Oh, Please!
“Kau sudah gila, ya?” bentak seorang pria tampan, terengah-engah, duduk di samping Elina yang tengah memandanginya dengan kedua matanya yang membulat.
Austin, tiba-tiba berlari ke arah Elina yang hampir saja terjatuh dari atas jembatan. Dia melompat dan meraih tangan Elina, lalu menariknya kembali ke sisi jembatan. Austin terduduk, menangkap tubuh Elina ke dalam pelukannya.
Kenapa Austin menyelamatkannya? Mereka sudah putus, dan perasaannya terhadap Austin telah mati—yang tersisa hanya kebencian. Tapi kenapa Austin masih peduli? Apa cintanya terhadap Elina masih ada?
Tidak! Kenapa otak Elina masih sempat-sempatnya terbesit pemikiran yang seperti itu? Prinsipnya, sekali dibuang, tidak akan dilihatnya lagi.
Lantas ia berdiri, mengibas-kibaskan tangannya ke baju dan celananya dari debu yang menempel. Tanpa mengatakan apa pun dan bahkan tanpa melirik Austin sedikitpun, ia pergi dari tempat itu.
“Elina!” panggil Austin, mencegah langkahnya semakin menjauh.
Elina memejamkan mata. Mau apa lagi? Tidak cukup mengertikah dia dengan kata “putus” yang diucapkannya minggu lalu? Ia sendiri sudah puas mendengar semua penjelasannya, yang menunjukkan bahwa dia tidak mencintai Elina. Dia begitu egois. Dia tidak mau celaka dan mempertaruhkan nama baiknya, jika menolong Elina dari pem-bullyan waktu itu. Bagaimana Elina bisa mengerti dan memberikan kesempatan kedua? Semakin mendengarkannya, semakin banyak alasan yang tidak masuk akal. Hanya bikin tambah sakit hati.
Begitu juga kali ini. Elina berbalik, melihat pria itu tengah berjalan perlahan menghampirinya. Ia mendengus, sungguh tak sudi melihat wajah memelasnya itu.
“Elina, aku….”
“Terima kasih sudah menolong saya tadi,” serobot Elina menundukkan kepala, lalu bergegas berbalik. “Saya permisi—”
“Lin!” Sebelum sempat sepenuhnya Elina membelakanginya, Austin meraih dan menggenggam tangan Elina. “Please, aku mau ngomong.”
Elina menarik napas. Begitu sempit rongga dada ini ketika luka kembali terbuka dan air mata langsung terbendung pada pelupuk mata. Kenapa ia dilahirkan jadi wanita lemah seperti ini? Sedikit saja mata telah berair, dan luluh dengan mudah oleh ucapan pria.
“Nggak ada yang perlu diomongin,” kata Elina pelan tapi tegas. Melepaskan perlahan genggaman tangan Austin. “Saya tidak suka bicara dengan orang asing.”
Embusan napas Austin terdengar frustasi. Harus pakai cara apalagi agar Elina mau berpaling sedikit kepadanya. Selama seminggu berpisah, baru hari ini ada kesempatan untuk bertemu. Mana mungkin, ia akan melewatkannya, karena semuanya harus diperjelas, dan hubungan mereka bisa kembali membaik.
“Dengarkan aku sebentar saja…,” pintanya memelas.
“Jika kau hanya ingin mengatakan alasan saja, aku tidak akan mendengarkannya,” timpal Elina tajam.
“Elina, jangan seperti ini….”
Elina mulai geram, dan langsung berbalik. Tatapan memuja yang sering Austin lihat, berubah menjadi dingin. Sosok Elina yang dikenalnya telah berubah.
“Apa? Oh, apa kau sekarang merasa bersalah karena kita putus secara tidak baik?” sela Elina menyindir. “Baiklah, aku memaafkanmu. Sekarang, kau bisa bernapas lega dan melanjutkan hidupmu. Apa sekarang aku boleh pergi?”
Austin hampir putus asa mendengar ucapan yang begitu dingin dan penuh kebencian dari Elina. Tapi ia tak mau melakukan hal bodoh lagi, Elina tidak akan dilepaskannya. Ia memegang erat kedua pundak Elina, memaksanya agar menatap wajahnya dengan kedua mata sendu yang indah itu.
“Aku tidak bisa melepaskanmu. Aku tahu aku egois. Tapi aku sudah menyadarinya bahwa … aku tidak bisa hidup tanpamu.”
Elina melengos, terang-terangan menunjukkan senyum sinisnya pada pria itu. “Kau tidak bisa hidup tanpa aku? Teorinya adalah, kau tidak bisa hidup jika tidak makan dan minum, juga tidak bernapas dengan oksigen,” jawabnya sarkastik. “Jika kau menggunakan istilah basi ataupun sajak dari Khalil Gibran untuk merayuku, itu tidak akan mempan. Yang ada aku mau muntah mendengarnya.”
Austin ternganga, genggaman tangannya mulai melonggar. Elina yang dulu benar-benar hilang. Tak ada tatapan lembut, melainkan tatapan penuh kehinaan. Sikap keras Elina melunturkan harapannya untuk bisa menggenggam tangannya, memeluknya, atau bahkan merasakan kehangatan cinta yang hanya untuknya.
Elina berjalan menjauh, sama seperti cinta yang pergi dan tidak akan mungkin kembali. Tangan ini hanya dapat menggapai, tapi tidak dapat meraih gadis itu.
Inilah akhirnya, cinta yang menyakitkan. Elina pergi sambil menghapus air matanya, meneguhkan diri bahwa hidup masih tetap berjalan tanpa cinta. Kehilangan cinta mungkin lebih baik, daripada mencintai tapi tersakiti.
Sama seperti ibunya.
{}
Perjalanan menuju rumah seakan terasa berat. Kakinya melangkah enggan menyusuri gang ke gang yang sempit. Ia baru saja pulang dari tempat kerjanya di mall. Selain itu, ia juga berkeliling tempat untuk menemui kenalannya.
Selama hampir seharian berkeliling, tak mendapatkan hasil apa pun. Ia bermaksud meminjam uang, tapi mereka tidak bisa memberikannya karena berbagai alasan. Ya, mereka juga perlu uang untuk keperluan pribadi.
Elina cuma bisa mengerti. Lagi pula, uang 30 juta bukan jumlah yang sedikit. Tidak bisa berutang hanya pada satu orang untuk menggenapi uang sebanyak itu.
Ia mendongak. Dilihatnya langit hampir gelap. Matahari sudah mencondong ke arah barat. Sekitar 3 jam lagi, ia akan kembali berangkat bekerja. Satu jam, mungkin waktu yang cukup untuk beristirahat setelah berbenah.
Ketika ia akan masuk ke dalam gang menuju rumahnya, ia mendengar suara seruan yang keras. Ia mengintip sedikit; dilihatnya dua orang preman sedang berdiri di depan rumahnya sambil menggedor pintu.
Elina buru-buru bersembunyi. Ah, ada-ada saja. Kenapa di saat seperti ini masalah muncul?
“Elina! Kalau tidak dibuka juga, kami akan menggebrak pintu ini!” seru preman botak dan berbadan tambun.
Preman kurus dan berambut gondrong menimpali, “Iya, benar! Jadi, cepat buka pintunya!”
Seorang wanita pendek dan gemuk, memakai daster warna hijau datang menghampiri mereka. Dia menegur dengan suara kencang menggelegar, hingga kedua preman itu sempat bergidik dibuatnya.
“Berisik! Nggak lihat apa, ini mau Maghrib?”
Kedua preman itu saling melirik, bengong melihat wanita itu mengomeli mereka. Walau tampang seram, nyali mereka ciut juga. Mereka berkata sedikit pelan, karena ibu-ibu biasanya lebih ganas ketika marah.
“Maaf, Bu. Kami ada urusan sama pemilik rumah,” jawab pria yang berbadan kurus.
Wanita itu melihat ke arah belakang kedua preman itu. “Eh, mau sampai rambut kalian beruban juga, tuh pintu nggak bakal terbuka. Nggak lihat apa, pintunya digembok?”
Digembok? Kedua pria itu mendelik, segera melihat ke belakang. Benar! Kenapa badan sebesar itu, tapi otaknya kecil? Kemudian, mereka kembali menghadap wanita itu sambil menyeringai malu.
Wanita itu membuat perhatian mereka teralihkan. Selagi mereka belum menyadari keberadaanya, Elina harus bergegas kabur dari sini.
Ia melangkah pelan tanpa suara. Sialnya, pria botak itu melihat Elina, lalu berseru sambil menepuk pundak temannya dan menunjuk ke arah Elina.
Elina bergidik. Tanpa menoleh, ia langsung berlari sekencangnya, entah sampai ke mana kaki ini membawanya. Dari gang ke gang, ia berlari. Ini menguntungkan, kedua pria itu kesulitan mengejarnya karena banyak orang yang berlalu-lalang di gang ini.
Namun, sebelum mencapai ujung gang, napas Elina sudah tersenggal-senggal. Kakinya juga sudah lelah untuk berlari. Laju larinya semakin lambat, sedangkan kedua pria itu hampir mendekat. Meskipun begitu, Elina tidak mau menyerah, ia berlari sekuatnya sambil berharap ada pertolongan yang datang.
Ketika ia hampir keluar gang, tiba-tiba ada motor matik berwarna putih melintas. Elina dan si pengendara itu terkejut. Hampir saja Elina tertabrak.
“Elin?” tanya si pengendara, seorang wanita berkaus biru dengan memakai celana pendek ketat, ternyata mengenal gadis itu.
Elina juga tercengang sesaat. Mendengar teriakan kedua pria itu, tanpa pikir panjang, ia menaiki motor wanita itu dengan panik.
“Cepetan, Ima!”
“Tapi kenapa?” tanya wanita itu, menoleh ke arah yang sama dengan Elina.
“Udah, jalan aja! Entar gue ceritain.”
Meskipun agak bingung, wanita itu mengangguk dan segera menghidupkan mesin motornya. Akhirnya, Elina terbebas sementara dari orang-orang itu. Mereka tak mampu mengerjar laju motor, dan hari ini terpaksa mereka pulang tanpa berhasil melaksanakan tugas dari bosnya.
{}
Raima Delila, wanita bertubuh seksi itu adalah sahabat Elina sejak dia pindah ke kota ini. Dia wanita yang sebenarnya baik, tapi agak cerewet. Lihat saja, sambil berjalan mengambilkan dua gelas air dingin untuknya dan Elina, dia tidak berhenti mencerocos.
Segelas air dingin diletakkan di meja, dekat dengan tempat duduk Elina. Raima duduk di samping Elina, menenggak air dingin yang menyegarkan ke dalam tenggorokannya. Kemudian, melanjutkan celotehannya.
“Emang berapa, sih, utang Bokap lo?”
Elina menunduk, menjawab getir. “Sepuluh juta plus bunga. Jadi, dua puluh juta.”
Raima meletakkan gelasnya di atas meja kayu jati berwarna cokelat muda dengan kencang, menimbulkan bunyi yang cukup mengagetkan Elina. “Gila! Bener-bener, ya, tuh renternir! Kayak lintah! Lagian, ngapain om Edi ngutang sama dia? Pasti buat judi lagi? Hadeuh! Kenapa ibu Sri yang baik hati bisa nikah sama om Edi, sih….”
Raima terkesiap setelah melirik Elina. Ia merutuk dan memukul pelan mulutnya yang suka asal bunyi dan tidak bisa direm jika sudah berbicara.
Elina terkekeh, tapi tidak bisa menyembunyikan kenyataan yang pahit itu. Raima benar, kenapa Tuhan memasangkan wanita yang baik dengan pria yang tidak bertanggung jawab seperti ayahnya? Apa ibu terlalu dibutakan oleh cinta? Tidak mungkin ini hukuman? Ibunya wanita yang selalu menjaga kehormatan dan sikapnya. Lalu apa yang terjadi? Ia sering dengar bahwa wanita baik untuk pria yang baik. Tapi kenyataaannya malah berbeda. Dengan berbagai contoh kisah dan pengalaman yang dilihatnya, membuat keyakinan Elina kepada Tuhan semakin goyah.
Raima yang merasa tidak enak hati berkata, “Sori, Lin—”
“Nggak apa-apa,” sela Elina lirih, lalu meraih gelas yang berisi air dingin.
Keheningan terjadi selama Elina meneguk setengah gelas air dingin itu. Raima yang masih merasa bersalah, tak tahu harus berkata apalagi. Ucapan apa pun tidak dapat menghibur Elina saat ini. Mungkin membiarkannya tenang sampai kesedihannya berkurang adalah tindakan yang tepat.
Tapi situasi seperti ini jadi terasa aneh. Elina pun tak ingin menyiksa Raima dalam penyesalannya. Ia tersenyum, menyenggol lengan Raima yang sedang menunduk.
“Udahlah. Kenapa dipikirin coba? Gue nggak pernah masukin omongan lo ke hati kok. Ke kuping aja nggak masuk, apalagi ke hati?” selorohnya.
Mata Raima membulat. “Masa? Jadi selama ini, lo nggak pernah dengerin omongan gue?”
Elina menggeleng.
“Resek, lo! Emang nggak capek apa ngomong mulu?”
“Emang gue nyuruh lo ngomong?” goda Elina, kemudian tertawa.
“Oh, iya, Lin. Jadi, gimana rencana lo sekarang?” tanya Raima kemudian, setelah tawanya reda.
Elina melirik ke arah lain dan terdiam. Itu juga yang dipikirkannya. Mendapatkan uang 50 juta dalam semalam, apa itu mungkin? Rentang waktu pelunasan setidaknya sampai lusa. Meminjam uang adalah hal yang bisa dilakukan.
Sekarang, lirikan matanya mengarah pada Raima. Sempat terbesit untuk berutang pada Raima, tapi sangsi. Raima sama sekali tidak masalah jika meminjamkan uang padanya. Hanya saja, uang 50 juta … apa dia punya?
“Em … kayaknya lo mau minjem duit, nih?” tebak Raima asal, yang menyadari maksud dari lirikan mata Elina. “Tenang, gue pinjemin. Tapi cuma 5 juta. Soalnya, gue mau kirim duit buat orangtua gue. Nggak apa-apa, kan?”
“Nggak usah, Ima.” Elina mencegah Raima yang akan beranjak dari kursinya.
Selama tinggal di Jakarta, Raima bekerja menjadi pelacur untuk biaya pengobatan ibunya yang sakit dan adiknya bontotnya yang masih sekolah. Keduanya tidak tahu, bahwa uang itu didapatkan dengan cara yang tidak halal. Raima memberitahukan, uang yang dikirimkan adalah hasil jerih payahnya selama bekerja sebagai sekertaris di perusahaan kecil.
Elina tidak mau menyusahkan Raima. Wanita itu juga sama-sama membutuhkan uang, walaupun Raima sama sekali tidak merasa keberatan untuk membantunya.
Raima menatapnya heran. “Kenapa?”
“Em … lo tahu nggak lowongan kerja yang gajinya lumayan gede?” tanya Elina mengalihkan.
“Lo bermaksud cari kerjaan buat bayar biaya operasi ibu lo? Kelamaan.”
Memang, tapi daripada pinjam uang ke Raima? Mungkin ia akan meminjam uang pada teman-temannya, meskipun sudah dicoba, dan pada akhirnya gagal.
“Ya … gue nanti mau pinjem duit sama teman-teman yang lain.” Jawaban Elina terdengar sumbang karena agak ragu.
“Yakin?” tanya Raima, yang nampak sudah mengerti dari ucapan dan ekspresi Elina.
“Em … iya!” jawab Elina, berusaha terlihat meyakinkan. Namun, sebelum Raima menyinggungnya lagi, ia buru-buru mengalihkan topik pembicaraan. “Jadi, lo tahu kerjaan yang gajinya gede, nggak?”
“Buat apa? Lo udah punya dua kerjaan, kan?”
“Emang, tapi buat cadangan. Soalnya, duitnya itu buat bayar utang.” Elina menanggapinya dengan cepat. “Lo tahu, kan, gue nggak suka berutang? Hidup gue nggak tenang, kalo nggak cepat-cepat dibalikin.”
Raima mengatupkan mulutnya, lalu beranjak dari kursi. Ia berjalan mondar-mandir untuk berpikir, sambil meletakkan tangannya di dagu. Sementara Elina, memperhatikannya sampai Raima menjawabnya.
“Nggak ada, sih? Tapi …” Raima melirik Elina, ragu. “Ah, nggak jadi deh!”
“Kenapa? Bilang aja!” desak Elina, begitu Raima kembali duduk. “Ada kerjaan, kan?”
“Tapi, Lin….”
“Kerjaan apa aja bakal gue lakuin, asal halal.”
Ketika mendengar kata “halal”, Raima semakin ragu. Ia terdiam, sekalipun seberapa kerasnya Elina mendesaknya. Namun, pada akhirnya ia menyerah. Mungkin ide ini buruk; dan demi apa pun, ia tidak bermaksud membawa Elina tersesat ke arah yang salah.
“Jadi, apa kerjaannya, Ima?” tanya Elina lagi.
Raima melirik ragu. Napasnya tertahan, lalu diembuskan sebelum berkata, “Kerjaannya … jual keperawanan.”[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Vlink Bataragunadi 👑
Tp 100 juta terlalu murah buat jual keperawanan 😭
2023-07-07
0
Siska Feranika
Crazy think when you stuck...
2020-10-09
1
Mita Sumita
ide gila
2020-10-07
1