CINTA LAMA BELUM KELAR (CLBK)
Matahari sedang berada pada posisi di atas kepala manusia. Teriknya membuat siapapun bergerak lebih cepat untuk mencari tempat berteduh.
Saat ini tepat pukul 12.00 WIB. Adzan dzuhur berkumandang dari dalam masjid yang letaknya di pekarangan sekolah.
Terdengar suara muadzin mengumandangkan adzan dengan lantangnya. Setiap siswa laki-laki yang beragama Islamlah yang ditugaskan menjadi muadzin secara bergiliran.
Jadwal yang telah dibuat oleh guru agama mereka masing-masing. Mau nggak mau. Suka nggak suka. Harus belajar menjadi seorang muadzin.
Bel istirahat pun berbunyi. Semua siswa dan siswi SMA tersebut keluar secara berhamburan dari kelasnya masing-masing.
Ada yang bergegas ke kamar mandi entah untuk buang air kecil atau buang air besar atau bahkan cuma untuk bercermin di cermin besar depan kamar mandi.
Ada juga yang langsung berlari ke kantin. Membeli jajanan favorit disana. Sebelum keduluan yang lain.
Ada juga yang malah berkunjung ke kelas lain hanya untuk memastikan gebetannya atau pacarnya sudah keluar istirahat atau belum.
Ada juga yang justru dipanggil ke ruang BK karena telah berulah atau bermasalah atau bahkan sekedar curhat dengan gurunya.
Tapi kebanyakan dari mereka pergi ke masjid untuk melaksanakan solat dzuhur.
Seperti seorang remaja yang satu ini. Ketika bel berbunyi, dia keluar dari kelasnya dan langsung pergi ke masjid.
Ia mempercepat langkahnya karena siang itu matahari sangat menyengat.
Sesampainya di teras masjid, ia tidak langsung membuka sepatu dan kaos kakinya. Ia hanya duduk bersandar pada tiang dan melamun.
Entah kenapa hari itu perasaannya tak menentu. Padahal ia memulai hari seperti biasa. Tak ada yang berubah ataupun berbeda di hari ini.
Tapi perasaan tak enak itu selalu muncul bahkan di saat ini. Saat ia hendak berwudhu dan melaksakan solat dzuhur pada jam istirahat siang di sekolahnya.
Akhirnya ia pun menepis rasa yang mengganggunya itu. Ia pun langsung membuka sepatu dan kaos kaki lalu menyimpannya di rak sepatu yang berada di di sisi masjid sebelah kiri.
Ia pun menggulungkan celana panjangnya dan menuju ke tempat mengambil air wudhu. Saat itu belum terlalu antri untuk mengambil air wudhu karena ia termasuk orang yang pertama datang ke masjid.
Selesai berwudhu, ia langsung ke dalam masjid menuju ke ruang solat bagian jemaah laki-laki.
Remaja itu pun bersiap menunggu seorang imam untuk memimpin solat berjamaah. Tak lama salah seorang guru datang dan langsung mengambil posisi di paling depan menjadi seorang imam.
***
Remaja laki-laki itu bernama Mahesa Pradipta. Keluarga dan teman-temannya biasa memanggilnya Dipta.
Dipta memiliki tinggi 170 cm dan berat 60 kg. Postur tubuh yang sesuai untuk ukuran tinggi dan berat badannya.
Kulitnya putih berseri meskipun ia tak pernah melakukan perawatan. Rambutnya cepak dan lurus. Dahinya agak lebar meski tidak terlalu jenong. Alisnya tebal dan rapi. Matanya bulat dan bola matanya berwarna coklat. Hidungnya mancung dan bibirnya agak tebal.
Untuk ukuran laki-laki Indonesia kelahiran tanah Sunda, ia termasuk kategori yang lumayan alias tampan.
Dia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya perempuan semua.
Ayahnya seorang supir truk yang pulangnya sebulan sekali. Ibunya seorang penjual seblak.
Ia berasal dari keluarga yang sederhana tapi kesederhanaannya tak lantas membuat mereka tak bahagia.
Ayahnya selalu pintar membuat istri dan anak-anaknya merasa bahagia.
Setiap sebulan sekali pulang ke rumah. Pasti ayahnya membawa oleh-oleh untuk istri dan ketiga anaknya.
Pernah suatu kali ayahnya membawa empat kado. Yang semuanya terbungkus dengan rapi dan cantik.
Satu kado berukuran lebih besar itu untuk istrinya. Setelah dibuka ternyata isinya daster dan dalaman.
Khusus dia berikan untuk istrinya yang dia lihat sehari-harinya pasti pakai daster yang itu-itu lagi.
Dia berikan dalaman juga karena ia pun tau persis tali bra yang istrinya punya itu sudah putus dan dijahit berulang kali supaya masih bisa berfungsi dengan baik.
Kado kedua berwarna biru. Kali ini untuk Dipta anak pertamanya. Isinya sepatu futsal. Sepatu yang sudah lama sekali Dipta idam-idamkan.
Uang jajan yang sisanya ia sisihkan untuk membeli sepatu futsal belum juga terkumpul. Tapi ayahnya yang paham akan hal itu ternyata pulang membawa itu sebagai oleh-oleh.
Dua kado lainnya untuk dua adik perempuan Dipta. Isinya tas baru yang sama-sama cantik.
Istri dan anak-anaknya pun memeluk sang ayah sambil mengucapkan terima kasih.
***
Dalam sujudnya, Dipta tiba-tiba terbayang wajah ayahnya. Entah mengapa wajah ayahnya datang begitu saja dalam solatnya.
Ia pun menyelesaikan solatnya dengan salam dan langsung berdoa.
Ia mendoakan ayahnya semoga beliau sehat-sehat disana.
Tak lama setelah menyelesaikan doanya, Dipta dipanggil oleh wali kelasnya Pak Herman.
"Dipta, dicariin tuh sama Pak Herman!" Rian teman sekelas Dipta menyampaikan salamnya Pak Herman.
"Ada apa ya?" tanya Dipta bingung.
"Nggak tau. Tapi kayaknya penting! Cepet sana Dip," tukas Rian.
Dipta pun bergegas keluar dari masjid dan memakai kaos kaki juga sepatunya dengan gerakan kilat.
Jarak masjid dan ruang guru tidak terlalu jauh. Hanya berseberangan di sisi lapangan upacara.
Sesampainya di ruang guru.
"Assalamualaikum Pak. Bapak panggil saya?" tegur Dipta pada Pak Herman yang sedang di depan pintu ruang guru menunggu kedatangan Dipta.
"Waalaikumsalam. Iya Dip."
"Ada apa ya Pak?"
"Kamu duduk dulu," jawab Pak Herman sambil menepuk kursi kosong disebelahnya.
Dipta pun duduk mengikuti arahan Pak Herman.
"Dipta, tadi ibumu telpon ke sekolah. Kamu diminta pulang sekarang. Ayahmu meninggal karena kecelakaan."
"Innalillahi wainna ilaihi rajiun." Dipta pun merasa kaget luar biasa. Dia tak bisa berkata-kata lagi selain mengucapkan doa tadi.
"Bapak turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Semoga Ayahmu diterima iman Islamnya. Aamiin," ujar Pak Herman sambil mengelus pundak Dipta untuk menenangkan.
"Oh ya. Bapak akan antar kamu pulang. Kamu siap-siap ya! Ambil tasmu di kelas."
Tanpa banyak bicara, Dipta beranjak pergi ke kelasnya.
Setelah mengambil tasnya, Dipta juga langsung pergi tanpa pamit kepada teman-temannya di kelas yang bingung kenapa Dipta bawa tas di jam istirahat.
Pak Herman juga sudah siap di parkiran mengendarai motor honda supra x dan langsung melambaikan tangan ke arah Dipta karena melihat Dipta di depan ruang guru sedang mencarinya.
Dipta pun menghampiri Pak Herman dan segera duduk di boncengan belakang sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan hati Dipta kalut. Ia yakin ada luka di dalamnya. Semua terasa sesak menghimpit dadanya.
Menahan isak tangis sekuat tenaga. Matanya terus memerah dan hidungnya seperti berair karena menahan tangis.
Akan seperti apa ayahnya saat ia pulang nanti?
Apa yang harus dia ucapkan pada ibu dan kedua adiknya untuk menenangkan mereka?
Bahkan dia sendiri pun mungkin tidak akan sanggup menenangkan diri sendiri!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
🅿!💤©€$_--🦈 🐬
innalillahi wainnailaihiroji'un..
yg sabar ya Dipta😭😭
2024-12-21
0
Bundaa Mutiyaa Ajhaa
nyimak
2021-02-06
0
D'randra_15
aku mampir nih thor🤗
jadi pengen nangis setelah baca😔😭
semangat Thor💪
2021-01-17
0