NovelToon NovelToon

Dustanya Suamiku

1

"Derrrttt...." deringan suara panggilan dari benda pipih yang kuletakkan diatas meja makan menghentikan aktivitasku, mencuci piring.

Kuambil gawaiku dan kulihat ada panggilan di layar berlogo telepon hijau. Tak ada inisial nama, jadi aku ragu untuk mengangkatnya.

Saat aku mau melanjutkan pekerjaanku, gawaiku kembali bergetar. Langsung kutekan tanda terima panggilan.

" Halo, selamat siang, ini dengan siapa ya?" sapaku ramah.

" Hai...Tika, apa khabar?!" teriak suara di seberang. Kujauhkan gawaiku dari telinga karena volume yang memecahkan anak telingaku. Sepertinya disengaja, buktinya terdengar suara tawa, membahana selang berikutnya.

Aku mengeryitkan keningku, merasa aneh di siang - siang begini ada yang ngerjain.

Kuletakkan gawaiku kembali, aku tak ada waktu meladeni orang yang sekedar iseng. Tapi detik berikutnya kudengar suara lagi.

" Ini aku Dira, Tika. Masak lupa sama suaraku!" serunya lagi di seberang sana.

" Dira? Dira siapa ya? Oh, mama Dira ya?" tetiba aku ingat ada temanku dengan panggilan mama Dira. Masih tinggal satu komplek denganku. Tapi kok tumben menghubungi lewat hape, kan bisa langsung datang kerumah. Lagian suaranya kok beda ya, fikirku merasa aneh

" Halo Tika, kamu masih di situkan. Ini aku Dira teman SMA kamu dulu!" serunya lagi.

"Woalah! Kok bisa sampe lupa, kamu toh si pengrusak itu? Apa kabar, kirain siapa tadi!" dengusku pura-pura kesal.

"Ais...masih ingat saja kamu gelar abadiku itu ya, ha..." gelaknya di seberang.

" Iyalah, gak bakalan lupa kisah itu Dir," aku ikutan tergelak mengingat kisah cikal bakal Dira dapat gelar " si pengrusak" gegara Dira suka merusak hubungan teman kami yang punya pacar. Bukan diselingkuhin, tapi Dira mengerjain mereka dengan sms-an iseng. Yang ujung-ujungnya membuat salah faham dan berakhir putus.

Puas saling menertawakan aku diingatkan untuk menanyakan tujuannya meneleponku.

"Tau dari mana nomorku, Dir?" mengingat kami yang sudah lama tak bersua.

Selepas SMA, cuma sekali kami bertemu. Itu tepatnya sepuluh tahun yang lalu. Dan selama itulah kami kehilangan kontak. Makanya aku heran ketika Dira tiba- tiba mengontakku.

" Kamu masih ingat Ira gak ,Tika? Katanya kalian jumpa seminggu yang lalu.

" Oh , iya Dir, kami jumpa di acara pernikahan sepupunya, yang kebetulan teman kerjaku," beberku pada Dira. Kami sempat saling tukar nomor waktu itu. Sayang, kami hanya jumpa sebentar.

"O, ya Dir, kamu lagi di mana sih, kok berisik banget," tanyaku saat suaranya kurang jelas. Sepertinya Dira lagi di pusat perbelanjaan. Tapi saat kutanya, dia lagi menghadiri acara masuk rumah baru dan ultah ibu dari tetangganya.

Lalu Dira mengubah panggilan, menjadikan video call. Dira menyorot acara ultah yang dihadirinya. Aku melihat acara yang sedang berlangsung. Ofs! Aku mendadak kaget saat melihat video. Sepertinya wajah- wajah itu tak asing.

Kok, bisa- bisanya bang Rey suamiku, ada di acara itu. Bukankah bang Rey pamit padaku, pergi keluar kota urusan kantor?

Dan,

Hei..bukannya itu mama mertuaku juga. Keluarga kakak ipar juga. Kok mereka pada kumpul di sana? Tanya batinku penuh keheranan.

"Dira..tolong buatkan siaran lansung Dir. Aku ingin melihat acaranya lebih jelas," pintaku dengan hati yang mendadak bagai ditusuk

.

" Kepo amat kamu Tika, itu cuma acara ultah mamanya temanku," ujarnya.

" Masalahnya Dir, itu mama mertua aku, juga suami aku ada disana. Kok aku gak tau ada acara ultah mertuaku! " seruku.

" Yang bener aja kamu ,Tika." delik Dira tak percaya.

Lalu Dira meliput acara itu dan menyiarkannya secara langsung. Entah seperti apa suasana hatiku saat melihat video itu.Sejuta tanya yang tak terjawab, menyergap hatiku.

Sebenarnya apa yang telah terjadi? Bagaimana bisa aku tidak tau dan tidak diberi tahu, bahwa mama mertua merayakan pesta ultahnya. Kenapa harus di Medan. Padahal aku tinggal satu kota dengan mama mertua. Hanya beda kelurahan, jaraknyapun cuma lima belas menit jalan kaki.

Pertanyaan yang bersiliweran di benakku membuat pusing kepalaku. Ada apa semua ini. Belum lagi saat kulihat mama mertua saat menyuap sepotong kue ke mulut Rani, saudara sepupunya bang Rey. Yang kebetulan tinggal bersama mama mertua selama ini.

Nampak sekali sikap mama mertua begitu hangat menatap Rani. Dan juga sikap bang Rey yang memeluk pinggang Rani dengan mesra. Bahkan tangan bang Rey sesekali mengusap kepala Rani. Seperti ada serangan ribuan jarum yang tiba- tiba menghujam jantung dan hatiku.

Rasanya begitu sakit, ngilu dan perihnya seolah membetot aliran darahku sehingga berhenti. Aku kewalahan untuk bernafas.

Rileks, Tika! Kamu harus tenang dan menguasai emosi, ingat ada Nadia putrimu. Yang lebih membutuhkanmu! Hardik suara di hatiku.

Aku menarik nafasku perlahan, bayang wajah Nadia putri semata wayangku bermain di pelupuk mataku. Dengan susah payah akhirnya aku kembali menguasai diriku. Ku hirup udara dan menghembuskannya perlahan.

Aku harus kuat, harus sabar. Lalu secara perlahan aku berjalan ke arah kulkas. Ku raih botol mineral dan meminumnya hingga separuh.

Lalu ku pungut kembali benda pipih yang tergeletak di atas meja. Ku himpun kekuatanku untuk kembali melihat video itu. Tapi belum sempat aku mengaktifkan gawaiku, di layar terlihat ada panggilan. Ku tekan tombol hijau untuk menerima panggilan.

" Tika, apa kamu baik- baik saja," suara di seberang terdengar was-was.

" Yah, aku baik-baik saja," lirihku mencoba menahan buliran air mataku.

"Tika, maafkan aku ya," desah Dira parau. Aku sama sekali gak tau kalau mereka adalah keluarga kamu."

"Aku justru berterima kasih padamu Dira, lewat kamu aku jadi tau kebusukan suami dan keluarganya. Aku mohon, coba pantau mereka dan cari informasi ada hubungan apa suamiku dengan perempuan itu."

" Tapi, Tika apa kamu yakin kuat untuk mendengarnya,"

" Jangan khawatir, aku pasti kuat," ujarku pasti.

" Tadi aku dapat info, perempuan itu adalah istrinya suami kamu, Tika. Apa kamu benar- benar tidak tau semua itu. Mengingat kalian tinggal satu kota."

" Setahu ku Rani adalah saudara sepupunya, bang Rey. Aku sama sekali tak pernah curiga. Bagaimana mereka begitu tega membohongiku selama ini." akhirnya pecah juga tangisku.

" Tika, yang sabar dan kuat ya. Kamu jangan gegabah bertindak ya. Ya, Tuhan! Seandainya aku ada di dekatmu sekarang, Tika. " terdengar suara parau di seberang. Sepertinya Dira bersimpati dengan apa yang kurasakan saat ini. Ucapan dan simpati Dira, sedikitnya telah menguatkan hatiku.

Saat ini aku memang butuh seseorang untuk

tempatku curhat. Setelah hampir satu jam, aku mengobrol dengan Dira, akhirnya aku mengakhiri nya. Dira tak henti- hentinya mengingatkan aku untuk kuat dan sabar.

Yah, siapa sangka kebusukan suamiku dan keluarganya akan tersingkap lewat medsos. Aku mengira- ngira sudah sejak kapan suamiku dan keluarganya bermain di belakangku. Dan apa motif mereka melakukan semua kebohongan itu?

Apakah sejak awal pernikahanku atau sebelumnya. Atau sesudah kami menikah. Aku tak habis pikir bagaimana bisa mereka sembunyikan semua kebusukan itu, tanpa terendus olehku.

Ataukah aku yang terlalu naif. Dan begitu bodohnya, sehingga mereka sukses dengan gemilang membodohi ku.

Hem, jadi selama ini aku telah dimanfaatkan, ditipu habis-habisan!

Aku akan buat perhitungan, membalas semua perbuatan mereka padaku. Akan aku cari cara untuk membalaskan semua sakit hati ini, akibat dari penghianatan mu , Bang Rey! lenguhku geram.

Selama ini kurang lebih lima tahun aku telah menjalani pernikahanku bersama, Bang Rey. Aku selalu melaksanakan kewajibanku sebagai seorang istri, ibu dan menantu yang baik. Tak mudah melakukan semua itu, tetapi karena aku tau semua itu adalah kewajibanku sebagai seorang istri, aku berusaha menjalani semua itu dengan ihklas.

Awal- awal pernikahan kami adalah masa yang tersulit dimana kami berjuang mulai dari dasar membangun pondasi rumah tangga kami. Bang Rey yang waktu itu cuma kerja serabutan, otomatis keuangan kami selalu seret.

Aku yang cuma karyawan toko semasa gadis, terpaksa berhenti. Karena Bang Rey tidak suka aku selalu pulang malam. Apalagi karena peristiwa waktu itu, aku nyaris jadi korban pemerkosaan di dalam angkot. Saat pulang kerja shif malam.

Kejadian itu membuatku trauma.

Lalu dengan memanfaatkan sisa uang pesangon, aku mengikuti kursus menjahit. Setahun belajar, akupun berani menerima jahitan di rumah. Dengan memanfaatkan bekas gudang rumah orang tuaku, akupun membuka konveksi kecil- kecilan.

Puji Tuhan, semua berjalan dengan lancar. Dan di tahun ketiga pernikahan kami, lahirlah seorang putri cantik di tengah keluarga kecilku. Dan kelahiran putri kecilku ini, juga membawa berkah bagi keluargaku. Suamiku Bang Rey, diterima bekerja di sebuah perusahaan marketing, sebagai sales.

Seiring waktu berlalu, kehidupan rumah tanggaku semakin baik. Usaha konveksi yang kumiliki semakin maju, sehingga aku merekrut lima orang pekerja untuk membantuku.

Karena itulah aku tidak keberatan, separuh gaji dari Bang Rey di berikan untuk mama mertuaku. Karena Ayah mertua sudah meninggal dan dua adik iparku masih kuliah. ***

Bersambung, ya.

Bab 2

Karena ayah mertuaku sudah meninggal dan dua adik iparku masih kuliah. Bang Rey adalah anak kedua dan satu- satunya lelaki. Yang sulung kak Fani sudah menikah dan tinggal di Batam. Yeni anak ketiga dan telah menikah juga tinggal di Medan. Sedang si bungsu masih kuliah di Jakarta.

Sekalipun telah menikah, Yeni masih saja menjadi tanggungan bang Rey, karena dia keburu menikah padahal kuliahnya belum selesai. Setiap bulan bang Rey masih mengirim uang untuk keperluan kuliahnya.

Walau aku pernah protes soal Yeni, tapi Bang Rey bersikukuh untuk terus membiayai kuliahnya. Katanya tinggal semester akhir, sayang kalau harus keluar. Tapi anehnya hingga sekarang aku tidak tau bagaimana kelanjutan kuliahnya.

Karena hingga saat ini Yeni belum diwisuda juga. Atau jangan- jangan aku tidak diberitahu. Dan diam- diam mereka saja yang menghadirinya.

Dan karena mama mertua tinggal sendirian di rumah, tiga tahun terakhir ini mama mertua ditemani oleh saudara sepupu bang Rey, Rani.

Rani bekerja disebuah instansi swasta. Dan informasi yang aku tau dia sudah menjadi janda. Karena tidak memiliki anak, Rani diceraikan oleh suaminya.

Nyatanya, Rani adalah istri bang Rey!

Entah sejak kapan mereka menikah, sungguh semua cerita itu telah meluluh lantakkan hatiku. Tapi aku tidak mau hancur begitu saja, aku juga akan bermain- main, mengikuti permainan mereka. Lihat saja akan kubalaskan semua perbuatan mereka padaku.

"Mama ..!" suara tangis Nadia putriku tiba- tiba membuyarkan semua lamunan ku. Gegas aku berlari ke kamar, dan kulihat Nadia terjaga dari tidurnya. Aku mengusap lembut kepalanya dan menggendongnya ke luar dari kamar.

"Mama, ada orang jahat mukul, Nadia Ma." sepertinya putriku mimpi buruk sehingga ia terjaga dari tidur siangnya.

" Putri cantik mama mimpi buruk, ya?"

kuusap air matanya seraya kuberi minum . Ia menganguk, dan memelukku kian erat.

"Udah ya sayang jangan takut yah, kan ada mama yang menjagamu."

" Tapi orang jahat itu juga memukul mama, sampai jatuh. Nana jadi takut, Nana nangis, Papa gak mau nolongin mama." Nadia menceritakan mimpinya sambil berurai air mata.

Seketika hatiku seperti ada yang menghantam. Mimpinya seolah gambaran hatiku saat ini.

"Udah, itu cuma mimpi ya sayang. Buktinya gak ada yang mukul mamakan. Nanti kalau ada yang jahatin mama dan Nana, Papa pasti melindungi kita. Papa kan sayang sama Nana dan Mama."

Mata bening itu menatapku dalam- dalam. Seolah dia sedang mencari sesuatu. Ataukah tengah menyakinkan dirinya, bahwa mamanya tidak akan disakiti oleh siapapun.

Kutangkup wajah oval itu, dan kuciumi seluruh wajahnya. Mungkin karena geli dia tergelak dan balas menciumi wajahku pula, lalu tangan kecilnya memeluk leherku.

"Nana mau gak mama ajak jalan- jalan ke mall," seketika wajah itu berbinar matanya mengerjap indah.

" Beli es kim ya, ma,"

"Terserah apa maunya Nana,"

"Bembi juga boyeh ma?" kerlingnya lucu. Aku jadi gemas mendengar mulut cadelnya bicara. Padahal koleksi berbynya sudah lusinan.

Tapi semua wujudnya astaga, amburadul! Kalau gak botak yah, dimutilasi. Ada yang gak peke baju, atau sepatu.

Tapi biarlah dia bermain sesuai umur dan imajinasinya. Karena memang masa pertumbuhannya. Dan sekali ini biar sajalah dia puaskan hatinya.

Aku membawa anakku ke taman bermain, dan dia memilih untuk mandi bola. Kebetulan ada anak lain juga tengah bermain. Nadia langsung akrab dengan anak yang seusia dirinya. Mereka tertawa riang, saling melempar bola dan mengejar.

Melihat tawanya yang begitu lepas, aku merasa sangat bersalah. Karena selama ini aku jarang membawanya keluar rumah. Tentunya karena kesibukanku mengurus butik.

Sedang bang Rey juga jarang mengajak kami untuk sekedar refreshing.

Padahal kami memiliki mobil yang akan memudahkan kami untuk sekedar berburu tempat wisata. Dan anehnya setiap hari libur, bang Rey justru selalu keluar rumah. Alasannya bersama temannyalah, ke rumah ibulah.

Hei..! Jantungku serasa berdegup tak beraturan. Jangan-jangan selama ini bang Rey menghabiskan waktu weekendnya bersama ibu dan Rani. Ingat kenyataan bahwa aku telah di duakan, selama ini. Membuat darahku berdesir!

Tekadku semakin bulat untuk membalas semua permainan itu. Tunggu saja, Bang. Tunggulah! geramku membatin!

"Mama...Mama kenapa,?" aku tersentak saat aku merasa rok ku ditarik-tarik. Ternyata Nadia. Kulihat matanya memerah, lansung kupeluk dia.

,"Ada apa sayang, kok kamu nangis?"

"Mama, napa diam aja, panggil Nana,"

Astaga! Aku lupa lagi berada di mana, anakku telah kuabaika begitu saja.

" Maaf ya sayang, tadi mama agak pusing. Sekarang Nana main lagi ya, biar mama foto dan kita kirim sama papa,"

Nadia mengikut saja apa yang kubilang, tapi langkahnya nampak berat. Begitu juga saat aku suruh berpose, susah sekali dianya untuk senyum, kalau gak aku suruh.

'Fokus Tika!' hardik sesuara di hatiku. Jangan perlihatkan suasana hatimu, pada anakmu! Perasaannya sangat peka! Hatiku serasa diremas. Nadia memang sangat mudah merasakan bila suasana hatiku riang atau sedih.

"Nana, sini nak," aku melambaikan tanganku supaya dia mendekat.

" Apa Ma,"

" Kamu kenapa sayang, kok lesu. Kamu sakit ya?" aku meraba tubuh Nadia. Tapi suhunya normal.

"Nana capek ya, sayang? Yok, kita beli es kimnya," mata indah itu langsung mengerjap.

Kami segera berlalu dari arena taman bermain, menuju cafe penjual es cream langganan kami. Aku memesan rasa coklat dan Nadia rasa vanila. Begitu pesanan tiba, Nadia langsung mencicipi es krimnya.

" Mah, es kimnya enak," serunya seakan lupa kelesuannya tadi.

"Hem...memang enak. Apa gegara es kim ini tadi Nana lesu," selidikku.

"Ngak Mah," gelengnya tertunduk.

"Trus, gara- gara apa dong," tanyaku lembut. Tetiba aku melihat kabut di bening matanya.

" Nana lindu Papah," Deg! Hatiku tercekat mendengar kata itu.

"Papah kan lagi kerja, Na. Ntar lagi juga pulang, sayang."

" Tadi Nana liat ada dedek main sama Papahnya. Nana juga mau Mah, main sama Papah!" seperti ada palu godam yang menghantam jantungku!

Nana yang umurnya bulan depan genap tiga

tahun, menyimpan kerinduan itu sama papanya. Bang Rey memang jarang mengajak Nadia bermain. Karena pekerjaanya yang menuntut selalu ke luar kota. Sehingga kebersamaan bersama keluarganya terabaikan.

Aku memang juga merasakan hal itu, tapi tidak bisa berbuat apa- apa. Karena itulah aku selalu berupaya menutupi kekurangan itu, lebih perhatian pada Nadia. Sesibuk apapun aku di butik, Nadia tetap jadi prioritasku. Tapi, ternyata, aku masih tetap tak mampu menutup ruang kosong itu.

"Nanti kalau Papah udah pulang, kita ajak main yah,"

" Hole...janji ya, Mah!" Nadia menautkan jari kelingkingnya ke jariku.

"Iya, Mama janji sayang. Yuk, kita selfi lagi, biar kita kirim fotonya sama, Papah,"

Selesai foto selfi, kami kembali menikmati es cream pesanan kami. Beda dengan suasana tadi, kini Nadia begitu menikmati es creamnya.

Selagi kami asyik menikmatinya, tiba- tiba sebuah suara menyapa.

"Selamat sore bu Tika,"

"Eh, Pak Rudi! Selamat sore Pak," sambutku seraya mengulurkan tangan menyambut salamnya.

Aku merasa heran kok Pak Rudi ada di sini bukankah suamiku bilang mereka sama-sama dinas ke luar kota. Tapi kok Pak Rudi ada di sini.

Aku menatap Pak Rudi, heran. Dan dia juga menatapku dengan ekspresi yang sama.

" Bukannya Pak Rudi bareng dinas ke luar kota bersama suami saya, Pak," tanyaku penasaran.

" Saya dengan Pak Rey tak pernah lagi dinas ke luar kota, Bu. Kita sudah di kantor sekarang. Soalnya kami bukan sales lagi" jelas Pak Rudi membuatku kaget.

" Sejak kapan Pak?"

" Kurang lebih dua tahun, Bu. Saya malah heran, kok Ibu Tika ada di sini, harusnyakan bersama Pak Rey, di Medan. Karena mau pemberkatan rumah baru, sekalian perayaan ulang tahun mertua ibu?" kepalaku rasanya tiba-tiba pusing mendengar ucapan Pak Rudi. Dusta apa lagi ini, sebegitu banyaknya kebohongan yang di lakukan suamiku selama ini padaku.

" Pak Rudi tau dari mana khabar itu."

" Pak Rey kan minta cuti seminggu, Bu. Ada acara keluarga katanya. Masak Bu Tika tidak tau, secara ibu adalah istrinya."

Ya, Tuhan rasanya aku tak kuat mendengar semua cerita itu. Bagaimana mungkin Bang Rey dan Mama mertua tega membohongiku.

"Pak , boleh minta tolong sama Bapak, jangan kasih tau kalau kita pernah bertemu ya, Pak."

" Maksud Bu Tika apa?"

" Saya minta tolong sama Bapak, agar tidak cerita bahwa saya sudah tau, tentang rumah itu."

" Lho, memangnya Bu Tika belum tau?" aku mengangguk lemah, dan berusaha menahan emosi yang bergolak di dadaku.

" Aduh, maaf ya Bu sepertinya saya telah menyampaikan kabar buruk sama Ibu."

" Tidak apa- apa, Pak. Saya malah sangat berterima kasih pada Bapak. Karena saya jadi tau semua kebohongan suamiku" rutukku dalam hati.

" Saya jadi merasa gak enak hati, Bu. Maafkan saya ya,Bu." ketara sekali Pak Rudi menyesal. Karena tanpa sengaja telah membuka rahasia suamiku.

Aku meyakinkan Pak Rudi, bahwa aku tidak akan melibatkannya, seandainya aku konfirmasikan cerita itu pada suamiku.

Pak Rudi menghela nafas lega, dan berkali- kali meminta maaf sebelum pamit untuk pulang.

Sepandai- pandai menyimpan bangkai, pada

akhirnya baunya tercium juga. Tepat sekali kata-kata itu di tujukan kepada Bang Rey. Dustanya yang selama ini tersimpan rapi, satu persatu terkuak tanpa sengaja. Sepertinya aku tak begitu kenal lagi akan suamiku. Aku merasa jadi orang asing, dan selama ini terabaikan.

Padahal lima tahun mengayuh biduk rumah tangga, susah senang kami lalui bersama ternyata hanya fatamorgana. ***

3

"Ting.." ada notifikasi masuk di aplikasi berlambang telepon hijau. Aku yang tengah menyuapi Nadia makan melirik ke arah gawaiku. Ku raih benda pipih itu dari atas meja dan kubuka.

" Ngapain sih posting status kayak itu. Mau pamer, ya!" ternyata pesan dari Bang Rey. Astaga! Komentar yang cukup pedas menohok jantungku.

" Abang kok begitu sih, itu hanya foto Nadia, saat bermain di taman juga saat makan es cream." jelas ku. Tadi sebelum makan sore, Nadia menyuruhku supaya fotonya di posting, biar diliat papah sama Nenek katanya. Makanya aku posting. Tak ku sangka segitunya reaksi Bang Rey mengomentari postinganku.

" Itu namanya pemborosan, Tika. Kamu jangan terlalu memanjakan, Nadia. Jadi kebiasaan! " balasnya. Astaga! Perhitungan sekali Bang Rey untuk kebahagiaan putrinya. Sementara mama mertua merayakan ultah secara diam-diam. Dan sudah berapa uang yang dia gelontorkan untuk gundiknya. Sama sekali dia gak perhitungan.

Sementara aku bawa Nadia bermain, gak sampai habis seratus ribuan dia sebut pemborosan! Semua kebohongan

yang dia lakukan selama ini padaku. Dasar munafik! Lenguhku penuh kegeraman.

" Gak sampe juga seratus ribuan habis,Bang. Untuk anak sendiri perhitungan banget, Bang. Yang sudah bau tanah saja masih mikirin untuk pesta ulang tahun. Budgetnya sudah berapa tu," sindirku.

" Maksudnya kamu ini apa dek. Siapa yang merayakan ulang tahun?"

." Gak siapa- siapa, Bang. Maksudku untuk mendapatkan kebahagian itu. Seseorang gak mikir berapa , apa dan bagaimana," jawabku asal. Lalu ku letakkan gawaiku kembali ke atas meja. Muak kali aku melihat sikap Bang Rey. Tunggulah Bang, lihat seperti apa pembalasanku nanti padamu, atas semua dusta yang telah kau tabur.

Aku teringat seminggu yang lalu mama mertua datang meminjam uang lima juta padaku. Tanpa curiga dan bertanya apa- apa langsung aku kasih. Mungkinkah uang itu untuk keperluan mereka ke Medan. Dan Bang Rey sehari sebelumnya juga minta uang lima juta dengan janji akan dia kembalikan selepas gajian. Karena aku bilang uang itu adalah untuk keperluan butik.

Belum lagi untuk uang kuliah kedua adek nya. Mereka memang menjadikan aku seperti mesin pencetak uang. Dan bodohnya aku yang mudah saja dibohongi. Padahal aku tulus melakukan semua itu, karena mereka adalah keluargaku. Kedua orang tuaku sudah lama meninggal dunia. Dan aku hanya anak semata wayang. Jadi untuk siapa lagi aku berbagi.

Tetapi betapa kejamnya mereka membalas semua kebaikanku dengan kebohongan demi kebohongan. Aku yakin, mereka akan terus menggerus aku hingga aku tak punya apa-apa.

Sangat, sangat ku bersukur karena Tuhan telah mengirimkan orang- orang baik kepadaku untuk membuka kedok suamiku. Kalau bukan karena campur tanganNya, bagaimana bisa aku tau semua perbuatan mereka.

Aku menyusun berbagai rencanaku untuk langkah selanjutnya. Hal pertama yang akan kulakukan aku harus mengamankan aset masa depanku. Aku akan memindahkan butikku dan menyatakannya bangkrut! Juga untuk hal-hal lainnya akan segera ku urus, sebelum kepulangan Bang Rey dari Medan.

Kembali gawaiku berbunyi, dan kulihat ada pesan baru dari nomor yang tidak kukenal. Ternyata sejumlah foto kebersamaan Bang Rey bersama mama mertua dan kakak serta adik iparku. Sepertinya mereka ada di Danau Toba!

Ada satu foto yang sangat menarik perhatianku, Bang Rey tengah memeluk Rani dengan mesra berlatar Danau Toba.

Cukup sudah kesakitan ini, bagaimana Bang Rey bisa melakukan semua itu. Apakah memang hati nuraninya sudah mati.

" Ini siapa ya, dan apa maksud semua ini," balasku.

" Hanya sekedar memberi tahu, bahwa suami mbak adalah seorang iblis," balasnya dengan emoticon marah dan menangis.

" Tapi kamu siapa?"

" Siapa aku itu tidak penting, tapi bertindaklah agar suami mbak tau apa itu " pembalasan" dan mereka menuai apa yang telah mereka tabur! " aku benar- benar bingung dengan peringatan itu. Siapapun yang telah mengirimkan foto itu dia tak ingin di ketahaui. Karena dia menggunakan akun palsu. Yang jelas dia itu pasti kenal aku dan Bang Rey.

Apapun maksudnya dan tujuannya, dia mungkin hanya ingin membongkar kebobrokan suamiku. Ku simpan semua foto yang barusan dikirim seseorang itu dan vidio yang di kirimkan temanku Dira, untuk menjadi bukti saat di perlukan.

Ah, inikah akhir dari perjuanganku selama ini. Memiliki sebuah keluarga yang akan menjadi surgaku di dunia ini.

Alangkah sakitnya kenyataan yang terjadi. Seluruh rasaku membeku, pedihnya tak bisa ku wakilkan dengan kata- kata. Rasanya telah membunuhku berkali- kali. Tuhan! Tolong aku, lafaz ku dalam doa malamku.

Semua kesakitan ini akan ku balas, sebelum akhirnya akan pergi nanti. Karena tak mungkin lagi bagiku untuk hidup berdampingan dengan orang- orang yang telah menghianati ku.

Setelah seminggu, sesuai jadwal dinas keluar kota. Pagi ini Bang Rey pulang ke rumah. Seolah tidak pernah ada terjadi apa- apa, sejak kepergiannya.

Aku tetap menyambut kepulangan Bang Rey seperti biasa. Ku raih kantong plastik kresek berwarna bening berisi bolu Meranti dan bakpau kacang hitam, kesukaan ku dan Nadia. Lalu kucium punggung tangannya. Sementara Bang Rey menyeret travel bag-nya masuk ke rumah. Dan aku menyusul di belakangnya.

Biasanya aku sangat senang di hadiahi oleh- oleh favoritku, tapi saat ini makanan itu sangat menjijikkan! Aku segera berlalu ke dapur untuk menyeduh

segelas kopi kesukaan Bang Rey.

Saat aku kembali ke ruang tengah, kulihat Bang Rey tiduran di atas sofa. Nampak jelas wajahnya menyiratkan kelelahan. Dan lagi- lagi aku merasa jijik dan muak.

" Gak mandi dulu Bang, biar segar, " ucapku basa- basi. Aku sedikit kecewa karena Bang Rey tiduran, bukannya mencari keberadaan Nadia putrinya

"Bentar lagi lah, Abang mau istirahat dulu."

" Ini kopinya Bang, nanti keburu dingin," aku mengingatkan. Karena Bang Rey tidak suka kalau kopinya dingin, yang akhirnya terbuang percuma.

"Oh, Iya," Bang Rey duduk lalu menyeruput kopinya. " Hem..Nadia masih tidur ya?" akhirnya Bang Rey sadar kalau putrinya Nadia sedari tadi tidak nampak.

"Semalam kami begadang, Nadia gak bisa tidur," ucapku.

"Kenapa? Kebanyakan tidur siang, ya,"

"Gak, Nadia terjaga karena mimpi buruk,"ulasku.

"Mimpi buruk apa, tak biasanya dia begitu," Bang Rey mengernyitkan dahinya.

" Katanya ada orang jahat yang mukuli

Mamanya." aku sengaja menyindirnya, padahal mimpi itu sudah seminggu berlalu. Sengaja aku cerita untuk mengusik hatinya.

"Memukuli bagaimana, ada- ada saja mimpinya itu."

" Iya Bang, katanya ada perempuan menyakiti Mamanya, tapi Papanya gak mau menolong katanya. Dia ketakutan sekali, sampai nangis dia begitu terjaga."

Kulihat reaksi Bang Rey saat mendengar ceritaku, sepertinya ada rasa kaget sesaat, tapi dia kembali bersikap biasa dan menyeruput lagi kopinya.

Adakah Bang Rey ter tohok akan mimpi Nadia? Entahlah, aku meragukan itu. Mimpi hanyalah mimpi, sekalipun mimpi terkadang membawa makna orang lebih banyak mengabaikannya dan mengangapnya, hanya sebagai bunga tidur.

"Hem...mimpi itu cuma bunga tidur, gak ada makna apa- apa."

"Tapi aku gak bisa mengabaikanya begitu saja, Bang. Siapa tau itu pertanda akan terjadi sesuatu pada rumah tangga kita."

"Kamu ngomong apa sih, Tika! Apa hubungan mimpi Nadia dengan rumah tangga kita!" sentak Bang Rey keras mengagetkanku. Aku juga terkejut akan reaksinya yang diluar dugaanku. Tadinya

aku cuma mau coba memancingnya saja, tak kusangka reaksinya berlebihan begitu. Sampai Bang Rey menyebut namaku, yang biasanya diri menyebutku

adek setiap bicara. Dari sikapnya itu aku merasa bahwa Bang Rey benar-benar telah berubah.

Aku tergugu diam mendengar sentakan Bang Rey, tak urung hatiku makin teriris. Melihat aku yang diam, Bang Rey seolah menyadari kesalahannya, lalu dia beranjak ke kamar mungkin mau membangunkan Nadia.

Akupun bergegas ke dapur, membereskan dapur dan menyiapkan hidangan di meja. Lamat- lamat aku mendengar suara tawa Nadia di kamar mungkin Nang Rey mengajaknya bercanda. Lalu suara itu kini berpindah ke dapur. Kulihat Nadia sudah ada pundak Bang Rey. Nampak sekali kebahagian terpancar di wajah itu.

"Mamah..." teriaknya dengan tawa yang berderai. "Tolong Nana, Mah," Nana mengelinjang geli saat papahnya menggelitik pinggangnya. Aku hanya melemparkan senyum, sambil terus menyusun hidangan di meja.

"Udah mainnya sayang, mandi yok biar kita sarapan," ucapku sekalian mengingatkan agar Bang Rey juga melakukan hal yang sama. Padahal biasanya aku akan gantian menggelitik Bang Rey untuk membantu Nana. Lalu bertiga kami akan tertawa bersama sambil berguling di lantai. Karena Bang Rey orangnya gak tahan digelitik. Akh..! Segera kukibaskan kenangan itu. Aku pura-pura sibuk menata hidangan di meja. Seolah ada jarak yang terpancang di antara kami begitu saja. Membuat langkah surut untuk mendekat. Bayangan foto dan vidio itu, sudah cukup melantakkan hatiku hingga berkeping.

Mungkin, Bang Rey menyadari sikapku yang mendadak kaku. Diturunkannya Nadia dari pundaknya lalu menghampiriku. Tiba- tiba saja Bang Rey sudah memelukku dari belakang. Napasnya terasa mengelus tengkukku, yang biasanya, kalau sudah begini hatiku

akan luluh kalau kami sedang marahan.

" Maafkan ucapan Abang tadi ya, Dek,"

aku tetap diam. Bayangan foto itu melintas lagi. Hati ini serasa ditusuk lagi. Ahk..sempurnanya sandiwaramu, Bang. Manisnya sikapmu selama ini, itulah yang membutakan mataku selama ini.

"Ya, sudah Bang. Segeralah mandi biar kita sarapan," lengosku. Aku menghampiri Nadia untuk memandikannya. Masih sempat kulihat Bang Rey seolah mematung karena sikapku. Mungkin, yah mungkin dia heran melihat....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!