7
Aku melihat oleh-oleh yang di bawa Bang Rey, kemarin masih teronggok di atas meja. Bolu Meranti dan ba pia kacang hitam itu sama sekali belum tersentuh. Biasanya tak sampai satu hari semua itu sudah ludes. Karena aku dan Nadia selalu balapan makannya. Tapi sekarang, jangankan untuk memakannya. Melihatnya saja aku sudah jijik.
Bayangan suamiku membelinya, yang pastinya ibu mertua dan Rani turut juga di sana belanja, membuat perutku serasa mual.
Kalau saja butik belum aku pindahkan, mungkin sudah ku kasih saja kepada Rita untuk dibagikan pada karyawanku. Tapi, karena sudah aku pindahkan diam- diam dan kusuruh Rita menghandle semua kegiatan di butik dan masih kupantau secara online. Malas rasanya aku mengantar kesana. Lebih baik saja ku antar ke mama mertua. Mengingat aku sudah jarang berkunjung. Selain itu akupun punya rencana yang harus sesegera mungkin aku jalankan. Sebagai babak pertama pembalasanku.
Kembali ke soal butik, sepertinya Bang Rey belum curiga atau menyadari bahwa beberapa hari ini butik tidak pernah ku buka. Mungkin karena kejadian kemarin itu, aku belum buka butik. Atau dia memang selama ini tak mau tau aku buka atau tidak.
Setelah memandikan Nadia dan aku juga sudah siap berkemas, kuajak Nadia sore itu ke rumah mama mertua.
"Mamah, kita mau kemana? Jayan-jayan ya?" celoteh Nadia dengan logat cadelnya. Untuk beberapa kata dan kalimat Nadia masih belum bisa melafalkan beberapa kata dengan pas.
" Iya sayang. Nana suka gak, kita kerumah opung?" ( panggilan untuk kakek/nenek dalam suku Batak)
"Yes! Nana suka , Mah. Tapi tundu dulu , Mah." Nana langsung melesat masuk ke kamarnya. Aku menggeleng kepala melihat polahnya. Entah apa yang mau dia ambil. Selang beberapa menit, Nana sudah balik dan di tangannya sudah tergendong boneka guk-guk kesayangannya.
"Nana, si guk-guk kok di bawa, sayang,?"
" Iya, Mah. Nanti dia nangis tundu kita pulang dari rumah, Opung." mata beningnya jadi berkabut.
"Bukan tundu sayang, tapi tunggu," aku meralat ucapannya.
"Iya Ma, tundu," ucapnya lagi. Ah, biar sajalah. Nanti juga dia akan fasih sendiri. Aku mengeluarkan sepeda motor dari garasii. Setelah menutup kembali, Nadia naik dan duduk di belakangku. Setelah memastikan duduknya nyaman. Aku menghidupkan mesin dan Varioku kini telah meluncur di jalan yang mulai ramai.
Tak sampai lima menit, kami sudah sampai. Kulihat mobil Bang Rey terparkir di halaman rumah
Deg!
Jantungku bertalu riuh, jadi seperti ini kah hari- hari yang kamu lewati, Bang. Sebelum ke rumah kamu singgah dulu di sini. Dan sehabis mahgrib baru kamu tiba di rumah. Bahkan hingga larut malam dengan alasan lembur.
Aku bergegas memarkir sepeda motorku, aku penasaran seperti apa paras Bang Rey dan Mama mertua juga Rani melihat kedatangan kami yang tanpa bilang-bilang.
"Mamah, itu mobil Papah, ya?"
"Sepertinya iya, sayang. Yuk, kita buat Papa kaget," dengan langkah mantap aku berjalan. Tak lupa aku menenteng kresek putih berisi bolu itu.
Kulihat pintu terbuka! Dan sepertinya tak ada yang menyadari kedatangan kami. Padahal merek tengah di ruang tamu. Sepertinya tengah asyik membicarakan sesuatu. Sampai tak menyadari ke datangan kami.
" Syaloon..." aku mengucso salam. Tanpa membalas ucapan salamku ketiga wajah itu terkesiap kaget dan paras itu mendadak pucat bak kertas. " Hello....." teriaku keras karena mereka seperti kena hipnotis melihat kedatangan kami. Aku goyang-goyangkan tas kresek putih itu di hadapan mereka.
"Eh, ka..kamu dek, ngapain ke sini?" ucapnya tergagap. Langsung berdiri menghampiriku. Ketara kali sikapnya yang nervous. Apalagi saat aku memergoki letak duduknya yang mepet banget ke Rani.Siapapun pasti menebak, pasti ada hubungan spesial melihat cara duduk seperti itu.
Tenang Tika, jangan terpancing ya. Ingat tujuanmu kesini, juga hendak bermain. Rileks, ya!" sesuara di hatiku memperingatakan.
" Apa yang salah dengan kedatangan kami, Bang? Kok ngomong begitu sih. Nih, aku mau mengantar oleh- oleh yang Abang bawa kemarin itu. Kan mubazir gak ada yang makan di rumah." cebikku pura-pura tak peduli suasana yang telah aku kacaukan. Terlebih wajah Rani, yang merasa serba salah. Mulutnya sampai kena lem setan kali sampe gak bisa ngomong apa- apa.
" Aduh, makasih ya sayang. Rani, cepat ambil bungkusan itu," ujar mama mertua tak kalah gugupnya. Rani lansung berdiri, dan mengulurkan tangannya ke arahku. Belum sempat dia terima, bungkusan itu sudah aku lepaskan. Akibatnya jatuh.
" Aduh maaf, ya Ran. Gak sengaja," ucapku. Sempat kulihat mata itu membulat, apa lagi aku tak berusaha mengambilnya malah segera berlalu dan aku duduk dengan santainya di tempat bekas duduknya, Bang Rey.
Seolah tak terjadi apa-apa, aku menatap Bang Rey dan Mama mertua. Aku tersenyum manis oada mereka, yang di balas dengan senyum pula tapi masam.
"Eh, Abang kok berdiri terus, sini dong," seruku. Kulihat Rani membungkuk memungut bungkusan itu. Dan pergi ke arah dapur. Mungkin mau buatkan teh. "Abang sudah pulang kantor ya, kok lansung kesini Bang. Ada hal penting ya?"
" Gak Dek, cuma karena kebetulan lewat saja, yah sekalian aja mampir. Kok Adek gak bilang- bilang kalo mau ke rumah ibu. Dan itu yang kamu bawa itu, kan oleh- oleh Abang kemarin." ucap Bang Rey beruntun. Nampak sekali sikapnya merasa tak nyaman.
" Salah ya oleh- olehnya aku bagi sama, Mama."
delikku protes.
"Bukan salah dek, tapi kan sudah ada juga sama Mama. Kami bahkan belinya sama- sama" jelas Bang Rey, membuat bola mata Mama mertua nyaris meloncat.
" Ukhuk..." tiba-tiba mama terbatuk, yang ku yakini sebagai kode karena Bang Rey keceplosan.
Dan benar saja, Bang Rey tersadar dan wajahnya berubah pias.
Lagi-lagi aku berlagak cuek. Sementara dalam hati bersorak melihat mereka yang sibuk menetralkan degub jantungnya.
" Kok bisa sama, ya. Ketemunya di mana? Apa Abang dan Mama bareng ke Medan? Bukannya Abang minggu kemarin itu ke luar kota."
"Sebenarnya gak pergi bareng, Tika. Kebetulan Mama dan Rani ke Siantar juga. Pas pulangnya jadi sama- sama. Gitu."
" Oh, gitu ya," aku mengguk. Alangkah lihainya Mama mertua melancarkan aksinya. Membantu kebohongan Bang Rey dengan sempurna.
" Nana sudah makan sore, gak?" ucap Mama mertua mencoba mengalihkan perhatianku agar aku tidak bertanya-tanya lagi. Oke, kuikuti saja alurnya.
" Nana sudah makan, Opung,"
Tak berapa lama Rani muncul dari dapur. Seperti dugaanku dia tengah menyeduh minuman untuk disuguhkan pada kami. Sekilas aku melirik wajahnya.
" Silakan di minum, Tik. Ayo Nana, "
" Makacih Ante," Nadia langsung turun dari pangkuan papa lalu mengaduk- aduk teh manis kesukaannya.
"Hati- hati sayang, masih panas!" seruku saat melihat Nadia hendak menyeruput teh manisnya. Aku merapatkan dudukku ke arah Bang Rey. Melihat reaksiku Bang Rey tersenyum dan mengambil segelas teh manis itu dan meletakkannya ke depanku.
" Makasih ya, Bang." aku menatapnya penuh mesra. Lalu tangan Bang Rey memelukku dari belakang.
"Kamu sudah gak pusing- pusing lagi, Dek?" ucapnya penuh perhatian. Bang Rey mungkin terpancing akan sikapku yang melunak. Karena beberapa hari ini aku acuhkan.
Sementara aku hanya sengaja memerkan kemesraan. Agar maduku yang tak tau diri ini. Juga Mama mertuaku yang tak kalah liciknya mengikuti perangkapku. Heleh..hampir saja aku ngakak saat kulirik wajah Rania, menunduk masam. Ketika Bang Rey dengan entengnya mengecup keningku.
Betapa seru permainan ini, aku akan tetap bermain cantik hingga aku dapatkan bukti catatan atau foto pernikahan kalian, Bang. Juga siapa- siapa yang terlibat di dalamnya. Tunggu saja..geramku!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
mantap Tika.. sokong dengan kekuatan yang kau miliki..
2023-09-20
1
Rahma Inayah
bgus ceritanyq main cantik tika dan elegan
2023-07-30
1
Hotma Gajah
sikaaattt..
2023-07-19
1