"Bangunlah ... Shira! Bangun!"
Aku menggeliat, mengucek kedua mataku. Oh, sial, abu-abu!
"Shira! Syukurlah kamu baik-baik saja!"
Dan anak ini! Siapa namanya waktu itu? Sakti? Benar, namanya Sakti.
"Apa kau terluka? Aku mencarimu sejak semalam."
Bagaimana aku bisa sampai di sini lagi?
"Jangan mendekat, Sakti!" ujarku waspada.
"Tidak apa-apa, aku tidak akan melukaimu, saat ini kamu aman."
Apa jaminannya? Apa dia bisa menjamin bahwa aku aman kalau bersamanya?
"Aku baru bertransformasi menjadi manusia lagi. Sebentar lagi di luar sini malam. Kita harus segera mencari bilik untuk berlindung," ujarnya. Aku masih beringsut menjaga jarak, tak bisa memungkiri fakta bahwa Sakti juga monster yang sama mengerikannya.
"Ayolah, Shira, kau bisa memercayaiku, kita harus cepat berlindung sebelum gelap," kata Sakti. Aku memerhatikan sekeliling. Dunia abu-abu ini sungguh menyebalkan! Kutepuk pipi kuat-kuat, sakitnya tidak jauh berbeda ketika sedang terjaga. Tolonglah, ini hanya mimpi 'kan? Sayangnya aku tidaklah segera terbangun.
Semburat ungu di langit semakin pekat. Tidak ada bulan purnama mengambang di tengah lapangan. Sebagai gantinya, api berwarna abu-abu seperti obor menyala di sepanjang koridor. Antar obor berjarak sekitar sepuluh meter. Tentu terangnya tidak sebanding dengan cahaya bulan. Setiap kali aku tiba di tempat ini, suasana malam yang suram selalu menyambutku.
Tak lama kemudian suara raungan yang amat familier terdengar dari ujung koridor. Aku menoleh, mendapati monster pemarah sialan itu berlari ke arah kami.
"Cepat, Shira!" seru Sakti segera menarik tanganku. Aku tidak bisa menolak, mengikutinya berlari mencari tempat perlindungan.
"Awas, Sakti! Tangganya runtuh!" seruku mengingatkan. Monster di belakang kami semakin mendekat, "bagaimana ini?"
"Pegangan!" perintahnya. Pada detik yang sama tiba-tiba tubuhku sudah digendong di punggungnya. Seolah tanpa beban, dia berlompat dari tiap potongan anak tangga satu ke potongan lain dengan cepat. Seperti kilat yang bahkan tidak sanggup kulihat. Setiap langkahnya membuat sisa-sisa anak tangga hancur keropos dan dengan mulus dia berhasil mendarat. Aku segera turun dari gendongannya. Sungguh, tadi itu sama menegangkan dengan naik wahana dunia fantasi. Kakiku jadi gemetar karenanya.
"Kamu masih kuat berlari? Kita masih belum aman!" katanya. Aku hanya mengangguk. Lagi-lagi hanya mengikutinya. Monster di atas sana tampak kesal karena kami berhasil lolos.
Keadaan di lantai satu sama suramnya dengan di lantai dua. Posisi bangunan dan ruangan tidak berubah dari posisi asli kelas-kelas sekolah. Bedanya suasana di sinilah yang terbalik seratus delapan puluh derajat.
Kali ini kami menelusuri sepanjang koridor kelas dua belas IPS. Beberapa bilik sederhana yang tertutup papan kayu sulit sekali dibuka. Aku tak habis pikir, padahal ini hanya papan kayu yang tersandar.
"Kita dobrak saja!" usulku. Sakti menggeleng.
"Jika pintunya rusak, kita tidak bisa bersembunyi di dalamnya," jawab Sakti.
Oh, ya ampun! Kami lanjut memeriksa. Lagi-lagi tidak bisa dibuka. Beberapa detik kemudian terdengar suara dentuman, keras sekali hingga terasa seperti gempa. Aku yang sedang berlari jadi jatuh karena getarannya. Di bawah tangga tempat kami melarikan diri tadi tampak kepulan debu dan sebagian bilik di sekitarnya hancur. Tanah terlihat melesak puluhan senti meter dan makhluk itu ada di sana. Sesosok monster yang tadi mengejar terlihat semakin marah.
Rupanya dia nekat terjun ke bawah karena tangga sudah terlanjur rusak. Dia melihat ke arah kami untuk kemudian meraung lagi dan kembali mengejar.
Sialnya, lututku terasa perih dan aku tak yakin bisa berlari lebih jauh. Sakti tanpa kuberi tahu cepat-cepat menggendongku seperti tadi dan kembali berlari. Akhirnya kami berhasil memasuki sebuah bilik. Papan kayu yang tersedia langsung kami tutupkan dan kami tahan. Napasku tersengal tak karuan.
"Wah, tadi itu hampir saja ya!" ujarnya seolah terbiasa dengan ini semua.
"Kakimu terluka, nanti kalau keadaan sudah tenang, ada jeda waktu singkat sebelum aku berubah menjadi monster lagi, aku akan menangani lukamu," kata Sakti. Aku menatap kedua mata sehitam pualam itu. Monster itu juga ada dalam dirinya, tetapi fakta bahwa dia telah dua kali menyelamatkanku membuatku cukup yakin bahwa dia sangatlah baik.
"Terima kasih," jawabku.
"Kemarin kamu tidak terlihat sama sekali. Aku sempat senang karena mengira kamu telah menemukan jalan pulang, ternyata kamu tergeletak tak berdaya di mulut tangga tadi. Aku harap kamu baik-baik saja," kata Sakti.
Kemarin? Tentu saja karena kemarin aku tidak bermimpi tentang tempat ini.
"Sebenarnya apa yang membuatku bermimpi ada di sini?" gumamku lirih.
"Ini bukan mimpi, Shira," jawab Sakti. Aku menatapnya tidak percaya.
"Ini bukan mimpi, sudah kubilang ini adalah sisi lain dari duniamu, kamu benar-benar mengalami apa yang terjadi di sini."
Kutatap langit bilik yang berwarna abu-abu, sementara di luar sana gelap. Lagi-lagi perbedaan sistem waktu. Aduh, apa-apaan ini?! Kemarin aku lolos dari tempat ini dengan posisi jatuh dari tempat tidur. Tentu saja ini hanya mimpi. Berikutnya sama sekali tidak terjadi apa pun. Tidak satu pun kejadian di sini memengaruhi kondisi di dunia nyata.
Tangga itu misalnya, yang di sini hancur separuh bagian, ketika esok harinya aku pergi sekolah, tangga menuju kelasku di lantai dua tetap utuh. Bayangkan saja jika sampai benar-benar hancur. Seisi sekolah pasti gempar. Terlebih saat ini tangga tadi benar-benar hancur total. Bilik ruang guru dan kantor BK juga hancur sebagian.
Sebaiknya aku meyakini bahwa ini hanyalah mimpi burukku, yang tidak akan berpengaruh dengan dunia nyata. Ya, ini hanya mimpi buruk!
"Aku tidak bisa menjaminnya," kata Sakti tiba-tiba, "aku tidak bisa menjamin apakah yang terjadi di sini tidak akan memengaruhi dunia aslimu."
"Kamu bisa membaca pikiranku?" tanyaku kaget. Sakti tersenyum, membuat lesung pipinya terlihat jelas.
"Habisnya kamu pendiam sekali, aku yakin kamu pasti kebingungan dan memiliki banyak pertanyaan, tapi kamu takut bicara denganku, benar, kan?"
Oh, lantas dia membaca isi pikiranku? Aduh, bagaimana kalau aku sedang memikirkan yang tidak-tidak? Lagi-lagi dia tersenyum.
"Maaf kalau itu tidak sopan. Sebaiknya kamu tidak perlu takut kepadaku. Yang perlu kamu waspadai adalah monster itu."
"Bukankah kamu juga monster?. Bagaimana jika kamu tiba-tiba berubah lagi?" tanyaku.
"Ada siklusnya sendiri, Shira. Aku hanya akan berubah jika waktu di dalam bilik menjadi malam."
"Oh, begitukah?"
"Ya, sama dengan monster di luar sana, dia mengamuk liar ketika waktu di luar malam hari."
"Bagaimana waktu di dalam dan di luar bilik berbeda?"
"Aku tidak tahu, sebab begitulah yang terjadi sejak pertama aku ada di sini. Yang jelas, sistem waktu di dalam dan di luar berkebalikan." jawab Sakti.
"Sepertinya monster itu telah pergi," ujarku merasa di luar cukup tenang.
"Mungkin saja, tapi dia bisa kembali kapan pun. Sebaiknya kamu tetap berada di sini sampai pergantian waktu."
"Begitu ya? Apa kita akan sepanjang hari menahan papan kayu ini? Padahal aku ingin kita mengobrol santai dan menanyakan banyak hal," ujarku.
"Aku punya solusinya," kata Sakti. Kedua telapak tangannya mengarah ke papan kayu itu, kemudian dientakan ke bawah, membuatnya melesak ke tanah beberapa senti.
"Sudah," katanya, "dalam kondisi tenang, pengunci ini cukup efektif, tetapi hanya bertahan tiga puluh menit. Aku akan selalu memperbaruinya, kita juga harus tetap waspada."
Aku mengangguk paham. Dengan telapak tangan yang mengeluarkan kesiur angin, dia membersihkan lantai dari debu dan menyingkirkan beberapa kotoran, menyapunya bersih.
"Mari, duduklah," ujarnya sopan.
"Terima kasih, itu keren sekali," pujiku kemudian turut bergabung duduk di lantai yang lebih bersih dari sebelumnya.
"Yah, sayangnya beberapa kekuatanku hanya bisa kugunakan ketika di dalam bilik sedangkan ketika di luar sana aku tak lebih dari seekor lalat. Itu sebabnya aku lebih suka tinggal di dalam bilik, dalam keadaan apapun," jawab Sakti. Lalat katanya? Lalu aku ini apa? Ah, dia rendah hati sekali!
"Bagaimanapun aku harus berterima kasih kepada lalat itu karena telah menolongku lolos dari kejaran monster," balasku. Dia hanya terkekeh pelan.
"Maaf, aku tidak bisa menyuguhkan makanan karena memang tidak ada, sudah sejak lama aku tidak membutuhkannya."
"Tidak butuh?"
"Ya, aku tidak makan dan minum, tidak tidur ataupun lelah, tidak terjadi metabolisme dalam tubuhku. Yah, kau tahu kan artinya?"
"Artinya ... artinya kamu sudah ... mati?" tanyaku ragu-ragu.
"Aku tidak bisa memastikannya, tetapi sepertinya iya," jawab Sakti, "maaf, aku ingin mengobati lukamu jika kau mengizinkan."
"Oh, iya, aku minta tolong," balasku.
Telapak tangannya mengembuskan angin hangat, memberi sensasi nyaman yang sama seperti terakhir kali dia membantuku dengan teknik ini. Luka robek di lututku perlahan menutup, menyisakan bekas gelap.
"Maaf, aku hanya bisa membantu sejauh ini," kata Sakti.
"Ini sudah jauh lebih baik, terima kasih," jawabku.
"Berbeda dengan kamu yang masih bisa merasakan sakit, lapar, dan lelah, sebab kamu masih punya tubuh fisik sebagai sensor semua perasaan itu. Itu sebabnya, aku tak yakin kejadian yang terjadi di sini tidak berdampak apa-apa dengan kondisimu di dunia nyata," jelasnya. Aku menelan ludah ngeri. Bertanya-tanya apa yang sedang kulakukan di duniaku sana.
"Cepat atau lambat kamu akan tahu," jawab Sakti lagi-lagi mengerti apa yang kupikirkan.
"Sakti, kamu pernah bilang kalau kau juga sebenarnya tersesat di sini, berarti kita berasal dari dunia yang sama, kan?"
"Yah, mungkin saja, karena aku sempat kelaparan dan sakit di sini, hingga akhirnya aku tak lagi merasakan itu semua. Rambut dan kulitku memutih, lalu aku bertahan di tempat ini hingga saat ini."
"Pastinya kamu sudah tahu banyak hal tentang tempat ini."
"Tentu saja, sayangnya informasi tentang jalan keluar dari dunia ini tidak kutemukan. Aku sedang menunggu jawabannya."
"Menunggu?" tanyaku tidak mengerti.
"Ya, menunggu dan mencarinya karena pesan itu pasti berada di suatu tempat. Biasanya aku akan meninggalkan pesan sebelum berubah menjadi monster lalu menemukan balasannya di suatu tempat setelah kembali menjadi manusia," jawab Sakti.
"Oh ya, tentang transformasiku, itu adalah efek samping dari kekuatan yang kudapat dan umur panjang di tempat ini. Di dunia mana pun selalu ada konsekuensi atas suatu pilihan."
"Kamu memilih hidup abadi di tempat ini?" tanyaku.
"Entahlah, aku bahkan tidak ingat kenapa aku memilihnya, lagi pula sebenarnya aku ini sudah mati, dan entah kenapa aku terjebak di sini," jawab Sakti. Ah, benar, ingatannya hilang. Tunggu, ada yang lebih penting untuk kutanyakan. Tentang pesan yang sedang ia tunggu, pesan berisi informasi jalan keluar dari tempat ini.
Namun, keributan lebih dulu terdengar dari luar sana. Dentuman keras menggetarkan dinding-dinding bilik.
"Bahaya! Dia kembali!" seru Sakti segera berdiri kembali menahan pintunya. Belum sampai Sakti berhasil menahannya, dentuman lain menyusul menghancurkan papan kayu itu. Potongannya terlempar ke mana-mana nyaris mengenaiku jika Sakti tidak cepat-cepat membuat perisai angin yang melindungi kami. Monster pemarah itu menerobos masuk.
"Mundur, Shira!" perintah Sakti, "monster ini mengincarmu, cepat tinggalkan bilik ini dan cari tempat yang aman!"
"Bagaimana aku bisa keluar jika dia masih di dekat pintu?"
"Aku akan mengalihkan perhatiannya, kamu harus keluar dari sini!" serunya sambil melepas angin puyuh, mengelabui monster itu.
Tak mau dipermainkan, monster itu semakin mengamuk dan menghajar sembarang arah. Dinding depan bilik runtuh, memberi akses lebar bagiku untuk melarikan diri. Langit pekat di luar berbaur dengan langit di dalam. Sistem waktunya terganggu. Kulihat Sakti mulai berubah.
"Tinggalkan tempat ini, Shira! Argggh! Ingatlah bahwa ini bukan mimpi! Kamu harus berjuang!" seru Sakti nyaris bertransformasi sepenuhnya. Tak lama kemudian aroma tidak sedap mulai tercium, aku segera pergi dari sini sambil menyumbat hidung.
Belum jauh aku melarikan diri, monster pemarah yang mengincarku sudah meninggalkan bilik. Jalannya terlihat sempoyongan, tak kuasa menahan bau busuk. Dadaku mulai sesak, hidung masih kusumbat hingga aku benar-benar menemukan bilik untuk bersembunyi.
Sayangnya, semua bilik terdekat dalam posisi tertutup, begitu kokoh seperti ada yang menguncinya dari dalam. Aku tak tahan lagi, menghirup napas demi mendapat pasokan oksigen, untuk kemudian teracuni aroma yang masih demikian busuknya, membuatku jatuh terduduk di belokan koridor. Tidak, aku tidak boleh menyerah! Ini bukan mimpi! Aku harus berjuang atau sesuatu yang buruk akan terjadi padaku.
Raungan monster itu terdengar semakin dekat. Aku berusaha berdiri mendekati lorong yang mirip seperti lorong kamar mandi angker di sekolah. Sedikit lagi berhasil meraih tempat itu, sebelum seseorang membekapku dari belakang.
Aku meronta kuat-kuat.
.Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
ariasa sinta
81
2022-04-24
0
Nacita
hufffff....ikutan tegang gue hah heh hohhhh gini 😂😂😂
2021-07-31
0
Aya-DNA
buku novel shira yang berubah itu adalah koenchi
2021-04-21
0