NovelToon NovelToon

Dia Bukan Yang Terbaik

1. Laki-laki Yang Disebut Bapak

Dia Bukan Yang Terbaik

Laki-laki Yang Disebut Bapak

Pandangan mata anak perempuan berambut sebahu itu nanar, tertuju pada mobil truk yang terparkir di halaman rumahnya. Rasa takut selalu muncul setiap kali dia melihatnya, sebab menandakan kepulangan bapak, sosok lelaki yang berprofesi sebagai sopir truk dan, tidak pernah dekat dengannya.

Adanya bapak di rumah, walaupun hanya datang sekali dalam satu pekan, tapi tidak menyenangkan baginya. Bagaimana akan senang, bila setiap kali pria itu ada, maka setiap kali itu pula dia harus menerima kekasaran sikapnya.

Dia pikir bapak tidak pernah menyayanginya karena selalu menyebutnya anak haram. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan dirinya dikatakan demikian. Otak kecilnya masih terlalu dini untuk mencerna kata-kata haram yang bapaknya sematkan.

Winsi Nasriya, anak kelas enam sekolah dasar negeri, berkulit kuning langsat, matanya bulat berbulu lentik hidungnya kecil dan bibir agak tebal mengimbangi dagunya yang lancip. Tubuhnya kurus tapi tinggi badan melebiihi anak-anak seusianya. Dia baru saja pulang sekolah bersama Meri, teman sekelas juga tetangga yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. mereka selalu bersama saat berangkat dan pulang sekolah.

"Tuh, Win. Ayahmu pulang,” kata Meri sambil menyenggol bahu Winsi yang membuat anak itu menoleh gugup sambil tersenyum masam.

“Dia bukan Ayah, tapi Bapak,” jawab Winsi dengan keluguan anak kecil pada umumnya.

“Kan, Ayah atau Bapak, sama saja.”

“Ya, menurut kamu begitu, tapi aku tidak.” Winsi menukas ucapan Meri, tanpa rasa bersalah.

Sebuah dilema bagi gadis kecil itu ketika, hanya dirinya dan dua anak lainnya yang memanggil ayah mereka, dengan sebutan bapak dan semua bapak dari anak-anak itu, galak. Teman-teman yang lainnya kebanyakan memanggil ayah, ada juga yang memanggil abah, papa, papi atau Abi. Ini sebuah ironi baginya hingga dia memiliki penilaian demikian.

Bagi Winsi, sebutan ayah hanya untuk laki-laki yang tidak suka memukul, seperti ayahnya Meri, dia baik dan sering menjemput mereka saat turun hujan pas pulang sekolah, juga pernah mencari dan menjemput sahabatnya pulang karena bermain terlalu lama. Bahkan dia sering melihat teman sebangkunya itu digendong saat mereka berpapasan di jalan sepulang sekolah. Akan tetapi bapaknya tidak, pria itu suka memukul dengan ikat pinggang atau tangannya sendiri, menendangnya sampai tubuhnya terpental, atau menampar wajahnya kalau dia berani melawan.

Winsi juga ingat Erlan, laki-laki kaya yang tinggal di rumah besar di ujung jalan juga, memanggil salah satu orang tuanya dengan sebutan Ayah. Dia pria yang sering membukakan pintu mobil untuk Erlan, dan mengusap kepala anak kecil itu dengan tangannya, bahkan beberapa kali anak gadis itu melihatnya membungkuk hormat pada anak lelaki yang bertubuh gempal.

‘Alangkah enaknya punya Ayah yang selalu menunduk hormat pada anaknya seperti itu’ batin Winsi. Akan tetapi bapaknya tidak, dia suka sekali membentak dan menjambak rambutnya, apalagi kalau tidak ada ibu di rumah, maka lelaki itu akan senang sekali menyakiti dan membuatnya menangis.

“Ya, sudah sana kamu masuk,” kata Meri lagi sambil mendorong teman di sebelahnya yang terlihat diam mematung menahan rasa takutnya, anak perempuan berambut panjang yang selalu dikepang itu tertawa kecil dan melanjutkan ucapannya, “pasti ayahmu bawa oleh-oleh, tuh!”

‘Ah, seandainya saja Bapak kalau pulang bawa oleh-oleh’ batin Winsi. Dia menanggapi candaan Meri dengan malas, tepi dia tetap tersenyum.

“Tapi, Bapak nggak pernah bawa oleh-oleh.”

“Kamu bohong, kan? Ayahku selalu bawa kalo pulang dari kota.”

‘Aku gak bohong'

Runa--Ibunya selalu melarang mengatakan semua kelakuan bapak kepada orang lain. Perempuan yang bertubuh kurus sama dengan anaknya itu selalu mengatakan, bila sifat bapaknya adalah aib yang harus ditutup rapat, sebab kalau kita menutupi aib orang lain, maka Allah akan menutup dosa-dosa kita nanti. Apalagi sangat memalukan kalau saja ada orang tahu bahwa bapak yang dikenal ramah dilingkungan itu ternyata seoarang pemarah dan kasar pada anaknya sendiri.

Sebenarnya Winsi tidak tahan dan ingin sekali mengadukan kelakuan bapak pada orang lain dan ingin laki-laki itu dipukul juga, biar tahu rasanya seperti apa.

‘Dipukul itu sakit, Pak!’ kata Winsi dalam hati.

Akan tetapi dia anak yang penurut, kasih sayang Runa—ibunya yang berkulit serta mata sama dengannya itu, selalu mencurahkan kasih sayang yang cukup, sehingga dia mampu menahan dan tidak mengatakan kejahatan bapak pada siapa pun.

Benar saja, saat Winsi masuk rumah, dia melihat Basri—bapaknya, pria berkulit coklat dan berambut keriting itu, tengah membentak ibunya tanpa dia tahu mengapa bapaknya bersikap begitu. Dia bersembunyi di sisi tembok antara ruang tamu dan ruang tengah rumah sederhananya. Sambil terus melihat apalagi yang akan dilakukan pria itu kali ini.

Tubuh Winsi sudah dipenuhi keringat, jantung berdebar hebat menyaksikan ibunya diperlakukan demikian oleh ayahnya sendiri. Mata bening itu hampir penuh oleh air, bahkan telapak tangannya sudah basah karena rasa ketakutan yang menyelinap hingga ke ujung jari dan ubun-ubunnya, mendengar suara menggelegar dari mulut bapak, saat berkata-kata.

“Kamu pikir, uang dari mana sebanyak itu buat anak harammu? Hah!” Nada suara Basri ketus dan melotot pada Runa. “kamu ini mana tahu, cari uang itu susah! Kamu seharusnya bersyukur aku mau merawat anak itu, mau nerima kamu di sini, coba kalau tidak, kamu sama anak haram itu sudah jadi gembel di luar sana!”

Sementara badan Runa terhuyung sedikit kebelakang saat kepalanya di dorong kuat oleh Basri dengan jari-jari tangannya berulang kali. Wanita itu diam, membenarkan ucapan suaminya tentang dirinya yang waktu itu, dia hidup sebatang kara di kota dan tidak mempunyai apa-apa, kalau bukan karena Basri yang menikahinya, dia mungkin telah menjadi pengemis di jalanan.

Saat Basri pulang tadi, dia meminta sejumlah uang dengan alasan, bila tidak lama lagi akan ada kunjungan wisata di sekolah Winsi dan itu memerlukan biaya, sedangkan ucapan suaminya yang mengatakan bahwa anak perempuan itu adalah anak haram, dia sudah bosan menjelaskan berulang kali bahwa tidak ada yang salah dengan anak kandung dari darah dagingnya sendiri. Setiap kali dia membantah, maka pria bertubuh tambun itu akan menampar, memukul atau menendang tubuh kurus Runa, sebanyak yang dia mau.

“Bilang sama anak harammu itu, nggak usah ikut wisata-wisata segala, percuma juga kalau anak perempuan, sekolah mah sekolah saja!” kata Basri dengan berapi-api.

“Kasian, Pak. Masa anak lain ikut dia enggak, kita juga jarang ngajak dia jalan-jalan.” Runa akhirnya menjawab dengan suara bergetar dan rendah, takut menambah amarah Basri bertambah.

Brakk! Suara meja makan dipukul kuat oleh Basri dengan tangannya yang terkepal.

“Kamu bilang salahku nggak pernah ngajak dia jalan-jalan? Minta sama bapak aslinya, si Anas itu! Kok malah minta sama aku?”

“Pak, Winsi itu anakmu, bukan anak Anas!” Runa meninggikan suaranya. Selama ini, saat mereka bertengkar, tidak pernah sekalipun Basri menyebut nama dari laki-laki yang dia curigai sebagai ayah kandung Winsi, pria itu jijik mengatakannya, tapi sekarang, dia menyebut nama lelaki itu dengan jelas, membuat Runa naik pitam.

Runa khawatir Winsi mendengar ucapan Basri, yang tengah marah kepadanya, sebab sekarang waktunya anak itu pulang sekolah. Dia tidak ingin anaknya tahu soal nama laki-laki yang disebutkan suaminya tadi.

Sementara di balik tembok pembatas ruangan, Winsi berulang kali menghapus air matanya yang mengalir deras. Tidak berani menampakkkan diri karena takut menjadi pelampiasan kemarahan selanjutnya. Dia tahu sekarang penyebab dari kemarahan bapaknya, yaitu karena biaya perjalanan pariwisata sekolahnya. Hatinya bergemuruh lebih keras demi mendengar ucapan Basri saat menyebutkan nama seorang laki-laki yang kemungkinan adalah ayahnya.

Sering dia bertanya pada Runa tentang bapaknya yang selalu menyebutnya anak haram, tetapi Runa dengan tegas mengatakan bahwa dirnya bukan orang lain kecuali Basri—ayahnya. Kalau saja dia biasa memilih, maka dia akan memilih Anas atau, pria lain sebagai ayahnya, mungkin saja pria itu lebih baik dan akan menyayanginya, tidak seperti bapaknya.

‘Siapa Anas, benarkah dia ayahku yang sebenarnya? Mungkin dia tidak seperti bapak!’ batin Winsi sambil menyeka air mata di pipinya.

Bersambung

Jangan lupa like, komen give dan vote

2. Laki-laki Yang Disebut Ayah

Laki-laki Yang Disebut Ayah

Winsi dengan ragu melangkah memasuki ruang makan di mana ibu dan bapaknya berada, seketika kedua orang yang tengah bersitegang itu menoleh melihat kedatangan anak perempuan mereka yang sudah bersimbah air mata. Runa tercengang, hatinya miris, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, dia lebih takut bila Basri semakin marah karena kehadirannya.

“Winsi, Nak ....” kata-kata Runa terputus saat anak perempuan itu langsung menyela ucapannya.

“Siapa Anas, Bu? Benarkah dia ayahku seperti kata Bapak?” Winsi bertanya dengan sesenggukan, dia melirik Basri sekilas tanpa rasa takut. Baginya saat ini, memperoleh keterangan tentang lelaki bernama Anas jauh lebih penting dari pada amarah lelaki yang dipangginya Bapak.

“Winsi ... dia bukan siapa-siapa. Ayahmu ya Bapakmu sekarang ini, Ibu tidak perbah bohong, Nak. Ingat kan, sebagai orang yang beriman kita harus jujur.” Kata Runa sambil berlutut dan membelai kepala dan mengusap air mata di pipi anaknya.

Tiba-tiba Basri tertawa keras dan menunjuk kedua wanita di hadapannya dengan sinis. Lalu, dia berkata setelah selesai dengan tawanya.

“Kalian memang cocok jadi Ibu dan Anak. Kenapa nggak bilang saja terus terang, ha?”

“Bapak. Justru bohong kalau bilang dia bukan anakmu! Aku tidak pernah berhubungan dengan laki-laki lain selain kamu” ucapan Runa terdengar kasar di telinga Basri.

“Jadi, selama ini kamu bilang aku yang bohong, begitu?” kata Basri sambil berkacak pinggang.

“Iya!” sahut Runa tegas sambil kembali berdiri.

“Bagus kalau Bapak bukan Ayahku! Aku gak mau punya Bapak jahat!” kata Winsi sebelum ibu dan ayahnya melanjutkan pertengkaran mereka.

“Apa kamu bilang? Dasar anak kurang ajar!” sahut Basri, sambil membuka gesper di pingganya. Suaranya keras memekakkan telinga dan mendekati Winsi yang kini sudah meringkuk di lantai, dengan kedua tangan diatas kepala melindungi organ paling vital pada tubuhnya . Dia tahu ayahnya mulai marah bila sudah melepaskan ikat pinggang.

“Lari ....” bisik Runa ditelinga anaknya, dia juga ikut berlutut.

Tanpa perintah Runa untuk yang kedua kalinya, Winsi berlari sekuat tenaga. Sampai di luar rumah, dia melihat sebuah mobil sedan hitam tengah berhenti di pinggir jalan, sedangkan pintu mobil itu terbuka lebar, seperti sengaja memberi tumpangan padanya. Tanpa pikir panjang Winsi memasuki dan menutup pintunya dengan keras.

Winsi tidak memperhatikan lingkungan sekitarnya lalu, dia berlutut di bawah, bermaksud untuk bersembunyi dari kemarahan Basri, menutupi kepala, dengan kedua tangan kecilnya. Air mata masih mengalir, jantung masih berdebar dan tubuh yang belum sempat berganti pakaian itu masih berkeringat dingin.

Tanpa anak itu sadari, dua sosok laki-laki seperti pasangan ayah dan anak berdiri dari sebelah mobil karena mendengar pintu mobil yang tertutup. Mereka saling tatap dan bergegas untuk memastikan siapa orang yang sudah lancang memasuki mobilnya tanpa izin dan menutup pintunya dengan kasar.

Dua pria kecil dan dewasa itu akhirnya mengerti ada yang tidak beres, saat melongok melalui jendela kaca. Ada anak perempuan yang gemetar ketakutan dan duduk meringkuk di lantai mobilnya, sosoknya terlihat familiar dan mereka pikir bahwa anak itu juga membutuhkan pertolongan seperti anak ayam dalam parit yang kedinginan.

“Biarkan anak itu, Yah,” kata Erlan, pada Hasnu, sopir pribadinya.

“Baik, Den,” sahut Hasnu perlahan sambil mengangguk.

Mereka tadi duduk di sebelah mobil, tengah melihat seekor anak ayam yang tercebur di parit di sisi jalan. Kebetulan mereka sudah selesai mengangkat anak ayam itu, ketika mendengar suara pintu mobil yang ditutup.

Di saat yang bersamaan, Erlan dan Hasnu melihat seorang pria tambun yang berlari ke sisi jalan sambil membawa sebuah ikat pinggang di tangannya.

Kedua pria itu masuk dan duduk dengan perlahan, agar tidak mengganggu anak perempuan yang terlihat ketakutan. Sampai beberapa saat lamanya, Erlan menunggu dan tidak ada reaksi berarti dari Winsi, akhirnya dia memberi isyarat pada Hasnu untuk mulai mengemudi.

Winsi masih begitu takut, hingga tidak sadar bila dia tidak sendirian, bahkan sekarang kendaraan roda empat itu mulai bergerak. Saat mobil akan berbelok, Hasnu membunyikan klakson seperti biasa, membuatnya terkejut.

“Aaa ....” teriak Winsi saat dirinya sudah menyadari bahwa dia berada dijalan. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dan dia mendongak, matanya bertumpu pada Erlan, anak lelaki kaya yang tinggal di rumah besar, ujung jalan sebelum belokan menuju kota.

“Kenapa kamu di sini?” tanya Winsi membuat Erlan terkekeh, dia duduk dengan angkuh di jok penumang belakang.

“Seharusnya aku yang tanya seperti itu sama kamu, ini mobilku. Jadi, kenapa kamu di sini?” Erlan berkata sambil memalingkan pandangannya, tingkah yang terkesan jijik pada Winsi.

“Turunkan aku di sini!” saat berkata demikian, Winsi masih berlutut tapi tangannya tidak lagi menutupi bagian kepalanya.

“Tidak bisa! Enak saja kamu turun padahal kamu belum membayar.” Erlan berkata sambil mengulurkan tangannya seolah meminta-minta.

“Heh!” Winsi tersenyum sinis lalu, membatin ‘ternyata anak yang terlihat kaya belum tentu kaya, buktinya dia masih meminta-minta bayaran pada orang miskin seperti aku. Benar kata Ibu, orang kaya sesungguhnya adalah orang yang kaya hatinya!’

Dia teringat kembali ucapan ibunya, bahwa sebagai manusia harus bisa mensyukuri apa pun pemberian Tuhan, orang yang kaya hati, jauh lebih baik dari pada orang yang Cuma kaya hartanya saja. Orang yang kaya hati adalah orang yang luas maafnya, dalam kesabarnya, banyak kasih sayang dan kelembutannya, tinggi keikhlasannya serta berlimpah budi pekertinya.

Winsi merogoh saku baju sekolah, untuk mengambil uang sisa jajannya hari ini. Dia tidak pernah menghabiskan uang jajan dan selalu ditabung seperti nasehat ibunya. Runa tidak pernah memberi anaknya uang lebih karena wanita itu juga harus berhemat dan menabung, untuk keperluannya sendiri juga demi keperluan Winsi.

“Kalau kamu mau sesuatu, Bapak dan Ibu belum tentu bisa kasih, jadi lebih baik kamu nabung demi masa depan dan memenuhi apa yang kamu inginkan.” Begitu nasehat Runa setiap hari pada Winsi.

Winsi segera memberikan uang lima ribu rupiah dari saku bajunya pada Erlan, dia pikir cukup untuk membayar orang kaya dan matrealistis ini, sebab baginya uang lima ribu adalah jumlah yang banyak untuk di tabung, dia hanya jajan di sekolah sejumlah itu pula, sedangkan berangkat sekolah dia terbiasa berjalan kaki. Perjalanan sepanjang seratus atau dua ratus meter dari rumah, akan terasa singkat bersama dengan tema-teman lain yang senasib dengannya.

Anak-anak yang senasib dengannya adalah mereka yang sama-sama menabung, atau tidak memiliki uang untuk ongkos naik angkot ke sekolah. Akan tetapi, ada anak orang kaya yang memilih berjalan kaki juga. Selain karena jarak yang dekat, juga menyehatkan. Ada juga yang menggunakan cara dengan jalan kaki sepulang sekolah, sebagai momen berpacaran, menghabiskan waktu brsama orang yang mereka sayang.

Erlan tersenyum, menerima uang itu dengan gembira, tapi terlihat naif di mata anak lainnya. Dia memberi isyarat pada Hasnu untuk menghentikan mobil lalu, hendak menurunkan Winsi seperti kemauannya tadi. Akan tetapi, disaat yang bersamaan ponselnya berdering, membuat anak remaja itu memilih mengangkat telepon genggamnya dari pada membukakan pintu untuk anak di sebelahnya.

Winsi cemberut karena tidak bisa membuaka pintu mobil dan memilih duduk di tempat kosong sebelah Erlan, kakinya sudah pegal akibat berjongkok. Saat dia duduk itulah dia melihat sebuah keganjilan, dengan Ayah Erlan yang menjadi sopir sementara anaknya, duduk di jok belakang seperti bos. Bahkan dia mendengar anak lelaki itu memberi perintah pada laki-laki yang dipanggilnya ayah.

“Ayah, ayo cepat pulang, Kakek akan di bawa ke rumah sakit! ” kata Erlan setelah dia selesai menerima telepon.

“Baik, Den!” sahut Hasnu dari balik kemudi.

‘Heh! Seandainya aku punya Ayah selembut laki-laki itu, aku tidak akan memperlakukan Ayahku seperti Erlan ini! Dasar anak tak tahu diri!’ batin Winsi menjerit, tidak suka dengan sikap Erlan pada Hasnu.

“Hai, bagaimana denganku? Turunkan aku sekarang juga!” teriak Winsi.

Sementara mobil sudah mengebut.

“Nanti saja, tenang, aku akan mengantarmu pulang. Sekarang lebih mendesak.”

Bersambung

Jangan lupa like, komen, give dan vote

3. Aku Dan Laki-laki Itu

Aku Dan Laki-laki Itu

Winsi terdiam mendapati dirinya tidak bisa berbuat apa-apa saat mobil melaju kencang. Dia tidak suka teman yang hanya kenal selintas itu mengatur, sebab mereka tidak akrab dan, hanya kenal karena sering bertemu, satu sekolahpun tidak. Keluarga Erlan jarang bergaul dengan masyarakat setempat, bahkan anak perempuan itu tidak pernah tahu ibunya seperti apa. Sesuai kepolosan anak kecil, dia memikirkan bila wanita yang melahirkan Erlan pastilah seperti bidadari yang cantik dan selalu memakai baju yang bagus bila ada di luar atau di rumah.

Tidak seperti Runa—ibunya, dia tidak pernah memakai baju bagus, kecuali saat lebaran tiba, itu pun baju yang sama di tahun-tahun sebelumnya, penampilannya begitu-begitu saja, tidak pernah berubah.

Sesampainya di rumah Erlan yang megah dan luas, Winsi ternganga. Sungguh selama ini dia tidak pernah melihat bagian halamannya karena pintu gerbangnya tidak pernah terbuka. Padahal, dia sering kali lewat naik angkutan umum bila hendak ke pasar bersama ibunya. Bangunan besar itu terkesan angkuh, seolah tidak ada tempat bagi orang miskin seperti dirinya di sana.

Winsi mencebik, menepis harapannya untuk bisa melihat bagian dalam rumah itu, dia yakin Erlan tak mungkin mengizinkannya.

Ya, dan benar saja, saat mobil sudah berhenti di garasi, Hasnu, orang yang di panggil ayah oleh Erlan itu pun turun dan memasuki rumah dengan langkah tergesa-gesa. Dia harus segera menemui tuan besar yang membutuhkan pertolongan untuk membawa Kakek Erlan yang sudah tua ke rumah sakit karena dia lah satu-satunya orang yang di percaya oleh orang tua itu untuk membawa mobil van miliknya.

Sementara itu, Erlan masih di dalam mobil, dia menepuk bahu Winsi yang terlihat bengong itu, kasar.

“Heh! Tunggu di sini, sebentar,” katanya, tanpa ekspresi, wajah dan suaranya datar.

“Ya! Cepetan,” sahut Winsi terbata-bata, tidak menyangka Erlan akan menepuk bahunya.

“Memangnya kamu mau kemana, si? Kan, kamu tadi tahu-tahu masuk ke mobil orang nggak permisi!”

“Ya, kamu juga bawa orang seenaknya tanpa permisi!”

“Aku nggak salah, kan, kamu yang masuk sembarangan!”

“Ya, dari pada aku dipukuli Bapak mending aku masuk saja buat sembunyi!”

“Apa?” tanya Erlan, sambil menatap Winsi sejurus dia sangat terkejut, membuat alisnya berkerut. Dia memang tadi melihat Basri berjalan dengan tergesa-gesa sambil membawa ikat pinggang, tidak menduga bila gesper itu akan digunakan untuk memukul anaknya sendiri.

Pertanyaan Erlan membuat Winsi menutup mulutnya rapat-raat dengan kedua tangan. Dia tidak sengaja, mengatakan hal yang tidak pernah dia katakan pada siapa pun sebelumnya, termasuk Meri. Sahabatnya itu tidak tahu tentang Basri yang selalu memukulinya bila ada di rumah dan, yang lebih parahnya lagi, laki-laki itu selalu memanggilnya anak haram. Akan memalukan bila orang lain tahu bahwa dirinya adalah anak haram.

Setahu Winsi, seperti yang di katakan Pak Ustad bila dia mengaji, haram adalah sesuatu yang tidak boleh di makan atau di pakai oleh seorang muslim, seperti daging babi, minuman beralkohol atau darah. Tapi dirinya adalah manusia, mengapa dirinya dikatakan haram, apakah itu artinya dia tidak bisa dimakan?

“Oh, jadi tadi kamu sembunyi dari orang yang mau mukul kamu begitu?” tanya Erlan, dia tampak memahami situasinya dengan baik, dia anak yang pandai. Tanpa di duga, Winsi mengangguk, tanda membenarkan ucapan laki-laki remaja itu, tapi dalam hati dia menyalahkan dirinya sendiri.

“Kamu kenal nggak sama orang yang namnya Anas?” tanya Winsi tiba-tiba, saat Erlan hendak membuka pintu mobil. Laki-laki remaja itu menoleh dan melihat gadis kecil di samping menatapnya lekat-lekat. Kilauan yang bening dan bulu mata lentik itu mengerjab berulang-ulang, seperti memancarkan berjuta bintang kecil, membuatnya enggan memalingkan pandangan, selama beberapa saat.

“Siapa? Anas? Aku punya tukang kebun namanya Anas. Tapi aku nggak tahu, orang yang kamu cari itu, dia atau bukan.” Jawab Erlan datar, setelah itu membuka pintu dan turun.

Winsi tetap bersembunyi di dalam mobil, diam dan menyimpan rasa takut kalau-kalau ada orang yang marah karena keberadaannya. Dia melihat keluar jendela, ke arah rumah yang baginya hanya pantas didiami seorang putri raja.

Di halamannya tampak tiga orang keluar dan salah satunya mendorong kursi roda, duduk di kursi itu seorang pria tua yang tampak lemah. Mereka memasukkan kursi roda dan pria tua itu ke dalam mobil Van berwarna silver yang di kemudikan oleh Hasnu.

Tak luput dari pandangan Winsi, seorang pria yang berpakaian rapi dengan stelan kemeja warna putih dan celana hitam yang mirip dengan Erlan, tubuhnya tinggi, kulitnya putih dan tampak berwibawa. Menurut Winsi, justru pria itulah yang pantas disebut ayah, dari pada pria yang menjadi sopirnya.

Gadis itu menraik napas dalam, mencoba menerka siapa sebenarnya semua orang itu dan apa hubungannya dengan Erlan, anehnya, tidak ada seorang wanita pun di sana.

Tak lama dia menyadari pintu mobil terbuka, dia melihat Erlan sudah mengganti pakaian dan memakai helm yang menutupi hampir separuh wajahnya. Ada sebuah motor matick di dekatnya. Winsi terkejut sebab dia tidak mendengar suara motor mendekatinya, tapi tahu-tahu, Erlan memberinya isyarat agar dia keluar dengan gerakan kepalanya.

Winsi masih ragu, sebab mobil Van itu masih di sana dan seorang pria bertubuh tinggi serta berpakaian rapi itu menatap ke arahnya, bahkan sekarang berjalan mendekatinya.

“Erlan, kamu mau ke mana?” tanya pria itu dengan suara berat, menatap Erlan dan Winsi secara bergantian. Dia Arkan ayah kandung Erlan yang selama ini tinggal di luar negeri, menjalankan usaha restorannya sendiri. Sekarang dia pulang karena Badru—ayahnya, sudah sakit-sakitan dan tidak bisa lagi menjalankan usah toko elektronik miliknya di kota.

“Mau mengantar Winsi pulang, Ayah.” Kata Erlan tanpa ragu. Dua lelaki itu saling berhadapan sementara Winsi sudah berdiri di samping mobil dengan raut wajah takut dan malu secara bersamaaan.

‘Ayah? Jadi mana sebenarnya Ayah Erlan, si?’ Winsi membatin, membuat alisnya berkerut.

“Siapa, dia? Teman sekolahmu?” tanya pria itu lagi. Membuat perasaan Winsi tidak keruan, laki-laki itu mempunyai aura kuat yang menyedot perhatian, padahal gadis itu takut, tapi tidak bisa mengalihkan pandangan dari fitur wajah pria itu yang baginya sangat enak dipandang.

“Bukan, Ayah. Dia anak Pak Basri dan Bu Runa, tetangga di dekat rumah tua dan gunung pasir.” Erlan menjawab dengan lugas. Rumah Winsi memang terletak di dekat rumah yang tidak berpenghuni, pendududk di sana menyebutnya rumah tua dan di sebelahnya lagi ada gundukan pasir untuk memperbaiki rumah tua, tapi sejak pemiliknya meninggal, gundukan pasir yang tinggi menyerupai gunung itu terbengkalai.

“Anak Runa? Kenapa dia bisa ada di sini?” Alis pria itu berkerut dalam saat berkata, dia berjalan lebih mendekat pada winsi, bahkan mengusap kepalanya lembut.

“Nanti, deh. Erlan cerita sama Ayah. Heh, anak buluk, ayo!” Saat Erlan berkata, dia sudah berada di atas motornya, tampak gagah dan keren di mata Winsi. Maklumlah anak orang kaya, jadi tidak masalah punya motor diusianya yang masih belia.

“Rumahku dekat, kok. Nggak usah diantar gak apa-apa,” kata Winsi sedikit tergagap, tidak menyangka bila laki-laki itu akan bersikap begitu lembut padanya.

“Heh! Biar cepat, aku mau sekalian pergi. Kebetulan satu arah, kok.” Kata Erlan sedikit meninggi.

Setelah mendengar itu, Winsi bergegas naik ke atas motor Erlan, sementara tatapan matanya masih tertuju pada laki-laki, yang kini tersenyum sangat ramah padanya.

‘Aku kira pemilik rumah ini galak, nggak tahunya dia baik!’ batin Winsi, sambil menundukkan pandangannya.

Dua kendaraan melaju perlahan secara bersamaan, sampai seorang penjaga membukakan pintu gerbang, untuk para majikannya. Mobil van bergerak di belakang motor Erlan. Namun, saat motor hendak kembali melaju ke arah jalanan, ada seorang pria yang membawa sebilah arit melintasi mereka. Seketika Erlan menghentikan laju motornya secara tiba-tiba.

“Mang Anas!” panggil Erlan pada laki-laki itu.

Bersambung

Jangan lupa like, komentar, give dan vote

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!