Matthelina
I love you not because of who you are, but because of who I am when I'm with you.
Maunya seperti mimpi, tetapi ini nyata.
Saat sinar matahari masuk dari celah jendela, wajah seseorang yang pertama dilihatnya adalah pria tampan itu. Pandangannya sendu, kilas balik berputar layaknya roll film. Malam yang begitu menyiksa.
Ia beranjak dari ranjang, menutupi tubuhnya yang tanpa sehelai benangpun dengan selimut. Perlahan turun, kemudian meraih pakaiannya yang berserakan di lantai, setelah menatapnya dengan pahit. Berjalan meninggalkan pria itu di ranjang, yang keadaannya hampir sama dengannya.
Diputarnya shower. Air membasahi kepalanya, tapi ia menunduk tanpa melakukan apa pun. Diam-diam air mata berjatuhan, mengalir bersama dengan air yang menyirami seluruh badannya.
Pahit, sesak, itulah yang dirasakannya. Keputusasaan membuatnya jatuh dalam keputusan yang salah. Kenapa Tuhan selalu menempatkannya di tepi jurang penderitaan? Apakah ini tujuannya dilahirkan?
Elina menyibakkan rambutnya yang menutupi wajahnya. Menyapu air ke seluruh tubuhnya yang telah ternoda.
Seratus juta. Elina mendengus. Itulah harga tubuhnya, agar dinikmati oleh pria yang beruntung itu. Kasihan pria yang akan dinikahinya kelak, hanya akan mendapatkan seorang gadis yang sudah second.
Tapi ia tidak akan sejahat itu. Mungkin, setelah ini ia tidak akan menikah. Masa depannya telah hancur, dan ia siap menerima hukuman jika tidak ada satu pun yang mau memberinya cinta.
Hanya saja, itu akan jadi pertanyaan bagi ibu dan adiknya. Ia tidak mungkin memberitahukan mereka. Bisa dibayangkan, bagaimana jika mereka sampai tahu?
Ah, Elina tidak ingin itu terjadi.
Elina keluar kamar mandi dengan sudah memakai pakaian dan rambut yang masih basah. Dilihatnya pria itu—dia masih tertidur. Setelah menyisir rambut dan sedikit memulaskan bedak, ia akan pergi dari kamar ini.
Tugasnya telah selesai. Biarkan pria itu tidak mengetahui dengan siapa dia tidur semalam. Semuanya akan jadi rahasia, juga menjadi masa lalu yang akan dilupakan seiring dengan berjalannya waktu.[]
Born To Suffer
Inikah tujuannya dilahirkan? Ditakdirkan menderita tanpa akhir. Ayah dipenjara karena utangnya pada seorang renternir, dan karena melihat suaminya digiring oleh polisi, ibu pingsan seketika.
Di sanalah, ia baru tahu bahwa selama ini ibu menyembunyikan penyakitnya.
Ia menatap nanar pada sebuah gedung yang berdiri megah, dengan lampu berwarna-warni yang berkerlap-kerlip.
Ia sering ke sana, tapi bukan untuk berbelanja, melainkan bekerja sebagai kasir. Ia hanya dapat menatap para orang kaya itu dengan sedih, di balik senyum ramahnya yang palsu. Mungkin hidupnya tidak akan seperti mereka, dan lagipula bukan itu juga harapannya. Hidup cukup, nyaman, dan tanpa masalah adalah hal yang paling diinginkannya. Tapi ini….
Ia menghela napas, memejamkan mata, lalu bulir air mata jatuh membasahi pipinya.
Digenggamnya erat ujung kertas yang sejak tadi dipegangnya. Di sana tertera rincian biaya yang harus dikeluarkannya untuk melakukan operasi.
Ya, operasi kanker payudara.
Entah sejak kapan ibunya menderita penyakit seperti itu. Mungkin ia terlalu sibuk meratapi kesedihannya, dan melupakan ibu yang tegar menahan tangisan di sudut tergelap kamarnya. Ibu yang selalu menyembunyikan kesakitan dan penderitaannya, sangat membutuhkan tempat untuk berbagi. Tapi ia lebih memilih pergi ke rumah sahabatnya, daripada melihat ibu disiksa dan dirinya dipukuli.
Tapi kini, ia tak bisa lari seperti itu. Menghindar dari kenyataan justru membuatnya semakin sakit. Ia akan menghadapi semua masalah dan menyelesaikannya. Hanya saja, apa ia mampu?
Sudah hampir sebulan ayahnya di penjara. Karena tanggungan semakin banyak, maka ia mencari pekerjaan tambahan di tempat lain. Sebuah kerjaan yang memang tidak hina, tapi dianggap tidak beradab. Menjadi pelayan di klub malam.
Masih mending bekerja di mall, yang hanya memakai rok ketat hitam selutut. Di klub malam, ia diharuskan memakai pakaian dengan belahan dada rendah, rok ketat dan super mini, berdandan secantik mungkin agar menarik perhatian pelanggan.
Gajinya mungkin lumayan lebih banyak daripada bekerja sebagai kasir, tapi penyiksaan batinnya yang lebih sering. Pelanggan yang datang rata-rata ABG yang sudah puber kedua. Mereka lebih genit dari para remaja. Kedipan mata, kata-kata manis nan merayu, bahkan sentuhan nakal selalu didapatkannya.
Ingin rasanya keluar. Air mata tak bisa ditahan, kala pelecehan itu terjadi. Tetapi demi ibu dan adiknya, ia terpaksa menjalani itu semua di balik senyum palsunya.
Syukurlah, tidak ada masalah selama dua minggu bekerja. Namun, Tuhan kembali mengujinya.
“Dasar pelacur!”
Ia mendelik. Bisikan itu menikam jantungnya saat ia berjalan di koridor kampus. Lalu, seseorang menyenggol bahunya hingga hampir terjatuh. Dua orang gadis menoleh padanya dengan tatapan sinis.
Di dalam hati, ia bertanya-tanya. Sepertinya ia tak mengenal mereka, tapi kenapa sikap mereka seperti itu?
Bukan hanya mereka, orang-orang di sekitarnya yang ia jumpai, memandangnya dengan cara yang sama. Ia semakin bingung dan takut. Langkahnya dipercepat, tanpa melihat ke arah mata-mata sinis itu sambil terus bertanya-tanya.
Akhirnya semua pertanyaan itu terjawab. Ia berhenti di depan kerumunan mahasiswa yang sedang membaca pengumuman di mading. Entah pengumuman apa, ia sendiri ingin melihat.
Sebelum sampai di sana, seseorang yang menyadari kehadirannya, menoleh dan menunjuk ke arahnya. Dia berseru:
“Itu dia perempuan itu!”
Seruan itu membuat semua orang menoleh padanya. Ia tertegun dan semakin bingung. Apalagi, mereka memandangnya seperti melihat seseorang yang begitu hina di muka bumi.
Dari kerumunan itu, seorang wanita keluar sambil membawa segelas jus tomat. Dia menghampirinya, dengan tatapan penuh kemurkaan. Gelas jus itu diacungkannya, tiba-tiba dilemparkan ke kepala gadis malang itu hingga seluruh rambutnya terkena jus tomat yang kental dan lengket.
“Dasar pelacur! Ngotorin nama baik kampus kita aja! Pergi dari sini!” makinya, yang ditimpali oleh mahasiswa lainnya.
“Emang apa salah gue?” kata gadis itu, masih berani menatap gadis yang melemparinya.
“Apa salah lo? Masih nggak nyadar juga?”
Tak dinyana, dia menarik rambutnya, tak peduli keluh kesakitan gadis itu. Kemudian, ia menghempaskan gadis itu ke depan papan mading dengan kasar.
“Lihat, tuh!”
Di mading terdapat foto-foto dirinya sedang bekerja di klub malam, melayani tamu, bahkan ada foto yang menunjukkan dirinya tengah dipangku oleh seorang pria tua.
Foto-foto itu dicabutnya dari papan mading, ditatapnya dengan perasaan bercampur aduk antara bingung, malu, dan terhina. Tega sekali ada yang memotret dan memajangnya di papan ini. Entah dendam apa, sampai orang itu memperlakukannya seperti ini.
Sorakan terdengar. Gadis tadi menarik tubuhnya hingga ke tengah lapangan yang diisi oleh mahasiswa senior yang sedang bermain basket. Beberapa orang mengelilinginya, bahkan di antaranya mahasiswa senior yang sedang memegang bola basket. Mereka tersenyum sinis melihat ketidakberdayaannya. Ia telah terjebak, tak bisa lari ke manapun untuk menghindar. Ia yakin, mereka akan melakukan sesuatu sebagai hukuman bagi gadis hina sepertinya.
Seorang pria bertubuh gemuk melambung-lambungkan bola di tangannya. Menghampiri gadis itu dengan senyuman bengis, lalu berkata, “Hukuman apa yang pantas buat cewek murahan kayak dia?”
Beberapa orang menyahutinya, bahkan ada yang menyarankannya untuk merobek pakaiannya dan menyuruhnya menari.
“Bego lo!” timpal seorang pria, yang sepertinya masih lebih waras dari yang memberi saran tadi. “Lo mau malu-maluin nama baik kampus kita?”
“Jadi, menurut lo apa?” tanya si gendut tadi.
“Gue tahu!”
Cowok berambut cepak dan berbadan tinggi menyahut. Seketika, bola basket yang ada di tangannya melesat sampai ke lengan kanan gadis malang itu.
“Aduh…,” keluh gadis itu meringis, memegang lengannya.
Si gendut itu bergerak maju. “Hei, lo … em, siapa namanya?”
Elina Fahrani Gayatri. Itulah nama gadis yang sedang ditindas itu. Orang yang memberitahukan namanya itu adalah teman sekelasnya. Pria itu bahkan meludah karena merasa tak sudi sekelas dengan wanita murahan.
“Oh, jadi namanya Elina?” kata si gendut, nada ucapannya sarkatis. “Cantik. Tapi sayangnya … MURAHAN!”
Tanpa diduga, bola itu dilemparkan tepat di kepala Elina. Semua tertawa, tak peduli apakah Elina merasa pusing dan kesakitan.
Tubuh Elina terhuyung sambil memegang kepalanya. Kakinya berusaha untuk tetap berpijak agar tidak terjatuh. Ia tidak mau menunjukkan bahwa dirinya lemah.
Namun, bukan hanya itu serangannya. Ketika bola itu jatuh di kaki seseorang, maka giliran orang itu yang melemparkannya. Bola mengenai tepat di betis Elina. Otomatis Elina kehilangan keseimbangan, dan akhirnya jatuh.
Mereka semua tertawa puas. Pesta penyiksaan berakhir dengan datangnya seorang gadis berpakaian modis, membawa seember air, yang kemudian disirimkan ke tubuh Elina. Ember itu dilemparkan ke samping tubuh Elina.
Mata Elina dipenuhi oleh air mata, menatap kabur pada orang-orang yang begitu puas menertawakannya. Hanya ada satu, di sana, pria itu. Tatapan iba dan tak berdaya. Dia adalah Austin, seseorang yang dulu dikagumi Elina secara diam-diam. Pria tampan berhati lembut dan penuh simpati, yang kini menjadi pemilik hatinya.
Sedang apa dia di sana? Kenapa hanya diam melihatnya disiksa oleh orang-orang tak berhati itu? Apa ini yang namanya cinta di mulut saja? Berhentilah menatap seperti itu! Sungguh, ia membencinya.
Elina memalingkan wajahnya, hatinya begitu perih, lebih sakit dari perlakuan buruk orang-orang itu. Kini ia tahu, betapa lemahnya cinta Austin padanya.
Jika mengingat hal itu, rasanya tidak ingin hidup lagi. Bebannya terlalu banyak, cintanya juga telah hilang. Ia tak bisa menunjukkan wajahnya kepada siapapun. Kepercayaan pada semua orang sudah musnah. Dan cinta … hatinya saja telah membeku.
Di umurnya yang telah menginjak 21 tahun, senyuman di bibirnya tidak pernah bertahan lama. Hanya ada kepahitan, air mata, dan kesepian. Hari ini, ia ingin tersenyum, menyambut kebebasannya dari beban-beban yang dipikulnya sendirian selama ini.
Angin senja membelainya. Matahari terbenam menyambut senyumannya. Kaki kanannya mulai menaiki pagar pembatas jembatan penyebrangan, disusul kaki kirinya. Kedua tangannya direntangkan, matanya dipejamkan.
Terdengar suara sorakan dari bawah jembatan, tapi tidak dihiraukannya. Ia menganggap bahwa sorakan itu adalah melodi kematian yang merdu.
Tubuhnya mulai terhuyung. Di dalam hati menyerukan malaikat maut agar segera menjemput rohnya. Perlahan, ia memajukan tubuhnya.
Selamat tinggal, dunia….[]
***Haloha.... author comeback. Apa kabar kalian. Ini bukan hari Sabtu, tapi kok udah up? Emang gitu authornya, suka nggak konsisten.
Mungkin judulnya rada aneh, tapi memang itu kenyataannya.
Seperti biasa, author yang suka ngabisin nasi ini minta vote dan komen ya?
Selamat menikmati cerita. Makasih.***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Okta Via
setiap org ada sisi putih dan hitam tergantung dr mana kita melihat dan menilainya.semangat
2022-09-09
0
Anonymous
m
2021-06-13
0
Reyyan Salsabilah
AQ masih menyimak alur ceritanya 🙏🙏
2021-03-29
0