Tepat ketika bel masuk berbunyi aku baru saja melewati gerbang sekolah. Masih harus berlari, tak ingin guru jam pertama masuk sebelum aku sampai di kelas lebih dulu. Tali sepatu yang terlepas sempat terinjak ketika menaiki tangga. Syukurlah aku tidak sampai jatuh.
Ketika aku membuka pintu kelas, Marvel si sekretaris sedang menulis namaku di papan absensi. Hampir mencentang alfa, kemudian dihapusnya setelah melihat kedatanganku.
"Kamu telat, Dek! Telaat!" seru Marvel berlaga seperti senior ekskul yang suka memlonco juniornya.
"Bukan telat, Kak, saya tepat waktu malah," jawabku juga pura-pura menjadi junior. Segera aku menuju bangkuku di pojok belakang dekat sudut baca.
"Kalau piket datang pagi!" ujar Elang dingin.
"Lho, aku kan piket siang," jawabku.
"Masalahnya semua yang piket hari ini mengaku piket siang, lalu siapa yang bertanggung jawab untuk piket pagi?"
Aku mendengus sebal. Haruskah? Haruskah pagi ini dimulai dengan pertengkaran tidak penting begini? Aku ingin hidup damai.
"Baiklah, baik, minggu depan aku tidak begini lagi, anggap saja hari ini aku sedang sial, oke?" jawabku mengalah. Elang berdecak pelan. Aku tidak peduli. Kulihat Yasinta yang sepertinya sedang mengerjakan PR menahan tawa mati-matian. Nah, kan, bahagia dia melihatku sengsara.
"Mengerjakan apa?" tanyaku.
"PR Fisika, kamu sudah?" ujarnya balik bertanya. Aku hanya nyengir. Bahkan aku tak ingat kalau ada PR hari ini. Yasinta juga balas tersenyum.
"Baiklah, aku sudah tahu jawabanmu."
Tentu saja, sejak SMP menjadi temanku dia mengerti benar bagaimana perangaiku.
"Halaman berapa?" tanyaku.
"Tiga puluh enam, pilihan ganda, cara pengerjaannya dicantumkan juga."
"Wah, aku lupa kalau ternyata semua soal-soal di buku ini sudah kukerjakan semua," ujarku membalik keadaan.
"Cih, kamu semakin rajin akhir-akhir ini, menyebalkan!"
"Aku bukannya semakin rajin, Yas. Hanya saja aku jadi sering galau karena selalu dimarahi, di rumah maupun di sekolah, itulah yang menyebalkan," jawabku. Elang berdeham keras, mendengar percakapan kami. Lagi-lagi aku tidak peduli.
"Galaumu berguna sekali ya?" kata Yasinta, "kamu sudah terlalu pintar, Ra, jangan membuatku semakin silau dengan aksi galaumu itu."
Entahlah, apa yang membuat orang lain silau dariku? Aku hanya manusia biasa yang lamban —aku menyebutnya santai. Aku bukan dari keluarga berada yang bergelimang harta. Aku juga tidak bisa dikatakan sebagai siswa yang rajin, sebab belajar hanya menunggu suasana hati membaik. Meski besok ulangan pun jika aku tidak ingin belajar maka sungguh aku tidak akan belajar. Pada tahun kedua SMA ini aku lebih memprioritaskan membaca novel dan mengarang cerpen daripada membaca atau merangkum materi. Entah kenapa, ketika kuceritakan semua itu, semakin banyak orang yang iri. Sebab meski demikian, aku tetap selalu mendapat nilai bagus setiap ulangan. Yah, mana kutahu.
"Ra ... Shira..!"
"Heh?"
"Kamu melamun?" tanya Yasinta.
"Eh, tidak, aku hanya mengingat-ingat kapan semua ini kukerjakan."
"Oh ... Boleh kusalin PR-mu?"
"Iya, tidak apa-apa," jawabku mulai mempersiapkan buku untuk jam pertama. Yasinta menatapku tidak percaya.
"Tidak jadi, deh," kata Yasinta.
"Lho, kenapa?"
"Tidak biasanya kamu baik hati begini, aku curiga kamu sedang ada maunya."
"Tidak, kok."
"Tidak, deh, tidak jadi."
Eh, ya sudah, pikirku. Aku melirik jam. Sudah sepuluh menit sejak bel masuk, ini memang jam fisika. Pak guru pengajarnya selalu terlambat satu jam. Iya, selalu begitu.
"Ngomong-ngomong, kamu mau mendengar ceritaku?" tanyaku.
"Tuh, kan, benar ada maunya," jawab Yasinta.
"Eh, tidak, tapi iya, sih! Dengarkan ya?"
"Tidak, Ra, itu bukan ceritamu, aku tahu semalam kamu membaca novel baru, menemukan ide baru, lalu memanipulasi di beberapa bagian dan menyatakan bahwa itu ceritamu. Hati-hati, Ra, sesungguhnya itu sangat dekat dengan plagiarisme," tutur Yasinta.
"Tidak, Yas, sungguh! Baiklah, aku memang begadang membaca novel semalam, tapi yang akan kuceritakan bukan cerpen terbaruku, melainkan tentang mimpiku semalam," bantahku.
"Sama saja, Ra! Suasana dalam novel itu membuatmu terbayang terus hingga terbawa mimpi. Aku lebih tertarik membaca novel aslinya daripada mendengar tentang mimpimu," jawab Yasinta tetap tidak peduli. Aku menggembungkan pipi sebal. Tidak cukup mengataiku penulis amatir, dia bahkan sudah enggan mendengar ceritaku. Cih! Teman macam apa itu?!
"Mana, Ra?"
"Apanya?"
"Novel barumu, aku juga ingin membacanya," kata Yasinta. Aku mengaduk-aduk isi tas, mencari novel bersampul biru muda itu. Namun, sepertinya ... tidak ada? Aku yakin sekali hari ini membawanya karena mengetahui akan ada jam Bahasa Indonesia, sehingga perlu membawa bahan bacaan.
"Kamu tidak bawa? Hayoo siap-siap didenda Pak Hanri, lho! Hari ini ada Bahasa Indonesia," kata Yasinta.
"Sungguh, Yas, aku sudah memasukkannya ke dalam tas tadi," jawabku masih sibuk mencari. Justru aku menemukan buku bersampul cokelat —seperti kulit kayu, juga bertekstur kasar seperti kulit kayu. Bagian dalamnya berupa kertas seperti lembaran kayu yang amat tipis, berisi penuh aksara asing —seperti aksara di Rusia— di setiap halamannya.
"Buku apa ini?" tanyaku dan Yasinta bersamaan.
"Kamu juga tidak tahu, Ra?"
Aku menggeleng. Kuamati lebih teliti, warna dan tekstur kertas kayu ini mengingatkanku akan satu hal, mimpiku semalam. Aku menelan ludah ngeri.
"Apa jangan-jangan novelku berubah menjadi buku kuno ini?" ujarku menduga-duga. Yasinta memutar bola mata sebal.
"Aku tidak jadi pinjam, Ra," kata Yasinta kembali fokus kepada buku PR.
"Tunggu, Yas, tapi novelku telah berubah menjadi buku aneh ini," bantahku.
"Berhenti mengkhayal, Ra, lupakan soal novelnya," kata Yasinta benar-benar tidak peduli.
Sekali lagi kuperiksa tasku, kukeluarkan semua isi buku dan kupastikan satu per satu. Benar, novelku menghilang dan buku yang sebelumnya tidak ada dan tidak kuketahui berada di tasku.
Nah, aku harus segera mencari pinjaman novel agar tidak didenda saat jam bahasa nanti.
***
Matahari semakin condong di langit barat. Suasana seperti ini mengingatkanku pada mimpi semalam. Sensasi merinding membelai setiap senti kulit. Kutepuk pipi keras-keras, memastikan tidak sedang bermimpi. Syukurlah tidak, ini memang bukan mimpi.
Harusnya aku sudah pulang sejak tadi, tetapi karena tidak sempat piket akhirnya Elang menyuruhku membuang sampah ke tempat pembuangan di sudut belakang sekolah. Yang benar saja, tugas seperti ini diserahkan kepada perempuan. Terlebih lagi tempat sampah sedang penuh. Bayangkan bagaimana aku harus membawanya menuruni tangga sendirian. Puh, menyebalkan!
Segera kucuci tangan setelah menyelesaikan tugas ini. Kiranya semua orang sudah pulang ketika aku kembali, ternyata Elang masih di kelas, memelitur rak sudut baca segi enam itu.
"Sendirian saja? Teman-teman tim sudut baca mana?" tanyaku mengemasi buku.
"Entah," jawab Elang cuek.
"Butuh bantuan?"
"Tidak, pulang saja sana!"
"Ah, baiklah, maaf kalau seharian ini aku selalu membuatmu marah," ujarku mengendikkan bahu kemudian beranjak pergi.
"Tidak, tunggu!" panggilnya tiba-tiba.
"Apa?" langkahku terhenti. Ia terdiam sejenak.
"Tidak perlu ... maksudku, bantu aku, aku sedang buru-buru!" kata Elang pada akhirnya. Dasar labil! Aku hanya menurut, mencari kuas bekas praktik prakarya. Pelitur ini pun pasti sisa dari proyek prakarya kelompok Elang. Aku pun bergabung dengan Elang memelitur rak ini.
"Sebenarnya kamu tidak perlu minta maaf."
"Ha?"
"Sebenarnya kamu tidak perlu minta maaf," ulang Elang. Cukup lama aku mencerna kata-katanya, berharap kalimat berikutnya akan seperti ini, "sebab kamu seharusnya tidak perlu kumarahi hanya karena kesalahan kecil begitu."
Baiklah, itu ekspektasinya. Mau tahu realitanya?
"Sebab minta maaf pun tidak berguna, kamu akan tetap membuatku kesal pada hari-hari berikutnya," jawab Elang.
Aku hanya tersenyum kecut. Tidak apa-apa, jika berharap Elang akan berkata-kata baik dan enak di dengar, itu adalah kesalahan terbesarku.
"Orang sepertimu akan selalu membuatku kesal, sungguh, aku sangat tidak menyukaimu!" tegas Elang sambil cuek, tetap memoleskan cairan pelitur ke rak kayu.
"Iya, terima kasih sudah mengakuinya, meski kamu demikian aku tidak sekali pun memiliki perasaan yang sama untukmu," jawabku santai.
"Aku tidak sedang memujimu!" serunya kesal.
"Tentu saja, aku tahu kamu mengatakan yang sebenarnya, tidak pernah ada orang yang sekeren kamu menyatakan kebenciannya langsung di hadapanku," jawabku. Elang hanya memalingkan wajah.
"Aku juga tidak sedang memujimu, lho!" tambahku lagi.
Setelah itu, hanya detak jarum detik yang terdengar memenuhi penjuru ruangan.
"Aku ke toilet dulu," katanya. Setelah itu aku hanya sendirian di kelas hingga lewat pukul setengah lima. Pada akhirnya aku sendiri yang merampungkan memelitur rak ini. Kurasa Elang pergi ke toilet rumahnya, sebab hampir setengah jam dia belum kembali juga.
Rak berpelitur yang belum kering itu kubiarkan di lantai dan aku pun beranjak pergi. Karena tas dan barang-barang Elang masih di dalam, aku tidak mengunci kelas, hanya menutup pintunya sementara entah Elang berada di mana.
.Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Quinnela Estesa
ini berapa kata yah? satu chapter? 1000 kah atau kira2 berapa?
2024-07-08
0
Park Kyung Na
suka 😊
2023-07-09
0
Zila Aziz
baru bertemu novel ini .padahal tadi ku rasa click dinovel lain..semacam misteri harap tak bermimpi horror la malam nanti.
2022-09-03
0