Sore itu langit begitu nampak mendung. Gerimis nampak terus saja turun dari langit membasahi kedua tanah kubur yang juga masih basah. Semua orang sudah pulang termasuk mertua Uno dan juga Rani, istri Adit.
Uno menatap nanar dua kuburan yang berjejer. Nampak seperti pasangan sehidup semati seolah cinta mereka adalah cinta sejati. Pasangan selingkuh yang akhirnya meninggal bersama setelah mengalami kecelakaan tunggal.
"Kalian sungguh mengerikan” lirih Uno. Ia menatap kuburan yang terdapat nama Adit disana. "Kamu lelaki egois, sudah tahu salah tetap melakukan dan sekarang kamu meminta aku untuk menjaga anak dan istri mu serta hartamu. Kamu pikir aku ini apa?” gumam Uno penuh kebencian. Namun ia pun harus belajar ikhlas dan memaafkan pasangan dengan cinta yang belum usai. Namun harus selesai karena kematian.
.
.
.
Setelah membaca doa Zantisya menabur bunga di atas makam ibunya. Hari ini ia telah lulus sekolah dan mendapat nilai terbaik. Dan hari ini juga adalah hari kematian ibunya. Ia dan bapaknya langsung ziarah kubur setelah Zantisya pulang dari sekolah.
"Ayo pak pulang” ajak Zantisya. "Takut makin deres hujannya” tambahnya.
Bapaknya pun berdiri dan langsung melangkah lebih dulu. Mereka membawa dua payung untuk berjaga-jaga jika hujan seperti saat ini. Perlahan namun pasti Zantisya mengikuti langkah bapaknya.
Zantisya dan bapaknya menatap lelaki yang berdiri di depan pusaran yang masih basah itu. Tadi saat Zantisya dan bapaknya datang para pelayat sudah mulai pulang.
"Tisya, berikan payung mu pada lelaki itu. Kasihan dia kalau terlalu lama terkena air hujan” perintah bapaknya.
Zantisya pun menurut dengan perlahan ia melangkah menuju ke arah Uno yang tengah berdiri. Setelah tinggal satu langkah ia sejajar dengan posisi Uno yang berdiri, Zantisya mengangkat tangan yang menggenggam gagang payung agar semakin tinggi. Lalu ia maju selangkah dan mereka pun berdiri sejajar.
Zantisya mendongakkan wajahnya untuk melihat wajah Uno. Karena sepertinya lelaki itu belum menyadari kehadirannya. "Kenapa ada sorot kehilangan, kesedihan, kecewa dan marah secara bersamaan di wajahnya” batin Zantisya.
Hening…
"Maaf mas…” lirih Zantisya yang sukses membuat Uno menoleh ke samping dan kini ia menyadari jika tubuhnya tidak terkena air hujan. Ia menatap gadis yang tingginya hanya sebatas dadanya. Uno mengerutkan keningnya merasa tak mengenali gadis yang ada di depannya itu. "Mas yang tabah ya” Zantisya memberikan senyuman terbaiknya seolah memberi kekuatan untuk lelaki yang menjulang tinggi dihadapannya itu. "Ini payung buat mas” ucap Zantisya sambil menyodorkan gagang payungnya.
Namun uno abai dan tak menerima payung itu. Akhirnya dengan berani Zantisya menyentuh tangan Uno dan mengarahkannya untuk menggenggam gagang payung.
"Saya pulang duluan ya mas. Mas juga harus cepat pulang karena hujan makin deres dan sebentar lagi magrib”. Itulah ucapan terakhir gadis berjilbab hitam pada Uno sebelum akhirnya gadis itu lari kearah bapaknya.
.
.
.
Tiga bulan sudah berlalu selama itu juga Uno hanya di sibukkan dengan pekerjaanya sendiri. ia juga sampai menjual rumah yang ia tinggali bersama Vina dulu. Ia sungguh tidak ingin dikelabuhi dengan kenangan manis namun kini semua ternyata palsu.
Hari ini Uno sengaja tidak pergi ke kantor karena ia ingin istirahat seharian. Biarlah orang kepercayaannya yang memantau semua restoran dan mengurus laporan laporan dari setiap cabang restoran.
Namun sepertinya hari istirahatnya terganggu, setelah mendengar bel dan Uno segera membuka pintu untuk tamu yang sungguh tidak Uno duga.
Ia menatap dingin sosok perempuan yang ada di hadapannya bersama seorang anak kecil. Bukannya mempersilahkan masuk namun pertanyaan Uno seolah tak menyukai kedatangan perempuan yang perutnya semakin membesar saja. "Dari mana kamu tahu alamat ku?” tanya Uno jelas tak suka.
"Maaf mas jika…”
"Cukup panggil nama” ia sungguh tidak menyukai semuanya. Uno sadar bahwa ia dan perempuan hamil dihadapannya ini adalah korban dari pasangan mereka masing-masing. Namun Uno sungguh tidak mampu jika harus berhadapan lagi dengan masa lalunya. Karena dengan ia melihat perempuan ini dia akan mengingat Vina dan Adit atas penghianatan yang mereka lakukan. Egois. Satu kata untuk pasangan yang sudah tiada itu.
"Uno… tolong bantu aku mengurus perusahaan kami"
"Aku nggak mau” sarkas Uno tanpa perlu pikir-pikir.
"Mama” lirih bocah laki-laki yang langsung sembunyi ke belakang Rani.
"Radit tunggu mama didalam mobil ya nak. Radit sama pak totok dulu” pinta Rani, Radit mengangguk dan langsung lari menuju mobil.
Rani menatap Uno yang tengah melihat radit berlari kecil menuju kemobil lalu masuk kedalam setelah di bukakan pintu oleh sopirnya. "Radit anak pertama kami Uno. Usianya empat tahun”jelas Rani. "Sebentar lagi perkiraan anak kelahiran anak kedua kami” tambahnya.
Ucapan Rani sungguh tenang. Ia masih menyebut anaknya dengan sebutan 'anak kami' setelah semua penghianatan yang di lakukan suaminya. Entah memang dia pribadi yang baik, pura-pura tegar atau memang sudah menerima semuanya dengan lapang. Entahlah Uno tak ingin menerka lebih dalam.
"Apa tujun mu sebenarnya?"
"Mas Adit sudah mempercayakan perusahaan kami sama kamu Uno, tolong bantu kami"
"Aku nggak mau" jelas Uno menolak langsung. Apa lagi mendengar Rani mengucapkan 'bantu kami' itu sama saja Uno rela senang hati membantu Adit.
"Tolong, aku sudah tidak mampu mengurus perusahaan dengan keadaan seperti ini” ucap Rani membuat iba Uno karena Rani tengah mengelus perut buncitnya itu.
"Setidaknya bantu aku sampai aku benar-benar bisa mengurus perusahaan sendiri sampai anak-anak bisa aku tinggal kerja” mohon Rani Tulus.
Uno Nampak berfikir namun rasa egoisnya masih mendominasi dirinya sendiri. Ia benar-benar sungguh tidak ingin menyelami masa yang harusnya ia lewati saja.
"Aku nggak bisa. aku juga harus mengurus usaha ku sendiri” tolak Uno. Suaranya bahkan mulai terdengar melembut.
"Uno, mari kita bersama-sama damai dengan penghianatan mereka. Disini bukan cuma kamu korbannya tapi ada aku dan anak-anak aku” lirih Rani.
Rani sepenuhnya benar, perempuan ini sungguh lebih banyak di korbankan ketimbang dirinya. "Tolong bantu aku satu atau dua tahun Uno. Aku yakin kamu bisa mengerjakan dua perusahaan sekaligus. Tapi aku…” ia menjeda ucapannya. Menunduk menatap perutnya tangannya terus mengusap perutnya sendiri. "Saat ini aku harus lebih memprioritaskan anak-anak ku”.
.
.
.
Malam sudah semakin larut Uno masih saja terdiam menatap langit-langin kamarnya, mengingat percakapan antara dirinya dengan Rani. Ia sudah mengambil keputusan yang berat. Jelas keputusan yang bertolak dari hatinya dan ia terpaksa menerima permintaan Rani. Wanita yang lebih banyak menanggung beban atas penghianatan suami Rani bersama istrinya.
Sebagai manusia, ia masih memiliki hati nurani juga. Bagaimana mungkin ia abai dengan perempuan yang jelas memiliki kesedihan yang sama, luka yang sama. Namun ia melihat Rani begitu tabah dan ikhlas dengan semua yang terjadi.
"Apa aku selemah ini?” gumam Uno. "Maaf kan aku Vin jika aku masih kecewa dengan semua ini” gumamnya lagi sebelum akhirnya ia lelap dalam mimpi.
Bersambung...
...Dilanjutkan besok lagi ya 😊...
...good night all semoga kalian semua mimpi indah....
...Yang mengikuti cerita ini mohon tinggalkan jejak ya 😊 bisa kasih like dan komen sebanyak mungkin 🥰 terimakasih 😊...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
erinatan
duda lebih menggoda🤣🤣🤣
2025-02-22
0
Alkahf Muhammad
sabar demi ank
2022-02-16
1
Dini Junghuni
lanjut
2022-01-24
1