Kelabu
Terik. Kalau boleh aku ingin pingsan saja meski hanya pura-pura. Dengan begitu aku bisa melewati upacara ini dan berbaring di UKS. Paskibra baru saja menyelesaikan tugasnya. Upacara memang baru setengah jalan. Bagian paling lama dan membosankan belum terlaksana. Iya, pidato pembina upacara. Puh, membayangkannya aku langsung menguap.
"Waduh! Pagi-pagi, kok, sudah loyo!" bisik Yasinta yang berbaris di sebelahku.
"Cih, ini gara-gara kamu," bisikku juga sambil menyeka mataku yang basah, "kamu gila, Yas!"
Yasinta menahan tawa. Bahagialah dia melihat penderitaanku.
"Maaf, Ra. Aku memang sudah janji, tapi semalam di rumahku ada pemadaman listrik bergilir. Aku tidak bisa mengerjakan tugasmu seperti yang sudah kujanjikan," jawabnya.
"Nah, bagus! Lantas anggota kelompok yang lain juga sulit dihubungi dan akhirnya aku semalam membuat laporan untuk kelompok kita, sekaligus meresensi novel untuk lomba mewakili kelas. Oh, lupakan PR matematikaku, mana mungkin aku sempat menyentuhnya, bagus sekali!"
"Maaf, Ra."
"Bayangkan saja pukul sembilan aku baru selesai membaca novelnya. Kalau tahu begini aku tak mau membuat resensi mewakili kelas kita."
"Kalau tahu begitu tidak perlu terlalu serius membuat resensinya, asal-asalan saja yang penting ada."
"Maaf, aku sudah maraton membaca novel itu nyaris dua belas jam dan aku tidak mau mengerjakannya setengah-setengah."
"Ya sudah, dong! Maumu apa?"
Tongkat rotan teracung di hadapanku dan Yasinta. Wajah garang Pak Hasibuan memberi peringatan. Yasinta menunduk, menelan ludah. Aku hanya diam. Setelah memastikan kami tertib, Pak Hasibuan kembali menyisir barisan-barisan siswa sekaligus memeriksa kelengkapan atribut seragam mereka. Syukurlah tadi beliau tidak memeriksa kaos kakiku.
Upacara berlangsung sebagaimana mestinya. Terik matahari, kantuk, kaki yang pegal berdiri benar-benar kombinasi sempurna untuk memicu pingsan. Di pengujung upacara, ketika harusnya barisan dibubarkan, justru ada pengumuman tambahan. Ah, ya sudahlah aku pingsan saja, aku tak tahan lagi!
"Pengumuman! Dalam rangka bulan bahasa dan peningkatan kegiatan literasi, sekolah telah mengadakan lomba membaca dan meresensi novel. Berikut adalah pemenang dengan karya resensi terbaik."
Demi mendengar informasi itu aku kembali berdiri antusias. Petugas PMR yang datang hendak menolongku balik kanan dengan bersungut-sungut. Tidak jadi, aku tidak jadi pingsan. Teman-teman di barisan kelasku tampak berharap, sisanya pesimis, sebagian kecil bahkan tidak tahu jika aku sudah menyelesaikan resensinya. Luar biasa!
Juara tiga telah diumumkan. Juara dua ternyata kelas sebelah.
"Yah, kalau juara tiga atau dua saja tidak dapat apalagi juara satu," kata salah satu temanku.
"Juara satu, resensi novel berjudul Rembulan karya Darwin, dimenangkan oleh kelas sebelas MIPA satu, selamat untuk Shira Amanda!"
Sorak euforia seketika pecah dari barisan kelasku. Aku menutup mulut tak percaya. Teman-teman merangkulku gemas atas kemenangan kecil ini.
"Wah, tidak kusangka ternyata kamu bisa selesai baca novel setebal itu kurang dari dua puluh empat jam!"
"Iya, padahal tugas yang lain juga banyak! Biarpun asal-asalan tapi bisa menang. Kaget banget, deh!"
Aku hanya tersenyum. Haha, asal-asalan katanya! Memangnya aku terlihat semalas itukah hingga mereka tidak percaya aku mengerjakannya dengan sungguh-sungguh? Mirisnya kudengar bisik-bisik iri dari kelas sebelah.
"Hm, salinanya yang dari internet pasti bagus."
Tapi ya sudahlah, mana peduli! Teman-temanku saja tidak percaya jika aku mengerjakannya sendiri apalagi orang lain. Kuabaikan begitu saja. Lagi pula, mengingat info lomba ini yang baru disampaikan kemarin pasti membuat mereka berpikir bahwa aku curang. Terlebih aku belum pernah membaca buku yang harus diresensi. Sekali lagi kutegaskan, aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan! Aku telah memetik hasil dari usahaku. Bingkisan kecil bertuliskan juara satu berpindah ke tanganku. Tanpa mengintip aku sudah tahu kalau isinya buku, tapi entah buku apa.
Upacara selesai. Kami kembali ke kelas masing-masing. Coba tebak siapa yang paling antusias dengan hadiahnya? Tentu saja bukan aku. Bingkisan itu telah diperebutkan seisi kelas.
"Ayo cepat, unboxing! Unboxing!"
"Ini bingkisan, harusnya unwrapping!"
"Ya sudah, cepat unwashing!"
"Unwrapping, *****!"
Akhirnya mereka sibuk berdebat dan melupakan bingkisannya. Bingkisan itu kubuka. Benar, isinya buku, tiga buku, tetapi aku tidak mengira kalau ternyata salah satunya adalah ... novel terbaru karya penulis favoritku yang sekarang sedang best seller itu! Ya ampun! Tidak terbayang betapa tingginya aku melompat karena kegirangan!
"Yah, kukira uang setumpuk," kata Yasinta.
"Haha, mimpi!" timpalku. Asal dia tahu ya! Ini lebih berharga dari tumpukan uang!
"Mohon perhatiannya, teman-teman!" seru Elang, ketua kelas kami.
"Cieee butuh perhatian," ledek Sindi.
"Ini serius, Sin," jawab Elang datar. Sindi menggerutu.
"Imbauan dari Bu Listiyah, sudut baca kelas juga akan dilombakan mulai minggu ini. Penilaian meliputi desain, kreativitas, dan koleksi buku. Untuk itu, tim yang ditugaskan menangani sudut baca segera ditindaklanjuti," ujar Elang, "tim sudut baca, apa ada laporan?"
"Ya," sahut Fina, "nanti sepulang sekolah kita akan mengambil rak buku yang dipesan di mebel keluarga Dila, kemungkinan besok pagi segera dipasang."
"Oh, mebelnya Dila? Kasih diskon harga teman ya, Dil?" kata Arnita, bendahara kelas. Dila tersenyum kecut. Sungkan mau bilang tidak, berat mau bilang iya.
"Dan untuk koleksi buku, masing-masing anak membawa satu buku bacaan. Sementara hanya itu imbauan untuk sudut baca. Mohon tim kelengkapan kelas yang lain dilanjutkan kinerjanya, harus ada laporan setiap diskusi," tambah Elang.
"Siaap!"
Diskusi berakhir. Oh iya, timku yang mengurus kerindangan apa kabar ya? Dari dulu mau mencari tanaman kecil-kecil untuk dipajang di depan kelas rasanya masih wacana saja.
"Shir."
"Oi?" aku tersadar dari lamunanku.
"Bukumu untuk sementara diletakkan di sudut baca dulu ya? Nanti kalau stok bacaan memenuhi boleh kamu bawa," kata Elang.
"Oke, yang dua ini memang niatnya kuhibahkan untuk kelas, yang satunya kubawa dulu, mau kubaca di rumah," jawabku. Dia mengangguk.
"Terima kasih atas kerja kerasnya, ketika yang lain tidak mau diberi tanggung jawab ini karena masih banyak tugas, kamu bersedia menerimanya bahkan meski belum pernah membaca buku yang harus kamu resensi."
Refleks aku hormat kepada Elang. Orang yang menghargai patut dihargai.
"Santai saja, membaca dan menulis itu hobiku, itu cuma main-main," jawabku.
"Tenang saja, untuk laporan fisika kelompok kita yang harusnya dikerjakan Yasinta dan kamu sudah aku tangani," kata Elang sambil sibuk mengaduk-aduk isi mapnya. Apa katanya tadi?
"Ini lembar ketiga yang harusnya dikerjakan kamu, tapi karena kamu sudah bikin resensi untuk kelas, jadi diambil alih Yasinta, tapi kamu tahu kan kalau Yasinta tidak sempat mengerjakannya? Maka dari itu aku yang membereskannya," kata Elang menyerahkan lembaran laporan tulis itu.
Ahaha! Mendadak aku ingin mengunyah laporan ini!
"Wah, jadi sudah kamu kerjakan ya, Lang? Kenapa tidak bilang dari semalam, ya ampuun???"
"Memangnya harus bilang-bilang ya?" tanyanya polos. Aku menunjukkan jemariku yang kapalan di hadapannya.
"Nih, jadi keriting jariku nulis segini banyaknya!"
"Lho? Ternyata kamu juga bikin?!"
"Ya iyalah, setelah Yasinta kasih kabar kalau laporannya tidak bisa selesai dan kamu susah dihubungi mana mungkin aku bisa tidur!"
"Aku susah dihubungi ya karena bikin laporan ini, tahu! Makanya tidak usah sok kuat semuanya dikerjakan sendiri!"
Lho? He? Hilang sudah sosok Elang yang kuhormati, sekarang mengomel cerewet tanpa mau dibantah.
"Ya aku tidak mau mengambil risiko lah!"
"Ya sudah, bilang makasih atau apa gitu kan sudah aku bantu!"
Nah, cekcok ini terus berlanjut, memperebutkan tulisan milik siapa yang sebaiknya dikumpulkan.
****
Pagi-pagi sekali, entah kerasukan apa, aku sudah tiba di sekolah. Kiranya belum ada yang datang, ternyata aku berpapasan dengan Fina dan Nabilah di tangga. Oh, iya, tim sudut baca.
"Mau beli pernak-pernik untuk hiasan sudut baca," jawab Fina ketika kutanya. Aku hanya mengangguk-angguk sambil lalu. Heh? Memangnya toko pernak-pernik sudah buka jam segini? Entahlah.
Ternyata di kelas sudah ada Rifani dan Tria yang sedang diomeli Elang. Ah, mereka berdua! Anak buahku! Tim kerindangan yang selalu lupa bawa tanaman. Iya, sih, Elang memang ketua yang tegas tapi kan kasihan kalau pagi-pagi begini sudah diomeli.
"Iya, Lang, kita mau ambil tanamannya di rumah Rifani sekarang, kok!" jawab Tria. Rifani hanya mengangguk.
"Aku ikut!" seruku dari depan pintu.
"Ngapain rame-rame cuma buat ambil satu pot? Dua orang saja sudah cukup!" kata Elang menatapku tajam, "kamu bantu aku pasang rak saja!" perintahnya. Aku menelan ludah. Rifani yang lewat di sebelahku berbisik, "sensi banget, Ra!"
"Lagi PMS mungkin, Fan," jawabku. Tria terkekeh pelan. Elang mengawasi kami. Mereka berdua buru-buru pergi. Jadilah suasana canggung membungkus atmosfer ketika keduanya meninggalkan kelas. Aku menatap sepasang rak kayu berbentuk segi enam sama sisi setinggi lutut yang masih di lantai.
"Apanya yang harus dibantu, sih? Kalau cuma memasang rak begini, kamu sendirian saja kan bisa?" dalihku. Tatapan mata Elang yang sungguh tidak enak mengarah padaku. Paku yang hendak ia tancapkan di dinding jatuh hanya demi memelototiku demikian.
"Tuh, ambilkan! Aku sudah naik-naik meja begini malas mau turun!"
"Lah? ngapain tinggi-tinggi banget pasangnya? Kamu memang suka nyusahin kita-kita yang badannya pendek ya?!" omelku balik.
"Tinggimu berapa, sih? Masa segini saja enggak nyampe?"
WAH! NGAJAK BERANTEM!
"Eh, paku ini enaknya ditusuk ke kamu ya?! Sini, Lang! Saya emosi!"
"Gitu aja, kok, emosi! Lagi PMS ya?"
AZWZWZW TERSERAH, LANG! TERSERAAH!
"Sebentar, Shir, kamu paskan dulu posisi raknya, biar aku lihat dari jauh, kira-kira miring atau tidak," kata Elang. Aku hanya menurut, enggan berdebat lebih jauh. Rak segi enam ini ternyata lebih ringan dari kelihatannya, tetapi lumayan jika dilemparkan kepada Elang jika dia mulai cerewet lagi.
"Atas, ke atas!" serunya, "bukan yang kiri, yang kanan agak ke atas!"
"Ya bilang, dong! Kasih perintah yang jelas!" gerutuku. Dia nyengir.
"Sudah, cukup!" ujarnya kemudian kembali mulai memalu paku sesuai posisi terbaik. Aku mengamati desain rak ini.
"Kenapa harus bentuk segi enam?" tanyaku.
"Entahlah, tim sudut baca menggunakan tema honeycomb sesuai warna tembok kelas kita," jawab Elang masih serius memalu. Suara dentum palu menimpa paku menggema ke seisi ruangan.
"Honeycomb kan ada banyak segi enam, kenapa ini cuma ada dua?" tanyaku lagi. Elang memutar bola mata sebal.
"Kamu pikir beli yang seperti ini murah? Memangnya kamu bayar uang kas berapa ratus ribu per minggu?" sindirnya. Aku nyengir sebagai jawaban. Bahkan aku sudah menunggak uang kas seebulan terakhir.
Fina dan Nabilah akhirnya datang. Sekantong kecil ornamen bunga-bunga plastik telah dibeli.
"Ini kuitansinya, Lang. Kuitansi rak sudah kuberikan pada Arnita," kata Fina.
"Hn," jawab Elang singkat, masih sibuk dengan pekerjaannya.
Tak lama kemudian satu per satu teman-teman datang, turut mengomentari sudut baca baru kami. Yasinta mendengung, demi berperan menjadi lebah dalam kelas bertema honeycomb ini.
****
Dua menit sebelum bel pulang, aku segera berkemas. Yasinta dan yang lain mulai meninggalkan bangku masing-masing.
Tumben, biasanya anak sebelas MIPA satu yang patuh -tidak pulang sebelum bel benar-benar berbunyi- sekarang tidak demikian. Terutama Yasinta, langsung pergi begitu saja tanpa menemaniku. Baiklah, semuanya sedang buru-buru.
Sebagai yang terakhir meninggalkan kelas, aku bertanggung jawab mematikan seluruh alat elektronik -kipas angin, LCD proyektor, dan sound system yang tadi dipakai pada jam terakhir. Kalau tidak begitu, si ketua cerewet pasti akan mengomel panjang lebar
Aku pun keluar kemudian tercengang, demi mendapati suasana luar kelas yang ... yang ... Ini di mana? Pikirku.
Tidak ada teras lantai dua berbatas terali besi hitam. Tidak ada pemandangan pucuk-pucuk pohon tanjung. Gedung seberang yang harusnya serupa dengan gedung tempatku berdiri terlihat ... kumuh? Terlihat tua dan tak terawat, bahkan aku tak mengenali bahwa itu bagian dari gedung sekolahku. Yang benar saja!
Aku ada di mana???
.Bersambung.
Halo, kenalin ini Shira ;
Dan ini Elang ^^
Nah, ilustrasi seadanya banget :'v yang penting buatan sendiri. Video pembuatan ilustrasinya segera diunggah di akun instagram @ngglendhemi_i jadi sekalian mampir boleh follow:) nanti dm aja pasti kufollback. Kalau ada kritik/saran terkait cerita maupun ilustrasinya feel free sampaikan aja ke author ya. Makasih udah mampir di episode pertama ^^ selamat membaca!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Park Kyung Na
mampir
2023-06-10
0
ariasa sinta
155
yg baca jngn lupa jempolnya, jumlah like cuma separoh dr jmlh fav
2022-04-24
0
atmaranii
crtanya mnarik..bhasa n pnulisan rapi...smngatt
2021-10-06
0