"Beda konsepnya, Sil. Kalo cowok selingkuh itu gaya hidup, tapi kalo cewek yang selingkuh itu murahan," jawabku enteng, Sila terlihat marah dengan jawabanku.
"Gila, sesuai banget sama namalu, egois tingkat dewa ... Maira salah banget milih elu jadi suaminya!" celetuk Sila.
"Kenapa? Emang bener jawabannya gitu," protesku.
"Hey Bapak Dewangga yang terhormat, posisikan diri bapak sebagai korban perselingkuhan!" tegas Sila emosi, kenapa juga dia harus ikut emosi?
"Apa bedanya lu sama Maira yang lu keluhin sekarang? Nggak ngeliat akar masalah tapi langsung menghakimi, gue nyuruh lu bayangin kalo Maira selingkuh, lu langsung menghakimi kalo cewek selingkuh itu murahan! Bukan itu sudut pandang yang pengen gue kasih ke elu, Bapak Dewangga!" ucap Sila emosi.
"Lu pengen Maira maklum sama keadaan yang bikin elu selingkuh, egois, Wa! Salah ya udah salah aja, nggak usah nyari pembenaran," lanjut Sila yang ikut marah padaku.
"Udah cukup, Wa! Intinya Maira udah hebat banget bisa bertahan sepanjang ini, dan kalo dia minta cerai sekarang itu udah wajar, inget wa-jar!"
Sila mengemasi barangnya dan meninggalkanku dalam kekalutan.
"Sil, gue harus gimana?" seruku.
"Cereiin Maira, dia berhak lepas dari buaya kayak elu! Tapi kalo lu beneran mau bertahan ya udah kejar maaf dari Maira gimana pun caranya!" jawab Sila menjeda langkahnya.
Sejahat itukah aku sama Maira?
Iya, aku jahat.
***
Setua apapun laki-laki tetap ada jiwa anak-anak yang hidup di dalamnya. Itulah yang jadi penyebab keegoisanku menyakiti Maira. Aku masih ingin berhaha-hihi dan bergaul ke sana kemari dengan lawan jenis. Tapi sisi dewasaku tidak ingin melepas Maira.
Kuputuskan pulang lebih cepat setelah banyak merenungi pembicaraanku dengan Sila. Aku tidak bisa kehilangan Maira dan anak-anak, jadi aku akan mencoba untuk menggapai maaf dari Maira.
Sebagai kejutan kubawakan buket bunga besar mawar merah dan putih kesukaan Maira. Aku lupa kapan terakhir memberi kejutan untuk Maira. Aku juga membeli coklat dan es cream untuk anak-anak, tak lupa pizza kesukaan Maira. Aku ingin menunjukan penyesalanku kali ini.
Hatiku berdebar, pandangan positif memenuhi otakku. Aku akan mengikuti permainan Maira demi maaf darinya, apapun akan kulakukan.
Sesampainya di rumah terlihat pintu depan terbuka. Aku segera masuk dan terkejut ....
Bekas tapak kaki lumpur di mana-mana, ah benar ... semalam hujan gerimis, pasti Luna dan Lintang main genangan air di halaman. Tampak Luna dan Lintang tidur di depan tv dengan mainan yang berserakan, serta kakinya yang kotor. Di dekatnya ada tumpahan susu, ceceran snack, dan aku tidak bisa lagi mendeskripsikan betapa kacaunya rumahku.
Yang membuatku panik adalah suara tangisan Guntur di lantai atas yang menggema. Kutaruh sembarangan bunga dan makanan yang kutenteng dan lari menghampiri asal suara. Ada apa ini? Kemana Bik Tuti dan Maira?
"Guntur."
Kuraih Guntur yang sudah merah berkeringat, sepertinya dia menangis cukup lama. Kugendong dan kuayun mencoba menenangkannya.
"Hust ... hust ... sayang."
Maira?
Kutengok sekeliling kamar mencari keberadaan Maira, bagaimana keadaan bisa sekacau ini?
Aku terkejut dan susah percaya, saat kudapati Maira sedang menatap kami dari posisi duduknya di bawah jendela.
"Mah? Guntur nangis dari tadi kamu diem aja?" tanyaku mendekatinya sambil berusaha menenangkan Guntur yang histeris.
Maira hanya diam dan pandangannya kosong.
"Mah?" panggilku.
"Hust ... sayang, sabar ya." Guntur menggeliat kasar dalam gendonganku.
"Mamah!" seruku lagi, Maira yang diam memancing emosiku.
"Maira!" teriakku.
Sontak Maira mengeluarkan nafas berat seperti terkejut. Dia melihatku kebingungan, Maira tampak linglung mendapatiku menggendong Guntur yang menangis.
"Guntur nangis kamu malah diem aja!" teriakku padanya.
Maira merebut Guntur dari tanganku dan bergegas menyusuinya. Guntur pun terdiam, nampak sekali wajahnya sudah kepayahan menangis. Maira membelai kepala Guntur dan berkali-kali menciumi tangan mungilnya.
"Maafin mamah, Dek." Terdengar gumaman dari bibir Maira, meski tidak begitu jelas tapi telingaku masih menangkap suaranya.
"Kamu kenapa sih, Mah? Mana Bik Tuti?" tanyaku masih dengan nada tinggi.
Maira hanya diam dan diam membuatku semakin muak. Kutinggalkan Maira dari pada membuatku semakin emosi.
"Bik ...," teriakku keseluruh penjuru rumah.
Tidak ada sahutan dari bik Tuti, kemudian kucoba menghubungi nomer telponnya.
Setelah beberapa kali berdering akhirnya panggilanku diangkat juga.
[Halo, Bapak.]
"Bik? Dimana?" tanyaku masih dengan emosi.
[Udah seminggu saya libur, Pak, ada sodara lagi hajatan di luar kota] Apa? Seminggu Maira sendirian mengurus rumah dan anak-anak?
"Lho ... kok saya nggak tau, Bik?" tanyaku terlihat bodoh karena memperlihatkan ketidak pedulianku selama ini pada Maira dan anak-anak.
[Ibu yang ngasih izin, saya minta 3 hari tapi Ibu ngasih seminggu, kenapa emangnya, Pak?] jawab bik Tuti membuat kepalaku sakit.
"Nggak papa, ya udah." Kututup telpon dengan kesal.
Kenapa Maira tidak memberitahuku? Padahal akhir-akhir ini aku selalu bersikap baik padanya, sejak menjauhi Risa waktu luangku cukup banyak untuk Maira dan anak-anak. Tapi bagaimana aku tidak tahu? Maira selalu terlihat baik-baik saja.
Kalau saja aku tahu, aku akan cuti hari ini mengingat keadaan Maira yang mungkin labil seperti yang dikatakan Sila. Masih untung aku terpikir untung pulang, kalau tidak bagaimana keadaan rumah dengan Maira yang seperti itu?
Kupunguti satu persatu mainan Luna dan Lintang yang berserakan. Membersihkan lantai dari susu, makanan, dan lumpur. Kemudian memandikan Luna dan Lintang serta menemani mereka menikmati pizza dan es cream.
Butuh waktu tiga jam untuk menyelesaikan semua itu dan rasanya sangat melelahkan, rumah pun akhirnya bersih meski tak sebersih biasanya karena aku tidak terlalu pandai beres-beres.
Aku pikir menyapu itu hanya perlu menggerakan sapu, mengepel itu hanya perlu menggerakan kain pel, dan beres-beres hanya meletakan kembali mainan pada kranjangnya. Ternyata tidak sesederhana yang kupikir.
"Mah ... kita harus bicara," ucapku ketika Maira turun membawa Guntur yang sudah mandi dan wangi, berbeda dengan saat aku datang tadi.
Maira diam sambil meletakan Guntur pada box bayinya. Aku masih sabar menunggu jawaban Maira.
"Mah?"
"Ini penting, kita harus ngomong baik-baik, jangan diem terus," ucapku sedikit memaksa.
"Aku sibuk!" jawabnya singkat.
Sibuk? Semua pekerjaan rumah sudah kukerjakan, apalagi yang membuatnya sibuk?
"Nggak usah masak, kita makan di luar yuk!" ajakku mencoba kembali mengalah.
Maira diam dan pergi ke dapur. Aku hanya melihat apa yang Maira lakukan. Meletakan baju kotor pada mesin cuci dan mengoprasikannya, kemudian mengambil sapu, lap, dan pel, dia mengulang kembali pekerjaan yang sudah kulakukan.
Maira melalukannya dengan cekatan, namun hasilnya jauh lebih bersih dari yang sudah kulakukan. Maira menarik kembali keranjang mainan yang sudah kurapihkan, memilah mainan yang kotor karena makanan, lengket karena susu, atau terciprat lumpur. Maira membersihkannya dan mencuci sebagian darinya. Oh ... aku pikir meletakannya disitu sudah selesai.
Aku pura-pura asik menemani Luna dan Lintang, sementara ekor mataku masih mengawasi Maira yang tetap sibuk.
Aku tidak tahan dengan sikap Maira yang diam, harus bagaimana membuatnya kembali menuntut penjelasanku?
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Mom Dee🥰🥰
ceritanya bagus
2023-06-03
0
Acheuom Rahmawatie
puncak dari kemarahan seorang perempuan ialah DIAM, !! bicarapun PERCUMA 🙄🙄
dan itu jurus andalanku😀😀😀😀 emang enak d dieminn !wkwkwk
2022-01-24
3
🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜
Betul apa yg dikatakan Silla, ceraikan Maira Dewa, dia berhak bahagia....
Dan lihatlah pengorbanan dan perjuangan seorang istri sekaligus ibu di dalam rmh dengan banyak pekerjaan dia akan mampu mengerjakan sendiri tanpa mengeluh. Perempuan itu hebat, kuat, tangguh.
2022-01-23
2