"Kamu mau jawaban kayak apa?" ucapku membalas seruan Maira.
"Benar, kamu nggak akan pernah bisa berubah," ucap Maira mengendurkan nadanya.
"Kenapa kamu egois, May? Pikirin anak-anak! Atau jangan-jangan kamu udah punya rencana sama yang lain makanya kamu ngotot minta pisah?"
Maira tidak lagi takut kehilanganku, bisa jadi karena dia sudah punya lelaki lain yang menunggunya menjadi janda. Maira bisa berada di rumah Risa saat itu, mungkin sebenarnya Maira sudah tahu namun dia tidak menegurku, tidak marah, bahkan bersikap sangat biasa seolah-olah dia tidak tahu apa-apa. Masih menjadi tanda tanya besar, sebenarnya sejak kapan Maira tahu?
Maira pasti diam karena menunggu momentum, saat di mana dia bisa berpisah dan menjadikanku sebagai pihak yang bersalah. Apa dugaanku benar? Aku tidak sedang menuduh Maira yang bukan-bukan, hanya saja keberaniannya meminta pisah dariku terasa sangat janggal.
"Terserah kamu, silakan tuduh, aku nggak peduli," ucap Maira meremehkanku.
Tidak ada lagi cinta di mata Maira. Rasanya seperti terlempar jauh, terbuang, dan merasa tidak lagi berharga. Tidak, aku tidak rela Maira menjadi milik orang lain. Tunggu, aku pasti salah, aku harus melihat mata Maira lagi.
"Maksud kamu apa, May?" Kutarik tangan Maira kasar.
"Jadi benar kamu ngotot minta cerai karena udah ada yang lain? Kamu punya selingkuhan juga, hah!" seruku kalap.
"Orang kotor pasti mengira orang lain sama kotornya dengan dirinya," ucap Maira dengan menatap mataku, menyambut emosiku dengan kalimat yang menusuk.
"Aku nggak membela diri, bukan berarti aku mengiyakan tuduhan kamu. Tapi aku paham, kalau jalan pikiranmu emang kaya gitu!" lanjut Maira.
"Kamu! Yang udah melakukan dosa besar!" lanjut Maira sambil berusaha melepaskan pergelangan tangannya dariku.
"Tobat! Bukannya nuduh balik!" tegas Maira.
Kueratkan kembali cengkraman pada pergelangan tangan Maira yang mulai melonggar. Menariknya lagi menjadi semakin dekat, hingga wajah kami hanya berjarak beberapa centi.
"Aku udah tobat! Katakan! Aku harus tobat yang gimana! Aku udah minta maaf, ngemis-ngemis sama kamu, tapi kamu nggak peduli. Kenapa? Kurang? Apa harus kucium kakimu, hah?" seruku tepat di wajahnya, Maira berusaha memundurkan wajahnya karena ketakutan.
Aku sadar jika setelah ini aku akan menyesal karena sudah emosi, tapi sakit rasanya jika menahan ledakan amarah ini. Aku hanya ingin Maira tahu kalau aku sudah kapok, sudah bertobat, dan sudah bersungguh-sungguh ingin berhenti menjadi suami yang jahat. Aku ingin Maira membuka matanya.
Maira berusaha menghindari amarah di mataku, namun kuncianku membuatnya tidak banyak memiliki tempat lain untuk melemparkan pandangannya. Manik matanya bergetar, aku ingin lihat cinta, tapi Maira menunjukan ketakutan. Maira bernafas dengan terbatas dan perlahan mulai tersengal karena minimnya udara. Aku tidak bermaksud menyiksanya, aku hanya ingin Mairaku kembali, walau dengan sedikit paksaan.
"Setelah ini kamu akan paham," tutur Maira perlahan.
"Bahwa segala sesuatu ada konsekuensinya," lanjut Maira.
"Maksudmu apa?" tanyaku tidak sabar, emosi yang tinggi dan keinginan menggebu di jalan yang terkunci membuatku kesusahan mencerna kalimat Maira.
"Kamu harus terima, kalau hatiku ... hancur karena perbuatanmu!" ungkapnya, pancaran matanya telah berganti, Maira telah berhasil mengatasi rasa takutnya.
Buliran bening lolos dari sudut matanya, menyiratkan kepedihan yang teramat sangat. Dan aku sadar, itu adalah luka yang sudah kutorehkan padanya. Maira berusaha tegar dengan mengangkat sebelah sudut bibirnya, tersenyum dengan kecut. Seolah menertawai dirinya sendiri yang terluka.
"Kau harus terima, kalau cintaku sudah mati, habis tak bersisa, kamu yang bunuh!" lanjut Maira.
Dari sorot matanya mulai terlihat lorong gelap, tempat dimana dia tersudut dan putus asa. Hingga akhirnya dia lelah, dan pasrah.
"Kamu pikir aku baik-baik aja? Kamu pikir gampang buat sembuh dari luka itu?" tanya Maira dengan lara.
"Aku sakit dan mati rasa! Aku nggak tau salahku apa! Aku nggak tau kurangku apa! Aku berusaha menjadi pasangan yang baik. Tapi cuma sakit, sakit, dan sakit yang terus kamu kasih sampai aku lupa diri, lupa siapa Maira, aku hanya istri nggak berdaya yang terus kamu sakiti!" ungkap Maira dengan terengah-engah.
Amarahku runtuh seketika berganti dengan rasa bersalah, sangat merasa bersalah pada Maira. Aku takut dan sangat takut. Kupeluk erat tubuh Maira, sangat erat karena takut dia akan pergi.
Pertahanan Maira pun hancur, dia menangis di pelukanku. Mengeluarkan perih yang berusaha dia tekan selama ini. Sikapnya yang dingin hanya tembok palsu dari luka yang membuatnya mati rasa.
"Maafin papah, Mah! Maafin papah!" bisikku padanya.
Tangis Maira semakin menjadi, dia meraung dalam dekapanku. Tangannya memukul-mukul punggungku hingga akhirnya kulonggarkan pelukanku, membiarkan tangan Maira bebas memukulku. Aku hanya pasrah membiarkan Maira melampiaskan kesakitannya. Aku terima dengan sangat rendah diri, bahkan aku pantas mendapat lebih dari ini.
"Kamu jahat!"
"Kamu breng*ek!"
"Nggak tau diri!"
"Penjahat!"
Maira terus memaki, memukul, mencakar, bahkan meludah. Tapi aku hanya diam. Hatiku hancur melihat luka Maira yang kuanggap enteng, ternyata luka itu justru menghancurkan Maira dari dalam.
Sepuasmu, Maira!
Aku rela!
Aku harap kamu akan lega!
Maira menangis dan tubuhnya mulai melemah. Aku berhasil meluluhkannya, meski harus terbuka tabir di mataku dan melihatnya penuh luka.
Demi Maira, Luna, Lintang, dan Guntur. Aku akan berubah. Aku janji!
Aku hanya menunduk, penampilanku berantakan, beberapa bagian tubuhku terasa perih karena cakaran dan pukulan Maira. Tetapi aku suka, apa pun untuk Maira. Kami berdua diam dalam waktu yang lama.
"Pergi!" ucap Maira setelah keadaan tenang.
"Hah?" Aku hanya terkejut, apa Maira masih belum mengijinkanku berada di dekatnya?
"Kasih aku waktu, lebih baik kita saling introspeksi diri, aku butuh sendiri dan jauh dari kamu!" pinta Maira.
"Tapi, May--"
"Pergi ... tolong!" tegas Maira tanpa melihatku.
Aku diam, menimbang permintaan Maira, padahal aku sangat ingin terlelap dalam pelukannya. Menyesali setiap kebodohan yang sudah kulakukan hingga membuat dia merana.
"Janji, May! Jangan pernah berpikir untuk pisah, kita ... ehm, maksudku ... aku akan fokus memperbaiki diri buat kamu dan anak-anak," ucapku.
"Aku nggak janji!" jawab Maira dengan tawanya yang hampa. Aku kecewa dengan jawaban Maira.
Dengan berat hati kutinggalkan kamar kami, membiarkan Maira mendapat ruang yang dia inginkan. Aku menjauh hanya untuk mendekapnya lebih erat. Aku takan melepaskan Maira.
Sebelum tidur kuambil beberapa potongan es untuk mengompres lukaku, ada meeting penting besok, aku harus tetap terlihat baik. Kupilih kamar Luna dan Lintang untuk beristirahat malam ini. Kedua putri yang Maira khawatirkan akan mewarisi karma dariku.
Maafkan papah, Nak!
Sejujurnya aku tidak pernah selingkuh dengan hati. Bahkan tidak semua selingkuhanku berakhir di tempat tidur. Terkadang aku hanya butuh teman untuk bicara, teman yang menerimaku apa adanya tanpa menuntut banyak tanggung jawab dariku. Hanya kesenangan yang saling kami berikan.
Aku pikir aku hanya salah sedikit, karena tidak satu pun dari wanita-wanita itu yang kuanggap akan menggantikan Maira. Hanya selingan ketika aku lelah berlagak sempurna.
Tapi berbeda dengan standar Maira, ketika aku tertawa karena wanita lain selain dirinya, sudah dianggap selingkuh. Pengertian yang sempit, hingga membuatku melanggar lebih jauh untuk memberi tahu Maira arti selingkuh menurut kami para laki-laki.
Aku menyesal.
Aku ingin Maira sembuh.
***
"Wa ... mukamu kenapa?" tanya ibu di meja sarapan.
"Nggak papa!" Maira terlihat salah tingkah, ibu mengamatiku lebih detail setelah melihat beberapa tanda cinta dari Maira.
"Kok babak belur?" lanjut ibu ingin tahu.
Aku diam tidak menjawab dan tampaknya ibu paham apa yang sudah terjadi.
"Jangan dibahas, Bu! Aku nggak papa kok," bisikku pada ibu, ketika Maira pergi menghampiri Luna dan Lintang. Tidak lupa aku tersenyum pada ibu, agar ibu tahu aku baik-baik saja.
Ibu mengerti maksudku dan berhenti mencari tahu tentang apa yang sudah terjadi antara aku dan Maira.
Selesai sarapan kulihat Maira tidak ada di ruang tengah, aku mencarinya di setiap sudut, dan akhirnya kutemukan Maira sedang melamun di balkon kamar.
"Papah cari dari tadi malah di sini," ucapku seraya mendekat.
"Suruh ibumu pulang," tutur Maira tiba-tiba.
"Apa?" tanyaku terkejut.
"Ibu di sini bantu kamu jaga anak-anak, biar kamu nggak kecapekan!"
"Ada bik Tuti!" jawabnya singkat.
Aku diam sejenak memikirkan kemana arah pembicaraan Maira. Mungkin Maira risih karena pertanyaan ibu atas kondisiku.
"Baik, tapi nanti ya, soalnya aku harus ke luar kota beberapa hari, biar aku tenang ninggalin kamu sama ibu," tuturku.
"Sekarang!" tegas Maira.
.
.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Puspa Trimulyani
tidak semua, berarti ada sebagian yang berakhir di tempat tidur,dasar suami lucknut 😡
2023-02-01
1
Puspa Trimulyani
😭😭😭😭😭😭😭emang penjahat kamu dewangga
2023-02-01
0
⸙ᵍᵏKᵝ⃟ᴸIp
Satu kata Buat Dewangga ANEH!!!
menyesal KATANYA, tapi masih menyalahkan Maira, bukannya introspeksi diri 😤😤😤😤
2022-02-11
3