Memancing Di Air Keruh
Basri melihat Erlan dengan kilauan di matanya sedangkan bibirnya tersenyum licik, dia memalingkan pandangan untuk meyembunikannya. Langkahnya tenang mendekati Winsi yang berdiri kaku tak jauh darinya dan berkata, “Kamu dari mana saja,?” Pertanyaan Basri yang terkesan penuh perhatian seakan-akan pria itu sangat peduli, membuat gadis itu tercengang hampir tak percaya lbagwa pria yang dia kira berhati iblis itu bisa selembut itu padanya.
Setidaknya seperti itulah pikiran polos Winsi selama ini, dia menganggap bahwa setan sudah bersemayam di hati bapaknya. Setan adalah sifat Iblis. Allah menciptakan malaikat, manusia dan Iblis. Namun Iblis menjadi mahkluk pembangkang, jahat dan tidak mau menyayangi Adam sebagai sesama mahkluk yang tinggal di akherat. Akhirnya kesombongan telah menghancurkan dirinya, menjerumuskan Adam serta Hawa dalam ketidaktaatan hingga, mereka terusir dari surga dan sampai kini anak cucunya hidup di dunia.
Winsi merasa aneh dengan sikap Basri yang tiba-tiba saja menjadi lembut, sebab dalam pikirannya Iblis tidak akan tersenyum kecuali, otaknya sedang berpikir buruk.
“Maaf, Pak. Tadi Wiwin lari kejalan, terus saya ajak dia kerumah, tapi Cuma sebentar.” Erlan menjawab sambil tersenyum pada Winsi dan mengedipkan matanya.
‘Apa itu, apa maksudnya Wiwin itu, aku?’ batin Winsi sambil menggeser-geser kakinya di tanah. Cuma Erlan yang memanggilnya begitu dan ini untuk pertama kalinya, membuat pipinya memerah dan hangat.
“Oh, jadi ... apa Winsi sudah bilang sama kamu soal masalahnya?” tanya Basri dengan gusar. “Kalian berteman, kan?”
“Ya, kami berteman.”
“Kalau begitu kamu pasti tahu kalau Winsi ini punya masalah serius, di sekolahnya mau wisata, dia gak punya biaya. Bapak juga baru saja pulang dan tidak bawa uang. Kalau kamu temannya, pasti kamu bisa membantunya.”
“Oh, tentu saja.”
‘Nah, benarkan, Iblis sudah mulai bekerja sekarang’ batin Winsi membenarkan dugaannya sendiri.
Melihat selama ini Basri tidak pernah memberinya uang jajan, juga jarang memberi Runa nafkah, membuat gadis itu berpikir bila bapaknya akan memanfaatkan keadaan lalu, memancing di air yang keruh untuk mendapatkan sesuatu. Hidupnya terasa sangat malang.
Dia dan ibunya setiap hari selalu sibuk membuat nasi uduk dan aneka gorengan untuk dijual di perempatan jalan, sedangkan sebagian di titipkan Winsi di warung depan sekolah. Dia membawa makanan itu setiap kali berangkat ke sekolah. Dari penghasilan itulah Runa membiayai hidup mereka.
Anehnya, Runa tidak pernah mengeluhkan kehidupan yang bagi Winsi sangat tidak enak, ibunya itu selalu menasehatinya untuk menabung demi masa depan, padahal dia tidak pernah tahu masa depan seperti apa yang ibunya maksudkan.
"Win, ini uang jajanmu hari ini, jangan dihabiskan, ya. Sisanya harus kamu tabung. Demi masa depanmu."
Begitu kata Runa setiap kali Winsi akan pergi sekolah.
"Iya, Bu." Selalu begitu pula jawaban Winsi sambil mencium tangannya.
Dia selalu menuruti ucapan ibunya, karena selain wanita itu, tidak ada lagi orang lain yang menyayanginya, bapaknya tidak pernah memberinya uang.
Dahulu Basri selalu mengatakan, kalau Runa sebagai istri harus bisa cari nafkah, karena uang itu akan digunakan untuk dirinya sendiri. Sebagai pendamping, harus bisa membantu kekurangan suami, begitu jelasnya berulangkali.
Runa pernah kelelahan saat hamil besar. Dia memaksa kan diri, karena ada banyak pesanan.
Saat itu Winsi masih kecil, belum bisa diandalkan. Keadaan seperti itu terus berlanjut sampai ibunya melahirkan seorang bayi laki-laki yang lucu, dia sangat bahagia, tapi kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Bayi itu suatu saat mengalami demam tinggi, dan karena kesibukannya, Runa tidak bisa segera membawa bayi itu ke rumah sakit. Kejadian inilah yang kemudian membuat adik kecilnya tiada.
Winsi kembali tidak bisa berkata-kata, seperti biasanya bila berhadapan dengan bapaknya, dia hanya berharap ibunya mau menyelamatkannya saat ini, tapi kemana wanita kurus itu sekarang berada, dia hanya berharap Runa baik-baik saja. Kejadian tadi terbayang dibenaknya, bagaimana Basri mendorong kepala ibunya kasar. Apa yang dilakukan laki-laki itu selanjutnya, dia tidak tahu.
Setelah itu obrolan antara Basri dan Erlan pun berlanjut, setelah berbasa-basi tentang biaya yang harus dikeluarkan Winsi, pria tambun itu dengan terus terang meminta sesuatu yang sangat memalukan bagi anaknya.
‘Bagaimana bisa Bapak meminta uang untuk biaya wisata sekolah pada Erlan?’
Winsi sangat malu pada teman laki-laki yang sama sekali tidak akrab dengan dirinya itu. Kalau dilihat lebih lama lagi, maka wajah Basri semakin memuakkan.
“Jadi, karena sekaligus untuk uang saku dan ongkos angkot, Winsi butuh uang satu juta. Nah, Bapak yakin, kamu pasti punya uang segitu, kan?”
Erlan tampak mengerutkan keningnya, melirik Winsi yang tidak mengomentari atau atau membantah permintaan Basri, sehingga membuat pria remaja itu mempercayainya.
“Tentu, saya akan membantu, Pak.”
“Kalau bisa, kamu bawa uangnya sekarang. Soalnya besok Winsi harus setor uang itu ke sekolah.”
Tiba-tiba Basri merengkuh pundak Winsi, hangat. Semenjak kecil, baru kali ini Basri melakukan hal yang hangat seperti itu, secara naluriah, Winsi pun mengangguk.
Erlan menautkan kedua alisnya semakin dalam, lalu dia menaiki motornya setelah melirik Winsi sekilas. Setelah itu dia Melajukan motonya meninggalkan kedua. Ayah dan anak.
Begitu bayangan Erlan menghilang, Besri memukul pundak Winsi, dengan sangat keras lalu menjewer telinga anak itu tanpa ampun!
“Aduh, Bapak! Sakit!” teriak Winsi, sambil menangis, tapi pria itu tidak perduli dan terus. Berbuat kasar pada anak kandungnya sendiri. Sejak Winsi lahir, sampai sekarang Basri tidak pernah memperlakukan anak perempuan itu dengan lemah lembut. Dia tidak pernah mencoba menguraikan kesalahpahaman yang pernah terjadi antara dirinya.
“Dasar kamu anak tak tahu diri! Awas kamu ya, kalau bilang pada si anak sialan itu kalau uang sekolahmu Cuma tiga ratus ribu!”
“Bapak, bohong!”
“Apa kamu bilang? Berani ya kamu sekarang?” Basri berkata sambil menyeret tubuh kurus itu ke dalam dan memukuli Winsi kembali dengan tangan besarnya ke sekujur tubuh.
“Gimana kalau nanti Erlan tahu, kalau uang sekolah Win tidak sebesar itu, Pak!”
“Kenapa memangnya?”
“Win malu, Pak!”
“Kamu, apa susahnya bohong sama anak orang kaya itu, kamu harus bersyukur Bapak mau pinjam ke dia buat kamu!”
“Tapi Bapak, Bohong! Bukan sejuta, Pak! Cuma tiga ratus ribu!” Winsi berteriak penuh keberanian.
Kekuatan yang timbul karena rasa malu dan kuatir pada Erlan, lebih besar dari rasa takutnya pada bapaknya yang galak itu.
“Apa maksudmu sejuta, Win?”
Ditanya seperti itu oleh ibunya, Winsi termenung. Dia tahu, Ibunya orang yang sangat takut berhutang. Prinsipnya cukup kuat untuk menghindari hutang, bahkan kalau bisa dia tidak akan pernah berhutang sepanjang hidupnya.
“Bapak, Bu. Pinjam uang sama Erlan sejut—“ Belum sempat Winsi melanjutkan ucapannya, Basri membekap mulut anak gadis itu dengan tangan kekarnya. Seketika wajahnya memerah karena bekapan tangan pria itu menutup hidungnya pula, dia hampir tidak bisa bernapas.
Tiba-tiba sebuah suara memanggil-manggil dari luar rumah, membuat Basri menghentikan aktivitasnya, sehingga Winsi bisa bernapas lega.
“Permisi ... Pak Basri! Apa ada di rumah?"
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Nenie desu
jangan lupa mampir di novel aq kak 🤗🤗🙏
2022-08-14
8
Kaisar Tampan
Kak aku udah mampir ya.
bantu dukung karyaku juga ia
simpanan brondong tampan
terima kasih
2022-07-08
6
тαуσηg
ga ada patut dicontoh sama sekali kelakuan sebagai Bpk dan suami pingin tak bejek2 nih orang🤭
2022-07-06
6