"Baik, tapi nanti ya, soalnya aku harus ke luar kota beberapa hari, biar aku tenang ninggalin kamu sama ibu," tuturku.
"Sekarang!" tegas Maira.
"May, aku yang salah, jadi nggak usah nyerempet ke ibu," ucapku tidak mengerti.
Maira berpaling dan membuang nafasnya dengan berat.
"Aku yang minta tolong ibu kemari bantu kamu, jangain cucu-cucunya," belaku, aku tidak tenang meninggalkan Maira menjaga anak-anak seorang diri, meski ada bik Tuti.
Maira diam mendengar penolakanku, pandangan matanya bebas menatap langit yang cerah. Sejenak kami saling diam, aku takut jika banyak bicara justru menyinggung Maira yang sedang sensitif.
"Aku ke kantor dulu, tolong siapkan koperku untuk 5 hari, nanti sore aku berangkat," pamitku seraya meninggalkan Maira yang masih sangat kaku.
"Minta bik Tuti!" seru Maira menolak.
Sedih. Adalah rasa pertama yang menyeruak memenuhi rongga dadaku ketika Maira berhenti melakukan hal yang sudah biasa dia lakukan. Aku berbalik dan kembali menatap Maira dengan patah hati. Aku rindu Maira yang biasa, aku harus apa agar Maira cepat kembali?
Menyiapkan pakaian adalah hal yang sangat penting. Maira tidak pernah menyerahkan tugas itu pada bik Tuti.
"Biar bik Tuti aja yang nyiapin baju papah," usulku suatu hari di masa lalu.
"Nggak papa, ini bukan sekedar nyiapin baju, Pah," ucap Maira lembut.
"Terus?" tanyaku seraya memeluk Maira dari belakang dengan hangat dan penuh cinta, perutnya buncit, saat itu adalah kehamilan Maira yang pertama.
"Dalam setiap lipatan pakaian yang mamah siapkan, ada doa yang terselip di sana, doa biar Papah selamat, dijauhkan dari segala marabahaya, dan kembali pulang ke rumah tanpa kurang suatu apa pun," jawab Maira, kalimat yang membuat dadaku semakin sesak saat mengingatnya.
"Makasih, Mah! Papah pasti menangin proyek ini dan beliin rumah yang besar buat kita!" janjiku saat itu.
"Aamiin."
Sial. Aku rindu Maira. Padahal Maira ada di depan mataku tapi hatinya sangat jauh dan sulit kugapai.
"Iya! Kusuruh bik Tuti aja!" ucapku kesal.
Meski aku tahu, Maira bersikap dingin karena luka yang kubuat, aku tetap marah dan kesal saat harus menerima bongkahan es dalam setiap sikapnya yang menyebalkan. Kutinggalkan Maira dan berangkat ke kantor untuk menghindari situasi yang semakin tidak menyenangkan.
Aku sangat mencintai Maira dan anak-anak, hanya itu alasan aku bertahan dengan sikapnya yang sangat menyebalkan.
"Maira sanggup mukulin kamu sampe kayak gitu, Wa?" tanya ibu sebelum aku berangkat, sepertinya dia tidak terima Maira melakukan ini padaku.
"Bu ... aku yang minta Maira mukulin aku biar dia lega, aku nggak mau pisah sama Maira!" terangku pada ibu.
"Ibu pura-pura nggak liat aja, semua baik-baik aja kok, Bu," ucapku berusaha membuat ibu mengerti.
***
"Wa ... lu nggak papa?" tanya Sila saat melihat penampakanku.
"Nggak papa!"
"Serius?"
"Iya, kenapa? Lu ragu?" Aku paham kekhawatiran Sila, dia takut penampilanku mempengaruhi hasil meeting penting dari proyek kami.
"Ehm, gue sih nggak ragu soal proyek ini, udah berhasil kok tinggal dikit lagi. Tapi ... gue jadi takut nikah ngeliat lu sama Maira kek gini," tutur Sila masih dengan ekspresi yang aneh saat menatapku.
"Lu nggak akan pernah tau kalo lu nggak coba, Sil. Lagian perjalanan hidup orang itu beda-beda, ini mah gue aja yang breng*ek," ucapku.
"Untung gue nggak jadi istri lu, Wa!" celetuk Sila, dulu kita memang pernah hampir pacaran. Tapi aku lebih memilih Maira.
"Lu harus nikah Sil, biar tau betapa ajaibnya dunia pernikahan!" saranku padanya.
"Ajaib banget sih, ngeliat lu ... cowok baik-baik yang ternyata penjahat wanita, dan Maira perempuan idealis yang bertahan atas nama cinta. Kontras banget!" tutur Sila.
"Iya ...." Aku diam merenungi kalimat Sila, banyak yang kusesalkan sebagai pecinta aku justru membuat Maira menderita.
"Kami saling membentuk Sil," lanjutku.
Bukan aku menyalahkan Maira atas kebiasaanku yang baik ketika di depannya namun mulai nakal di belakangnya, tapi sedikit banyak Maira punya andil di sana.
Maira tidak jauh berbeda dengan ibuku yang menganggapku sempurna, padahal ada sisi jiwaku yang masih ingin dimanja seperti anak kecil. Dan aku berperan besar atas terbentuknya pribadi Maira yang sekarang.
"Baguslah kalo pernikahan kalian bisa selamat," tutur Sila.
"Maira masih butuh waktu, Sil!"
"Wajar, Wa ... bertahun-tahun juga kayaknya belum cukup buat nyembuhin lukanya Maira," ucap Sila.
"Bertahun-tahun? Ini baru beberapa minggu aja udah nggak tahan gue!" gerutuku.
"Dikira gampang apa?" cebik Sila.
"Sil ... sesekali tengoklah Maira, lu kan sahabatnya dia juga, kasih dia semangat sama motivasi. Gue pikir Maira juga butuh temen ngobrol!"
"Ehm ... iya, lagian gue belum sempet nengok Guntur, tapi gue takut salah ngomong tentang lu!"
"Elu salah, Sil. Maira nggak pernah kepo lagi tentang kelakuan gue di luar."
***
Biasanya aku paling bersemangat saat ada pekerjaan di luar kota seperti ini. Aku bisa bebas dari Maira, walaupun dia tetap menghubungiku dengan pesannya yang selalu mengeluh tentang anak-anak dan urusan rumah, tapi aku bisa mematikan ponsel untuk menghindarinya.
Sekarang berat meninggalkan Maira, aku sedang ingin berdiam diri di rumah mengamati setiap gerak gerik Maira walaupun dia tidak mau berbicara denganku. Aku hanya ingin bersama Maira. Aku rindu mulut cerewetnya.
Pergi tanpa doa dari Maira, membuatku merasa kosong. Kugunakan waktu untuk berpikir dan berintrospeksi diri. Tetapi tidak bisa, semakin aku berpikir semakin aku rindu pada Maira. Aku bisa gila karena rindu ini.
Aku berharap Maira menghubungiku, bertanya kabar, atau mengeluh menceritakan tentang anak-anak. Nyatanya tidak satu pun pesan yang datang dari Maira, tidak satu pesanku yang dibalasnya. Panggilan-panggilanku juga diabaikan olehnya.
Lewat ibu aku tahu kalau keadaan Maira baik-baik saja, bahkan terlihat lebih baik. Untung saja Maira membiarkan ibu tinggal lebih lama lagi.
Pekerjaan sengaja kuselesaikan dengan cepat agar bisa cepat pula pulang ke rumah. Baru kali ini aku gila memikirkan Maira.
Aku ingin membawakan Maira oleh-oleh, kebetulan hotel tempatku menginap dekat dengan pusat perbelanjaan. Maira sangat menyukai sepatu, entah kapan terakhir kali aku membelikannya, sekedar menemani dia membeli saja aku tidak pernah. Aku selalu menolak ajakan Maira untuk jalan-jalan bersama anak-anak, dengan alasan repot.
Aku ingin menunjukan perhatianku lagi pada Maira, bila dia tidak sempat memperhatikan dirinya sendiri karena seluruh pikirannya disita oleh anak-anak, biar aku yang memperhatikannya. Sebuah sepatu flat berwarna biru tua bermerk ternama sudah kupilih, pasti terlihat manis di kaki Maira.
"Papah pulang!" seruku setelah menempuh 2 jam perjalanan darat dan setengah jam menggunakan pesawat, akhirnya aku sampai di rumah.
"Yeay papah pulang!" Luna dan Lintang menghambur kepelukanku. Kuciumi mereka berdua bergantian untuk melepas rindu.
"Udah pulang, Wa? Kirain besok," ucap ibu menyambutku.
"Dikebut, Bu. Biar cepet pulang, mana Maira sama Guntur?" Kugendong Luna dan Lintang kembali ke karpet tempat mereka bermain.
"Di atas," jawab ibu.
Kusapukan pandangan ke setiap sudut rumah, berantakan.
"Mainnya jangan berantakan sayang," tegurku pada Luna dan Lintang.
"Biarin, Wa. Namanya anak kecil, lagi pula ruangan ini emang areanya mereka," bela ibu, aku hanya mengangguk mengerti.
"Temui istrimu, ibu udah bicara padanya," ucap ibu.
"Ibu bicara apa?" tanyaku takut jika ibu menekan Maira untukku.
"Cuma menasehati, tapi ibu juga berharap kamu bener-bener berubah!" ucap ibu tegas.
"Ibu nggak bikin Maira tambah marah, kan?" tanyaku khawatir.
"Ya enggak, ibu coba ngertiin dia sebagai sesama perempuan, tapi ibu tetap mengupayakan yang terbaik buat rumah tangga kamu," jawab ibu.
"Lalu apa Maira mau maafin aku?" tanyaku penasaran.
"Seenggaknya dia berpikir ulang untuk pisah!" tutur ibu.
Aku bergegas menghampiri Maira dan Guntur di kamar. Jantungku berdegup kencang hendak melepas rindu dengan Maira. Saat kubuka pintu kamar, Maira tampak terlelap dengan Guntur, sepertinya Maira ketiduran.
Kudekati dengan perlahan, kunaikan selimut pada Guntur dan Maira. Kutatap wajah ayunya yang selama ini terlihat layu, kerutan halus mulai muncul di beberapa sisi, hitam di bawah matanya nampak jelas menunjukan betapa hebatnya dia berjuang sebagai ibu dari anak-anakku.
Sila benar, Maira adalah perempuan idealis yang kehilangan prinsipnya. Dia mampu bertahan, memaafkanku berkali-kali walaupun secara mental dia mampu untuk pergi. Aku rindu senyum dan tawa riangnya.
Kuusap lembut puncak kepala Maira yang terlelap, kemudian kucium keningnya, dalam dan dalam. Beberapa detik kemudian Maira terkesiap mendapati tanganku memeluk dirinya. Tanganku dihempas menjauh.
"Kamu!" serunya mendapatiku perlakuanku. Maira masih marah? Benarkah butuh bertahun-tahun? Kenapa para wanita aneh sekali!
"Mah? Ini papah," ucapku menyadarkannya, barangkali dia mengira kalau aku orang lain.
Mata Maira membelalak menatapku.
.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
⸙ᵍᵏKᵝ⃟ᴸIp
Dewa kapan kamu benar2 nyadar akan kesalahan sii??
2022-02-11
2
Acheuom Rahmawatie
kalau aku nih ya.. mending cari suami baru😂😂😂 duda kayaaaaaaa misalnya ,bujang jg bolehhh😂😂😂 daripada bertahan sama suami tukang selingkuhh..
sekalai selingkuh tetap selingkuh apalagi seringg,,walaupun tifak berakhit d ranjang jga angger d selingkuhi itu NYERI,,, pacaran aja atit apalagi ini udah nikah d selingkiluhi..🙄
lanjuttt
2022-02-10
3