Malam yang panjang
Karena si payah Fritz, Kevin dan Franz yang turun tangan dalam membujuk Matthew. Mereka datang ke rumah pria itu pada malam hari, karena Matthew tidak pernah ke manapun jika pada jam segitu.
“Hai, Mat,” sapa Franz, setelah seorang pelayan mengantarkannya sampai ke dalam ruang belajar.
Di sana Matthew sedang membaca berkas, dengan ditemani sebotol wine yang sedang dituangkan ke gelas.
Tanpa melirik, Matthew membalas sapaan mereka. “Hai, ada apa kalian ke sini?”
Kevin dan Franz duduk di dekat Matthew, sedangkan Fritz … entah sejak kapan jadi tertarik pada buku-buku yang tersusun rapi di rak dekat mereka bertiga duduk.
“Bagaimana kalau kita pergi liburan?” kata Franz tanpa basa-basi, menuangkan wine ke gelas.
Matthew tampak tidak tertarik, bahkan pandangannya tidak teralihkan dari berkas yang dibacanya.
“Kalian saja yang pergi,” jawabnya dingin.
Kevin dan Franz saling melirik, begitu juga dengan Fritz yang mematung di tempatnya.
Yah, kalau seperti ini, bisa gagal rencana yang telah mereka rancang. Cepat putar otak, alasan apa yang bagus untuk membujuknya.
“Kita ke Indonesia, lho,” sahut Fritz, meraih sebuah novel klasik karya Jane Austin.
Semua orang menoleh—Matthew hanya melirik sekilas. Ternyata, Fritz berhasil membuat pria itu tertarik.
“Ya, benar!” timpal Franz, yang seketika mendapat sebuah ide. “Bagaimana kalau sekalian kita menengok Tante Dewi?”
Perhatian Matthew berhasil teralihkan sepenuhnya dari berkas. Tatapan tajam bagai elang, membuat ketiga pria itu gugup dan gundah, bahkan sampai mengeluarkan keringat, tak peduli sedingin apa pun AC di ruangan itu.
Setelah cukup lama berpikir, Matthew meletakkan berkasnya ke atas meja Harapan mereka terkabul. Sekarang, mereka bisa tersenyum dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Karena, Matthew mengatakan:
“Kapan kita pergi ke Jakarta?”
-;-;-;-
Perjalanan yang memakan waktu lebih dari 15 jam, membuat tubuh keempat pria itu pegal.
Fritz merenggankan tubuhnya seketika turun dari pesawat. Aroma udara tropis dihirupnya dalam-dalam. Menyenangkan. Pantas Matthew beberapa kali kabur ke sini. Perempuan yang dilihatnya mondar-mandir di depannya cantik-cantik. Tak tahan rasanya ingin menggoda mereka dan membawa mereka ke hotel untuk menikmati tubuh mereka.
Sangking asiknya berfantasi, Kevin menyenggol lengannya, ketika memergokinya sedang melihat dua gadis yang sudah jauh dari mereka.
Sambil membawa Fritz, Kevin berbisik,”Jaga prilakumu! Ini Indonesia, bukan Inggris. Kau tidak bisa sembarangan mengencani gadis-gadis di sini.” Ucapannya seolah seperti pernah ke negara ini sebelumnya. Mungkin Kevin mengetahuinya dari Matthew.
Fritz mengangguk kesal. Kevin ini selalu menganggunya jika berkaitan soal perempuan. Pria itu, semakin bertambah umur, malah bertambah kolot seperti Matthew. Mungkin Matthew telah mencuci otak Kevin sampai ke akarnya.
Franz merangkul Matthew. “Guys, aku sudah pesan hotel untuk kita. Untuk hari ini, kita istirahat, lalu makan siang. Nanti malam, kita ke klub malam—udah lama kita tidak ke sana bersama-sama.”
Fritz si pria malam menyambutnya dengan riang. Ya, Frans benar, sudah lama mereka tidak ke tempat itu karena Matthew sibuk. Malam ini dan seterusnya, mereka akan menghabiskan waktu bersama selama satu minggu.
Kemudian, Franz meneruskan. “Besoknya, kita keliling Jakarta, dan Matthew yang akan menjadi pemandu kami.” Ucapan itu disambut dengan anggukan oleh Kevin dan Fritz. “Tiga hari terakhir kita di sini, baru kita ke rumah Tante Dewi.”
Matthew tak berkomentar. Apa pun yang mau dilakukan selama di sini, ia serahkan keputusannya pada mereka.
Jadi, setelah pemeriksaan paspor dan sebagainya, mereka keluar bandara menuju hotel dengan memesan taksi. 4 kamar yang dipesan oleh Franz, dan itu atas rekomendasi dari temannya yang menetap di Jakarta.
Angel’s Night Club juga salah satu rekomendasi temannya. Keempat pria lajang itu ke sana setelah pukul 10 malam—waktu yang tepat untuk berpesta.
Klub malam itu begitu ramai. Banyak sekali manusia malam yang melepaskan penatnya selama seharian melakukan aktifitas. Minuman berkelas, DJ musik terkenal, dan para perempuan penjaja seks juga disediakan di tempat itu.
Kevin, Fritz, dan Franz langsung membaur dengan ratusan manusia yang sedang asyik menari. Sedangkan Matthew menenggelamkan diri dengan alkohol berkadar rendah di dekat meja bar.
“Matthew, ayo berdansa dengan yang lainnya!” ajak Kevin, yang keluar dari arena dansa dan menghampiri Matthew.
Matthew mengangkat gelasnya. “Kau saja, aku sedang minum.”
“Nanti saja minumnya. Ayo, gabung dengan yang lainnya!” Kevin menarik tangan Matthew, memaksanya ke tengah lantai dansa.
Akan tetapi, Matthew terus menolak. Ia tetap bergeming di kursinya dan melepaskan pegangan tangan Kevin. Ya, sudah, akhirnya Kevin menyerah, lalu pergi.
Kevin kembali menemui Franz dan Fritz. Mereka saling berbisik, dan kemudian Fritz mengeluarkan kantong kecil yang berisi beberapa butir obat berwarna biru.
“Oke, kita mulai,” kata Franz, yang kemudian memisahkan diri dari Kevin, bersama dengan Fritz menghampiri Matthew.
“Hai, Mat,” sapa Fritz sembari menepuk pundak Matthew.
“Kalian sudah puas berdansa?” sindir Matthew.
“Belum. Kami mau beristirahat,” sahut Franz.
“Gadis-gadis di sini cantik-cantik. Sayang kalau hanya duduk di sini, tidak menikmati tarian mereka,” kata Fritz, nada bicaranya nakal. “Matthew, bagaimana kalau kita berdansa dengan mereka.” Kemudian, ia berbisik, “Akan kupilihkan seorang wanita cantik untukmu.”
Sekeras apa pun mereka berusaha, Matthew tetap menggelengkan kepala. Dia ke sini memang untuk berlibur, tetapi bukan untuk menghilangkan pikirannya yang kacau. Kejadian waktu itu, akan terus diingatnya.
Sementara mereka bertiga mengobrol, Kevin diam-diam menemui seorang bartender. Kevin berada di bagian meja yang tidak dapat dijangkau oleh penglihatan Matthew. Ia menyuruh bartender itu untuk membuatkan sesloki wine yang dicampur oleh pil biru yang ia keluarkan dari saku celananya. Tentu saja, beberapa lembar uang ratusan diberikan sebagai imbalan. Setelah itu, ia menghampiri ketiga temannya lagi.
Fritz, Franz, dan Kevin saling memandang sambil tersenyum, ketika Kevin datang.
“Ada apa ini?” tanyanya, mulai memainkan perannya.
“Nih, si Matthew yang payah. Wanita cantik yang mau diajak dansa banyak, tapi dia menolak terus untuk bergabung,” sahut Fritz.
Franz pun menimpali. “Iya, nih. Sudahlah, biar kita saja yang ke sana.”
Di saat itu juga, tanpa Matthew sadari, bartender yang dibayar oleh Kevin, menukar gelas Matthew dengan gelas berisi minuman yang diperintahkan oleh Kevin tadi.
Mereka bertiga pergi dari tempat itu; di saat itu juga, Matthew meminum wine itu. Sebelum menjauh, mereka melihat Matthew meminumnya, barulah mereka pergi.
Entah obat apa itu, reaksinya sangat cepat, kepala Matthew tiba-tiba merasa pusing. Kevin yang melihat Matthew sedang memegangi kepalanya, langsung memanggil Fritz dan Franz.
“Sudah ada reaksinya,” bisiknya.
Rasa sakit semakin tak tertahan dan kesadaran Matthew semakin lemah. Tempat di sekitarnya terasa berputar, penglihatannya juga memburam. Tubuhnya terhuyung-huyung, tetapi ia dengan sigap berpegangan pada meja bar.
Seruan cemas dari ketiga temannya terdengar. Tapi semakin lama, semakin terdengar sayup-sayup. Lantas, ia mencoba berdiri, ketika ketiga temannya memegangi tubuhnya. Kakinya semakin lemah untuk tetap berdiri, dan pada akhirnya ia pun terjatuh.
-;-;-;-
“Ini tempatnya?”
Fritz menatap sebuah rumah mewah berpagar tinggi yang begitu terang oleh lampu neon berwarna-warni di dalamnya. Ia skeptis, rumah ini tidak tampak seperti rumah yang menawarkan pelacur cantik, melainkan seperti penjara.
Penjagaannya super ketat—ada beberapa orang bertubuh besar yang berjaga di dekat pintu gerbang. Ia bergidik.
“Benar. Temanku yang bilang. Tempat ini memiliki orang dalam di kepolisian. Jadi, dijamin aman,” kata Franz.
Jika memang begitu, Fritz menurut saja. Franz menghampiri seorang preman yang berjaga, mengatakan maksud kedatangan mereka. Lalu, pria itu membuka pintu dan mempersilakan kedua pria itu masuk ke dalam, dengan didampingi oleh seorang penjaga.
Dengan berbicara menggunakan Bahasa Inggris yang fasih, mereka disuruh untuk menunggu, sementara penjaga itu memanggil pemilik Angel’s Club.
Seorang wanita bergaun oranye melangkah anggun, keluar dari sebuah kamar. Bibirnya yang ranum melebarkan senyum menggoda. Gaun seksinya yang belahan dadanya sangat rendah, menimbulkan berahi kedua pria itu. Hampir saja mereka tidak terfokus pada tujuannya, jika tidak melirik pada pengawal yang lebih seram dari yang tadi.
“Kalian yang memesan tadi?” tanya Mami Sarah, menyilangkan kaki mulusnya, duduk di sofa kesukaannya.
“Ya, Madam. Jadi, di mana gadis itu?” kata Franz.
Mami Sarah menjentikkan jari, langsung saja Raima menjalankan perintahnya, agak ragu. Pasalnya, ia tidak setuju jika Elina melayani dua pria bule itu sekaligus. Sejak kedatangan mereka, Raima terus memperhatikan kedua pria itu. Seketika kecemasannya muncul.
Raima membuka pintu dan berdiri di sana memperhatikan Elina yang tengah duduk di meja rias. Elina menoleh, tak ada senyum, melainkan raut wajah dingin, yang merupakan topeng dari perasaannya yang tengah tegang saat ini.
Malam ini, ia akan melayani seorang pria. Elina gugup karena harus melepaskan kesuciannya dengan cara yang hina.
Raima ingin mengatakan bahwa bukan satu pria yang dilayaninya, melainkan dua. Namun, ia tersenyum paksa, menghampiri Elina.
“Yuk, Lin.” Raima menggandeng lengan Elina, kemudian membawanya keluar kamar.
Elina berhenti melangkah. Dua pria asing yang sedang tersenyum padanya, apa mereka yang akan ia layani? Tatapan salah satu dari pria itu nakal, membuat Elina gugup.
“Namanya Elina,” kata Mami Sarah dengan pengucapan bahasa Inggris yang sangat fasih. Maklum saja, pelanggan Mami Sarah kebanyakan dari luar negri.
“Oh, sangat cantik. Benar, kan, Franz?” Fritz menyikut lengan Franz. Di dalam pikirannya, ia juga ingin memiliki Elina.
Franz tidak menanggapi karena yang diucapkan oleh Fritz memang benar. Ia puas, wanita yang tengah berdiri tidak nyaman dengan gaun hitam seksinya itu sangat cocok untuk Matthew.
“Jadi, bisa kita buka harganya?” kata Mami Sarah begitu senang.
“Terserah Anda mau berapa harganya. Saya berani membayar,” jawab Franz.
Kesempatan yang bagus. “Oke. 200 juta, bagaimana?”
Wanita licik! Raima dan Elina geram karena wanita itu mengambil keuntungan dua kali lipat dari harga diajukan Elina untuk menjual tubuhnya.
“Deal!” Franz mengulurkan tangannya, yang langsung dijabat oleh tangan halus Mami Sarah.
Franz melirik Fritz untuk memberikan selembar cek. Setelah kesepakatan disetujui, mereka membawa Elina masuk ke dalam mobil.
Dari kaca spion, Franz melirik Elina yang jari-jarinya tampak resah, dan berulang kali mencoba menutupi pahanya dengan dompet.
Ia mendekatkan wajahnya pada Fritz, lalu berbisik, “Apa dia bisa melayani Matthew?”
Fritz melirik sekilas pada Elina. “Tenang saja, obat yang kuberikan sangat kuat. Matthew yang nanti memuaskan dirinya.”
Tapi entah mengapa, Franz semakin ragu. Gadis seperti apa yang dipilihnya ini? Memang, dia masih bersih, tapi kelihatannya tampak naif soal seks. Berpakaian seperti ini saja dia tidak nyaman. Bagaimana jika dia berduaan dengan seorang pria asing di dalam kamar?
-;-;-;-
Kevin berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Suara pintu terbuka membuatnya langsung menoleh, dan tersenyum lega melihat kedua temannya datang.
Kevin memandang seseorang yang dibawa oleh mereka. Jadi, ini gadisnya? Tampak polos, sikapnya tidak nyaman—mencoba menurunkan ujung gaun yang panjangnya kurang satu jengkal dari lutut. Memang cantik, seperti dewi malam berbalut gaun hitam. Tapi, apa dia bisa memuaskan Matthew malam ini?
Hal itu juga yang dipertanyakan oleh Franz. Kevin melirik pria itu, berekpresi sama dengannya.
“Apa dia bisa melayani Matthew?” tanya Kevin setengah berbisik. “Sepertinya dia….”
Franz ingin menjawab, tapi Elina langsung membuka mulut, berbicara dengan bahasa yang sama dengan mereka.
“Tenang saja. Saya bisa melakukannya.”[]
Berlanjut di part kedua sabtu besok, ya? Jangan lupa like dan komen. Gumawo 😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Taeyeon Sones
🤩
2020-10-18
0
👑 ☘s͠ᴀᴍʙᴇʟ͢ ᴍᴀᴛᴀʜ💣
ihhh,, asikk nih
2020-10-10
0
Mita Sumita
miris sekali hdp elena
2020-10-07
2