Deal!
“Hah? Nggak salah lo, Lin?”
Reaksi seperti ini yang ditunjukkan oleh Raima. Tentu saja kaget dan tidak menyangka. Elina akan melepaskan keperawanannya demi uang?
“Gue serius, Ima.”
Masih tidak percayakah? Lihat saja, sampai Elina menunjukkan ekspresi seriusnya.
Raima **** bibirnya. Gadis suci itu, ia tidak rela jika sampai tersesat ke dasar jurang kemaksiatan yang tak berdasar.
“Coba pikirkan lagi, Lin. Lo tahu gimana hidup gue setelah memilih jalan ini, kan?”
Kisah pilu Raima hanya Elina yang paling tahu secara detil. Kehidupan Raima, yang walaupun terlihat oleh orang baik-baik saja, tapi sesungguhnya penuh dengan air mata. Hanya saja Raima menyembunyikannya lewat senyum riangnya. Beberapa kali Elina melihatnya termenung sedih di rumahnya. Tersenyum getir, kadang ucapannya terdengar pahit.
“Tapi gue nggak bakal jadi pelacur, cuma….”
“Cuma jual keperawanan, kan?” potong Raima, mempertegas. “Sama aja. Lo yang bilang: itu dosa, itu diharamkan sama agama. Terus, sekarang lo mau melanggarnya? Dengar, Lin. Kalau lo butuh uang, gue bakal cariin pinjaman buat lo.”
Elina terharu, sahabatnya begitu baik padanya dan tidak akan membiarkannya berada di jalan yang salah. Ia sangat berterima kasih. Tapi ia telah sering menyusahkan Raima. Kehidupannya telah mendesaknya dan membutakannya untuk memilih jalan ini.
“Nggak, Ima. Terima kasih. Tolong lo pertemukan gue sama germonya,” kata Elina, sejujurnya di dadanya terasa sesak ketika mengutarakan hal ini.
Raima terdiam. Jika memang ini keinginan Elina, maka ia mengangguk setuju.
“Oke, besok gue kenalin lo sama Mami Sarah.”
-;-;-;-
London.
Teriakan kemarahan yang disertai suara benda pecah terdengar dari sebuah ruangan. Beberapa karyawan di luar ruangan bergidik, lalu saling berkomentar lirih satu sama lain.
Seorang pria tampan berambut kuning, memiliki senyum nakal yang melelehkan hati setiap wanita, berjalan di lorong yang menuju ruangan itu.
Pria itu heran melihat ekspresi dan suasana yang ada di sana. Seorang gadis yang disapanya, tidak lagi melihatnya dengan tatapan memuja. Senyumannya juga aneh.
What’s wrong? Gumamnya di dalam hati, bingung. Lalu, kembali berjalan menuju ruangan itu.
“Hello, good after—”
Baru pintu terbuka sedikit, pria itu dikejutkan oleh suara dentuman di balik pintu itu. Ia mendelik, bergegas menutup pintu kembali.
Bikin syok! Jika dia membuka pintunya lebih lebar lagi, mungkin wajah tampannya yang menjadi korban; entah hidung mancungnya yang patah, atau bibir seksinya yang membengkak. Sampai saat ini, ia masih berdiri di depan ruangan, dengan napas terengah-engah, dan mendelik ngeri.
Setelah menunggu beberapa saat, suara di dalam hening dan tenang. Mungkin ini saatnya untuk dia masuk ke dalam. Ia ingin mengintip sedikit, melihat keadaan di sekitar ruangan itu.
Astaga! Matanya membulat melihat ruangan yang lebih mirip seperti kapal pecah. Dan di mana dia …? Oh, pria itu melihat sosoknya sedang duduk di kursi kebesarannya, dengan wajah tertutup oleh kedua jari-jari tangan yang disatukan. Aura yang membuatnya gugup berkeliaran di sekitar pria yang ada di sana.
Tetapi ia tetap memberanikan diri untuk masuk ke dalam, bersikap santai seperti sedang tidak terjadi apa pun. Di dalam hati ia telah bersumpah bahwa hal yang “waktu itu”, tidak akan diungkitnya.
“Hai, Mat. Bagaimana kabarmu?” sapa pria itu sembari berjalan menuju sosok yang sedang duduk di sana, dengan menggunakan Bahasa Inggris.
Tidak ada respon, awalnya. Perlahan, pria berambut hitam legam itu mengangkat wajahnya. Mata tajamnya membuat temannya mematung dan bergidik sekilas.
“Ada apa?” Suara beratnya terdengar, menjawab ucapan temannya tanpa berbasi-basi lagi.
“Ah, itu … Kevin dan Franz mengajakmu makan siang bersama,” kata pria berambut pirang yang bernama Fritz.
“Kau saja yang pergi.” Pria itu mengangkat gagang telepon, menghubungi sekertarisnya untuk menugaskan seorang cleaning service membersihkan ruangannya.
“Ayolah. Jangan hanya karena si Lisa itu, kau jadi—”
Seketika Fritz terdiam, setelah menyadari mata penuh kemarahan pria itu mengarah padanya.
Oke, sepertinya dia tidak menyukainya. Fritz menutup mulutnya, mengutuk diri di dalam hati karena tidak bisa menjaga ucapan dan janjinya tadi.
“Well. Aku pergi, ya?”
Akhirnya, Fritz memilih pamit daripada mengeluarkan beberapa patah kata yang membuat suasana hati pria itu semakin buruk.
Fritz mengendarai mobilnya ke tempat yang dijanjikan oleh Kevin dan Franz. Kedua pria yang sudah lama bersahabat dengannya, heran melihatnya hanya datang sendirian.
“Mana Matthew?” cecar Franz, langsung menyerbu Fritz yang baru saja duduk.
“Sabar. Bisakah aku bernapas dulu?” protes Fritz, kemudian mengangkat tangan kanannya. “Hei, pelayan! Aku mau memesan.”
Franz dongkol, sementara Kevin melihat tingkah kedua sahabatnya itu. Fritz memesan seporsi makanan dan anggur terbaik yang ada di restoran bergaya Prancis itu. Barulah, setelah seteguk anggur mengalir di tenggorokkannya, Fritz bercerita.
“Matthew adalah tipe pria yang paling sulit melupakan dan berpindah hati. Sudah lebih dari seminggu Lisa meninggalkan, tapi dia masih belum bisa menerima penghianatan Lisa.”
Fritz jeda sebentar untuk kembali meneguk segelas anggur berikutnya. Lalu, ia melanjutkan lagi ceritanya. “Saat aku membuka pintu, hampir saja patung kaca berbentuk kuda itu mengenai wajahku.” Ia menggeleng ngeri. “Dan ruangannya, seperti habis dilalap angin tornado—semua barang berserakan di sana.”
Kevin dan Franz saling memandang. Separah itukah?
“Lalu, kenapa tidak kau ajak ke sini?” tanya Kevin.
Fritz mendesah, ketika segelas anggur ditenggaknya habis tanpa berhenti. “Tatapannya itu … seperti seekor serigala yang sedang membidik mangsanya. Menakutkan.”
Selama persahabatannya berjalan hampir 10 tahun, mereka sudah hapal sifat Matthew. Dikhianati oleh seseorang yang amat dicintai, apalagi sebentar lagi akan menikah, tentu adalah hal yang menyakitkan.
Bagi Matthew yang polos akan cinta, mana bisa menerima hal seperti itu. Berbeda dengan Fritz yang playboy, Franz yang sering gonta-ganti pacar, atau Kevin yang dewasa dan berpengalaman soal cinta. Ibaratnya permainan, Matthew hanyalah seorang amatiran yang memberikan cinta pertamanya pada Lisa. Itupun, sekalinya mencintai, malah berakhir dengan buruk.
Franz menoleh pada Kevin, setelah berpikir cukup lama. “Kau punya ide, Vin?”
“Bagaimana kalau kita ajak berlibur?” saran Kevin.
“Setuju!” seru Fritz menunjuk Kevin. “Kita berikan pengalaman indah yang tidak akan dia lupakan seumur hidupnya.”
“Apa maksudmu?” tanya Kevin.
Kemudian, Franz menimpali dengan pesimis. “Bagaimana kalau dia tidak mau?”
Di saat bersamaan, seorang pelayan datang dengan membawa makanan pesanan Fritz. Daging steak yang pertama dia santap, padahal Kevin dan Franz menunggu pendapatnya.
“Kalian bodoh, ya?” kata Fritz asal bunyi. “Soal itu adalah hal yang mudah.”
Kevin dan Franz beraksi sama, kesal. Fritz selalu saja menyombong, merasa paling pandai, tapi justru dia yang selalu ceroboh dalam mengambil keputusan. Sifat pengecutnya yang paling membuat mereka tidak tahan. Namun, kali ini mereka menyetujui rencana Fritz.
-;-;-;-
Seorang wanita duduk di sebuah sofa cokelat legam besar. Di sampingnya, seorang pria botak, berkulit hitam, dan bertubuh tinggi-besar, memandang Elina dengan tatapan sangar. Sebatang rokok menempel pada bibir merah menawannya, mengisapnya dalam-dalam dan membumbungkan asapnya ke udara.
Elina menahan napasnya, ketika asap itu melewati hidungnya. Saat ini, ia terfokus pada wanita yang merupakan germo, sekaligus pendiri Angel’s Club itu.
“Jadi, Raima. Ini gadis yang kau ceritakan?” tanyanya, matanya yang besar menjelajahi seluruh tubuh Elina sembari tersenyum.
Raima melirik lirih. “Iya, Mami.”
Wanita itu memandangi wajah Elina sembari tersenyum. Kemudian, ia berdiri dan menghampiri Elina dengan langkah anggun. Jari telunjuknya menyentuh dagu Elina, menaikkan wajahnya perlahan agar dapat melihat dengan jelas kecantikan Elina.
“Berapa harga yang kau inginkan cantik?” Bau rokok bercampur alkohol dari mulut wanita itu, menyeruak tajam ke hidung Elina.
“Terserah Mami,” jawab Elina berusaha menahan napas.
“Em …” Wanita itu berbalik. “Bagaimana kalau 50 juta?”
Raima menginterupsi. “Bukannya Mami berani bayar mahal?”
Wanita itu dan Elina sama-sama menoleh. Raima benar, itu terlalu murah untuk sebuah mahkota suci seorang wanita.
“100 juta,” kata Elina.
Wanita itu kembali berbalik. Tatapan matanya seolah mengintimidasi. “70 juta.”
Elina melirik Raima, yang menggelengkan kepala. Kemudian, ia menatap germo cantik itu. “90 juta.”
Wanita itu tersenyum. Rupanya, wanita yang dihadapinya itu pandai tawar-menawar. Tapi bukan Mami Sarah namanya, jika sampai kalah soal hal seperti ini.
“80 juta.” Ia mengulurkan tangan. “Itu penawaran terakhir. Jika tidak mau, aku tidak memaksa.”
Elina dan Raima saling memandang. Keputusan yang sangat sulit dan membingungkan.
“Kau tahu, jika kau menawarkannya ke tempat lain, mungkin harganya bisa jauh lebih murah dari itu.” Wanita itu mulai mengeluarkan bisanya. “Mungkin paling tinggi 30 juta saja.”
Selagi Raima dan Elina berpikir, wanita itu berjalan menuju kursi kebesarannya sembari tersenyum licik.
“Angel’s Club adalah tempat prostitusi berkelas. Harga segitu adalah harga tertinggi dibandingkan pelacur yang lain.” Kemudian, kakinya disilangkan, mengisap rokoknya kembali. “Jadi bagaimana?”
Meskipun terlihat tenang, tapi hati Elina begitu goyah. Harga yang ditawarkan memang cukup besar, hanya saja untuk sebuah keperawanan sepertinya tidak begitu pantas. Di sanalah ia bimbang. Namun, desakan keuangan membuatnya tak bisa memilih.
Tak perlu memikirkan pendapat Raima yang tampak tidak setuju, Elina melangkah maju ke arah Mami Sarah, mengulurkan tangan dan berkata dengan serius:
“Deal!”[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
✨️ɛ.
salahnya Raima ya awalnya jgn dikasi tau ada opsi itu.. seidealis²nya orang kalo lagi kejepit pasti bakal kepikiran juga..
2024-12-10
0
Adinda ambarsari
100 juta wkwkwk kasian bgt 😂😂
2021-03-24
0
Sweet Momy
pas itu lg boming 80jt ya 😅
2020-11-24
0