NovelToon NovelToon

Matthelina

Prolog dan Chapter 1

I love you not because of who you are, but because of who I am when I'm with you.

Maunya seperti mimpi, tetapi ini nyata.

Saat sinar matahari masuk dari celah jendela, wajah seseorang yang pertama dilihatnya adalah pria tampan itu. Pandangannya sendu, kilas balik berputar layaknya roll film. Malam yang begitu menyiksa.

Ia beranjak dari ranjang, menutupi tubuhnya yang tanpa sehelai benangpun dengan selimut. Perlahan turun, kemudian meraih pakaiannya yang berserakan di lantai, setelah menatapnya dengan pahit. Berjalan meninggalkan pria itu di ranjang, yang keadaannya hampir sama dengannya.

Diputarnya shower. Air membasahi kepalanya, tapi ia menunduk tanpa melakukan apa pun. Diam-diam air mata berjatuhan, mengalir bersama dengan air yang menyirami seluruh badannya.

Pahit, sesak, itulah yang dirasakannya. Keputusasaan membuatnya jatuh dalam keputusan yang salah. Kenapa Tuhan selalu menempatkannya di tepi jurang penderitaan? Apakah ini tujuannya dilahirkan?

Elina menyibakkan rambutnya yang menutupi wajahnya. Menyapu air ke seluruh tubuhnya yang telah ternoda.

Seratus juta. Elina mendengus. Itulah harga tubuhnya, agar dinikmati oleh pria yang beruntung itu. Kasihan pria yang akan dinikahinya kelak, hanya akan mendapatkan seorang gadis yang sudah second.

Tapi ia tidak akan sejahat itu. Mungkin, setelah ini ia tidak akan menikah. Masa depannya telah hancur, dan ia siap menerima hukuman jika tidak ada satu pun yang mau memberinya cinta.

Hanya saja, itu akan jadi pertanyaan bagi ibu dan adiknya. Ia tidak mungkin memberitahukan mereka. Bisa dibayangkan, bagaimana jika mereka sampai tahu?

Ah, Elina tidak ingin itu terjadi.

Elina keluar kamar mandi dengan sudah memakai pakaian dan rambut yang masih basah. Dilihatnya pria itu—dia masih tertidur. Setelah menyisir rambut dan sedikit memulaskan bedak, ia akan pergi dari kamar ini.

Tugasnya telah selesai. Biarkan pria itu tidak mengetahui dengan siapa dia tidur semalam. Semuanya akan jadi rahasia, juga menjadi masa lalu yang akan dilupakan seiring dengan berjalannya waktu.[]

Born To Suffer

Inikah tujuannya dilahirkan? Ditakdirkan menderita tanpa akhir. Ayah dipenjara karena utangnya pada seorang renternir, dan karena melihat suaminya digiring oleh polisi, ibu pingsan seketika.

Di sanalah, ia baru tahu bahwa selama ini ibu menyembunyikan penyakitnya.

Ia menatap nanar pada sebuah gedung yang berdiri megah, dengan lampu berwarna-warni yang berkerlap-kerlip.

Ia sering ke sana, tapi bukan untuk berbelanja, melainkan bekerja sebagai kasir. Ia hanya dapat menatap para orang kaya itu dengan sedih, di balik senyum ramahnya yang palsu. Mungkin hidupnya tidak akan seperti mereka, dan lagipula bukan itu juga harapannya. Hidup cukup, nyaman, dan tanpa masalah adalah hal yang paling diinginkannya. Tapi ini….

Ia menghela napas, memejamkan mata, lalu bulir air mata jatuh membasahi pipinya.

Digenggamnya erat ujung kertas yang sejak tadi dipegangnya. Di sana tertera rincian biaya yang harus dikeluarkannya untuk melakukan operasi.

Ya, operasi kanker payudara.

Entah sejak kapan ibunya menderita penyakit seperti itu. Mungkin ia terlalu sibuk meratapi kesedihannya, dan melupakan ibu yang tegar menahan tangisan di sudut tergelap kamarnya. Ibu yang selalu menyembunyikan kesakitan dan penderitaannya, sangat membutuhkan tempat untuk berbagi. Tapi ia lebih memilih pergi ke rumah sahabatnya, daripada melihat ibu disiksa dan dirinya dipukuli.

Tapi kini, ia tak bisa lari seperti itu. Menghindar dari kenyataan justru membuatnya semakin sakit. Ia akan menghadapi semua masalah dan menyelesaikannya. Hanya saja, apa ia mampu?

Sudah hampir sebulan ayahnya di penjara. Karena tanggungan semakin banyak, maka ia mencari pekerjaan tambahan di tempat lain. Sebuah kerjaan yang memang tidak hina, tapi dianggap tidak beradab. Menjadi pelayan di klub malam.

Masih mending bekerja di mall, yang hanya memakai rok ketat hitam selutut. Di klub malam, ia diharuskan memakai pakaian dengan belahan dada rendah, rok ketat dan super mini, berdandan secantik mungkin agar menarik perhatian pelanggan.

Gajinya mungkin lumayan lebih banyak daripada bekerja sebagai kasir, tapi penyiksaan batinnya yang lebih sering. Pelanggan yang datang rata-rata ABG yang sudah puber kedua. Mereka lebih genit dari para remaja. Kedipan mata, kata-kata manis nan merayu, bahkan sentuhan nakal selalu didapatkannya.

Ingin rasanya keluar. Air mata tak bisa ditahan, kala pelecehan itu terjadi. Tetapi demi ibu dan adiknya, ia terpaksa menjalani itu semua di balik senyum palsunya.

Syukurlah, tidak ada masalah selama dua minggu bekerja. Namun, Tuhan kembali mengujinya.

“Dasar pelacur!”

Ia mendelik. Bisikan itu menikam jantungnya saat ia berjalan di koridor kampus. Lalu, seseorang menyenggol bahunya hingga hampir terjatuh. Dua orang gadis menoleh padanya dengan tatapan sinis.

Di dalam hati, ia bertanya-tanya. Sepertinya ia tak mengenal mereka, tapi kenapa sikap mereka seperti itu?

Bukan hanya mereka, orang-orang di sekitarnya yang ia jumpai, memandangnya dengan cara yang sama. Ia semakin bingung dan takut. Langkahnya dipercepat, tanpa melihat ke arah mata-mata sinis itu sambil terus bertanya-tanya.

Akhirnya semua pertanyaan itu terjawab. Ia berhenti di depan kerumunan mahasiswa yang sedang membaca pengumuman di mading. Entah pengumuman apa, ia sendiri ingin melihat.

Sebelum sampai di sana, seseorang yang menyadari kehadirannya, menoleh dan menunjuk ke arahnya. Dia berseru:

“Itu dia perempuan itu!”

Seruan itu membuat semua orang menoleh padanya. Ia tertegun dan semakin bingung. Apalagi, mereka memandangnya seperti melihat seseorang yang begitu hina di muka bumi.

Dari kerumunan itu, seorang wanita keluar sambil membawa segelas jus tomat. Dia menghampirinya, dengan tatapan penuh kemurkaan. Gelas jus itu diacungkannya, tiba-tiba dilemparkan ke kepala gadis malang itu hingga seluruh rambutnya terkena jus tomat yang kental dan lengket.

“Dasar pelacur! Ngotorin nama baik kampus kita aja! Pergi dari sini!” makinya, yang ditimpali oleh mahasiswa lainnya.

“Emang apa salah gue?” kata gadis itu, masih berani menatap gadis yang melemparinya.

“Apa salah lo? Masih nggak nyadar juga?”

Tak dinyana, dia menarik rambutnya, tak peduli keluh kesakitan gadis itu. Kemudian, ia menghempaskan gadis itu ke depan papan mading dengan kasar.

“Lihat, tuh!”

Di mading terdapat foto-foto dirinya sedang bekerja di klub malam, melayani tamu, bahkan ada foto yang menunjukkan dirinya tengah dipangku oleh seorang pria tua.

Foto-foto itu dicabutnya dari papan mading, ditatapnya dengan perasaan bercampur aduk antara bingung, malu, dan terhina. Tega sekali ada yang memotret dan memajangnya di papan ini. Entah dendam apa, sampai orang itu memperlakukannya seperti ini.

Sorakan terdengar. Gadis tadi menarik tubuhnya hingga ke tengah lapangan yang diisi oleh mahasiswa senior yang sedang bermain basket. Beberapa orang mengelilinginya, bahkan di antaranya mahasiswa senior yang sedang memegang bola basket. Mereka tersenyum sinis melihat ketidakberdayaannya. Ia telah terjebak, tak bisa lari ke manapun untuk menghindar. Ia yakin, mereka akan melakukan sesuatu sebagai hukuman bagi gadis hina sepertinya.

Seorang pria bertubuh gemuk melambung-lambungkan bola di tangannya. Menghampiri gadis itu dengan senyuman bengis, lalu berkata, “Hukuman apa yang pantas buat cewek murahan kayak dia?”

Beberapa orang menyahutinya, bahkan ada yang menyarankannya untuk merobek pakaiannya dan menyuruhnya menari.

“Bego lo!” timpal seorang pria, yang sepertinya masih lebih waras dari yang memberi saran tadi. “Lo mau malu-maluin nama baik kampus kita?”

“Jadi, menurut lo apa?” tanya si gendut tadi.

“Gue tahu!”

Cowok berambut cepak dan berbadan tinggi menyahut. Seketika, bola basket yang ada di tangannya melesat sampai ke lengan kanan gadis malang itu.

“Aduh…,” keluh gadis itu meringis, memegang lengannya.

Si gendut itu bergerak maju. “Hei, lo … em, siapa namanya?”

Elina Fahrani Gayatri. Itulah nama gadis yang sedang ditindas itu. Orang yang memberitahukan namanya itu adalah teman sekelasnya. Pria itu bahkan meludah karena merasa tak sudi sekelas dengan wanita murahan.

“Oh, jadi namanya Elina?” kata si gendut, nada ucapannya sarkatis. “Cantik. Tapi sayangnya … MURAHAN!”

Tanpa diduga, bola itu dilemparkan tepat di kepala Elina. Semua tertawa, tak peduli apakah Elina merasa pusing dan kesakitan.

Tubuh Elina terhuyung sambil memegang kepalanya. Kakinya berusaha untuk tetap berpijak agar tidak terjatuh. Ia tidak mau menunjukkan bahwa dirinya lemah.

Namun, bukan hanya itu serangannya. Ketika bola itu jatuh di kaki seseorang, maka giliran orang itu yang melemparkannya. Bola mengenai tepat di betis Elina. Otomatis Elina kehilangan keseimbangan, dan akhirnya jatuh.

Mereka semua tertawa puas. Pesta penyiksaan berakhir dengan datangnya seorang gadis berpakaian modis, membawa seember air, yang kemudian disirimkan ke tubuh Elina. Ember itu dilemparkan ke samping tubuh Elina.

Mata Elina dipenuhi oleh air mata, menatap kabur pada orang-orang yang begitu puas menertawakannya. Hanya ada satu, di sana, pria itu. Tatapan iba dan tak berdaya. Dia adalah Austin, seseorang yang dulu dikagumi Elina secara diam-diam. Pria tampan berhati lembut dan penuh simpati, yang kini menjadi pemilik hatinya.

Sedang apa dia di sana? Kenapa hanya diam melihatnya disiksa oleh orang-orang tak berhati itu? Apa ini yang namanya cinta di mulut saja? Berhentilah menatap seperti itu! Sungguh, ia membencinya.

Elina memalingkan wajahnya, hatinya begitu perih, lebih sakit dari perlakuan buruk orang-orang itu. Kini ia tahu, betapa lemahnya cinta Austin padanya.

Jika mengingat hal itu, rasanya tidak ingin hidup lagi. Bebannya terlalu banyak, cintanya juga telah hilang. Ia tak bisa menunjukkan wajahnya kepada siapapun. Kepercayaan pada semua orang sudah musnah. Dan cinta … hatinya saja telah membeku.

Di umurnya yang telah menginjak 21 tahun, senyuman di bibirnya tidak pernah bertahan lama. Hanya ada kepahitan, air mata, dan kesepian. Hari ini, ia ingin tersenyum, menyambut kebebasannya dari beban-beban yang dipikulnya sendirian selama ini.

Angin senja membelainya. Matahari terbenam menyambut senyumannya. Kaki kanannya mulai menaiki pagar pembatas jembatan penyebrangan, disusul kaki kirinya. Kedua tangannya direntangkan, matanya dipejamkan.

Terdengar suara sorakan dari bawah jembatan, tapi tidak dihiraukannya. Ia menganggap bahwa sorakan itu adalah melodi kematian yang merdu.

Tubuhnya mulai terhuyung. Di dalam hati menyerukan malaikat maut agar segera menjemput rohnya. Perlahan, ia memajukan tubuhnya.

Selamat tinggal, dunia….[]

***Haloha.... author comeback. Apa kabar kalian. Ini bukan hari Sabtu, tapi kok udah up? Emang gitu authornya, suka nggak konsisten.

Mungkin judulnya rada aneh, tapi memang itu kenyataannya.

Seperti biasa, author yang suka ngabisin nasi ini minta vote dan komen ya?

Selamat menikmati cerita. Makasih.***

Chapter 2

Oh, Please!

“Kau sudah gila, ya?” bentak seorang pria tampan, terengah-engah, duduk di samping Elina yang tengah memandanginya dengan kedua matanya yang membulat.

Austin, tiba-tiba berlari ke arah Elina yang hampir saja terjatuh dari atas jembatan. Dia melompat dan meraih tangan Elina, lalu menariknya kembali ke sisi jembatan. Austin terduduk, menangkap tubuh Elina ke dalam pelukannya.

Kenapa Austin menyelamatkannya? Mereka sudah putus, dan perasaannya terhadap Austin telah mati—yang tersisa hanya kebencian. Tapi kenapa Austin masih peduli? Apa cintanya terhadap Elina masih ada?

Tidak! Kenapa otak Elina masih sempat-sempatnya terbesit pemikiran yang seperti itu? Prinsipnya, sekali dibuang, tidak akan dilihatnya lagi.

Lantas ia berdiri, mengibas-kibaskan tangannya ke baju dan celananya dari debu yang menempel. Tanpa mengatakan apa pun dan bahkan tanpa melirik Austin sedikitpun, ia pergi dari tempat itu.

“Elina!” panggil Austin, mencegah langkahnya semakin menjauh.

Elina memejamkan mata. Mau apa lagi? Tidak cukup mengertikah dia dengan kata “putus” yang diucapkannya minggu lalu? Ia sendiri sudah puas mendengar semua penjelasannya, yang menunjukkan bahwa dia tidak mencintai Elina. Dia begitu egois. Dia tidak mau celaka dan mempertaruhkan nama baiknya, jika menolong Elina dari pem-bullyan waktu itu. Bagaimana Elina bisa mengerti dan memberikan kesempatan kedua? Semakin mendengarkannya, semakin banyak alasan yang tidak masuk akal. Hanya bikin tambah sakit hati.

Begitu juga kali ini. Elina berbalik, melihat pria itu tengah berjalan perlahan menghampirinya. Ia mendengus, sungguh tak sudi melihat wajah memelasnya itu.

“Elina, aku….”

“Terima kasih sudah menolong saya tadi,” serobot Elina menundukkan kepala, lalu bergegas berbalik. “Saya permisi—”

“Lin!” Sebelum sempat sepenuhnya Elina membelakanginya, Austin meraih dan menggenggam tangan Elina. “Please, aku mau ngomong.”

Elina menarik napas. Begitu sempit rongga dada ini ketika luka kembali terbuka dan air mata langsung terbendung pada pelupuk mata. Kenapa ia dilahirkan jadi wanita lemah seperti ini? Sedikit saja mata telah berair, dan luluh dengan mudah oleh ucapan pria.

“Nggak ada yang perlu diomongin,” kata Elina pelan tapi tegas. Melepaskan perlahan genggaman tangan Austin. “Saya tidak suka bicara dengan orang asing.”

Embusan napas Austin terdengar frustasi. Harus pakai cara apalagi agar Elina mau berpaling sedikit kepadanya. Selama seminggu berpisah, baru hari ini ada kesempatan untuk bertemu. Mana mungkin, ia akan melewatkannya, karena semuanya harus diperjelas, dan hubungan mereka bisa kembali membaik.

“Dengarkan aku sebentar saja…,” pintanya memelas.

“Jika kau hanya ingin mengatakan alasan saja, aku tidak akan mendengarkannya,” timpal Elina tajam.

“Elina, jangan seperti ini….”

Elina mulai geram, dan langsung berbalik. Tatapan memuja yang sering Austin lihat, berubah menjadi dingin. Sosok Elina yang dikenalnya telah berubah.

“Apa? Oh, apa kau sekarang merasa bersalah karena kita putus secara tidak baik?” sela Elina menyindir. “Baiklah, aku memaafkanmu. Sekarang, kau bisa bernapas lega dan melanjutkan hidupmu. Apa sekarang aku boleh pergi?”

Austin hampir putus asa mendengar ucapan yang begitu dingin dan penuh kebencian dari Elina. Tapi ia tak mau melakukan hal bodoh lagi, Elina tidak akan dilepaskannya. Ia memegang erat kedua pundak Elina, memaksanya agar menatap wajahnya dengan kedua mata sendu yang indah itu.

“Aku tidak bisa melepaskanmu. Aku tahu aku egois. Tapi aku sudah menyadarinya bahwa … aku tidak bisa hidup tanpamu.”

Elina melengos, terang-terangan menunjukkan senyum sinisnya pada pria itu. “Kau tidak bisa hidup tanpa aku? Teorinya adalah, kau tidak bisa hidup jika tidak makan dan minum, juga tidak bernapas dengan oksigen,” jawabnya sarkastik. “Jika kau menggunakan istilah basi ataupun sajak dari Khalil Gibran untuk merayuku, itu tidak akan mempan. Yang ada aku mau muntah mendengarnya.”

Austin ternganga, genggaman tangannya mulai melonggar. Elina yang dulu benar-benar hilang. Tak ada tatapan lembut, melainkan tatapan penuh kehinaan. Sikap keras Elina melunturkan harapannya untuk bisa menggenggam tangannya, memeluknya, atau bahkan merasakan kehangatan cinta yang hanya untuknya.

Elina berjalan menjauh, sama seperti cinta yang pergi dan tidak akan mungkin kembali. Tangan ini hanya dapat menggapai, tapi tidak dapat meraih gadis itu.

Inilah akhirnya, cinta yang menyakitkan. Elina pergi sambil menghapus air matanya, meneguhkan diri bahwa hidup masih tetap berjalan tanpa cinta. Kehilangan cinta mungkin lebih baik, daripada mencintai tapi tersakiti.

Sama seperti ibunya.

{}

Perjalanan menuju rumah seakan terasa berat. Kakinya melangkah enggan menyusuri gang ke gang yang sempit. Ia baru saja pulang dari tempat kerjanya di mall. Selain itu, ia juga berkeliling tempat untuk menemui kenalannya.

Selama hampir seharian berkeliling, tak mendapatkan hasil apa pun. Ia bermaksud meminjam uang, tapi mereka tidak bisa memberikannya karena berbagai alasan. Ya, mereka juga perlu uang untuk keperluan pribadi.

Elina cuma bisa mengerti. Lagi pula, uang 30 juta bukan jumlah yang sedikit. Tidak bisa berutang hanya pada satu orang untuk menggenapi uang sebanyak itu.

Ia mendongak. Dilihatnya langit hampir gelap. Matahari sudah mencondong ke arah barat. Sekitar 3 jam lagi, ia akan kembali berangkat bekerja. Satu jam, mungkin waktu yang cukup untuk beristirahat setelah berbenah.

Ketika ia akan masuk ke dalam gang menuju rumahnya, ia mendengar suara seruan yang keras. Ia mengintip sedikit; dilihatnya dua orang preman sedang berdiri di depan rumahnya sambil menggedor pintu.

Elina buru-buru bersembunyi. Ah, ada-ada saja. Kenapa di saat seperti ini masalah muncul?

“Elina! Kalau tidak dibuka juga, kami akan menggebrak pintu ini!” seru preman botak dan berbadan tambun.

Preman kurus dan berambut gondrong menimpali, “Iya, benar! Jadi, cepat buka pintunya!”

Seorang wanita pendek dan gemuk, memakai daster warna hijau datang menghampiri mereka. Dia menegur dengan suara kencang menggelegar, hingga kedua preman itu sempat bergidik dibuatnya.

“Berisik! Nggak lihat apa, ini mau Maghrib?”

Kedua preman itu saling melirik, bengong melihat wanita itu mengomeli mereka. Walau tampang seram, nyali mereka ciut juga. Mereka berkata sedikit pelan, karena ibu-ibu biasanya lebih ganas ketika marah.

“Maaf, Bu. Kami ada urusan sama pemilik rumah,” jawab pria yang berbadan kurus.

Wanita itu melihat ke arah belakang kedua preman itu. “Eh, mau sampai rambut kalian beruban juga, tuh pintu nggak bakal terbuka. Nggak lihat apa, pintunya digembok?”

Digembok? Kedua pria itu mendelik, segera melihat ke belakang. Benar! Kenapa badan sebesar itu, tapi otaknya kecil? Kemudian, mereka kembali menghadap wanita itu sambil menyeringai malu.

Wanita itu membuat perhatian mereka teralihkan. Selagi mereka belum menyadari keberadaanya, Elina harus bergegas kabur dari sini.

Ia melangkah pelan tanpa suara. Sialnya, pria botak itu melihat Elina, lalu berseru sambil menepuk pundak temannya dan menunjuk ke arah Elina.

Elina bergidik. Tanpa menoleh, ia langsung berlari sekencangnya, entah sampai ke mana kaki ini membawanya. Dari gang ke gang, ia berlari. Ini menguntungkan, kedua pria itu kesulitan mengejarnya karena banyak orang yang berlalu-lalang di gang ini.

Namun, sebelum mencapai ujung gang, napas Elina sudah tersenggal-senggal. Kakinya juga sudah lelah untuk berlari. Laju larinya semakin lambat, sedangkan kedua pria itu hampir mendekat. Meskipun begitu, Elina tidak mau menyerah, ia berlari sekuatnya sambil berharap ada pertolongan yang datang.

Ketika ia hampir keluar gang, tiba-tiba ada motor matik berwarna putih melintas. Elina dan si pengendara itu terkejut. Hampir saja Elina tertabrak.

“Elin?” tanya si pengendara, seorang wanita berkaus biru dengan memakai celana pendek ketat, ternyata mengenal gadis itu.

Elina juga tercengang sesaat. Mendengar teriakan kedua pria itu, tanpa pikir panjang, ia menaiki motor wanita itu dengan panik.

“Cepetan, Ima!”

“Tapi kenapa?” tanya wanita itu, menoleh ke arah yang sama dengan Elina.

“Udah, jalan aja! Entar gue ceritain.”

Meskipun agak bingung, wanita itu mengangguk dan segera menghidupkan mesin motornya. Akhirnya, Elina terbebas sementara dari orang-orang itu. Mereka tak mampu mengerjar laju motor, dan hari ini terpaksa mereka pulang tanpa berhasil melaksanakan tugas dari bosnya.

{}

Raima Delila, wanita bertubuh seksi itu adalah sahabat Elina sejak dia pindah ke kota ini. Dia wanita yang sebenarnya baik, tapi agak cerewet. Lihat saja, sambil berjalan mengambilkan dua gelas air dingin untuknya dan Elina, dia tidak berhenti mencerocos.

Segelas air dingin diletakkan di meja, dekat dengan tempat duduk Elina. Raima duduk di samping Elina, menenggak air dingin yang menyegarkan ke dalam tenggorokannya. Kemudian, melanjutkan celotehannya.

“Emang berapa, sih, utang Bokap lo?”

Elina menunduk, menjawab getir. “Sepuluh juta plus bunga. Jadi, dua puluh juta.”

Raima meletakkan gelasnya di atas meja kayu jati berwarna cokelat muda dengan kencang, menimbulkan bunyi yang cukup mengagetkan Elina. “Gila! Bener-bener, ya, tuh renternir! Kayak lintah! Lagian, ngapain om Edi ngutang sama dia? Pasti buat judi lagi? Hadeuh! Kenapa ibu Sri yang baik hati bisa nikah sama om Edi, sih….”

Raima terkesiap setelah melirik Elina. Ia merutuk dan memukul pelan mulutnya yang suka asal bunyi dan tidak bisa direm jika sudah berbicara.

Elina terkekeh, tapi tidak bisa menyembunyikan kenyataan yang pahit itu. Raima benar, kenapa Tuhan memasangkan wanita yang baik dengan pria yang tidak bertanggung jawab seperti ayahnya? Apa ibu terlalu dibutakan oleh cinta? Tidak mungkin ini hukuman? Ibunya wanita yang selalu menjaga kehormatan dan sikapnya. Lalu apa yang terjadi? Ia sering dengar bahwa wanita baik untuk pria yang baik. Tapi kenyataaannya malah berbeda. Dengan berbagai contoh kisah dan pengalaman yang dilihatnya, membuat keyakinan Elina kepada Tuhan semakin goyah.

Raima yang merasa tidak enak hati berkata, “Sori, Lin—”

“Nggak apa-apa,” sela Elina lirih, lalu meraih gelas yang berisi air dingin.

Keheningan terjadi selama Elina meneguk setengah gelas air dingin itu. Raima yang masih merasa bersalah, tak tahu harus berkata apalagi. Ucapan apa pun tidak dapat menghibur Elina saat ini. Mungkin membiarkannya tenang sampai kesedihannya berkurang adalah tindakan yang tepat.

Tapi situasi seperti ini jadi terasa aneh. Elina pun tak ingin menyiksa Raima dalam penyesalannya. Ia tersenyum, menyenggol lengan Raima yang sedang menunduk.

“Udahlah. Kenapa dipikirin coba? Gue nggak pernah masukin omongan lo ke hati kok. Ke kuping aja nggak masuk, apalagi ke hati?” selorohnya.

Mata Raima membulat. “Masa? Jadi selama ini, lo nggak pernah dengerin omongan gue?”

Elina menggeleng.

“Resek, lo! Emang nggak capek apa ngomong mulu?”

“Emang gue nyuruh lo ngomong?” goda Elina, kemudian tertawa.

“Oh, iya, Lin. Jadi, gimana rencana lo sekarang?” tanya Raima kemudian, setelah tawanya reda.

Elina melirik ke arah lain dan terdiam. Itu juga yang dipikirkannya. Mendapatkan uang 50 juta dalam semalam, apa itu mungkin? Rentang waktu pelunasan setidaknya sampai lusa. Meminjam uang adalah hal yang bisa dilakukan.

Sekarang, lirikan matanya mengarah pada Raima. Sempat terbesit untuk berutang pada Raima, tapi sangsi. Raima sama sekali tidak masalah jika meminjamkan uang padanya. Hanya saja, uang 50 juta … apa dia punya?

“Em … kayaknya lo mau minjem duit, nih?” tebak Raima asal, yang menyadari maksud dari lirikan mata Elina. “Tenang, gue pinjemin. Tapi cuma 5 juta. Soalnya, gue mau kirim duit buat orangtua gue. Nggak apa-apa, kan?”

“Nggak usah, Ima.” Elina mencegah Raima yang akan beranjak dari kursinya.

Selama tinggal di Jakarta, Raima bekerja menjadi pelacur untuk biaya pengobatan ibunya yang sakit dan adiknya bontotnya yang masih sekolah. Keduanya tidak tahu, bahwa uang itu didapatkan dengan cara yang tidak halal. Raima memberitahukan, uang yang dikirimkan adalah hasil jerih payahnya selama bekerja sebagai sekertaris di perusahaan kecil.

Elina tidak mau menyusahkan Raima. Wanita itu juga sama-sama membutuhkan uang, walaupun Raima sama sekali tidak merasa keberatan untuk membantunya.

Raima menatapnya heran. “Kenapa?”

“Em … lo tahu nggak lowongan kerja yang gajinya lumayan gede?” tanya Elina mengalihkan.

“Lo bermaksud cari kerjaan buat bayar biaya operasi ibu lo? Kelamaan.”

Memang, tapi daripada pinjam uang ke Raima? Mungkin ia akan meminjam uang pada teman-temannya, meskipun sudah dicoba, dan pada akhirnya gagal.

“Ya … gue nanti mau pinjem duit sama teman-teman yang lain.” Jawaban Elina terdengar sumbang karena agak ragu.

“Yakin?” tanya Raima, yang nampak sudah mengerti dari ucapan dan ekspresi Elina.

“Em … iya!” jawab Elina, berusaha terlihat meyakinkan. Namun, sebelum Raima menyinggungnya lagi, ia buru-buru mengalihkan topik pembicaraan. “Jadi, lo tahu kerjaan yang gajinya gede, nggak?”

“Buat apa? Lo udah punya dua kerjaan, kan?”

“Emang, tapi buat cadangan. Soalnya, duitnya itu buat bayar utang.” Elina menanggapinya dengan cepat. “Lo tahu, kan, gue nggak suka berutang? Hidup gue nggak tenang, kalo nggak cepat-cepat dibalikin.”

Raima mengatupkan mulutnya, lalu beranjak dari kursi. Ia berjalan mondar-mandir untuk berpikir, sambil meletakkan tangannya di dagu. Sementara Elina, memperhatikannya sampai Raima menjawabnya.

“Nggak ada, sih? Tapi …” Raima melirik Elina, ragu. “Ah, nggak jadi deh!”

“Kenapa? Bilang aja!” desak Elina, begitu Raima kembali duduk. “Ada kerjaan, kan?”

“Tapi, Lin….”

“Kerjaan apa aja bakal gue lakuin, asal halal.”

Ketika mendengar kata “halal”, Raima semakin ragu. Ia terdiam, sekalipun seberapa kerasnya Elina mendesaknya. Namun, pada akhirnya ia menyerah. Mungkin ide ini buruk; dan demi apa pun, ia tidak bermaksud membawa Elina tersesat ke arah yang salah.

“Jadi, apa kerjaannya, Ima?” tanya Elina lagi.

Raima melirik ragu. Napasnya tertahan, lalu diembuskan sebelum berkata, “Kerjaannya … jual keperawanan.”[]

Chapter 3

Losing My Mind

Elina tercengang. Binar harapan di matanya pudar perlahan. Genggaman tangannya pada tangan Raima melonggar. Tak percaya, bahwa sahabatnya akan mendorongnya ke dalam jurang kemaksiatan.

“Nggak. Gue nggak mau lakuin itu,” gumamnya, melepaskan genggaman tangannya. “Lo tahu prinsip gue, kan?”

Raima sangat tahu, dan ia menyesal karena memberikan ide buruk itu pada Elina. Ia merasa buruk di mata gadis itu.

“Sori, Lin. Gue juga tahu, bagaimana prinsip lo itu. Nggak usah lo pikirin kata-kata gue. Lo tahu, kan, gue suka ngomong ngaco?” Kemudian, Raima berusaha ceria demi menghibur Elina. “Lo tenang aja. Nanti, gue usahain buat nyari kerjaan buat lo. Dan yang pastinya halal.”

Raima tersenyum simpul menatap Elina, mengajaknya untuk tersenyum juga. Tetapi senyuman Elina dipaksakan. Bukan karena ide Raima, lebih karena memikirkan cara mengatasi kepelikan hidupnya.

Karena waktu telah memasuki malam dan suara azan Maghrib telah selesai berkumandang sejak tadi, Elina pamit untuk pulang.

Elina berdiri, lalu meraih tas tangannya yang ada di atas meja. “Gue balik dulu. Nanti Frasya nyariin gue.”

“Iya,” jawab Raima mengangguk sembari tersenyum. “Hati-hati, ya?”

;-;-;

Seorang gadis berdiri di dekat jendela, terlihat resah. Ia meyibakkan gorden dan mengintip ke arah jalanan yang sepi. Kemudian, ia berjalan mondar-mandir, dengan secarik kertas yang sudah lecek di tangannya.

Selang beberapa detik, ia kembali mengintip ke luar jendela. Astaga! Ia mendelik panik. Dilihatnya seseorang sedang mendekat ke arah pintu.

Gadis itu bergegas kembali menutup gordennya, bergerak ke arah tak keruan karena sangking bingungnya. Akhirnya, ia berjalan mengarah kamarnya.

“Frasya?”

Gadis itu mematung, kala suara familiar itu memanggilnya. Ia hanya melirik, tapi tak berani menoleh. Diremasnya sisi dari kertas itu, gugup.

Tak mau kakaknya menaruh curiga, lantas ia berbalik, dan dengan cepat menyembunyikan kertas itu di balik punggungnya.

“Kakak udah pulang.”

Alis Elina naik sebelah, merasa ada yang ganjil dari balik senyum yang terlihat dipaksakan.

Elina menutup pintu, lalu berjalan ke arah sofa, duduk di sana dan membuka stoking tipisnya yang berwarna hitam. “Kapan kamu pulang?”

“Em … jam setengah 6.” Jawaban Frasya terdengar sumbang karena semakin gugup.

Elina terdiam, memerhatikan sesaat. “Udah masak nasi?”

“Udah!” sahut Frasya cepat, ingin segera pergi dari sini, sebelum Elina lebih curiga lagi. “Kalau gitu, aku masuk kamar dulu, ya? Kalau Kakak butuh bantuan, panggil aku aja.”

Frasya cepat-cepat berbalik dan menyembunyikan kembali kertas itu. Langkahnya tergesa-gesa menuju kamarnya, yang hanya beberapa langkah dari tempatnya berdiri.

“Sya,” panggil Elina, menghentikan langkahnya yang hampir mencapai pintu kamar.

Frasya menggigit bibir bawahnya. Apa lagi ini? Elina semakin membuat jantungnya berdebar, apalagi terdengar suara langkah kaki yang mendekat.

Elina berhenti, tapi hanya berjarak satu meter dari tempat Frasya berdiri saat ini karena tak ingin membuat Frasya semakin gelisah.

Frasya menoleh sedikit. “Apa, Kak?” Terlihat sekali bahwa senyum itu terlalu dipaksakan.

Elina menegadahkan tangan ke hadapannya. “Sini kasih Kakak.”

Benar, kan? Tidak ada satu pun yang bisa disembunyikan dari Elina. Frasya memang pembohong yang buruk. Akan tetapi, Frasya tak kunjung memberikannya. Antara ragu dan iba pada Elina.

Elina terus menunggu, tapi pada akhirnya kembali mendesak. “Sya?”

Frasya semakin tertunduk sambil menggigit bibir bawahnya. Kertas itu akhirnya diberikan ke tangan kakaknya. Ia memejamkan mata, tak tega melihat wajah muram Elina yang semakin terlihat jelas, kala membaca kata demi kata di dalam surat itu.

Elina menghela napas. “Kenapa nggak bilang sama kakak?”

“Maaf,” lirih Frasya, menyesal. “Aku nggak mau menambah beban Kakak.”

Frasya, yang dilakukannya malah semakin membuatnya susah. Bila sejak awal diberitahu, Elina pasti akan berusaha menyisihkan uang untuk membayar SPP-nya. Tapi ini selama 6 bulan SPP belum terbayarkan. Bagaimana cara mendapat uangnya dalam waktu tiga hari, sementara ia juga membutuhkan uang untuk biaya operasi ibu dan membayar utang ayahnya. Jika SPP-nya tak kunjung dilunasi, maka sanksinya adalah keluar dari sekolah.

Dari lirikan pada ujung matanya, ia dapat melihat betapa frustasinya Elina. Ia menyesal, kenapa kertas terkutuk itu ia pungut lagi dari tong sampah setelah diremas-remasnya?

“Kak, aku mau berhenti sekolah.” Seketika, Elina menoleh pada Frasya. “Aku mau bantu Kakak cari uang.”

Elina menghampiri Frasya dan menatapnya gusar. Tidak. Cukup dirinya yang kehilangan masa depan, jangan pula Frasya. Elina sudah cuti kuliah, dan entah kapan kembali berkuliah. Sedangkan Frasya, sebentar lagi akan menghadapi Ujian Nasional. Sangat disayangkan jika sampai berhenti sekolah.

Tadinya, Elina ingin marah pada Frasya. Tapi wajah memelas adiknya, membuatnya tak sanggup melakukan itu.

Pegangan tangan dari pundak Frasya dilepaskan, lalu ia menghela napas untuk menekan amarahnya. “Sya, kamu nggak usah mikirin soal itu. Biar kakak aja yang cari uang untuk bayar SPP kamu. Sekarang yang kamu pikirin adalah belajar. Buat bangga Kakak dan ibu.”

Frasya mengangguk. Itu juga cita-citanya saat masih kecil. Tapi keadaan yang seperti ini yang membuatnya putus asa. Hanya saja, ia tak bisa membantah kakaknya. Pada saat Elina menyuruhnya masuk, Frasya pun menurutinya.

Elina menyusul masuk ke dalam kamarnya, setelah memastikan Frasya masuk ke dalam kamar. Pintu ditutupnya dengan rapat, lalu ia bersandar di balik pintu.

Tuhan memang terlalu sayang pada Elina, sehingga memberikan ujian hidup yang banyak. Lagi, air mata mengalir dari pelupuk matanya, tanpa terisak, perih menghadapi hidup yang semakin sulit.

Seakan cahaya yang mengarah pada pemecahan atas masalahnya tidak ada. Biasanya, manusia akan buta, dan pada akhirnya terbawa oleh hasutan setan yang manis. Seperti itulah yang dirasakan oleh Elina sekarang.

Jika sudah seperti itu, manusia biasanya akan bertindak di luar dari hati nurani, mengenyahkan prinsip yang dipegangnya, tak memikirkan risiko apa yang akan terjadi ke depannya.

Di dalam kegalauannya, Elina akhirnya terbawa pada arus kesesatan itu. Seakan tak memiliki jiwa, Elina berjalan menuju ranjang dan duduk di atasnya, lalu meraih ponselnya. Jari telunjuknya menari-nari di atas layar ponsel, mencari sebuah kontak.

Namun, ia membeku, menatap layar ponsel. Sepertinya, Elina tersadar karena hati kecilnya berseru lirih agar dirinya tersadar dari kekhilafannya. Namun, desakan hidup yang sedang dialaminya, menggoda pemikirannya untuk terus melanjutkan keputusan itu, meskipun ia tahu ini salah.

“Halo, Ima. Gue mau ngomong sama lo entar.”

-;-;-;-

Jam 9 malam. Raima keluar rumah dengan pakaian tanpa lengan yang ketat berwarna hitam, dipadu dengan rok mini super seksi berwarna merah. Riasannya sangat cantik, bulu mata yang begitu lentik, dan gincu merah yang menyala. Seperti bidadari hitam yang terluka.

Ia mengunci rumahnya, sebelum kakinya yang memakai sepatu heels berwarna putih melangkah pergi meninggalkan rumah untuk bekerja.

Di mulutnya terdapat sebatang rokok yang sudah hampir habis diisapnya. Lalu, puntung rokok itu dibuang di dekat sepasang kaki seorang wanita.

Raima mengernyit. “Elin?”

Sepertinya, Raima lupa kalau Elina mau mengajaknya bicara sebelum berangkat kerja. Gadis itu sudah bersiap dengan celana ketat yang menampilkan bentuk kakinya, tapi tubuhnya masih terbalut oleh sebuah sweater warna biru.

“Gue mau ngomong,” kata Elina sambil berjalan mendekat.

“Oh, ngomong aja, Lin,” sahut Raima, setelah menyadari pembicaraan via telepon beberapa jam yang lalu.

Elina terdiam sejenak, tampak sedang berpikir. Sepertinya, keraguan kembali menggelayutinya. Raima yang duduk di dekat terasnya, menunggu sambil menyalakan sebatang rokok.

Elina menghela napas, merasa yakin pada keputusannya. Keraguan itu dibuangnya jauh-jauh. Tatapannya kosong dan dingin, saat ia akhirnya berkata:

“Gue mau jual keperawanan gue.”[]

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!