18

Bram dan Cecil baru kembali dan tak menemukan Rachel dimanapun. Mereka memeriksa setiap ruangan sambil memanggilnya tapi tak ada jawaban. Cecil ingat Rachel sering menghabiskan waktunya di ruang kerja, jadi ia mengajak Bram ke atas.

Pintu ruang kerja Rachel terbuka dan gelap. Ia mematikan lampunya. Bergegas Bram dan Cecil masuk dan menghidupkan lampu dan melihat Rachel tertidur di lantai dengan tubuh menggigil.

"Ya ampun, Rachel!" pekik Cecil, iaendekat dan menempelkan kembali punggung tangannya di kening Rachel. Panas tinggi dan bahkan sesekali gadis itu bergumam tak jelas.

"Kita ke rumah sakit!" perintah Bram. Cecil mengangguk dan membantu Bram mengangkat Rachel. Lalu mereka turun dan segera ke rumah sakit.

Dua jam kemudian Bram dan Cecil duduk di ruang rawat Rachel. Gadis itu terbaring dengan dua botol infus. Satu infus besar biasa, yang satu lagi infus kecil untuk penurun panas. Sementara ini diagnosa dokter hanya kelelahan.

"Dia kenapa bisa demam parah gini ya, padahal tadi baik-baik aja di kantor," kata Cecil.

"Apa dia ada ketemu orang lain?" tanya Bram. Cecil tak mengerti arah pembicaraan Bram. Namun ia menggeleng.

"Nggak ada ketemu siapa-siapa. Paling ya dengan teman kantor. Kami nggak ada keluar makan siang," kata Cecil.

"Apa dia ada makan sesuatu dari orang lain?" tanya Bram. Kening Cecil kembali berkerut aneh dengan pertanyaan Bram. Tapi ia tiba-tiba teringat dengan atasannya.

"Ada, Pak Andre sempat datang ke mejanya dan ngasih makanan, tapi apa yang aneh. Kayaknya bukan itu deh penyebabnya," kata Cecil.

"Kita nggak tau niat orang dan aku tahu siapa Andre itu," kata Bram.

"Emang ada yang salah dengan pak Andre? aku lihat malah orangnya baik banget," kata Cecil.

"Jangan memuji seseorang sebelum tahu gimana sifat aslinya," kata Bram.

"Aku yakin pak Andre nggak sejahat itu," Cecil keukeuh dengan pendapatnya.

Tak lama infus kecil telah di cabut perawat karena sudah habis, tinggal cairan infus besar yang masih berjalan perlahan. Suhu tubuh Rachel juga sudah turun dan kini gadis itu dibanjiri keringat. Bram menyeka wajah Rachel dengan sapu tangan.

"Enak ya jadi Rachel," kata Cecil. Bram mendongak menatapnya.

"Kenapa?" tanya Bram.

"Dia bisa dapat sahabat sebaik kamu," kata Cecil sambil tersenyum pahit.

"Aku juga bisa membuat kamu jadi yang spesial, lebih spesial lagi," kata Bram.

"Kita udah bahas ini sebelumnya," kata Cecil, Bram terkekeh mendengarnya.

"Ya, aku hanya mengingatkan. Kapanpun kamu mau membuka hati, aku siap kita memulai dari awal," kata Bram meraih tangan Cecil, tapi segera ditarik kembali oleh Cecil.

"Hhhmh...," Rachel mulai sadar tapi matanya masih sulit untuk terbuka.

"Hel, kamu udah sadar?" tanya Cecil, Rachel mengangguk tapi segera dihentikan karena kepalanya berdenyut sakit. Tenggorokannya kering tapi untuk bicara rasanya sulit sekali.

"Kamu mau minum?" tanya Bram.

"Ya," jawabnya singkat dengan suara yang sangat pelan.

Cecil mengambil air minum dan menyuap Rachel.

"Syukurlah kamu udah sadar, minum sedikit lagi," kata Cecil, Rahel menolak dengan tangannya. Lalu ia melanjutkan tidurnya, kepalanya terasa berat sekali.

"Dia memang harus banyak istirahat," kata Bram saat melihat Rachel kembali terpejam. Cecil mengangguk.

Sepanjang malam Bram menjaga, dia menyuruh Cecil untuk tidur dan istirahat. Karena besok Cecil harus kembali bekerja. Bram menunggui keduanya sambil menonton televisi.

Subuh menjelang, Rachel kembali terbangun saat ia merasa punggungnya terasa panas. Lalu melihat Cecil berbaring di sofa dan Bram duduk tak jauh dari sofa, mereka tertidur. Rachel ingin minum tapi tak ada yang mendengarnya.

Rachel memaksakan dirinya untuk duduk dan meraih air. Seseorang membantunya memegang gelas dan Rachel meminumnya. Ia tak begitu jelas siapa itu. Yang pasti bukan Cecil ataupun Bram. Karena keduanya masih terlelap tidur. Rachel tersenyum mengangguk lalu kembali memejamkan matanya.

***

Sinar hangat matahari menembus selimut di kakinya. Rachel membuka mata dan rasanya tubuhnya lumayan membaik meski ia masih lemah dan kepala yang masih terasa berat.

"Kamu udah bangun? udah enakan?" tanya Bram.

"Udah, mana Cecil?" tanya Rachel.

"Udah ke kantor, kamu mau sarapan?" tanya Bram.

"Ya," jawab Rachel.

Bram menyiapkan makanan untuk Rachel dan tak lama Tania datang membawa buah-buahan untuknya.

"Terima kasih udah datang," kata Rachel pelan, karena tenggorokannya masih agak sakit.

"Semoga lekas sembuh," kata Tania.

"Nih sarapannya udah siap, makan dulu," kata Bram sambil menyuap Rachel.

"Rachel!" pekik bundanya saat ia sedang membuka mulutnya dan bunda langsung berlari ke arahnya dan memeluknya.

"Bunda," bisik Rachel pelan.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya bunda memegang kedua sisi wajahnya.

"Gak apa bun,"

"Apa kata dokter?" tanya bunda pada Bram.

"Kelelahan bun," jawab Bram.

"Tuh kan, bunda udah bilang jangan capek-capek. Tinggal sama bunda kan semua beres kamu tinggal kerja aja. Ini pasti suka begadang juga kan?" omel bunda panjang lebar.

"Bunda duduk dulu, ini Rachel mau makan," kata Bram.

"Sini biar bunda aja," bunda merebut piring dari tangan Bram dan duduk di hadapan Rachel dan dengan telaten menyuapi anak gadisnya.

"Kamu sarapan juga," kata Bram pada Tania.

"Aku udah tadi, kamu sarapan dulu biar nggak ikutan sakit," kata Tania.

"Loh? ada kamu? maaf ya, bunda nggak liat tadi," kata bunda pada Tania.

"Bunda... kenal?" tanya Rachel.

"Ya kenal, Tania ini anaknya tante Resty. Yang sering ajak bunda jalan loh, cuma sekarang jarang ketemu. Gimana kabar mama kamu?"

"Baik tante," jawab Tania.

"Sampaikan salam tante untuk mama kamu yah, oh ya kamu temennya Rachel ya?" tanya bunda.

"Iya, Rachel dan Bram," kata Tania menatap Bram yang salah tingkah.

"Oooh Bram juga temen atau pacar?" goda bunda. Wajah Tania memerah mendengarnya.

"Kapan kamu boleh pulang? biar bunda aja yang rawat kamu di rumah," kata bunda.

"Nggak usah bun," kata Rachel.

"Kenapa? kamu nggak mau di rawat bunda? nggak seneng bunda datang? nggak kangen?" pertanyaan bunda membuat Rachel tak bisa menjawab.

"Bukan bun,"

"Terus? udah! nggak ada alasan. Bunda tinggal sama kamu sementara waktu sampai kamu sembuh. Bunda kan dari awal nggak setuju kamu tinggal jauh sendiri begini. Kalau sakit kan semua serba sendiri," omel bunda. Bram terkekeh melihat wajah Rachel yang cemberut karena terus-terusan diomeli bunda.

Dan ternyata Rachel harus menginap satu malam lagi di rumah sakit sampai ia sudah kuat. Malam itu mereka ngumpul di ruangan Rachel meski Cecil terlihat tidak nyaman tapi ia mencoba menikmati canda malam itu.

Rachel pun merasa pulih seketika di kelilingi oleh orang-orang yang ia sayang. Ia berharap secepatnya ia bisa pulang dan menikmati masakan bundanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!