Maira tidur sepanjang perjalanan, tangannya tetap kokoh memeluk Guntur yang sudah kenyang menyusu. Jarak tempuh yang harusnya tidak sampai setengah jam, menjadi molor panjang karena macet dan gerimis. Luna dan Lintang pun terlelap di kursi belakang. Hanya aku yang terjaga, sabar melajukan ban mobil semeter demi semeter.
Kupandangi wajah sayu Maira di sela mengemudiku. Maira yang menyenangkan berubah menjadi Maira yang menekan. Tetapi kuakui, dia sabar menghadapiku selama ini, dan seburuk-buruknya tingkahku tidak sedikit pun niat untuk meninggalkan Maira.
Aku pun sabar menunggu Mairaku kembali, Maira yang dulu membuatku jatuh hati. Ini hanya soal waktu dan keadaan. Hidupnya berubah karena anak-anak, hanya harus menunggu anak-anak besar maka Mairaku akan kembali.
Dan aku bukannya tidak sabar, hanya kurang sabar. Maira tidak lagi memberiku kepuasan batin akan cintanya. Bukan hanya soal ranjang tapi soal debaran perasaan yang membuat hariku semangat bekerja. Semua itu tidak lagi kudapatkan dari Maira, dia sibuk dengan anak-anak.
Aku tetap mencintaimu, Ra. Hanya saja aku butuh selingan untuk tetap mencintaimu.
Sesampainya di rumah Maira terbangun. Tanpa kata dia masuk ke dalam rumah. Bergantian kugedong Luna dan Lintang ke kamar. Sementara Maira sibuk mengganti baju dan popok bayi kami.
Kami punya asisten rumah tangga yang hanya datang pagi dan pulang sore hari. Pernah kuusulkan untuk mencari pengasuh yang bisa membantu Maira menjaga anak-anak tapi Maira menolak dengan alasan ingin menjaga anaknya sendiri.
Maira terus mendiamkanku, dia sengaja sibuk dengan Guntur padahal aku ingin sekali mengajaknya bicara. Aku mandi dan membersihkan diri. Di otakku terus berputar pertanyaan kenapa semua harus ketahuan, padahal perselingkuhanku baru saja berakhir?
Maira tertidur memeluk Guntur. Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa Maira mendiamkanku? Padahal aku yakin di hatinya ada banyak pertanyaan untukku seperti yang sudah-sudah.
Hatiku sakit melihatnya terlelap. Teringat akan semua kesalahanku yang terlalu mengedepankan ego dan nafsu. Aku paham aku salah, tapi kadang keinginan itu meledak-ledak membutakan hatiku, tapi aku berjanji, kali ini akan benar-benar berubah.
***
Tengah malam aku terbangun dan menemukan Maira terjaga duduk di dekat jendela sambil memangku Guntur. Biasanya aku hanya akan mengerjap lalu tidur lagi. Tapi rasa takutku terlalu besar saat ini, entahlah, tapi aku benar-benar takut pada Maira.
Aku bangun dan melihat ponselku tergeletak begitu saja di atas nakas. Aku lupa, kapan terakhir ponselku berubah posisi ketika kutinggal tidur. Hal yang paling tidak kusuka adalah saat Maira mengecek isi ponselku, tapi sekarang aku ingin sekali Maira melakukannya.
Aku hanya melengos kecewa, dan memberanikan diri mendekati Maira.
"Mah ... Guntur bangun?" tanyaku berusaha mengajaknya bicara, belum sekata pun Maira berikan untukku sejak pergi dari rumah Risa.
Aku tidak mengerti pada bayi, Maira sering mengeluh kalau Guntur hanya mau tidur di pangkuannya. Saat sudah terlelap dan diletakan di kasur Guntur akan terbangun dan menangis.
"Kamu yang manjain dia, makanya Guntur jadi bau tangan!" jawabku ketika Maira mengeluh kurang tidur setiap pagi. Tentu saja Maira kecewa. Aku? Pastilah tidur pulas.
Maira diam, selaras dengan malam yang temaram dan sunyi.
"Mah ... sini gantian gendong Gunturnya," tawarku seraya mengulurkan tangan. Tapi hampa, Maira tetap mematung.
Kutarik kembali tanganku dengan kecewa, menarik nafas untuk mengalah, dan berusaha sabar memahami Maira. Aku duduk menarik kursi lain ke samping Maira.
"Mah ... jangan diem kayak gini, maafin papah," ucapku berusaha mengerti, sediam apapun Maira pasti hatinya menunggu maaf dan penjelasan dariku.
Inginku menggenggam tangannya agar dia bisa merasakan kesungguhanku kali ini. Tapi aku tidak berani, aku hanya bisa meliriknya.
"Papah udah ninggalin wanita itu, Mah, dulu emang sempet deket, tapi papah sadar itu salah, makanya papah ninggalin dia," tuturku mencoba menjelaskan sekali lagi.
"Maaf, Mah, maafin papah," pintaku memohon.
Maira hanya menghela nafas dengan kasar, seolah keberadaanku membuatnya menjadi tidak nyaman.
"Kita cerai aja," ucap Maira pada akhirnya, kalimat yang membuatku kecewa, harusnya dia mengerti kalau kali ini aku bersungguh-sungguh. Bahkan aku dengan sadar meninggalkan Risa sebelum ketahuan olehnya. Harusnya dia menghargai itu!
"Mah!"
"Cerai aja!" ucapnya lagi tanpa ekspresi.
"Kamu kenapa sih? Hargai penjelasan aku dong, Mah, aku udah jujur sejujur-jujurnya," ucapku mulai tersulut marah.
"Oke aku salah, tapi aku udah sadar dan bahkan tanpa kamu minta aku udah ninggalin wanita itu. Dia cuma hiburan karena aku stres di kerjaan sementara kamu sibuk sama anak-anak dan kehamilan kamu," terangku berusaha membuat Maira mengerti masalah ini dari sudut pandangku.
Untuk beberapa detik aku merasa Maira salah dan aku benar. Aku marah karena kebungkaman Maira, dan tanpa menghargai penjelasanku dia berani mengambil keputusan sendiri.
Detik berikutnya aku kembali menyadari bahwa untuk menggapai hati Maira, aku harus mengalah. Aku menyesal telah meninggikan suara.
"Papah salah Mah, maafin papah, papah nggak mau cerai sama Mamah," ucapku berusaha mengontrol kembali nada bicaraku.
Maira mengayun-ayun Guntur yang terbangun karenaku. Dia kembali mengabaikanku menggunakan Guntur sebagai alibinya. Aku semakin kesal karena keacuhannya.
Maira bangkit dan meninggalkanku dalam kemarahan. Marah karena sudah menyakiti Maira. Marah karena gagal membuat Maira mendengarkan penjelasanku.
Kenapa Maira keras kepala sekali?
Padahal harusnya sekarang semua sudah baik-baik saja karena perselingkuhanku pun sudah berakhir.
Dengan kesal kutinggalkan kamar dan beralih tidur di sofa. Aku mulai tersinggung dengan sikap Maira yang terlihat sangat risih padaku.
Merendahkan diri pada seorang wanita adalah hal yang sangat melukai harga diri lelaki. Tapi karena cintaku yang besar pada Maira aku rela melakukannya. Aku minta maaf berkali-kali bahkan aku memohon-mohon padanya. Dengan angkuhnya Maira tidak peduli.
***
Rutinitas pagi yang bising membangunkanku, Luna dan Lintang mulai merengek meminta sarapan mereka. Aroma masakan dari dapur menyeruak ke hidung membuatku terjaga.
Ada rasa syukur terbesit memenuhi rongga dada yang disertai rasa lega. Melihat Maira memasak nasi goreng untuk sarapan menyiratkan bahwa dia sudah baik-baik saja. Bik Tuti baru datang nanti pukul 7 pagi, sementara Luna dan Lintang sudah tidak sabar untuk sarapan.
Dengan semangat aku bergegas mandi bersiap untuk ke kantor. Aku berniat untuk pulang cepat dan mengajak Maira serta anak-anak untuk makan malam di luar. Aku harus berusaha lebih keras meluluhkan hati Maira.
Kutatap wajah Guntur yang lebih mirip pada Maira, dia masih tertidur pulas setelah membuat Maira begadang semalam. Kuciumi Guntur penuh rasa sukur, dialah titik balik kehidupanku, dan aku harap Maira akan memaafkanku demi Guntur, Luna, serta Lintang.
Ponselku masih diposisi yang sama semalaman. Maira tidak lagi tertarik pada barang pribadiku. Kuraih benda pipih itu dan mengecek beberapa chat penting.
Sebuah pesan masuk membuatku terkejut.
[Video penggerebekan pelakor oleh istri sah dengan membawa bayi yang masih merah]
Astaga!
.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Puspa Trimulyani
dengan tidak merendahkan diri pun kamu sdh rendah dewa.....karena kamu sdh berselingkuh, hanya lelaki yg punya harga diri yang rendah yg tidak bisa berkomitmen pada pernikahan
2023-04-21
0
Puspa Trimulyani
menghargai karena meninggalkan Risa?????? helloooooo......nikah saja kamu sama batu yg tidak punya perasaan
2023-04-21
0
Puspa Trimulyani
selingan di kubangan dosa
2023-04-21
1