Di tahun pertama kami di kampung halaman, Tika
telah mampu merintis usaha konveksi yang dikelolanya di rumah kami dengan memamfaatkan
bekas gudang. Gudang yang tadinya tempat penyimpanan berbagai rongsokan kini menjadi tempat usaha. Dan istri saya mempekerjakan remaja yang tadinya adalah pengangguran. Meski
baru selesai belajar kursus, istriku memberanikan diri membuka usaha konveksinya dengan modak yang pas-pasan. Padahal aku waktu itu sangat pesimis, usaha itu akan berhasil.
Seiring waktu berlalu, usaha konveksi istriku perlahan-lahan menunjukkan hasil yang nyata. Usahanya makin dikenal orang. Dan otomatis ekonomi keluargakupun akhirnya.
Boleh di kata istrikulah yang menanggung semua biaya rumah tangga kami waktu itu. Karena aku masuh pengangguran. Jauh di dalam lubuk hatiku
aku merasa terbebani juga. Bahkan aku takut kalau- kalau istriku tidak membutuhkanku lagi. Perlahan aku merasa harga diriku mulai tergerus. Tak jarang aku berharap usaha istriku mendadak bangkrut saja, agar harga diriku normal kembali.
Egois, memang! Tapi itulah kenyataannya.Aku lebih senang dan bangga seandainya istriku bergantung padaku. Padahal kondisinya waktu itu, aku yang masih pengangguran belum mampu menjadi sandarannya.
Entah kenapa pikiran itu muncul di benakku, dan terus menjadi toxic yang menggerogoti hatiku. Padahal sikap dan perhatian Tika sama sekali tak oernah berubah. Sekalipun sibuk dengan usahanya
dia tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri yang baik. Tak pernah ada keluh kesah. Istriku memang benar-benar sempurna di mataku. Bahkan untuk kebutuhan ibu dan saudara- saudaraku, istriku juga membuka tangannya untuk
membantu membiayai kuliah adik-adikku. Hal ini semakin membuatku terpuruk. Aku jadi makin frustasi. Bukannya aku tak oernah menciba mencari perkerjaan. Segala cara telah aku coba tapi tetap tak membuahkan hasil. Tika memang memintaku untuk ikut kerja sama, membantunya. Tapi egoku yang tinggi merasa ogah untuk memenuhi tawarannya.
Untunglah setelah menjadi pengangguran saut tahun lebih, aku mendapatkan pekerjaan atas bantuan seorang teman. Menjadi seorang sales produk rokok. Saat aku kasih tau kabar itu. Tika sangat senang, dan mendukungku. Walau agak berat dua rasa karena aku akan lebih sering keluar kota.
"Berapa lama Abang ke luar kota," tanyanya waktu itu seraya menyusun baju dan keperluaku lainnya ke dalam tas ransel.
"Belum tau dek, mungkin seminggu, bisa jadi lebih" kataku. Aku melihat ada kabut di matanya. Entah kenapa dia sedih, padahal aku pergi untuk bekerja.
"Sebenarnya Adek, berat melwpasmu ,Bang." istriku memegangi lenganku dan bergelut manja.
" Ya ampun, dek. Abang ini pergi, untuk menunaikan tanggung jawab Abang sebagai kepala rumah tangga. Seharusnya adek mendukung Abang, bukannya berkata begitu,"
"Seminggu itu kan lama, Bang. Gak ada teman Adek di sini. Kenapa sih Abang gak mau bantu aku bang mengelola usaha kita itu. Kan Abang gak perlu pergi jauh-jauh seperti ini"
"Kamu itu, harus ngerti perasaan Abang, Dek. Biarkan Abang bekerja sesuai nurani, Abang. Apa kata orang nanti, kalau Abang ini bekerja sama istri sendiri. Kan gak enak."
"Oh, jadi itu sebabnya Abang menolak kerja sama dengan Adek, takut diomongin orang, begitu?"
" Eh, bukan seperri itu maksud Abang, Dek." sahutku gelagapan karena salah ngomong. Wajah nya ditekuk, lalu menarik resleting tas, setelah semua keperluanku tersusun du dalamnya. Melihatnya yang mendadak diam, aku jadi iba juga merasa bersalah.
"Maafkan Abang ya, Dek. Abang gak bermaksyd bicara begitu," kuraih tubuhnya dan kurengkuh dalam pelukanku. Istriku terisak dalam pelukanku dan semakin membenamkan wajahnya saat kuelus kepalanya.
" Adek tak mengira, Abang punya pikiran seperti itu
padahal semuanya ini Adek lakukan untuk keluarga kita, bang. Bukan untuk kepertingan diriku saja,"
" Sudahlah dek, Abang minta maaf ya. Abang juga lakukan ini untuk kamu. Abang akan lebih bangga bila mampu membahagiakan kamu, dengan upaya Abang."
" Adek juga minta maaf, ya. Karena sudah salah paham." bisiknya lirih.Kulonggarkan pelukanku dan kutatap wajah teduh itu. Kuusap air mata yang masih tersisa di sudut matanya. Ah, mengapa hatiku begitu sulit untuk menerima keberadaanya tanpa harus merasa teremehkan. Padahal istriku begitu tulus dalam mengasihiku. Dan dia adalah pilihan hatiku. Yang kekagumanku berawal dari kemandiriannya.
Kulumat b*b*r istriku, sebagai tanda rasa sesalku
karena telah membuatnya menangis. Aku tak pernah meragukan cintanya padaku, yang selalu ia pasrahkan padaku. Seperti waktu malam itu. saat aku menuntutnya melayani hasratku. Selalu saja ia tunaikan dengan penuh cinta. Dia hanya tak ingin jauh dan selalu bersamaku, itulah pengakuannya
padaku malam itu yang ia ucapkan dengan lirih sesaat sebelum terlelap saat kupuaskan nafkah batinnya.
Tapi, seiring waktu berjalan. Entah siapa yang memulai. Atau dari mana asal mula asap itu. Sehingga perlahan- lahan ada bara yang menyala diantara kami. Yang suatu saat akan siap membakar habis mahligai rumah tanggaku. Hanya tinggal menunggu waktu. Selama aku tak berniat memadamkannya, sekam itu akan bertambah panas!
Akulah yang telah bermain api. Karena hampir tiga tahun terakhir ini aku telah mendustai istriku. Dusta yang kumulai saat di setiap perjalanan dinasku keluar kota. Aku telah menumpuk bara itu.
Tepatnya di tahun ketiga pernikahanku ,Tika istriku hamil.Mimpi yang telah lama kami idam-idamkan akhirnya terwujud. Rasa bahagia itu tak terlukiskan
dengan kata-kata. Dan disaat hamil tua, Tika tak bisa lagi melayaniku seperti biasanya. Dan di saat masa rawan itulah, tanoa sengaja aku bertemu kembali dengan Rani mantan pacarku semasa SMA dulu.
Kami bertemu di Siantar, saat aku dan Rudi tuga luar kota. Pertemuan yang awalnya hanya biasa saja. Akhirnya jadi luar biasa dan selalu saja ungin bertemu. Rani salah satu langganan kami, dia membuka usaha kelontong. Dan sekali sebulan kami akan mengisi produk kami di tokonya.
Rani telah menjadi janda, dia diceraikan suaminya karena lima tahun pernikahannya belum juga memiliki anak. Akhirnya suaminya selingkuh dan memiliki anak dari selingkuhannya. Dari pada di madu Rani memilih bercerai. Tapi anehnya, Rani bersedia jadi madunya istrriku.Tapi pernikahan kami dilakukan diam- diam. Dikampung asalnya Rani, di pelosok Sipirok.
Perihal pernikahanku yang kedua tidak seorang pun yang mengetahuinya kecuali ibu dan saudara- saudaraku. Kurang kebih tiga tahun ini, aku bisa menyimpan rapat rahasia itu. Bahkan Rani kubawa tinggal seatap dengan ibuku dan kuperkenalkan sebagai saudara sepupuku kepada istriku dan orang lain.
Terkadang rasa bersalah itu selalu datang menggerogoti, dan rasa was- was rahasiaku itu akan terbongkar.Akan tetapi semua sudah terlanjur terjadi, aku sudah berkubang dan terjerat, Entah dengan cara apa nanti semua dustaku itu bisa kututupi terus. Dari satu kebohongan untuk menutupi kebohongan yang lain. Berputar terus, benar- benar membuatku lelah juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
sherly
luar biasa banget keluargamu Rey, dah tau masih minta uang Ama Tika buat byr kuliah dan biaya hidup mamamu teganya mereka merestui kamu nikah Ama Rani... wowww
2024-04-21
0
Erina Situmeang
wihh...ada ya keluarga yg mendukung perbuatan seperti itu
Sdh dikasih makan malah mengigit...
2023-04-24
1
Sunarti
Rey kebohongan mu akan menjeratmu
2023-01-18
1