Dustanya Suamiku
"Derrrttt...." deringan suara panggilan dari benda pipih yang kuletakkan diatas meja makan menghentikan aktivitasku, mencuci piring.
Kuambil gawaiku dan kulihat ada panggilan di layar berlogo telepon hijau. Tak ada inisial nama, jadi aku ragu untuk mengangkatnya.
Saat aku mau melanjutkan pekerjaanku, gawaiku kembali bergetar. Langsung kutekan tanda terima panggilan.
" Halo, selamat siang, ini dengan siapa ya?" sapaku ramah.
" Hai...Tika, apa khabar?!" teriak suara di seberang. Kujauhkan gawaiku dari telinga karena volume yang memecahkan anak telingaku. Sepertinya disengaja, buktinya terdengar suara tawa, membahana selang berikutnya.
Aku mengeryitkan keningku, merasa aneh di siang - siang begini ada yang ngerjain.
Kuletakkan gawaiku kembali, aku tak ada waktu meladeni orang yang sekedar iseng. Tapi detik berikutnya kudengar suara lagi.
" Ini aku Dira, Tika. Masak lupa sama suaraku!" serunya lagi di seberang sana.
" Dira? Dira siapa ya? Oh, mama Dira ya?" tetiba aku ingat ada temanku dengan panggilan mama Dira. Masih tinggal satu komplek denganku. Tapi kok tumben menghubungi lewat hape, kan bisa langsung datang kerumah. Lagian suaranya kok beda ya, fikirku merasa aneh
" Halo Tika, kamu masih di situkan. Ini aku Dira teman SMA kamu dulu!" serunya lagi.
"Woalah! Kok bisa sampe lupa, kamu toh si pengrusak itu? Apa kabar, kirain siapa tadi!" dengusku pura-pura kesal.
"Ais...masih ingat saja kamu gelar abadiku itu ya, ha..." gelaknya di seberang.
" Iyalah, gak bakalan lupa kisah itu Dir," aku ikutan tergelak mengingat kisah cikal bakal Dira dapat gelar " si pengrusak" gegara Dira suka merusak hubungan teman kami yang punya pacar. Bukan diselingkuhin, tapi Dira mengerjain mereka dengan sms-an iseng. Yang ujung-ujungnya membuat salah faham dan berakhir putus.
Puas saling menertawakan aku diingatkan untuk menanyakan tujuannya meneleponku.
"Tau dari mana nomorku, Dir?" mengingat kami yang sudah lama tak bersua.
Selepas SMA, cuma sekali kami bertemu. Itu tepatnya sepuluh tahun yang lalu. Dan selama itulah kami kehilangan kontak. Makanya aku heran ketika Dira tiba- tiba mengontakku.
" Kamu masih ingat Ira gak ,Tika? Katanya kalian jumpa seminggu yang lalu.
" Oh , iya Dir, kami jumpa di acara pernikahan sepupunya, yang kebetulan teman kerjaku," beberku pada Dira. Kami sempat saling tukar nomor waktu itu. Sayang, kami hanya jumpa sebentar.
"O, ya Dir, kamu lagi di mana sih, kok berisik banget," tanyaku saat suaranya kurang jelas. Sepertinya Dira lagi di pusat perbelanjaan. Tapi saat kutanya, dia lagi menghadiri acara masuk rumah baru dan ultah ibu dari tetangganya.
Lalu Dira mengubah panggilan, menjadikan video call. Dira menyorot acara ultah yang dihadirinya. Aku melihat acara yang sedang berlangsung. Ofs! Aku mendadak kaget saat melihat video. Sepertinya wajah- wajah itu tak asing.
Kok, bisa- bisanya bang Rey suamiku, ada di acara itu. Bukankah bang Rey pamit padaku, pergi keluar kota urusan kantor?
Dan,
Hei..bukannya itu mama mertuaku juga. Keluarga kakak ipar juga. Kok mereka pada kumpul di sana? Tanya batinku penuh keheranan.
"Dira..tolong buatkan siaran lansung Dir. Aku ingin melihat acaranya lebih jelas," pintaku dengan hati yang mendadak bagai ditusuk
.
" Kepo amat kamu Tika, itu cuma acara ultah mamanya temanku," ujarnya.
" Masalahnya Dir, itu mama mertua aku, juga suami aku ada disana. Kok aku gak tau ada acara ultah mertuaku! " seruku.
" Yang bener aja kamu ,Tika." delik Dira tak percaya.
Lalu Dira meliput acara itu dan menyiarkannya secara langsung. Entah seperti apa suasana hatiku saat melihat video itu.Sejuta tanya yang tak terjawab, menyergap hatiku.
Sebenarnya apa yang telah terjadi? Bagaimana bisa aku tidak tau dan tidak diberi tahu, bahwa mama mertua merayakan pesta ultahnya. Kenapa harus di Medan. Padahal aku tinggal satu kota dengan mama mertua. Hanya beda kelurahan, jaraknyapun cuma lima belas menit jalan kaki.
Pertanyaan yang bersiliweran di benakku membuat pusing kepalaku. Ada apa semua ini. Belum lagi saat kulihat mama mertua saat menyuap sepotong kue ke mulut Rani, saudara sepupunya bang Rey. Yang kebetulan tinggal bersama mama mertua selama ini.
Nampak sekali sikap mama mertua begitu hangat menatap Rani. Dan juga sikap bang Rey yang memeluk pinggang Rani dengan mesra. Bahkan tangan bang Rey sesekali mengusap kepala Rani. Seperti ada serangan ribuan jarum yang tiba- tiba menghujam jantung dan hatiku.
Rasanya begitu sakit, ngilu dan perihnya seolah membetot aliran darahku sehingga berhenti. Aku kewalahan untuk bernafas.
Rileks, Tika! Kamu harus tenang dan menguasai emosi, ingat ada Nadia putrimu. Yang lebih membutuhkanmu! Hardik suara di hatiku.
Aku menarik nafasku perlahan, bayang wajah Nadia putri semata wayangku bermain di pelupuk mataku. Dengan susah payah akhirnya aku kembali menguasai diriku. Ku hirup udara dan menghembuskannya perlahan.
Aku harus kuat, harus sabar. Lalu secara perlahan aku berjalan ke arah kulkas. Ku raih botol mineral dan meminumnya hingga separuh.
Lalu ku pungut kembali benda pipih yang tergeletak di atas meja. Ku himpun kekuatanku untuk kembali melihat video itu. Tapi belum sempat aku mengaktifkan gawaiku, di layar terlihat ada panggilan. Ku tekan tombol hijau untuk menerima panggilan.
" Tika, apa kamu baik- baik saja," suara di seberang terdengar was-was.
" Yah, aku baik-baik saja," lirihku mencoba menahan buliran air mataku.
"Tika, maafkan aku ya," desah Dira parau. Aku sama sekali gak tau kalau mereka adalah keluarga kamu."
"Aku justru berterima kasih padamu Dira, lewat kamu aku jadi tau kebusukan suami dan keluarganya. Aku mohon, coba pantau mereka dan cari informasi ada hubungan apa suamiku dengan perempuan itu."
" Tapi, Tika apa kamu yakin kuat untuk mendengarnya,"
" Jangan khawatir, aku pasti kuat," ujarku pasti.
" Tadi aku dapat info, perempuan itu adalah istrinya suami kamu, Tika. Apa kamu benar- benar tidak tau semua itu. Mengingat kalian tinggal satu kota."
" Setahu ku Rani adalah saudara sepupunya, bang Rey. Aku sama sekali tak pernah curiga. Bagaimana mereka begitu tega membohongiku selama ini." akhirnya pecah juga tangisku.
" Tika, yang sabar dan kuat ya. Kamu jangan gegabah bertindak ya. Ya, Tuhan! Seandainya aku ada di dekatmu sekarang, Tika. " terdengar suara parau di seberang. Sepertinya Dira bersimpati dengan apa yang kurasakan saat ini. Ucapan dan simpati Dira, sedikitnya telah menguatkan hatiku.
Saat ini aku memang butuh seseorang untuk
tempatku curhat. Setelah hampir satu jam, aku mengobrol dengan Dira, akhirnya aku mengakhiri nya. Dira tak henti- hentinya mengingatkan aku untuk kuat dan sabar.
Yah, siapa sangka kebusukan suamiku dan keluarganya akan tersingkap lewat medsos. Aku mengira- ngira sudah sejak kapan suamiku dan keluarganya bermain di belakangku. Dan apa motif mereka melakukan semua kebohongan itu?
Apakah sejak awal pernikahanku atau sebelumnya. Atau sesudah kami menikah. Aku tak habis pikir bagaimana bisa mereka sembunyikan semua kebusukan itu, tanpa terendus olehku.
Ataukah aku yang terlalu naif. Dan begitu bodohnya, sehingga mereka sukses dengan gemilang membodohi ku.
Hem, jadi selama ini aku telah dimanfaatkan, ditipu habis-habisan!
Aku akan buat perhitungan, membalas semua perbuatan mereka padaku. Akan aku cari cara untuk membalaskan semua sakit hati ini, akibat dari penghianatan mu , Bang Rey! lenguhku geram.
Selama ini kurang lebih lima tahun aku telah menjalani pernikahanku bersama, Bang Rey. Aku selalu melaksanakan kewajibanku sebagai seorang istri, ibu dan menantu yang baik. Tak mudah melakukan semua itu, tetapi karena aku tau semua itu adalah kewajibanku sebagai seorang istri, aku berusaha menjalani semua itu dengan ihklas.
Awal- awal pernikahan kami adalah masa yang tersulit dimana kami berjuang mulai dari dasar membangun pondasi rumah tangga kami. Bang Rey yang waktu itu cuma kerja serabutan, otomatis keuangan kami selalu seret.
Aku yang cuma karyawan toko semasa gadis, terpaksa berhenti. Karena Bang Rey tidak suka aku selalu pulang malam. Apalagi karena peristiwa waktu itu, aku nyaris jadi korban pemerkosaan di dalam angkot. Saat pulang kerja shif malam.
Kejadian itu membuatku trauma.
Lalu dengan memanfaatkan sisa uang pesangon, aku mengikuti kursus menjahit. Setahun belajar, akupun berani menerima jahitan di rumah. Dengan memanfaatkan bekas gudang rumah orang tuaku, akupun membuka konveksi kecil- kecilan.
Puji Tuhan, semua berjalan dengan lancar. Dan di tahun ketiga pernikahan kami, lahirlah seorang putri cantik di tengah keluarga kecilku. Dan kelahiran putri kecilku ini, juga membawa berkah bagi keluargaku. Suamiku Bang Rey, diterima bekerja di sebuah perusahaan marketing, sebagai sales.
Seiring waktu berlalu, kehidupan rumah tanggaku semakin baik. Usaha konveksi yang kumiliki semakin maju, sehingga aku merekrut lima orang pekerja untuk membantuku.
Karena itulah aku tidak keberatan, separuh gaji dari Bang Rey di berikan untuk mama mertuaku. Karena Ayah mertua sudah meninggal dan dua adik iparku masih kuliah. ***
Bersambung, ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
sherly
ternyata separuh gaji si Rey bukan ke mertua malah ke madumu... malang betul nasibmu...
2024-04-21
0
Yunerty Blessa
sabar Tika..
2023-09-20
1
Rahma Inayah
msmpir thor .rey kacang lp kulit nya ternyata.
2023-07-30
1