Terik. Kalau boleh aku ingin pingsan saja meski hanya pura-pura. Dengan begitu aku bisa melewati upacara ini dan berbaring di UKS. Paskibra baru saja menyelesaikan tugasnya. Upacara memang baru setengah jalan. Bagian paling lama dan membosankan belum terlaksana. Iya, pidato pembina upacara. Puh, membayangkannya aku langsung menguap.
"Waduh! Pagi-pagi, kok, sudah loyo!" bisik Yasinta yang berbaris di sebelahku.
"Cih, ini gara-gara kamu," bisikku juga sambil menyeka mataku yang basah, "kamu gila, Yas!"
Yasinta menahan tawa. Bahagialah dia melihat penderitaanku.
"Maaf, Ra. Aku memang sudah janji, tapi semalam di rumahku ada pemadaman listrik bergilir. Aku tidak bisa mengerjakan tugasmu seperti yang sudah kujanjikan," jawabnya.
"Nah, bagus! Lantas anggota kelompok yang lain juga sulit dihubungi dan akhirnya aku semalam membuat laporan untuk kelompok kita, sekaligus meresensi novel untuk lomba mewakili kelas. Oh, lupakan PR matematikaku, mana mungkin aku sempat menyentuhnya, bagus sekali!"
"Maaf, Ra."
"Bayangkan saja pukul sembilan aku baru selesai membaca novelnya. Kalau tahu begini aku tak mau membuat resensi mewakili kelas kita."
"Kalau tahu begitu tidak perlu terlalu serius membuat resensinya, asal-asalan saja yang penting ada."
"Maaf, aku sudah maraton membaca novel itu nyaris dua belas jam dan aku tidak mau mengerjakannya setengah-setengah."
"Ya sudah, dong! Maumu apa?"
Tongkat rotan teracung di hadapanku dan Yasinta. Wajah garang Pak Hasibuan memberi peringatan. Yasinta menunduk, menelan ludah. Aku hanya diam. Setelah memastikan kami tertib, Pak Hasibuan kembali menyisir barisan-barisan siswa sekaligus memeriksa kelengkapan atribut seragam mereka. Syukurlah tadi beliau tidak memeriksa kaos kakiku.
Upacara berlangsung sebagaimana mestinya. Terik matahari, kantuk, kaki yang pegal berdiri benar-benar kombinasi sempurna untuk memicu pingsan. Di pengujung upacara, ketika harusnya barisan dibubarkan, justru ada pengumuman tambahan. Ah, ya sudahlah aku pingsan saja, aku tak tahan lagi!
"Pengumuman! Dalam rangka bulan bahasa dan peningkatan kegiatan literasi, sekolah telah mengadakan lomba membaca dan meresensi novel. Berikut adalah pemenang dengan karya resensi terbaik."
Demi mendengar informasi itu aku kembali berdiri antusias. Petugas PMR yang datang hendak menolongku balik kanan dengan bersungut-sungut. Tidak jadi, aku tidak jadi pingsan. Teman-teman di barisan kelasku tampak berharap, sisanya pesimis, sebagian kecil bahkan tidak tahu jika aku sudah menyelesaikan resensinya. Luar biasa!
Juara tiga telah diumumkan. Juara dua ternyata kelas sebelah.
"Yah, kalau juara tiga atau dua saja tidak dapat apalagi juara satu," kata salah satu temanku.
"Juara satu, resensi novel berjudul Rembulan karya Darwin, dimenangkan oleh kelas sebelas MIPA satu, selamat untuk Shira Amanda!"
Sorak euforia seketika pecah dari barisan kelasku. Aku menutup mulut tak percaya. Teman-teman merangkulku gemas atas kemenangan kecil ini.
"Wah, tidak kusangka ternyata kamu bisa selesai baca novel setebal itu kurang dari dua puluh empat jam!"
"Iya, padahal tugas yang lain juga banyak! Biarpun asal-asalan tapi bisa menang. Kaget banget, deh!"
Aku hanya tersenyum. Haha, asal-asalan katanya! Memangnya aku terlihat semalas itukah hingga mereka tidak percaya aku mengerjakannya dengan sungguh-sungguh? Mirisnya kudengar bisik-bisik iri dari kelas sebelah.
"Hm, salinanya yang dari internet pasti bagus."
Tapi ya sudahlah, mana peduli! Teman-temanku saja tidak percaya jika aku mengerjakannya sendiri apalagi orang lain. Kuabaikan begitu saja. Lagi pula, mengingat info lomba ini yang baru disampaikan kemarin pasti membuat mereka berpikir bahwa aku curang. Terlebih aku belum pernah membaca buku yang harus diresensi. Sekali lagi kutegaskan, aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan! Aku telah memetik hasil dari usahaku. Bingkisan kecil bertuliskan juara satu berpindah ke tanganku. Tanpa mengintip aku sudah tahu kalau isinya buku, tapi entah buku apa.
Upacara selesai. Kami kembali ke kelas masing-masing. Coba tebak siapa yang paling antusias dengan hadiahnya? Tentu saja bukan aku. Bingkisan itu telah diperebutkan seisi kelas.
"Ayo cepat, unboxing! Unboxing!"
"Ini bingkisan, harusnya unwrapping!"
"Ya sudah, cepat unwashing!"
"Unwrapping, *****!"
Akhirnya mereka sibuk berdebat dan melupakan bingkisannya. Bingkisan itu kubuka. Benar, isinya buku, tiga buku, tetapi aku tidak mengira kalau ternyata salah satunya adalah ... novel terbaru karya penulis favoritku yang sekarang sedang best seller itu! Ya ampun! Tidak terbayang betapa tingginya aku melompat karena kegirangan!
"Yah, kukira uang setumpuk," kata Yasinta.
"Haha, mimpi!" timpalku. Asal dia tahu ya! Ini lebih berharga dari tumpukan uang!
"Mohon perhatiannya, teman-teman!" seru Elang, ketua kelas kami.
"Cieee butuh perhatian," ledek Sindi.
"Ini serius, Sin," jawab Elang datar. Sindi menggerutu.
"Imbauan dari Bu Listiyah, sudut baca kelas juga akan dilombakan mulai minggu ini. Penilaian meliputi desain, kreativitas, dan koleksi buku. Untuk itu, tim yang ditugaskan menangani sudut baca segera ditindaklanjuti," ujar Elang, "tim sudut baca, apa ada laporan?"
"Ya," sahut Fina, "nanti sepulang sekolah kita akan mengambil rak buku yang dipesan di mebel keluarga Dila, kemungkinan besok pagi segera dipasang."
"Oh, mebelnya Dila? Kasih diskon harga teman ya, Dil?" kata Arnita, bendahara kelas. Dila tersenyum kecut. Sungkan mau bilang tidak, berat mau bilang iya.
"Dan untuk koleksi buku, masing-masing anak membawa satu buku bacaan. Sementara hanya itu imbauan untuk sudut baca. Mohon tim kelengkapan kelas yang lain dilanjutkan kinerjanya, harus ada laporan setiap diskusi," tambah Elang.
"Siaap!"
Diskusi berakhir. Oh iya, timku yang mengurus kerindangan apa kabar ya? Dari dulu mau mencari tanaman kecil-kecil untuk dipajang di depan kelas rasanya masih wacana saja.
"Shir."
"Oi?" aku tersadar dari lamunanku.
"Bukumu untuk sementara diletakkan di sudut baca dulu ya? Nanti kalau stok bacaan memenuhi boleh kamu bawa," kata Elang.
"Oke, yang dua ini memang niatnya kuhibahkan untuk kelas, yang satunya kubawa dulu, mau kubaca di rumah," jawabku. Dia mengangguk.
"Terima kasih atas kerja kerasnya, ketika yang lain tidak mau diberi tanggung jawab ini karena masih banyak tugas, kamu bersedia menerimanya bahkan meski belum pernah membaca buku yang harus kamu resensi."
Refleks aku hormat kepada Elang. Orang yang menghargai patut dihargai.
"Santai saja, membaca dan menulis itu hobiku, itu cuma main-main," jawabku.
"Tenang saja, untuk laporan fisika kelompok kita yang harusnya dikerjakan Yasinta dan kamu sudah aku tangani," kata Elang sambil sibuk mengaduk-aduk isi mapnya. Apa katanya tadi?
"Ini lembar ketiga yang harusnya dikerjakan kamu, tapi karena kamu sudah bikin resensi untuk kelas, jadi diambil alih Yasinta, tapi kamu tahu kan kalau Yasinta tidak sempat mengerjakannya? Maka dari itu aku yang membereskannya," kata Elang menyerahkan lembaran laporan tulis itu.
Ahaha! Mendadak aku ingin mengunyah laporan ini!
"Wah, jadi sudah kamu kerjakan ya, Lang? Kenapa tidak bilang dari semalam, ya ampuun???"
"Memangnya harus bilang-bilang ya?" tanyanya polos. Aku menunjukkan jemariku yang kapalan di hadapannya.
"Nih, jadi keriting jariku nulis segini banyaknya!"
"Lho? Ternyata kamu juga bikin?!"
"Ya iyalah, setelah Yasinta kasih kabar kalau laporannya tidak bisa selesai dan kamu susah dihubungi mana mungkin aku bisa tidur!"
"Aku susah dihubungi ya karena bikin laporan ini, tahu! Makanya tidak usah sok kuat semuanya dikerjakan sendiri!"
Lho? He? Hilang sudah sosok Elang yang kuhormati, sekarang mengomel cerewet tanpa mau dibantah.
"Ya aku tidak mau mengambil risiko lah!"
"Ya sudah, bilang makasih atau apa gitu kan sudah aku bantu!"
Nah, cekcok ini terus berlanjut, memperebutkan tulisan milik siapa yang sebaiknya dikumpulkan.
****
Pagi-pagi sekali, entah kerasukan apa, aku sudah tiba di sekolah. Kiranya belum ada yang datang, ternyata aku berpapasan dengan Fina dan Nabilah di tangga. Oh, iya, tim sudut baca.
"Mau beli pernak-pernik untuk hiasan sudut baca," jawab Fina ketika kutanya. Aku hanya mengangguk-angguk sambil lalu. Heh? Memangnya toko pernak-pernik sudah buka jam segini? Entahlah.
Ternyata di kelas sudah ada Rifani dan Tria yang sedang diomeli Elang. Ah, mereka berdua! Anak buahku! Tim kerindangan yang selalu lupa bawa tanaman. Iya, sih, Elang memang ketua yang tegas tapi kan kasihan kalau pagi-pagi begini sudah diomeli.
"Iya, Lang, kita mau ambil tanamannya di rumah Rifani sekarang, kok!" jawab Tria. Rifani hanya mengangguk.
"Aku ikut!" seruku dari depan pintu.
"Ngapain rame-rame cuma buat ambil satu pot? Dua orang saja sudah cukup!" kata Elang menatapku tajam, "kamu bantu aku pasang rak saja!" perintahnya. Aku menelan ludah. Rifani yang lewat di sebelahku berbisik, "sensi banget, Ra!"
"Lagi PMS mungkin, Fan," jawabku. Tria terkekeh pelan. Elang mengawasi kami. Mereka berdua buru-buru pergi. Jadilah suasana canggung membungkus atmosfer ketika keduanya meninggalkan kelas. Aku menatap sepasang rak kayu berbentuk segi enam sama sisi setinggi lutut yang masih di lantai.
"Apanya yang harus dibantu, sih? Kalau cuma memasang rak begini, kamu sendirian saja kan bisa?" dalihku. Tatapan mata Elang yang sungguh tidak enak mengarah padaku. Paku yang hendak ia tancapkan di dinding jatuh hanya demi memelototiku demikian.
"Tuh, ambilkan! Aku sudah naik-naik meja begini malas mau turun!"
"Lah? ngapain tinggi-tinggi banget pasangnya? Kamu memang suka nyusahin kita-kita yang badannya pendek ya?!" omelku balik.
"Tinggimu berapa, sih? Masa segini saja enggak nyampe?"
WAH! NGAJAK BERANTEM!
"Eh, paku ini enaknya ditusuk ke kamu ya?! Sini, Lang! Saya emosi!"
"Gitu aja, kok, emosi! Lagi PMS ya?"
AZWZWZW TERSERAH, LANG! TERSERAAH!
"Sebentar, Shir, kamu paskan dulu posisi raknya, biar aku lihat dari jauh, kira-kira miring atau tidak," kata Elang. Aku hanya menurut, enggan berdebat lebih jauh. Rak segi enam ini ternyata lebih ringan dari kelihatannya, tetapi lumayan jika dilemparkan kepada Elang jika dia mulai cerewet lagi.
"Atas, ke atas!" serunya, "bukan yang kiri, yang kanan agak ke atas!"
"Ya bilang, dong! Kasih perintah yang jelas!" gerutuku. Dia nyengir.
"Sudah, cukup!" ujarnya kemudian kembali mulai memalu paku sesuai posisi terbaik. Aku mengamati desain rak ini.
"Kenapa harus bentuk segi enam?" tanyaku.
"Entahlah, tim sudut baca menggunakan tema honeycomb sesuai warna tembok kelas kita," jawab Elang masih serius memalu. Suara dentum palu menimpa paku menggema ke seisi ruangan.
"Honeycomb kan ada banyak segi enam, kenapa ini cuma ada dua?" tanyaku lagi. Elang memutar bola mata sebal.
"Kamu pikir beli yang seperti ini murah? Memangnya kamu bayar uang kas berapa ratus ribu per minggu?" sindirnya. Aku nyengir sebagai jawaban. Bahkan aku sudah menunggak uang kas seebulan terakhir.
Fina dan Nabilah akhirnya datang. Sekantong kecil ornamen bunga-bunga plastik telah dibeli.
"Ini kuitansinya, Lang. Kuitansi rak sudah kuberikan pada Arnita," kata Fina.
"Hn," jawab Elang singkat, masih sibuk dengan pekerjaannya.
Tak lama kemudian satu per satu teman-teman datang, turut mengomentari sudut baca baru kami. Yasinta mendengung, demi berperan menjadi lebah dalam kelas bertema honeycomb ini.
****
Dua menit sebelum bel pulang, aku segera berkemas. Yasinta dan yang lain mulai meninggalkan bangku masing-masing.
Tumben, biasanya anak sebelas MIPA satu yang patuh -tidak pulang sebelum bel benar-benar berbunyi- sekarang tidak demikian. Terutama Yasinta, langsung pergi begitu saja tanpa menemaniku. Baiklah, semuanya sedang buru-buru.
Sebagai yang terakhir meninggalkan kelas, aku bertanggung jawab mematikan seluruh alat elektronik -kipas angin, LCD proyektor, dan sound system yang tadi dipakai pada jam terakhir. Kalau tidak begitu, si ketua cerewet pasti akan mengomel panjang lebar
Aku pun keluar kemudian tercengang, demi mendapati suasana luar kelas yang ... yang ... Ini di mana? Pikirku.
Tidak ada teras lantai dua berbatas terali besi hitam. Tidak ada pemandangan pucuk-pucuk pohon tanjung. Gedung seberang yang harusnya serupa dengan gedung tempatku berdiri terlihat ... kumuh? Terlihat tua dan tak terawat, bahkan aku tak mengenali bahwa itu bagian dari gedung sekolahku. Yang benar saja!
Aku ada di mana???
.Bersambung.
Halo, kenalin ini Shira ;
Dan ini Elang ^^
Nah, ilustrasi seadanya banget :'v yang penting buatan sendiri. Video pembuatan ilustrasinya segera diunggah di akun instagram @ngglendhemi_i jadi sekalian mampir boleh follow:) nanti dm aja pasti kufollback. Kalau ada kritik/saran terkait cerita maupun ilustrasinya feel free sampaikan aja ke author ya. Makasih udah mampir di episode pertama ^^ selamat membaca!
Aku terkejut untuk kedua kalinya. Gedung tempatku berdiri juga telah berubah, entah sejak kapan. Lantai tempatku berpijak bukan lantai berubin putih, melainkan seperti kayu, atau batu semen? Entahlah, terlihat rapuh dan banyak berlubang. Terpaku tak mengerti menatap semua keanehan ini, aku tidak tahu harus pergi ke mana.
Kelas? Kelas pun berubah menjadi bangunan yang sama jeleknya dengan yang di seberang sana, padahal belum lima menit yang lalu baru kututup pintunya. Kelasku yang sekarang bahkan tidak berpintu, sebab sepotong kayu rapuh yang tersandar ini tak layak disebut pintu. Mengerikan, semua yang kulihat begitu abu-abu.
Ragu-ragu aku melangkah ke arah tangga, tak ingin berlama-lama di sini. Lagi-lagi aku terkesiap, tak lagi melihat tangga berubin, melainkan kayu rapuh berwarna abu-abu yang sama sekali tidak aman untuk dipijak.
Belum habis rasa heranku, langit kelabu yang tadi penuh kabut tiba-tiba berganti menjadi semakin pekat, gelap. Benda aneh seperti kristal tampak seperti bulan purnama melayang rendah di tengah lapangan. Posisiku di lantai dua membuat bulan itu sejajar lurus dengan pandanganku. Harusnya indah melihat bulan sedekat ini, tetapi cahaya yang dipancarkannya membuat romaku meremang.
Sayangnya, aku tak punya banyak waktu memahami bulan purnama itu. Suara raungan mirip binatang buas terdengar dari bawah sana. Aku bersiaga meski tak punya banyak ide, membayangkan kucing raksasa atau beruang madu mengamuk di bawah sana. Namun, bayanganku tentang tempat ini selalu salah. Sepotong balok kayu besar menghantam bagian bawah tangga, membuatnya hancur hampir separuh bagian. Aku menelan ludah demi melihat pelaku perusakan itu.
Bukan binatang liar, melainkan sesosok makhluk menyerupai manusia — seperti karakter The Things dari film Fantastic Four— tetapi jauh dari kata keren, mengaum garang di bawah sana. Kulitnya coklat dengan bentol-bentol kelabu, seperti kulit tokek, tetapi terlihat liat dan tebal. Tidak jelas seperti apa wajahnya, pastinya berperawakan pendek dengan lengan-lengan gempal menjijikkan.
Masih dengan napas memburu, monster aneh itu mengangkat potongan kayu besar yang tadi menghancurkan tangga. Kali ini perhatiannya teralih kepadaku, lagi-lagi meraung marah. Aku jadi gentar dan berbalik arah, berlari sepanjang koridor lantai dua.
Monster itu menyusul, entah bagaimana caranya naik ke sini dengan tangga rapuh yang bagian bawahnya juga sudah hancur itu. Aku mana mungkin memikirkannya sebab kondisiku terjepit di ujung koridor. Gedung ini tidak terhubung dengan gedung selanjutnya. Dalam kondisi gedung yang normal pun aku tidak mau melompat ke lantai dua gedung sebelah apalagi setelah kondisi berubah begini. Tidak, aku sayang nyawaku.
Monster pemarah itu tak jauh di belakangku. Langkahnya panjang meski kaki-kakinya pendek. Lantai kayu abu-abu yang kupijak bergetar karenanya. Balok kayu besar di tangannya nyaris dihantamkan mengenaiku jika aku tidak segera masuk ke kelas sebelas MIPA empat.
Sekali lagi kuingatkan, ini sama sekali bukan bangunan atau kelas MIPA empat yang kukenal. Ruangan ini bahkan tidak beratap pun tanpa pintu. Sepotong papan kayu besar yang tampak rapuh kugunakan untuk menutup pintu. Kayu itu bergetar, monster di luar pasti berusaha mendobraknya. Aku pun bersandar di potongan pintu demi mempertahankan ruangan ini tertutup.
Kuhela napas panjang dengan jantung berdegup kencang. Peristiwa aneh apa ini? Tak punya ide berada di mana dan mendadak dikejar monster aneh membuatku luar biasa bingung. Padahal lima belas menit yang lalu aku masih belajar di kelas dengan tenang. Bagaimana bisa kelas sebelas MIPA empat yang identik dengan kelasku —bercat oranye muda, berlantai ubin putih, jendela menghadap arah matahari terbenam, dan memiliki atap— tiba-tiba hanya bilik kayu rapuh yang keropos di sana-sini? Bagian atas yang tak beratap memperlihatkan langit merah siang hari padahal di luar sana sedang malam. Seolah bilik bobrok ini memiliki sistem waktu sendiri.
Entakan kuat nyaris merobohkan pintu yang kusangga ini. Aku bersandar lebih kuat, menahan arah pukulan monster itu.
"Jangan menekannya terlalu kuat!"
Aku terkejut demi melihat anak ini tiba-tiba muncul. Karenanya sandaranku melemah. Tangan monster tadi berhasil menggapai-gapai ke dalam bahkan hampir menerobos masuk jika anak ini terlambat menahan pintunya.
"Jangan menekannya terlalu kuat," ulang anak itu lagi, "kayu ini keropos, aku khawatir akan remuk, kita jadi tidak bisa sembunyi lagi."
"Tapi monster itu kuat sekali! Apa tidak ada penahan yang lebih kokoh?" tanyaku. Dia menggeleng. Jika aku jadi anak itu, aku tidak akan bersembunyi di tempat ini.
"Bagaimana kalau kayu ini remuk diterjang monster tadi?"
"Itu tidak akan terjadi," jawab anak laki-laki itu begitu yakin. Kurasa dia tidak tahu bagaimana monster ini menghancurkan tangga.
"Ingat satu hal, jika kau bertemu makhluk itu, segera sembunyi dalam ruangan, tutup pintunya dan tahan, jangan terlalu kuat, yang penting tertutup, dia tak mungkin bisa masuk," ujarnya lagi.
Ia masih menyandar di pintu, menahannya agar tetap tertutup. Kulit putih pucatnya begitu kontras dengan kayu yang disandari. Rambut peraknya mengagumkan. Seandainya ada live action film The Rise Of The Guardian, maka anak ini layak memerankan Jack Frost.
"Apa yang kamu tahu tentang makhluk itu? Oh iya, ini di mana? Kamu datang dari mana?" tanyaku bertubi-tubi. Dia hanya terkekeh pelan.
"Kujawab pertanyaanmu dari belakang ya," ujarnya santai sama sekali tidak terlihat tegang meski monster mengerikan di balik kayu itu mendobrak tiada henti, "pertama, aku tidak datang dari mana-mana karena aku memang tinggal di bilik ini. Kedua, ini adalah sisi lain dari sekolahmu. Ketiga, makhluk di luar itu memang sudah lama berkeliaran di sini, mengamuk liar, merusak banyak hal."
"Apa dia memakan manusia?" tanyaku bodoh. Sudah jelas makhluk itu buas dan perusak. Mana mungkin dia tidak memakan manusia.
"Kurasa tidak, mungkin dia hanya akan menjadikanmu monster mengerikan sama sepertinya jika sampai tertangkap," ujarnya lagi. Aku menelan ludah, tak bisa membayangkan apa yang makhluk itu lakukan untuk mengubahku menjadi monster. Apa seperti drakula yang menggigit korbannya? Entahlah, aku tidak punya ide.
"Tadi kamu bilang ini adalah sisi lain dari sekolahku?"
"Ya, semacam dunia paralel atau apalah itu, aku juga sedang mencari tahu sejak ratusan tahun lalu, tetapi catatan besarku hilang."
"Ratusan tahun?"
"Ya, tidak banyak yang kuketahui tentang tempat ini bahkan hingga berabad-abad."
"Berarti kamu bukan lahir di sini?"
Raut wajahnya berubah sendu. Masih dengan posisinya yang menahan pintu, tatapan matanya jatuh ke lantai penuh lubang.
"Aku ... juga bahkan tidak mengetahui hal itu," jawabnya lirih, "ada banyak kabut kelabu menghalangi gambaran tentang masa laluku, tetapi aku tahu bahwa di luar sana ada dunia paralel, dunia yang sepertinya di sanalah aku lahir sebelum terjebak selamanya di sini."
Selamanya? Aku merinding mendengarnya.
"Lalu bagaimana denganku? Apa aku bisa pulang?" Lagi-lagi aku menanyakan hal bodoh. Bagaimana mungkin dia tahu jawabannya jika bahkan dirinya sudah terjebak di sini ratusan tahun tanpa bisa keluar. Anak itu diam tidak menjawab. Topik tentang ingatannya yang hilang membuat suasana hatinya memburuk. Dia menjadi sangat pendiam dan begitu murung.
Suasana di luar sedikit lebih tenang. Aku mengintip dari celah kayu memastikan monster itu telah pergi. Namun yang kulihat justru sangat mengerikan. Monster itu tampak menggeram kesakitan. Terlihat jelas bagaimana kulit kepala monster itu meleleh dan mengelupas, memperlihatkan lendir-lendir di baliknya. Aku mual melihatnya, ada dorongan untuk berteriak dalam diriku.
Tak bisa kutahan, aku berteriak histeris melihatnya, mengerang seperti orang kerasukan. Tubuhku mati rasa dan tak dapat kukendalikan. Kesadaranku kembali ketika anak itu memijat telapak kakiku, ada kehangatan mengalir dari sana, membuat kesadaranku kembali meski tubuhku masih mengejang sulit dikendalikan.
"Pintu ... pintunya ...." ujarku terbata melihat papan kayu yang tadi disangganya telah roboh.
"Tidak apa-apa, makhluk itu telah pergi," jawabnya masih mengalirkan sensasi hangat yang terus menjalar ke seluruh tubuhku. Aku merasa lebih tenang, tergeletak lemas menatap langit yang kini bersemburat ungu. Aku masih khawatir dengan pintunya yang terbuka.
"Tenanglah, dia tidak akan kembali," jawabnya seolah dapat membaca pikiranku. Aku memaksa duduk dengan dibantunya. Sesekali anak itu menatap langit yang mulai berubah juga.
"Boleh aku tahu namamu? Namaku Sakti," katanya.
"Shira, namaku Shira. Maaf aku tidak memperkenalkan diri dari tadi. Aku sangat panik."
"Tidak apa-apa, tidak ada orang yang bisa santai ketika tersesat di dunia antah berantah dengan monster mengerikan itu."
"Terima kasih sudah banyak membantu."
"Sama-sama, maaf kita tidak bisa bicara lebih lama, kamu harus pergi dari sini."
"Aku? Pergi ke mana?"
"Ke mana saja, menjauhlah dari bilik ini."
"Tidak mau! Monster itu akan mengejarku lagi!"
"Tidak akan, di luar sedang siang hari, dia tidak akan berkeliaran, justru di bilik inilah yang berbahaya, lihatlah di sini mulai gelap," ujarnya sekali lagi memandang langit yang kini berwarna ungu pekat.
"Kalau begitu kita keluar bersama," jawabku.
"Tidak bisa, Shira!"
"Bisa! Kenapa tidak? Aku tidak mau pergi ke luar jika tidak bersamamu!"
"Cepat pergi, Shira! Atau kau akan terjebak di sini selamanya!" perintah Sakti tegas. Aku menggeleng.
"Lalu bagaimana denganmu?!" bantahku masih keras kepala sementara ruangan ini telah menjadi malam.
Gelagat Sakti mulai aneh, sesekali dia mendengus tidak jelas. Geraman rendah dapat kudengar darinya. Ada banyak urat abu-abu muncul di kulitnya. Geramannya semakin keras. Aku melangkah mundur.
"Cepat pergi, Shiraaa! Aaarrggghh!!!"
Dalam hitungan detik, sosok Sakti telah berubah menjadi monster seperti yang tadi mengejarku.
"Graaaaaa!!!"
"Aaaaahhh!"
Tanpa diperintah lagi aku segera berlari ke luar. Bau busuk telah tercium sejak Sakti berubah menjadi monster. Gila! Apa maksudnya ini semua!
Monster Sakti tidak berjalan tegak seperti monster sebelumnya, tetapi mirip seperti kera yang berjalan agak membungkuk. Gerakannya lambat, tertinggal jauh di belakangku, tetapi bau busuk ini merambat begitu cepat. Aku semakin mual, memuntahkan apa saja isi perutku.
Rasa mual yang tidak biasa, seolah nyawaku juga bisa keluar bersama muntahanku. Monster Sakti kembali masuk ke dalam bilik, tetapi baunya tak kunjung lenyap. Aku tak tahan lagi. Akhirnya kabut abu-abu kembali membungkus pandanganku. Aku pingsan, sepertinya begitu.
Namun, aku tidak ingin menyerah. Kupaksakan sisa kesadaranku untuk merangkak menjauh. Tiba-tiba lantai tempatku berpijak seperti lenyap. Aku menggapai ruang kosong. Pandanganku masih kelabu.
Tanganku tak berhenti menggapai-gapai ke arah mana pun, mencari batas ruang kelabu tak bertepi ini. Sesaat kemudian aku merasakan gravitasi, sensasi jatuh, tetapi tubuhku seperti tertarik ke atas. Aku tidak paham bagaimana menjelaskannya.
Intinya ketika kabut kelabu itu mulai memudar yang kulihat pertama kali adalah ... langit-langit kamarku.
Haah! Gila!
.Bersambung.
Tepat ketika bel masuk berbunyi aku baru saja melewati gerbang sekolah. Masih harus berlari, tak ingin guru jam pertama masuk sebelum aku sampai di kelas lebih dulu. Tali sepatu yang terlepas sempat terinjak ketika menaiki tangga. Syukurlah aku tidak sampai jatuh.
Ketika aku membuka pintu kelas, Marvel si sekretaris sedang menulis namaku di papan absensi. Hampir mencentang alfa, kemudian dihapusnya setelah melihat kedatanganku.
"Kamu telat, Dek! Telaat!" seru Marvel berlaga seperti senior ekskul yang suka memlonco juniornya.
"Bukan telat, Kak, saya tepat waktu malah," jawabku juga pura-pura menjadi junior. Segera aku menuju bangkuku di pojok belakang dekat sudut baca.
"Kalau piket datang pagi!" ujar Elang dingin.
"Lho, aku kan piket siang," jawabku.
"Masalahnya semua yang piket hari ini mengaku piket siang, lalu siapa yang bertanggung jawab untuk piket pagi?"
Aku mendengus sebal. Haruskah? Haruskah pagi ini dimulai dengan pertengkaran tidak penting begini? Aku ingin hidup damai.
"Baiklah, baik, minggu depan aku tidak begini lagi, anggap saja hari ini aku sedang sial, oke?" jawabku mengalah. Elang berdecak pelan. Aku tidak peduli. Kulihat Yasinta yang sepertinya sedang mengerjakan PR menahan tawa mati-matian. Nah, kan, bahagia dia melihatku sengsara.
"Mengerjakan apa?" tanyaku.
"PR Fisika, kamu sudah?" ujarnya balik bertanya. Aku hanya nyengir. Bahkan aku tak ingat kalau ada PR hari ini. Yasinta juga balas tersenyum.
"Baiklah, aku sudah tahu jawabanmu."
Tentu saja, sejak SMP menjadi temanku dia mengerti benar bagaimana perangaiku.
"Halaman berapa?" tanyaku.
"Tiga puluh enam, pilihan ganda, cara pengerjaannya dicantumkan juga."
"Wah, aku lupa kalau ternyata semua soal-soal di buku ini sudah kukerjakan semua," ujarku membalik keadaan.
"Cih, kamu semakin rajin akhir-akhir ini, menyebalkan!"
"Aku bukannya semakin rajin, Yas. Hanya saja aku jadi sering galau karena selalu dimarahi, di rumah maupun di sekolah, itulah yang menyebalkan," jawabku. Elang berdeham keras, mendengar percakapan kami. Lagi-lagi aku tidak peduli.
"Galaumu berguna sekali ya?" kata Yasinta, "kamu sudah terlalu pintar, Ra, jangan membuatku semakin silau dengan aksi galaumu itu."
Entahlah, apa yang membuat orang lain silau dariku? Aku hanya manusia biasa yang lamban —aku menyebutnya santai. Aku bukan dari keluarga berada yang bergelimang harta. Aku juga tidak bisa dikatakan sebagai siswa yang rajin, sebab belajar hanya menunggu suasana hati membaik. Meski besok ulangan pun jika aku tidak ingin belajar maka sungguh aku tidak akan belajar. Pada tahun kedua SMA ini aku lebih memprioritaskan membaca novel dan mengarang cerpen daripada membaca atau merangkum materi. Entah kenapa, ketika kuceritakan semua itu, semakin banyak orang yang iri. Sebab meski demikian, aku tetap selalu mendapat nilai bagus setiap ulangan. Yah, mana kutahu.
"Ra ... Shira..!"
"Heh?"
"Kamu melamun?" tanya Yasinta.
"Eh, tidak, aku hanya mengingat-ingat kapan semua ini kukerjakan."
"Oh ... Boleh kusalin PR-mu?"
"Iya, tidak apa-apa," jawabku mulai mempersiapkan buku untuk jam pertama. Yasinta menatapku tidak percaya.
"Tidak jadi, deh," kata Yasinta.
"Lho, kenapa?"
"Tidak biasanya kamu baik hati begini, aku curiga kamu sedang ada maunya."
"Tidak, kok."
"Tidak, deh, tidak jadi."
Eh, ya sudah, pikirku. Aku melirik jam. Sudah sepuluh menit sejak bel masuk, ini memang jam fisika. Pak guru pengajarnya selalu terlambat satu jam. Iya, selalu begitu.
"Ngomong-ngomong, kamu mau mendengar ceritaku?" tanyaku.
"Tuh, kan, benar ada maunya," jawab Yasinta.
"Eh, tidak, tapi iya, sih! Dengarkan ya?"
"Tidak, Ra, itu bukan ceritamu, aku tahu semalam kamu membaca novel baru, menemukan ide baru, lalu memanipulasi di beberapa bagian dan menyatakan bahwa itu ceritamu. Hati-hati, Ra, sesungguhnya itu sangat dekat dengan plagiarisme," tutur Yasinta.
"Tidak, Yas, sungguh! Baiklah, aku memang begadang membaca novel semalam, tapi yang akan kuceritakan bukan cerpen terbaruku, melainkan tentang mimpiku semalam," bantahku.
"Sama saja, Ra! Suasana dalam novel itu membuatmu terbayang terus hingga terbawa mimpi. Aku lebih tertarik membaca novel aslinya daripada mendengar tentang mimpimu," jawab Yasinta tetap tidak peduli. Aku menggembungkan pipi sebal. Tidak cukup mengataiku penulis amatir, dia bahkan sudah enggan mendengar ceritaku. Cih! Teman macam apa itu?!
"Mana, Ra?"
"Apanya?"
"Novel barumu, aku juga ingin membacanya," kata Yasinta. Aku mengaduk-aduk isi tas, mencari novel bersampul biru muda itu. Namun, sepertinya ... tidak ada? Aku yakin sekali hari ini membawanya karena mengetahui akan ada jam Bahasa Indonesia, sehingga perlu membawa bahan bacaan.
"Kamu tidak bawa? Hayoo siap-siap didenda Pak Hanri, lho! Hari ini ada Bahasa Indonesia," kata Yasinta.
"Sungguh, Yas, aku sudah memasukkannya ke dalam tas tadi," jawabku masih sibuk mencari. Justru aku menemukan buku bersampul cokelat —seperti kulit kayu, juga bertekstur kasar seperti kulit kayu. Bagian dalamnya berupa kertas seperti lembaran kayu yang amat tipis, berisi penuh aksara asing —seperti aksara di Rusia— di setiap halamannya.
"Buku apa ini?" tanyaku dan Yasinta bersamaan.
"Kamu juga tidak tahu, Ra?"
Aku menggeleng. Kuamati lebih teliti, warna dan tekstur kertas kayu ini mengingatkanku akan satu hal, mimpiku semalam. Aku menelan ludah ngeri.
"Apa jangan-jangan novelku berubah menjadi buku kuno ini?" ujarku menduga-duga. Yasinta memutar bola mata sebal.
"Aku tidak jadi pinjam, Ra," kata Yasinta kembali fokus kepada buku PR.
"Tunggu, Yas, tapi novelku telah berubah menjadi buku aneh ini," bantahku.
"Berhenti mengkhayal, Ra, lupakan soal novelnya," kata Yasinta benar-benar tidak peduli.
Sekali lagi kuperiksa tasku, kukeluarkan semua isi buku dan kupastikan satu per satu. Benar, novelku menghilang dan buku yang sebelumnya tidak ada dan tidak kuketahui berada di tasku.
Nah, aku harus segera mencari pinjaman novel agar tidak didenda saat jam bahasa nanti.
***
Matahari semakin condong di langit barat. Suasana seperti ini mengingatkanku pada mimpi semalam. Sensasi merinding membelai setiap senti kulit. Kutepuk pipi keras-keras, memastikan tidak sedang bermimpi. Syukurlah tidak, ini memang bukan mimpi.
Harusnya aku sudah pulang sejak tadi, tetapi karena tidak sempat piket akhirnya Elang menyuruhku membuang sampah ke tempat pembuangan di sudut belakang sekolah. Yang benar saja, tugas seperti ini diserahkan kepada perempuan. Terlebih lagi tempat sampah sedang penuh. Bayangkan bagaimana aku harus membawanya menuruni tangga sendirian. Puh, menyebalkan!
Segera kucuci tangan setelah menyelesaikan tugas ini. Kiranya semua orang sudah pulang ketika aku kembali, ternyata Elang masih di kelas, memelitur rak sudut baca segi enam itu.
"Sendirian saja? Teman-teman tim sudut baca mana?" tanyaku mengemasi buku.
"Entah," jawab Elang cuek.
"Butuh bantuan?"
"Tidak, pulang saja sana!"
"Ah, baiklah, maaf kalau seharian ini aku selalu membuatmu marah," ujarku mengendikkan bahu kemudian beranjak pergi.
"Tidak, tunggu!" panggilnya tiba-tiba.
"Apa?" langkahku terhenti. Ia terdiam sejenak.
"Tidak perlu ... maksudku, bantu aku, aku sedang buru-buru!" kata Elang pada akhirnya. Dasar labil! Aku hanya menurut, mencari kuas bekas praktik prakarya. Pelitur ini pun pasti sisa dari proyek prakarya kelompok Elang. Aku pun bergabung dengan Elang memelitur rak ini.
"Sebenarnya kamu tidak perlu minta maaf."
"Ha?"
"Sebenarnya kamu tidak perlu minta maaf," ulang Elang. Cukup lama aku mencerna kata-katanya, berharap kalimat berikutnya akan seperti ini, "sebab kamu seharusnya tidak perlu kumarahi hanya karena kesalahan kecil begitu."
Baiklah, itu ekspektasinya. Mau tahu realitanya?
"Sebab minta maaf pun tidak berguna, kamu akan tetap membuatku kesal pada hari-hari berikutnya," jawab Elang.
Aku hanya tersenyum kecut. Tidak apa-apa, jika berharap Elang akan berkata-kata baik dan enak di dengar, itu adalah kesalahan terbesarku.
"Orang sepertimu akan selalu membuatku kesal, sungguh, aku sangat tidak menyukaimu!" tegas Elang sambil cuek, tetap memoleskan cairan pelitur ke rak kayu.
"Iya, terima kasih sudah mengakuinya, meski kamu demikian aku tidak sekali pun memiliki perasaan yang sama untukmu," jawabku santai.
"Aku tidak sedang memujimu!" serunya kesal.
"Tentu saja, aku tahu kamu mengatakan yang sebenarnya, tidak pernah ada orang yang sekeren kamu menyatakan kebenciannya langsung di hadapanku," jawabku. Elang hanya memalingkan wajah.
"Aku juga tidak sedang memujimu, lho!" tambahku lagi.
Setelah itu, hanya detak jarum detik yang terdengar memenuhi penjuru ruangan.
"Aku ke toilet dulu," katanya. Setelah itu aku hanya sendirian di kelas hingga lewat pukul setengah lima. Pada akhirnya aku sendiri yang merampungkan memelitur rak ini. Kurasa Elang pergi ke toilet rumahnya, sebab hampir setengah jam dia belum kembali juga.
Rak berpelitur yang belum kering itu kubiarkan di lantai dan aku pun beranjak pergi. Karena tas dan barang-barang Elang masih di dalam, aku tidak mengunci kelas, hanya menutup pintunya sementara entah Elang berada di mana.
.Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!