"Papah ...."
"Luna? Lintang?" gumamku.
"Papah ngapain di rumah tante itu?" tanya Luna.
Belum sempat kujawab pertanyaan gadis kecilku Maira menarik mundur kakinya, dan muncul beberapa ibu-ibu di belakangnya.
"Bu RT ... urusan saya di sini udah selesai, sekarang saya serahkan wanita itu sama Bu RT, jangan sampai suami-suami di sini digoda sama dia," ucap Maira pada rombongan ibu-ibu, tatapan mereka seperti segerombolan singa yang geram pada kami.
Aku berdiri seperti orang bodoh. Apa yang ada di pikiran Maira? Membawa bayi dan anak-anak untuk melihatku seperti ini. Sengaja sekali Maira ingin menjatuhkan harga diriku di depan anak-anak, apalagi membawa warga. Apa mereka tahu kalau aku baru saja memutuskan Risa? Ah ... menyebalkan.
"Iya, Bu. Terimakasih atas laporannya, biar pelakor kaya dia, kita usir dari komplek ini!" seru seorang ibu berwajah seram.
"Lho, Mas. Tolongin aku, gimana ini?" rengek Risa padaku.
"Mas juga bingung, Ris!" bisikku padanya, berharap Maira tidak melihatku bicara pada Risa.
"Pah?" panggil Maira.
"Kamu mau ikut kami pulang? Atau mau diarak sama mereka?" tanya Maira dengan nada datar.
Tunggu! Maira bersikap santai? Aku mengira Maira akan menangis dan berteriak. Bahkan aku sudah membayangkan Maira akan menarik rambut Risa.
"E--eh--"
"Oh, mau diarak?" tanya Maira lagi, nada bicaranya seperti dia sedang menawariku kopi setiap pagi. Santai.
"Eng-enggak, Mah." Jujur aku takut. Sangat takut.
Kuikuti langkah Maira membelah kerumunan ibu-ibu di ruang tamu yang sedang berkasak-kusuk, mereka memandangku dengan mulut penuh cacian. Untungnya kunci mobil ada dalam saku celana, jadi tidak perlu repot mencarinya. Kini aku merasa Maira menyelamatkanku dari ibu-ibu yang marah.
Maira masuk ke dalam mobil setelah memastikan Luna dan Lintang naik. Aku harus menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Tanganku gemetar melihat sikap Maira. Entah kenapa, tidak bisa kujelaskan.
Kupacu mobil perlahan meninggalakan rumah Risa, meninggalkan teriakan demi teriakan yang mulai terdengar dari dalam. Maafkan aku, Ris. Semoga kamu beruntung.
Kami berkendara dalam diam, hanya celoteh Luna dan Lintang yang terdengar. Maira menatap ke depan tanpa ekspresi. Entah kenapa sikap diamnya saat ini justru menakutkan.
Aku lebih suka dia menangis dan marah seperti saat dia memergoki perselingkuhanku sebelumnya. Menuntut penjelasan yang logis dariku meski dia sendiri tahu jawabanku akan menyakitinya.
"Mah, Lintang laper," ucap Lintang.
Kulirik wajah Maira yang tidak bergeming. Maira melamun? Dia tidak dengar ucapan Lintang.
"Iya, kita makan ya, Lin," jawabku pada Lintang yang merengek.
Maira tersadar dari lamunannya karena suaraku, dia menengok pada Luna dan Lintang di kursi belakang. Tanpa kata. Kemudian dia mengusap wajah Guntur yang lelap di gendongannya.
Apa yang kamu rasakan, Ra? Kenapa kamu tidak marah? Apa kamu tahu kalau aku sudah sadar dan hendak meninggalkan Risa? Aku harap begitu.
"Luna mau ayam," ucap putri sulungku yang berusia 5 tahun.
"Lintang juga mau ayam," timpal Lintang yang baru berusia 3 tahun.
Kami mampir ke restoran cepat saji. Aku berusaha semaksimal mungkin melayani Luna dan Lintang, menyuapi mereka bergantian. Menegur mereka berdua yang tidak bisa duduk diam.
Sementara Maira diam tanpa menyentuh makanan di depannya. Membiarkanku repot memperingatkan Luna dan Lintang untuk makan dengan diam, Maira tidak peduli, seolah tidak ada apapun di depan matanya. Kikuk dan serba salah. Aku bahkan tidak berani bertanya.
"Mah ... makan dulu," ucapku sedikit gemetar.
Maira diam. Padahal aku yakin suaraku cukup keras untuk sampai ke telinganya. Kuteruskan menyuapi kedua putriku. Kecewa karena Maira tidak menghiraukannya. Menyuapi anak-anak bukanlah hal yang kusukai, bahkan aku tidak pandai melakukannya. Setidaknya Maira melihat betapa kerasnya aku berusaha. Lengan kemeja kulinting sampai siku, susah juga mengurus dua anak. Lagi-lagi, rasa bersalahku semakin besar.
"Ayo sedikit lagi," ucapku pada Luna dan Lintang. Setelah kenyang kedua putriku lari ke tempat bermain di sudut restoran.
"Hati-hati ya, Lun, Lin!" seruku.
Aku berinisiatif menyuapi Maira juga, aku yakin Maira akan luluh. Kubentuk nasi dan ayam dengan tangan dan mengulurkannya mendekati mulut Maira.
"A ..."
Maira bahkan tidak meliriknya. Drama lagi, aku harus merendahkan diri untuk membesarkan hati Maira.
"Ayo makan, Mah, kasian dede Guntur 'kan harus minum ASI banyak biar cepet gede," bujukku pada Maira, tanganku masih menggantung di udara menunggu mulut Maira terbuka.
"Papah minta maaf, Mah, papah berani sumpah kejadiannya nggak kayak yang Mamah pikir," tuturku mencoba menjelaskan.
Maira tetap diam, hanya tangannya yang bergerak menepuk-nepuk Guntur yang mulai bangun.
"Iya, papah salah, tapi papah udah sadar dan tadi papah itu habis mutusin Risa, Mah!" tuturku berapi-api mencoba menjelaskan tanpa diminta, biasanya Mairalah yang akan bertanya, kenapa begini? Kenapa begitu?
"Kalau Mamah nggak percaya, liat aja hape papah, papah nggak pernah bales satupun pesan Risa, telpon juga nggak papa angkat, tadi papah bales cuma buat mutusin Risa."
Kuletakan ponselku di depan Maira, kudekatkan hingga menyentuh lengannya. Aku harap Maira cerdas dan bisa melihat kebenarannya.
Maira tersentak ketika ponsel menyentuhnya. Sangat terkejut hingga dia mengibasnya dengan kuat.
Ponselku terlempar, terbang, dan akhirnya jatuh. Pandangan pengunjung lain langsung tertuju pada kami. Aku yang salah tingkah segera mengambil dan tersenyum pada mereka seolah kejadian tadi tidak disengaja.
Kembali ke meja tempat kami makan, terlihat Maira yang sangat jijik pada ponselku. Kenapa? Padahal biasanya dia akan diam-diam memeriksa ponselku seperti detektif.
"Mah ... kenapa, sih?"
Tanpa menghiraukanku Maira bangkit dan mencuci tangannya, aku diam melihat gerak geriknya yang pelit. Maira kembali dan dengan sedikit kerepotan dia mulai makan.
"Sini biar papah gendong dulu Gunturnya," ucapku seraya mengulurkan tangan hendak mengambil alih bayi kami yang masih merah.
Maira tidak menghiraukanku, dia justru menyeret kursinya menjauh. Sontak pandangan orang-orang kembali tertuju pada kami. Huh ... Maira!
Ya sudah, mungkin Maira butuh waktu untuk menenangkan diri. Mungkin kondisinya yang masih labil pasca persalinan membuat Mairaku lupa caranya marah, atau dia terlalu lelah untuk bertengkar.
Kuamati wajah Maira. Tampak menahan tangis tapi tetap menjejalkan makanan ke mulutnya. Ada rasa ngilu menjalar begitu saja melihat Maira bersikap begitu, seolah aku sudah menjadi suami yang sangat jahat padanya.
Aku sudah melakukan hal benar, dengan meninggalkan Risa. Tapi kenapa Maira harus melihat saat aku sedang memeluk Risa? Semesta kejam sekali padaku.
Harusnya hubunganku dengan Risa berakhir tanpa harus Maira tahu. Dari kejadian-kejadian sebelumnya baru kali ini aku berhenti selingkuh karena aku sadar diri, bukan karena ketahuan. Maira harusnya senang karena aku sudah berubah.
Setelah semua selesai kami pulang, Luna dan Lintang merengek minta digendong karena kelelahan bermain. Bagaikan superman kugendong Luna di kanan, dan Lintang di kiri.
Lihatlah Maira, aku berusaha!
Percuma, Maira melenggang begitu saja mendahuluiku. Aku kembali kecewa. Aku berjalan di belakang Maira.
Tanpa sengaja kulihat kaki Maira hanya menggunakan selop yang biasa dia pakai di dalam rumah, dia pasti terburu-buru. Aku nelangsa membayangkan situasi Maira.
Sebenarnya, bagaimana Maira bisa tahu? Dan bagaimana Maira bisa sampai di waktu yang sangat tidak tepat? Kenapa bukan disaat aku mengucapkan kata putus untuk Risa?
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
angel
uda tau laki suka selingkuh masih aj branak
2025-01-04
0
Nyi Arifin Bwi
GOOD, KASIH PELAJARAN SUAMI TUKANG SELINGKUH, DI KASIH MAAF SEKX DUA KX , DI ULANG LAGI, SAATNYA BAKIT WAHAI ISTRI...
2023-07-15
1
Sulati Cus
apa dg minta maaf sakit hati akan hilang??? tdk semudah itu ferquso
2022-05-27
0