah mobil sedan hitam tengah berhenti di pinggir jalan, sedangkan pintu mobil itu terbuka lebar, seperti sengaja memberi tumpangan padanya. Tanpa pikir panjang Winsi memasuki dan menutup pintunya dengan keras.
Winsi tidak memperhatikan lingkungan sekitarnya lalu, dia berlutut di bawah, bermaksud untuk bersembunyi dari kemarahan Basri, menutupi kepala, dengan kedua tangan kecilnya. Air mata masih mengalir, jantung masih berdebar dan tubuh yang belum sempat berganti pakaian itu masih berkeringat dingin.
Tanpa anak itu sadari, dua sosok laki-laki seperti pasangan ayah dan anak berdiri dari sebelah mobil karena mendengar pintu mobil yang tertutup. Mereka saling tatap dan bergegas untuk memastikan siapa orang yang sudah lancang memasuki mobilnya tanpa izin dan menutup pintunya dengan kasar.
Dua pria kecil dan dewasa itu akhirnya mengerti ada yang tidak beres, saat melongok melalui jendela kaca. Ada anak perempuan yang gemetar ketakutan dan duduk meringkuk di lantai mobilnya, sosoknya terlihat familiar dan mereka pikir bahwa anak itu juga membutuhkan pertolongan seperti anak ayam dalam parit yang kedinginan.
“Biarkan anak itu, Yah,” kata Erlan, pada Hasnu, sopir pribadinya.
“Baik, Den,” sahut Hasnu perlahan sambil mengangguk.
Mereka tadi duduk di sebelah mobil, tengah melihat seekor anak ayam yang tercebur di parit di sisi jalan. Kebetulan mereka sudah selesai mengangkat anak ayam itu, ketika mendengar suara pintu mobil yang ditutup.
Di saat yang bersamaan, Erlan dan Hasnu melihat seorang pria tambun yang berlari ke sisi jalan sambil membawa sebuah ikat pinggang di tangannya.
Kedua pria itu masuk dan duduk dengan perlahan, agar tidak mengganggu anak perempuan yang terlihat ketakutan. Sampai beberapa saat lamanya, Erlan menunggu dan tidak ada reaksi berarti dari Winsi, akhirnya dia memberi isyarat pada Hasnu untuk mulai mengemudi.
Winsi masih begitu takut, hingga tidak sadar bila dia tidak sendirian, bahkan sekarang kendaraan roda empat itu mulai bergerak. Saat mobil akan berbelok, Hasnu membunyikan klakson seperti biasa, membuatnya terkejut.
“Aaa ....” teriak Winsi saat dirinya sudah menyadari bahwa dia berada dijalan. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dan dia mendongak, matanya bertumpu pada Erlan, anak lelaki kaya yang tinggal di rumah besar, ujung jalan sebelum belokan menuju kota.
“Kenapa kamu di sini?” tanya Winsi membuat Erlan terkekeh, dia duduk dengan angkuh di jok penumang belakang.
“Seharusnya aku yang tanya seperti itu sama kamu, ini mobilku. Jadi, kenapa kamu di sini?” Erlan berkata sambil memalingkan pandangannya, tingkah yang terkesan jijik pada Winsi.
“Turunkan aku di sini!” saat berkata demikian, Winsi masih berlutut tapi tangannya tidak lagi menutupi bagian kepalanya.
“Tidak bisa! Enak saja kamu turun padahal kamu belum membayar.” Erlan berkata sambil mengulurkan tangannya seolah meminta-minta.
“Heh!” Winsi tersenyum sinis lalu, membatin ‘ternyata anak yang terlihat kaya belum tentu kaya, buktinya dia masih meminta-minta bayaran pada orang miskin seperti aku. Benar kata Ibu, orang kaya sesungguhnya adalah orang yang kaya hatinya!’
Dia teringat kembali ucapan ibunya, bahwa sebagai manusia harus bisa mensyukuri apa pun pemberian Tuhan, orang yang kaya hati, jauh lebih baik dari pada orang yang Cuma kaya hartanya saja. Orang yang kaya hati adalah orang yang luas maafnya, dalam kesabarnya, banyak kasih sayang dan kelembutannya, tinggi keikhlasannya serta berlimpah budi pekertinya.
Winsi merogoh saku baju sekolah, untuk mengambil uang sisa jajannya hari ini. Dia tidak pernah menghabiskan uang jajan dan selalu ditabung seperti nasehat ibunya. Runa tidak pernah memberi anaknya uang lebih karena wanita itu juga harus berhemat dan menabung, untuk keperluannya sendiri juga demi keperluan Winsi.
“Kalau kamu mau sesuatu, Bapak dan Ibu belum tentu bisa kasih, jadi lebih baik kamu nabung demi masa depan dan memenuhi apa yang kamu inginkan.” Begitu nasehat Runa setiap hari pada Winsi.
Winsi segera memberikan uang lima ribu rupiah dari saku bajunya pada Erlan, dia pikir cukup untuk membayar orang kaya dan matrealistis ini, sebab baginya uang lima ribu adalah jumlah yang banyak untuk di tabung, dia hanya jajan di sekolah sejumlah itu pula, sedangkan berangkat sekolah dia terbiasa berjalan kaki. Perjalanan sepanjang seratus atau dua ratus meter dari rumah, akan terasa singkat bersama dengan tema-teman lain yang senasib dengannya.
Anak-anak yang senasib dengannya adalah mereka yang sama-sama menabung, atau tidak memiliki uang untuk ongkos naik angkot ke sekolah. Akan tetapi, ada anak orang kaya yang memilih berjalan kaki juga. Selain karena jarak yang dekat, juga menyehatkan. Ada juga yang menggunakan cara dengan jalan kaki sepulang sekolah, sebagai momen berpacaran, menghabiskan waktu brsama orang yang mereka sayang.
Erlan tersenyum, menerima uang itu dengan gembira, tapi terlihat naif di mata anak lainnya. Dia memberi isyarat pada Hasnu untuk menghentikan mobil lalu, hendak menurunkan Winsi seperti kemauannya tadi. Akan tetapi, disaat yang bersamaan ponselnya berdering, membuat anak remaja itu memilih mengangkat telepon genggamnya dari pada membukakan pintu untuk anak di sebelahnya.
Winsi cemberut karena tidak bisa membuaka pintu mobil dan memilih duduk di tempat kosong sebelah Erlan, kakinya sudah pegal akibat berjongkok. Saat dia duduk itulah dia melihat sebuah keganjilan, dengan Ayah Erlan yang menjadi sopir sementara anaknya, duduk di jok belakang seperti bos. Bahkan dia mendengar anak lelaki itu memberi perintah pada laki-laki yang dipanggilnya ayah.
“Ayah, ayo cepat pulang, Kakek akan di bawa ke rumah sakit! ” kata Erlan setelah dia selesai menerima telepon.
“Baik, Den!” sahut Hasnu dari balik kemudi.
‘Heh! Seandainya aku punya Ayah selembut laki-laki itu, aku tidak akan memperlakukan Ayahku seperti Erlan ini! Dasar anak tak tahu diri!’ batin Winsi menjerit, tidak suka dengan sikap Erlan pada Hasnu.
“Hai, bagaimana denganku? Turunkan aku sekarang juga!” teriak Winsi.
Sementara mobil sudah mengebut.
“Nanti saja, tenang, aku akan mengantarmu pulang. Sekarang lebih mendesak.”
Bersambung
Jangan lupa like, komen, give dan vote
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Simply Yunita
aduh banyak sandal berserakam disini,... aku malu ninggalin sandalku yg cuma sandal jepit murahan.
aku bawa balik lagi ya kak otor... 😅😅✌✌💨
2022-08-01
7
D᭕𝖛𝖎𖥡²¹࿐N⃟ʲᵃᵃ࿐
banyak di real life begini. Saking deketnya sama mbak atau driver. banyak anak malah manggil ibu dan ayah ke art
2022-07-28
7
Abcdefuck!
ad ap dngan supirnya kok di panggil ayah👀
2022-06-29
9