Matahari sedang berada pada posisi di atas kepala manusia. Teriknya membuat siapapun bergerak lebih cepat untuk mencari tempat berteduh.
Saat ini tepat pukul 12.00 WIB. Adzan dzuhur berkumandang dari dalam masjid yang letaknya di pekarangan sekolah.
Terdengar suara muadzin mengumandangkan adzan dengan lantangnya. Setiap siswa laki-laki yang beragama Islamlah yang ditugaskan menjadi muadzin secara bergiliran.
Jadwal yang telah dibuat oleh guru agama mereka masing-masing. Mau nggak mau. Suka nggak suka. Harus belajar menjadi seorang muadzin.
Bel istirahat pun berbunyi. Semua siswa dan siswi SMA tersebut keluar secara berhamburan dari kelasnya masing-masing.
Ada yang bergegas ke kamar mandi entah untuk buang air kecil atau buang air besar atau bahkan cuma untuk bercermin di cermin besar depan kamar mandi.
Ada juga yang langsung berlari ke kantin. Membeli jajanan favorit disana. Sebelum keduluan yang lain.
Ada juga yang malah berkunjung ke kelas lain hanya untuk memastikan gebetannya atau pacarnya sudah keluar istirahat atau belum.
Ada juga yang justru dipanggil ke ruang BK karena telah berulah atau bermasalah atau bahkan sekedar curhat dengan gurunya.
Tapi kebanyakan dari mereka pergi ke masjid untuk melaksanakan solat dzuhur.
Seperti seorang remaja yang satu ini. Ketika bel berbunyi, dia keluar dari kelasnya dan langsung pergi ke masjid.
Ia mempercepat langkahnya karena siang itu matahari sangat menyengat.
Sesampainya di teras masjid, ia tidak langsung membuka sepatu dan kaos kakinya. Ia hanya duduk bersandar pada tiang dan melamun.
Entah kenapa hari itu perasaannya tak menentu. Padahal ia memulai hari seperti biasa. Tak ada yang berubah ataupun berbeda di hari ini.
Tapi perasaan tak enak itu selalu muncul bahkan di saat ini. Saat ia hendak berwudhu dan melaksakan solat dzuhur pada jam istirahat siang di sekolahnya.
Akhirnya ia pun menepis rasa yang mengganggunya itu. Ia pun langsung membuka sepatu dan kaos kaki lalu menyimpannya di rak sepatu yang berada di di sisi masjid sebelah kiri.
Ia pun menggulungkan celana panjangnya dan menuju ke tempat mengambil air wudhu. Saat itu belum terlalu antri untuk mengambil air wudhu karena ia termasuk orang yang pertama datang ke masjid.
Selesai berwudhu, ia langsung ke dalam masjid menuju ke ruang solat bagian jemaah laki-laki.
Remaja itu pun bersiap menunggu seorang imam untuk memimpin solat berjamaah. Tak lama salah seorang guru datang dan langsung mengambil posisi di paling depan menjadi seorang imam.
***
Remaja laki-laki itu bernama Mahesa Pradipta. Keluarga dan teman-temannya biasa memanggilnya Dipta.
Dipta memiliki tinggi 170 cm dan berat 60 kg. Postur tubuh yang sesuai untuk ukuran tinggi dan berat badannya.
Kulitnya putih berseri meskipun ia tak pernah melakukan perawatan. Rambutnya cepak dan lurus. Dahinya agak lebar meski tidak terlalu jenong. Alisnya tebal dan rapi. Matanya bulat dan bola matanya berwarna coklat. Hidungnya mancung dan bibirnya agak tebal.
Untuk ukuran laki-laki Indonesia kelahiran tanah Sunda, ia termasuk kategori yang lumayan alias tampan.
Dia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya perempuan semua.
Ayahnya seorang supir truk yang pulangnya sebulan sekali. Ibunya seorang penjual seblak.
Ia berasal dari keluarga yang sederhana tapi kesederhanaannya tak lantas membuat mereka tak bahagia.
Ayahnya selalu pintar membuat istri dan anak-anaknya merasa bahagia.
Setiap sebulan sekali pulang ke rumah. Pasti ayahnya membawa oleh-oleh untuk istri dan ketiga anaknya.
Pernah suatu kali ayahnya membawa empat kado. Yang semuanya terbungkus dengan rapi dan cantik.
Satu kado berukuran lebih besar itu untuk istrinya. Setelah dibuka ternyata isinya daster dan dalaman.
Khusus dia berikan untuk istrinya yang dia lihat sehari-harinya pasti pakai daster yang itu-itu lagi.
Dia berikan dalaman juga karena ia pun tau persis tali bra yang istrinya punya itu sudah putus dan dijahit berulang kali supaya masih bisa berfungsi dengan baik.
Kado kedua berwarna biru. Kali ini untuk Dipta anak pertamanya. Isinya sepatu futsal. Sepatu yang sudah lama sekali Dipta idam-idamkan.
Uang jajan yang sisanya ia sisihkan untuk membeli sepatu futsal belum juga terkumpul. Tapi ayahnya yang paham akan hal itu ternyata pulang membawa itu sebagai oleh-oleh.
Dua kado lainnya untuk dua adik perempuan Dipta. Isinya tas baru yang sama-sama cantik.
Istri dan anak-anaknya pun memeluk sang ayah sambil mengucapkan terima kasih.
***
Dalam sujudnya, Dipta tiba-tiba terbayang wajah ayahnya. Entah mengapa wajah ayahnya datang begitu saja dalam solatnya.
Ia pun menyelesaikan solatnya dengan salam dan langsung berdoa.
Ia mendoakan ayahnya semoga beliau sehat-sehat disana.
Tak lama setelah menyelesaikan doanya, Dipta dipanggil oleh wali kelasnya Pak Herman.
"Dipta, dicariin tuh sama Pak Herman!" Rian teman sekelas Dipta menyampaikan salamnya Pak Herman.
"Ada apa ya?" tanya Dipta bingung.
"Nggak tau. Tapi kayaknya penting! Cepet sana Dip," tukas Rian.
Dipta pun bergegas keluar dari masjid dan memakai kaos kaki juga sepatunya dengan gerakan kilat.
Jarak masjid dan ruang guru tidak terlalu jauh. Hanya berseberangan di sisi lapangan upacara.
Sesampainya di ruang guru.
"Assalamualaikum Pak. Bapak panggil saya?" tegur Dipta pada Pak Herman yang sedang di depan pintu ruang guru menunggu kedatangan Dipta.
"Waalaikumsalam. Iya Dip."
"Ada apa ya Pak?"
"Kamu duduk dulu," jawab Pak Herman sambil menepuk kursi kosong disebelahnya.
Dipta pun duduk mengikuti arahan Pak Herman.
"Dipta, tadi ibumu telpon ke sekolah. Kamu diminta pulang sekarang. Ayahmu meninggal karena kecelakaan."
"Innalillahi wainna ilaihi rajiun." Dipta pun merasa kaget luar biasa. Dia tak bisa berkata-kata lagi selain mengucapkan doa tadi.
"Bapak turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Semoga Ayahmu diterima iman Islamnya. Aamiin," ujar Pak Herman sambil mengelus pundak Dipta untuk menenangkan.
"Oh ya. Bapak akan antar kamu pulang. Kamu siap-siap ya! Ambil tasmu di kelas."
Tanpa banyak bicara, Dipta beranjak pergi ke kelasnya.
Setelah mengambil tasnya, Dipta juga langsung pergi tanpa pamit kepada teman-temannya di kelas yang bingung kenapa Dipta bawa tas di jam istirahat.
Pak Herman juga sudah siap di parkiran mengendarai motor honda supra x dan langsung melambaikan tangan ke arah Dipta karena melihat Dipta di depan ruang guru sedang mencarinya.
Dipta pun menghampiri Pak Herman dan segera duduk di boncengan belakang sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan hati Dipta kalut. Ia yakin ada luka di dalamnya. Semua terasa sesak menghimpit dadanya.
Menahan isak tangis sekuat tenaga. Matanya terus memerah dan hidungnya seperti berair karena menahan tangis.
Akan seperti apa ayahnya saat ia pulang nanti?
Apa yang harus dia ucapkan pada ibu dan kedua adiknya untuk menenangkan mereka?
Bahkan dia sendiri pun mungkin tidak akan sanggup menenangkan diri sendiri!
***
Diperjalanan pulang, Dipta tak henti-hentinya berdoa dalam hati. Mendoakan ayahnya semoga khusnul khotimah.
Ia terus menggenggam tangannya erat. Berharap ini mimpi. Semakin kuat ia menggenggam, semakin sadar pula ia bahwa ini bukan mimpi.
Entah kenapa kali ini perjalanan menuju rumahnya terasa begitu jauh. Padahal kalau naik motor biasanya hanya lima belas menit saja.
Dibayangannya saat ini adalah wajah ayahnya yang sedang tersenyum padanya. Seperti saat ia lulus SMP dan masuk ke SMA negeri favorit di kotanya.
Tak terasa butiran air bening dan hangat jatuh di pipinya. Rasa sesak yang sedari tadi ia rasakan kini semakin menjadi-jadi. Seolah-olah si oksigen pun enggan masuk ke dalam tubuhnya.
Perjalanan pulang yang terasa panjang itu pun berakhir. Sesampainya di gang rumahnya. Dipta turun dari motor Pak Herman. Motornya tidak bisa masuk lebih dalam lagi karena sudah dipenuhi beberapa motor pelayat yang datang dan juga tidak ada tempat parkir lagi di dalamnya.
Terpaksa Dipta dan Pak Herman berjalan menyusuri gang kecil untuk sampai di rumah Dipta.
Para pelayat sudah banyak yang berdatangan. Sepertinya jasad ayahnya sudah selesai dimandikan dan dikafani.
Bendera kuning terpasang di sepanjang jalan menuju rumahnya. Telah tampak di kejauhan tenda terpal biru menghiasi teras mungil rumahnya.
Beberapa tetangga menyalami Dipta dan menepuk pundaknya sebagai isyarat 'Yang sabar ya Dip!' Dipta hanya membalasnya dengan tatapan kosong.
Sampailah ia di depan rumahnya. Pak Herman terus mengikutinya dari belakang. Ia berjaga-jaga khawatir Dipta menjadi lemah dan terkulai.
Tapi ternyata kekhawatiran Pak Herman tak terjadi. Sebab Dipta masih kuat melihat sosok ayahnya yang sudah tak bernyawa. Ia memang lemah di hatinya tapi raganya masih kuat untuk berjalan.
Kali ini Dipta tak kuasa menahan tangis! Tangisnya meledak ketika kedua adik perempuannya berdiri dan berlari ke arahnya lalu memeluknya erat. Sangat erat!
"Ayah udah nggak ada A!" Jerit Lusiana adik bungsu Dipta yang masih memakai seragam SMP.
"Aa bagaimana nasib kita A? Kita nggak akan mampu hidup tanpa Ayah!" Tangis Keysha sambil terus memeluk Dipta dengan erat.
"Sabar ya Dek! In Shaa Allah kita pasti bisa! Ayah nggak suka kalau kita seperti ini. Aa mau ambil wudhu dulu lalu kita mengaji lagi untuk Ayah," sahut Dipta sambil melepaskan pelan pelukkan kedua adiknya.
Adik-adiknya mengangguk mendengar perintah kakaknya.
Ibu yang melihat Dipta melepaskan pelukan kedua adiknya langsung memeluk Dipta yang sedang berjalan ke arahnya.
"Jadi anak soleh ya A! Itu yang selalu Ayah ucap dalam doanya. Kini Ayah telah pergi meninggalkan kita untuk selamanya A," ucap Ibu sesegukkan.
"Iya Bu. Semoga Ayah mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah," ucap Dipta sambil terus memeluk ibunya yang saat ini sedang butuh sandaran. Tapi mata Dipta selalu tertuju pada wajah Ayah yang sudah rapih dengan kain kafan yang meliliti tubuhnya.
Ingin rasanya ia menguncang-guncangkan tubuh ayahnya yang saat ini sudah terbujur kaku. Ingin ia bangunkan sekuat tenaga. Mungkin keajaiban akan terjadi.
Tapi ia urungkan untuk melakukan semua itu. Ia akhirnya sadar itu tak akan membuatnya mengembalikan kehidupan ayahnya lagi.
"Bu, Aa wudhu dulu ya?" izin Dipta pada ibunya.
"Iya A." Ibunya pun melepaskan pelukannya.
Dipta segera mengambil air wudhu ke kamar mandi. Di sana ia menangis sejadi-jadinya. Ia tuntaskan semua rasa sesak di dadanya. Ketika sudah merasa baikan. Ia pun menghapus semua air matanya yang sudah tumpah! Lalu membuka keran dan mengambil air wudhu.
Selesai mengambil wudhu, ia langsung kembali ke ruang tamu dimana jasad ayahnya diletakkan.
Ia pun duduk di samping jasad ayahnya. Ia usap wajah ayahnya yang seperti sedang tersenyum itu. Ia peluk ayahnya dengan lembut.
Ia cium keningnya dengan bibir bergetar menahan tangis. Tapi ia buru-buru pastikan tidak ada air mata yang membasahi wajah ayahnya.
Ia pun mengambil buku yaasiin dan membacanya dengan lembut sambil terus berdoa dalam hatinya supaya Allah memberi pengampunan atas segala khilaf yang pernah ayahnya lakukan semasa hidupnya.
Bacaan yaasiinnya tersendat-sendat karena beberapa kali ia harus menarik nafas panjang karena hidungnya tersumbat menahan tangis.
Tapi ia terus melanjutkan bacaannya meski memakan waktu agak lama karena terjeda rasa sesak di dada.
Selesai membaca yaasiin, Dipta ditepuk oleh Pak Herman dari belakang.
"Dipta, Bapak izin pulang dulu ya!"
"Oh iya Pak. Terima kasih ya Pak," ucap Dipta masih dengan suara yang bergetar.
"Kamu yang sabar ya!" Pak Herman berusaha menguatkan lagi.
"Iya Pak. Doakan Ayah saya ya Pak!"
"In shaa Allah akan Bapak doakan selalu."
Pak Herman pun berpamitan pada ibunya Dipta. Dan memberikan amplop putih berisi uang untuk sumbangan bela sungkawa dari pihak sekolah.
Ibunya pun menerima amplopnya dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
Setelah beberapa saat setelah kepergian Pak Herman. Datanglah pelayat lain yang masih memakai seragam putih abu-abu.
Tapi mereka semua anak perempuan. Dipta sempat berfikir kalau mereka adalah teman sekelasnya tapi ternyata ia salah.
Ternyata mereka sahabatnya Keysha, adik Dipta yang pertama. Dipta dan Keysha memang hanya berbeda dua tahun.
Jadi saat ini Dipta duduk di kelas 3 SMA dan Keysha duduk di kelas 1 SMA tapi mereka tidak satu sekolah. Karena Keysha nggak ingin satu sekolah dengan kakaknya. Dengan alasan malu, takut dibanding-bandingkan kepintarannya dengan kakaknya Dipta.
Dipta memang terkenal cerdas. Tapi tak pernah sekalipun ia merasa sombong dengan kecerdasannya.
Dia pada dasarnya bukan anak yang kutu buku. Bahkan ia cenderung malas kalau disuruh membaca. Tetapi apapun yang ia dengar, ia bisa langsung hafal dan ingat lebih lama.
Daya tangkapnya kuat ketika ia mendengar. Maka dari itu gurunya selalu menyebut ia anak yang belajarnya dengan cara mendengar.
Saking pintarnya bahkan ia sering kedatangan anak tetangga yang ingin dibantu mengerjakan PR. Dan selalu ia terima kedatangan mereka dengan senang hati.
Melihat Keysha menangis dipelukkan temannya membuat hati Dipta ikut menangis.
Beruntung Keysha memiliki teman-teman yang baik. Dipta pun mulai memperhatikan teman-temannya Keysha satu per satu.
Setelah selesai mengedarkan pandangan. Kini pandangan Dipta tertuju kembali pada perempuan yang memeluk Keysha sedari tadi.
Sadar sedang diperhatikan, perempuan itu pun melempar senyum pada Dipta.
Dipta pun kaget, ia tak menyangka perempuan itu sadar kalau sedang ia perhatikan.
Ia pun tersenyum. Ingatannya kembali ke beberapa tahun silam. Sepertinya ia kenal betul dengan gadis itu.
Tapi siapa namanya?
Dimana rumahnya?
Rasa-rasanya pernah ada rasa. Rasa bahagia masa kecil. Ia terus mengigat gadis berkerudung putih itu.
Gadis manis berkulit sawo matang. Berhidung mancung dan bermata bulat. Berbibir tipis dan mungil. Senyumnya dikit tapi manis sekali.
***
Sebulan sudah ayah Dipta pergi meninggalkan mereka. Pelan-pelan mereka pun bisa mengikhlaskan kepergian ayahnya yang secara tiba-tiba itu.
Ayahnya meninggal karena kecelakaan ketika sedang dalam perjalanan mengantar barang ke Jakarta.
Karena penyebab meninggalnya adalah kecelakaan kerja maka mereka mendapatkan santunan yang cukup besar dari perusahaan tempat ayahnya bekerja.
Uang santunannya mereka manfaatkan untuk membuka warung sembako dan melebarkan warung seblak milik ibunya yang sudah ada sebelumnya.
Teras rumahlah satu-satunya tempat yang bisa dijadikan warung sembako sekaligus warung seblak karena rumah mereka yang sederhana cenderung sempit.
Oleh karena itu, kini Dipta dan keluarga sudah tidak bisa lagi duduk-duduk bersantai di teras rumah karena terasnya sudah penuh terisi dengan barang dagangan ibunya.
Barang dagangan yang sudah dibeli meliputi dua jenis beras ukuran dua karung besar, minyak goreng ukuran satu liter sepuluh buah, telor satu peti, terigu satu karung besar, dan gula pasir satu karung besar.
Kemudian perlengkapan kamar mandi seperti sabun mandi, odol, sikat gigi, deterjen, pewangi pakaian dan sampo.
Lalu jajanan anak-anak seperti permen, chiki, coklat, biskuit, susu uht dan sosis siap makan.
Warung sembako ibunya diberi nama Warung Pak Iman. Itu adalah nama almarhum ayahnya.
Rencananya baru esok Dipta dan keluarganya membuka warung tersebut. Maka dari itu hari ini sedang sibuk-sibuknya mereka merapihkan warung.
Ketika Dipta sedang beres-beres warung, datanglah seorang tamu. Tamunya adalah seorang gadis manis yang sempat membuat Dipta mengingat kembali memori masa kecilnya.
Ia pun agak kaget dibuatnya!
"Assalamualaikum Aa."
"Waalaikumsalam. Eh temennya Keysha ya?" tanya Dipta.
"Iya. Keyshanya ada?"
"Ada tuh di dalam. Tunggu ya!" Dipta pun berteriak memanggil adiknya.
"Key ada temennya tuh!"
"Iya...," sahut Keysha dari arah dapur.
"Eh Shakila! Masuk La. Wah kamu bawa apa sih repot-repot," ujar Keysha sambil menggiring Shakila masuk.
"Enggak repot kok Key. Aku kesini mau kasih titipan Mamahku untuk Ibumu," ucap Shakila sambil membuka isi plastik hitam yang ia bawa.
Shakila? Shakila anak kecil yang dulu sering Dipta gangguin dan dibuat nangis? Anak kecil yang sering kejar-kejaran dengan dia?
Anak kecil yang rambutnya sering dikepang dua dan dia tarik-tarik rambutnya seolah mengendarai delman.
Anak kecil yang punya uang jajan lebih banyak daripada teman-teman seumurannya.
Anak kecil yang manja dan selalu bisa mendapatkan semua yang ia mau hanya dengan menangis di depan mamah dan papahnya.
Anak kecil yang periang, lucu dan imut tapi juga cengeng. Apa benar dia Shakila?
Kalau memang benar Dipta sungguh tidak mengenalinya. Shakila sudah jauh berbeda. Kini ia terlihat lebih dewasa dengan jilbab menutupi rambutnya. Tak terlihat lagi kuncir kepang seperti dulu.
Dipta tak menyangka Keysha masih berteman baik dengan Shakila. Ia memang tidak pernah tau dengan siapa adiknya itu bergaul.
Selama ini Keysha nggak pernah bawa teman ke rumah. Mungkin karena dulu ibu pernah mengingatkannya untuk tidak sering-sering membawa teman ke rumah. Alasan ibu sih karena katanya malu kalau tidak bisa menyuguhkan makanan-makanan enak.
Jadi selama ini Keysha yang lebih sering main ke rumah temannya.
Tanpa sepengetahuan Dipta sebenarnya Keysha dan Shakila sudah berteman sejak masih sekolah TK. Bahkan sekolah SD, SMP, dan SMA-nya pun sama.
Mendengar ada tamu, ibu pun keluar ikut menemui Shakila.
"Mamah kamu memangnya kapan kesini La?" tanya Ibunya Keysha sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Shakila.
Shakila pun mencium tangannya dengan sopan.
"Kemarin Bu tapi pagi tadi sudah kembali lagi ke Jakarta. Kata Mamah maaf Bu tak bisa mampir jadi titip ini saja ke Shakila."
"Aduh. Terima kasih ya La. Salam untuk Mamahmu."
"Iya Bu nanti saya sampaikan salamnya," ucap Shakila sambil tersenyum.
"Shakila mau minum apa?" tanya ibunya Keysha.
"Nggak usah repot-repot Bu." Tolaknya halus.
"Nggak repot kok! Ya sudah Ibu buatin teh manis dulu ya." Ibu pun beranjak ke dapur meninggalkan Shakila dan Keysha.
Nggak lama Shakila dan Keysha pun mulai asik berbincang menceritakan apapun seperti biasa mereka lakukan kalau ketemu satu sama lain.
Ibu pun keluar membawa secangkir teh manis untuk Shakila.
"Diminum La tehnya."
"Iya Bu terima kasih. Ngomong-ngomong Lusiana mana ya Bu?" tanya Shakila basa-basi.
"Baru mandi tuh La di kamar mandi." Jawab Ibunya.
"Ya sudah Ibu ke dapur dulu ya mau menyelesaikan masak." Pamit Ibunya Keysha.
"Iya Bu silahkan."
Dipta pun masuk ke dalam rumah dan melirik sekilas ke arah Shakila yang sedang asik ngobrol bareng Keysha.
Dan lagi-lagi lirikan Dipta kepergok Shakila. Gadis itupun tersenyum dengan manisnya.
'Haduh kepergok lagi dah!' Ucap Dipta dalam hati.
Dipta pun berlalu dengan sedikit canggung. Ia pergi ke dapur dan mengambil tempe goreng yang baru saja ibu masak.
Setelah itu ia kembali ke ruang TV dan duduk di karpet sambil menyalakan TV yang tadi masih dalam keadaan off.
Ruang TV dan ruang tamu tidak terpisah hanya dibatasi dengan kursi tamu saja. Karena rumah Dipta memang sederhana.
Jadi Shakila dan Dipta masih bisa saling melihat satu sama lain.
Meskipun Dipta membelakangi mereka tapi pandangan Shakila selalu tertuju ke punggung Dipta.
Begitupun Dipta, meskipun matanya tertuju pada TV tapi telinganya terus mendengar dan memperhatikan obrolan antara Shakila dan Keysha.
Sepertinya Dipta mulai penasaran dengan gadis manis ini.
Tak lama ibunya dan Lusiana keluar dari dapur membawa sebakul nasi, semangkok sayur asem, sepiring tempe goreng, semangkok kecil sambal, dan sepiring telur dadar yang sudah dibagi menjadi lima bagian.
"La, makan bareng yuk! Tapi ya gitu menunya cuma segini aja nggak ada ayam goreng atau ikan goreng." Ajak ibunya Keysha.
"Nggak Bu terima kasih. Saya belum lapar." Tolak Shakila dengan halus.
"Yah La, makan yuk. Aku kan laper. Masa aku makan tapi tamunya nggak makan." Ajak Keysha.
"Iya deh," sahut Shakila mengiyakan ajakan Keysha.
Mereka pun langsung duduk melingkar di karpet depan TV yang ditengahnya sudah tersedia menu masakan ibu.
Posisi Dipta bersebrangan dengan Shakila. Entah kenapa kali ini Dipta yang salah tingkah. Dia merasa mata bulat si gadis manis itu tengah menatapnya. Sampai-sampai Dipta tak berani menatapnya balik.
Shakila memang gadis manis tapi ia sepertinya tidak lugu apalagi pemalu. Dia cukup berani menatap seorang laki-laki yang sedang berada dihadapannya.
Sebaliknya dengan Dipta. Justru ia yang lebih sering menunduk atau melihat ke arah lain. Karena tatapan mata gadis itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya kikuk.
Seperti apa sebenarnya gadis manis itu?
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!