Aku terkejut untuk kedua kalinya. Gedung tempatku berdiri juga telah berubah, entah sejak kapan. Lantai tempatku berpijak bukan lantai berubin putih, melainkan seperti kayu, atau batu semen? Entahlah, terlihat rapuh dan banyak berlubang. Terpaku tak mengerti menatap semua keanehan ini, aku tidak tahu harus pergi ke mana.
Kelas? Kelas pun berubah menjadi bangunan yang sama jeleknya dengan yang di seberang sana, padahal belum lima menit yang lalu baru kututup pintunya. Kelasku yang sekarang bahkan tidak berpintu, sebab sepotong kayu rapuh yang tersandar ini tak layak disebut pintu. Mengerikan, semua yang kulihat begitu abu-abu.
Ragu-ragu aku melangkah ke arah tangga, tak ingin berlama-lama di sini. Lagi-lagi aku terkesiap, tak lagi melihat tangga berubin, melainkan kayu rapuh berwarna abu-abu yang sama sekali tidak aman untuk dipijak.
Belum habis rasa heranku, langit kelabu yang tadi penuh kabut tiba-tiba berganti menjadi semakin pekat, gelap. Benda aneh seperti kristal tampak seperti bulan purnama melayang rendah di tengah lapangan. Posisiku di lantai dua membuat bulan itu sejajar lurus dengan pandanganku. Harusnya indah melihat bulan sedekat ini, tetapi cahaya yang dipancarkannya membuat romaku meremang.
Sayangnya, aku tak punya banyak waktu memahami bulan purnama itu. Suara raungan mirip binatang buas terdengar dari bawah sana. Aku bersiaga meski tak punya banyak ide, membayangkan kucing raksasa atau beruang madu mengamuk di bawah sana. Namun, bayanganku tentang tempat ini selalu salah. Sepotong balok kayu besar menghantam bagian bawah tangga, membuatnya hancur hampir separuh bagian. Aku menelan ludah demi melihat pelaku perusakan itu.
Bukan binatang liar, melainkan sesosok makhluk menyerupai manusia — seperti karakter The Things dari film Fantastic Four— tetapi jauh dari kata keren, mengaum garang di bawah sana. Kulitnya coklat dengan bentol-bentol kelabu, seperti kulit tokek, tetapi terlihat liat dan tebal. Tidak jelas seperti apa wajahnya, pastinya berperawakan pendek dengan lengan-lengan gempal menjijikkan.
Masih dengan napas memburu, monster aneh itu mengangkat potongan kayu besar yang tadi menghancurkan tangga. Kali ini perhatiannya teralih kepadaku, lagi-lagi meraung marah. Aku jadi gentar dan berbalik arah, berlari sepanjang koridor lantai dua.
Monster itu menyusul, entah bagaimana caranya naik ke sini dengan tangga rapuh yang bagian bawahnya juga sudah hancur itu. Aku mana mungkin memikirkannya sebab kondisiku terjepit di ujung koridor. Gedung ini tidak terhubung dengan gedung selanjutnya. Dalam kondisi gedung yang normal pun aku tidak mau melompat ke lantai dua gedung sebelah apalagi setelah kondisi berubah begini. Tidak, aku sayang nyawaku.
Monster pemarah itu tak jauh di belakangku. Langkahnya panjang meski kaki-kakinya pendek. Lantai kayu abu-abu yang kupijak bergetar karenanya. Balok kayu besar di tangannya nyaris dihantamkan mengenaiku jika aku tidak segera masuk ke kelas sebelas MIPA empat.
Sekali lagi kuingatkan, ini sama sekali bukan bangunan atau kelas MIPA empat yang kukenal. Ruangan ini bahkan tidak beratap pun tanpa pintu. Sepotong papan kayu besar yang tampak rapuh kugunakan untuk menutup pintu. Kayu itu bergetar, monster di luar pasti berusaha mendobraknya. Aku pun bersandar di potongan pintu demi mempertahankan ruangan ini tertutup.
Kuhela napas panjang dengan jantung berdegup kencang. Peristiwa aneh apa ini? Tak punya ide berada di mana dan mendadak dikejar monster aneh membuatku luar biasa bingung. Padahal lima belas menit yang lalu aku masih belajar di kelas dengan tenang. Bagaimana bisa kelas sebelas MIPA empat yang identik dengan kelasku —bercat oranye muda, berlantai ubin putih, jendela menghadap arah matahari terbenam, dan memiliki atap— tiba-tiba hanya bilik kayu rapuh yang keropos di sana-sini? Bagian atas yang tak beratap memperlihatkan langit merah siang hari padahal di luar sana sedang malam. Seolah bilik bobrok ini memiliki sistem waktu sendiri.
Entakan kuat nyaris merobohkan pintu yang kusangga ini. Aku bersandar lebih kuat, menahan arah pukulan monster itu.
"Jangan menekannya terlalu kuat!"
Aku terkejut demi melihat anak ini tiba-tiba muncul. Karenanya sandaranku melemah. Tangan monster tadi berhasil menggapai-gapai ke dalam bahkan hampir menerobos masuk jika anak ini terlambat menahan pintunya.
"Jangan menekannya terlalu kuat," ulang anak itu lagi, "kayu ini keropos, aku khawatir akan remuk, kita jadi tidak bisa sembunyi lagi."
"Tapi monster itu kuat sekali! Apa tidak ada penahan yang lebih kokoh?" tanyaku. Dia menggeleng. Jika aku jadi anak itu, aku tidak akan bersembunyi di tempat ini.
"Bagaimana kalau kayu ini remuk diterjang monster tadi?"
"Itu tidak akan terjadi," jawab anak laki-laki itu begitu yakin. Kurasa dia tidak tahu bagaimana monster ini menghancurkan tangga.
"Ingat satu hal, jika kau bertemu makhluk itu, segera sembunyi dalam ruangan, tutup pintunya dan tahan, jangan terlalu kuat, yang penting tertutup, dia tak mungkin bisa masuk," ujarnya lagi.
Ia masih menyandar di pintu, menahannya agar tetap tertutup. Kulit putih pucatnya begitu kontras dengan kayu yang disandari. Rambut peraknya mengagumkan. Seandainya ada live action film The Rise Of The Guardian, maka anak ini layak memerankan Jack Frost.
"Apa yang kamu tahu tentang makhluk itu? Oh iya, ini di mana? Kamu datang dari mana?" tanyaku bertubi-tubi. Dia hanya terkekeh pelan.
"Kujawab pertanyaanmu dari belakang ya," ujarnya santai sama sekali tidak terlihat tegang meski monster mengerikan di balik kayu itu mendobrak tiada henti, "pertama, aku tidak datang dari mana-mana karena aku memang tinggal di bilik ini. Kedua, ini adalah sisi lain dari sekolahmu. Ketiga, makhluk di luar itu memang sudah lama berkeliaran di sini, mengamuk liar, merusak banyak hal."
"Apa dia memakan manusia?" tanyaku bodoh. Sudah jelas makhluk itu buas dan perusak. Mana mungkin dia tidak memakan manusia.
"Kurasa tidak, mungkin dia hanya akan menjadikanmu monster mengerikan sama sepertinya jika sampai tertangkap," ujarnya lagi. Aku menelan ludah, tak bisa membayangkan apa yang makhluk itu lakukan untuk mengubahku menjadi monster. Apa seperti drakula yang menggigit korbannya? Entahlah, aku tidak punya ide.
"Tadi kamu bilang ini adalah sisi lain dari sekolahku?"
"Ya, semacam dunia paralel atau apalah itu, aku juga sedang mencari tahu sejak ratusan tahun lalu, tetapi catatan besarku hilang."
"Ratusan tahun?"
"Ya, tidak banyak yang kuketahui tentang tempat ini bahkan hingga berabad-abad."
"Berarti kamu bukan lahir di sini?"
Raut wajahnya berubah sendu. Masih dengan posisinya yang menahan pintu, tatapan matanya jatuh ke lantai penuh lubang.
"Aku ... juga bahkan tidak mengetahui hal itu," jawabnya lirih, "ada banyak kabut kelabu menghalangi gambaran tentang masa laluku, tetapi aku tahu bahwa di luar sana ada dunia paralel, dunia yang sepertinya di sanalah aku lahir sebelum terjebak selamanya di sini."
Selamanya? Aku merinding mendengarnya.
"Lalu bagaimana denganku? Apa aku bisa pulang?" Lagi-lagi aku menanyakan hal bodoh. Bagaimana mungkin dia tahu jawabannya jika bahkan dirinya sudah terjebak di sini ratusan tahun tanpa bisa keluar. Anak itu diam tidak menjawab. Topik tentang ingatannya yang hilang membuat suasana hatinya memburuk. Dia menjadi sangat pendiam dan begitu murung.
Suasana di luar sedikit lebih tenang. Aku mengintip dari celah kayu memastikan monster itu telah pergi. Namun yang kulihat justru sangat mengerikan. Monster itu tampak menggeram kesakitan. Terlihat jelas bagaimana kulit kepala monster itu meleleh dan mengelupas, memperlihatkan lendir-lendir di baliknya. Aku mual melihatnya, ada dorongan untuk berteriak dalam diriku.
Tak bisa kutahan, aku berteriak histeris melihatnya, mengerang seperti orang kerasukan. Tubuhku mati rasa dan tak dapat kukendalikan. Kesadaranku kembali ketika anak itu memijat telapak kakiku, ada kehangatan mengalir dari sana, membuat kesadaranku kembali meski tubuhku masih mengejang sulit dikendalikan.
"Pintu ... pintunya ...." ujarku terbata melihat papan kayu yang tadi disangganya telah roboh.
"Tidak apa-apa, makhluk itu telah pergi," jawabnya masih mengalirkan sensasi hangat yang terus menjalar ke seluruh tubuhku. Aku merasa lebih tenang, tergeletak lemas menatap langit yang kini bersemburat ungu. Aku masih khawatir dengan pintunya yang terbuka.
"Tenanglah, dia tidak akan kembali," jawabnya seolah dapat membaca pikiranku. Aku memaksa duduk dengan dibantunya. Sesekali anak itu menatap langit yang mulai berubah juga.
"Boleh aku tahu namamu? Namaku Sakti," katanya.
"Shira, namaku Shira. Maaf aku tidak memperkenalkan diri dari tadi. Aku sangat panik."
"Tidak apa-apa, tidak ada orang yang bisa santai ketika tersesat di dunia antah berantah dengan monster mengerikan itu."
"Terima kasih sudah banyak membantu."
"Sama-sama, maaf kita tidak bisa bicara lebih lama, kamu harus pergi dari sini."
"Aku? Pergi ke mana?"
"Ke mana saja, menjauhlah dari bilik ini."
"Tidak mau! Monster itu akan mengejarku lagi!"
"Tidak akan, di luar sedang siang hari, dia tidak akan berkeliaran, justru di bilik inilah yang berbahaya, lihatlah di sini mulai gelap," ujarnya sekali lagi memandang langit yang kini berwarna ungu pekat.
"Kalau begitu kita keluar bersama," jawabku.
"Tidak bisa, Shira!"
"Bisa! Kenapa tidak? Aku tidak mau pergi ke luar jika tidak bersamamu!"
"Cepat pergi, Shira! Atau kau akan terjebak di sini selamanya!" perintah Sakti tegas. Aku menggeleng.
"Lalu bagaimana denganmu?!" bantahku masih keras kepala sementara ruangan ini telah menjadi malam.
Gelagat Sakti mulai aneh, sesekali dia mendengus tidak jelas. Geraman rendah dapat kudengar darinya. Ada banyak urat abu-abu muncul di kulitnya. Geramannya semakin keras. Aku melangkah mundur.
"Cepat pergi, Shiraaa! Aaarrggghh!!!"
Dalam hitungan detik, sosok Sakti telah berubah menjadi monster seperti yang tadi mengejarku.
"Graaaaaa!!!"
"Aaaaahhh!"
Tanpa diperintah lagi aku segera berlari ke luar. Bau busuk telah tercium sejak Sakti berubah menjadi monster. Gila! Apa maksudnya ini semua!
Monster Sakti tidak berjalan tegak seperti monster sebelumnya, tetapi mirip seperti kera yang berjalan agak membungkuk. Gerakannya lambat, tertinggal jauh di belakangku, tetapi bau busuk ini merambat begitu cepat. Aku semakin mual, memuntahkan apa saja isi perutku.
Rasa mual yang tidak biasa, seolah nyawaku juga bisa keluar bersama muntahanku. Monster Sakti kembali masuk ke dalam bilik, tetapi baunya tak kunjung lenyap. Aku tak tahan lagi. Akhirnya kabut abu-abu kembali membungkus pandanganku. Aku pingsan, sepertinya begitu.
Namun, aku tidak ingin menyerah. Kupaksakan sisa kesadaranku untuk merangkak menjauh. Tiba-tiba lantai tempatku berpijak seperti lenyap. Aku menggapai ruang kosong. Pandanganku masih kelabu.
Tanganku tak berhenti menggapai-gapai ke arah mana pun, mencari batas ruang kelabu tak bertepi ini. Sesaat kemudian aku merasakan gravitasi, sensasi jatuh, tetapi tubuhku seperti tertarik ke atas. Aku tidak paham bagaimana menjelaskannya.
Intinya ketika kabut kelabu itu mulai memudar yang kulihat pertama kali adalah ... langit-langit kamarku.
Haah! Gila!
.Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Park Kyung Na
masih nyimak
2023-07-07
0
ariasa sinta
123
2022-04-24
0
空白`Mikaeru.
<33
2021-08-28
0