Pagi ini aku bangun dengan perasaan yang sangat baik. Tidak ada mimpi menyeramkan seperti malam sebelumnya. Mungkin Yasinta benar, aku terlalu banyak berimajinasi. Selain itu, tidak ada siapa pun yang memancing suasana buruk. PR pun sudah kuselesaikan. Benar-benar menyenangkan.
Hanya satu yang masih kupikirkan. Ke mana hilangnya novelku? Aku sudah mencarinya di rumah, tetapi tetap tidak ada. Aku juga terlanjur memamerkannya kepada Nike, teman lamaku di kelas sebelah, dan berjanji akan meminjamkannya. Sekarang novel itu entah ada di mana.
Di samping hilangnya novel baruku, buku kuno itu juga tak kalah membingungkan. Tiba-tiba muncul di tasku ketika novelku menghilang. Mungkinkah novelku berubah menjadi buku kuno itu? Sekali lagi aku ingin membahasnya, tetapi Yasinta pasti tidak mau mendengarkanku. Karena tidak tertarik, buku kuno itu kutinggalkan di kelas. Buat apa? Aku bahkan tidak bisa membacanya. Entahlah, apa yang sebenarnya tertulis di sana?
Demi memuaskan rasa penasaranku, aku mengambil buku itu di sudut baca. Membuka satu per satu halamannya.
"Kemarin tertinggal di lacimu, Ra," kata Yasinta. Aku hanya mengangguk, berlipat dahi berusaha memahami buku ini. Ponselku kuaktifkan untuk mengakses situs-situs informasi, tetapi aku sama sekali tidak menemukan ide tentang buku ini.
"Aku benar-benar tidak paham," gumamku pelan.
"Apanya?" tanya Yasinta.
"Aksara yang digunakan buku ini, Yas, aku sedang mencari tahu," jawabku.
"Aksara?" tanya Yasinta melongok ikut melihat lembar demi lembar halaman buku, "apa kamu yakin? Tidak ada satu coretan pun di sini, Ra. Aku tidak mengerti maksudmu."
"Apa?!"
"Buku ini kosong."
Aku terkekeh pelan, "Aku sedang serius, Yas," ujarku kemudian beranjak dari bangku. Yasinta membalas dengan ekspresi penuh tanda tanya. Tentang masalah ini, aku tahu siapa yang bisa diandalkan.
Aku menghampiri Yuanda. Dia sangat menyukai pelajaran bahasa, bahasa apa pun itu. Tidak sekali dua kali dia memenangkan lomba debat, terutama debat bahasa inggris. Aku pernah dengar kalau dia telah menguasai enam bahasa asing. Kutunjukkan buku kuno itu padanya. Dia hanya mebolak-balikkan halaman per halaman.
"Maksudmu tulisan yang mana, Ra?" tanyanya, "buku ini kosong."
Aku tercekat. Kukira Yasinta hanya bercanda. Mana mungkin bisa begini? Jelas-jelas setiap halaman dipenuhi tulisan! Aku mengusap wajah, tidak percaya akan hal ini. Kutanyakan pada beberapa teman yang lain. Mereka mengatakan hal yang sama, buku ini kosong. Aku merasa seperti orang bodoh.
Menghela napas sejenak, masih tidak memahami kejanggalan ini, tetapi bagaimanapun aku harus tahu apa yang tertulis dalam buku ini. Beberapa baris kalimat telah kusalin. Kupastikan bentuk tiap aksaranya benar-benar sama, kemudian sekali lagi kuhampiri Yuanda.
"Kalau ini bagaimana menurutmu? Apa kamu mengenali bahasa ini?" tanyaku menunjukkan salinannya. Yuanda mengamatinya sejenak untuk kemudian menggeleng.
"Aku tidak tahu, Ra," jawab Yuanda.
"Benarkah? Coba kau teliti lagi, aku telah membandingkannya dengan aksara yang dipakai di Rusia, sepertinya mirip," dalihku.
"Maksudmu Aksara Kiril?"
"Um, iya..." jawabku ragu-ragu.
"Tidak sama, Ra, Aksara Kiril tidak seperti ini. Aku hanya tahu sedikit hal tentangnya. Maaf, aku tidak bisa membantumu," jawabnya.
"Oh, baiklah, terima kasih."
"Apa kamu baik-baik saja? Sepertinya ini penting sekali."
"Tidak, kok, aku tidak apa-apa. Aku hanya penasaran saja," jawabku setengah berbohong. Tentu saja ini tidak penting dan hanya membuatku penasaran, tetapi aku tidak akan baik-baik saja ketika penasaran.
Tanpa sengaja aku dan Elang bertemu pandang. Tatapan anak itu masih saja tajam seperti biasanya, tetapi aku harus bersyukur sebab dia lebih pendiam hari ini.
"Lang, apa menurutmu buku ini kosong?" tanyaku menunjukkan salah satu halamannya. Dia hanya mengangguk. Ini semakin membingungkan. Elang memang irit bicara, tetapi hari ini rasanya semakin irit.
"Kamu sakit gigi ya, Lang? Rahangmu kelihatannya bengkak, tuh!" ujarku asal menyentuh kemudian langsung ditepisnya. "Jangan sentuh!" desisnya lirih.
"Eh, maaf! Aku tidak bermaksud ...." kata-kataku terhenti demi melihat ada lebam di rahang kirinya.
"Kamu habis berkelahi ya, Lang?"
Tanpa menjawab sepatah kata pun Elang memalingkan muka dan pergi menjauh. Sesaat perhatianku sempat teralihkan, tetapi lagi-lagi buku kuno ini membuatku galau. Sial! Bahkan ketika pelajaran aku pun masih memikirkannya. Kenapa hanya aku yang bisa melihat isinya? Anomali itu terus menghantuiku hingga istirahat pertama.
Demi menenangkan pikiran, aku berkeliaran ke tempat sepi di sekolah ini. Tangga di dekat perpustakaan adalah tempat favoritku dari dulu. Rupanya kakiku tidak ingin berdiam di sana, aku terus naik ke lantai dua, menelusuri bangunan khusus laboratorium —laboratorium apa saja ada di gedung lantai dua ini.
Ujung koridor berakhir di dekat lab komputer, ada tangga menuju ke bawah. Di bawah tangga itu ada lorong menuju bilik-bilik kamar mandi —kira-kira ada lima kamar mandi. Menurut rumor yang beredar, kamar mandi di sana angker sehingga jarang sekali ada yang menggunakannya. Alhasil, kamar mandi di sinilah yang paling kumuh dan tak terurus. Tampilannya yang demikian seolah mengamini rumor itu.
Meski demikian, aku tak pernah takut datang ke sini sendirian. Tidak ada yang lebih menakutkan daripada manusia. Manusialah makhluk paling mengerikan, mereka memakan segalanya, tumbuhan, binatang, uang, bahkan teman sendiri. Manusia memakan segalanya, baik itu milik sendiri maupun milik orang lain. Kepada makhluk apa pun, mewakili manusia, aku minta maaf.
Lima menit menikmati pemandangan dari atas, aku menuruni tangga, melangkah semakin rendah. Semakin jelas kudengar suara-suara dari lorong kamar mandi itu. Tentu saja bukan suara hantu atau tawa kuntilanak seperti yang dikarang banyak orang. Yang kudengar hanya pembicaraan lirih antara beberapa orang. Aku tak berniat menguping, tetapi rasanya mencurigakan ada seseorang di tempat seperti ini.
"Sial, kemarin aku ketahuan!"
"Iya, siapa sangka bocah ingusan itu ternyata bagian dari pengawas tata tertib."
"Sepertinya perekrutan baru."
"Bukan, dia memang sejak kelas sepuluh menjadi pengawas tata tertib, tetapi tidak seperti pengawas lainnya, dia bekerja dalam diam. Kau pikir kenapa Jefri dan kawanannya dikeluarkan dari sekolah?"
Jefri? Oh, kelompok anak nakal yang di DO sebulan lalu karena kasus penggunaan narkoba di sekolah.
"Itu karena pengintai itu diam-diam merekam aksi mereka dan menyimpannya. Sebenarnya sudah sejak lama, dia hanya menyimpan bukti itu. Bulan lalu dia melaporkan kasus itu karena Jefri membuat masalah terus. Seandainya Jefri tahu, mungkin dia tidak akan macam-macam."
Pengintai? Siapa yang mereka maksud?
"Aku tidak suka dengan fakta ini, tetapi sebaiknya kita memang tidak perlu macam-macam kepadanya."
"Cih, artinya kita tunduk kepada bocah itu? Siapa namanya? Elang?"
Elang?!
"Ya, badanku rasanya masih sakit setelah dibantingnya kemarin."
"Benar, ternyata dia juga menguasai ilmu bela diri!"
"Mulai sekarang kita harus berhati-hati."
Aku melangkah menjauh. Teka-teki kemarin sore terjawab. Ketika Elang tidak segera kembali dari toilet. Rupanya dia masih meladeni anak-anak itu. Begitu juga dengan lebam di rahang kirinya. Aku menghela napas panjang. Tentang betapa cerewetnya dia mengenai aturan sekolah yang harus dipatuhi, tidak heran jika ternyata dia adalah anggota pengawas tata tertib —istilah kerennya inteligen yang memata-matai kriminal di sekolah.
Dasar Elang sok kuat, meringkus semuanya sendiri! Meski demikian, aku tak bisa menyalahkan tindakannya, sebab di sekolah terbaik di kota ini pun, anak-anak nakal seperti itu selalu ada saja.
.Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Park Kyung Na
masih penasaran
2023-07-10
0
Zila Aziz
ku kira lebam elang sebab shira
2022-09-03
0
ariasa sinta
93
2022-04-24
0