Sepuluh tahun berlalu setelah kelahiran bayi mungil berjenis kelamin laki-laki, kehidupan Anita pun berubah drastis dari kesengsaraan dilalui selama ini.
Siapa yang menyangka jika anak yang ia pertahankan dalam rahimnya itu, tumbuh menjadi anak jenius yang mampu membuat kehidupannya berubah.
Tak lagi kesulitan dengan keuangan, bahkan kini Anita menempati sebuah rumah layak dengan mobil pribadi dimiliki. Itu semua berkat bocah laki-laki yang diberi nama Arga.
Diam-diam, bocah dengan kecerdasan di atas rata-rata itu membuat sebuah game dan mengembangkannya. Game yang dibuat, sanggup diterima oleh dunia dan pundi-pundi rupiah pun mengalir layaknya air.
Anita tak pernah mengetahui akan apa dilakukan oleh putranya, ia pun terkejut begitu sang anak mengakui semua bersama Rian. Ya, Rian membantu Arga untuk mewujudkan keinginan yang terbesit begitu saja dari seorang anak berusia tujuh tahun.
Terlalu muda memang, tapi usia hanya sebuah angka yang tak pernah bisa dijadikan patokan atas sebuah kecerdasan. Namun, karena kecerdasan luar biasa yang dimiliki, justru membuat Arga tidak di terima sekolah.
Entah apa alasan dari beberapa sekolah untuk menolaknya, mungkin saja mereka takut kewalahan menghadapi Arga yang bahkan sanggup mengerjakan soal tersulit ketika mendaftar.
Arga tak berkecil hati walau ditolak oleh beberapa sekolah, ia tak hentinya belajar dan justru menjadi seorang anak yang berhasil di usianya.
Belajar tentang dunia game secara otodidak dari ponsel Rian kala lelaki itu datang, Arga mempelajari dengan sungguh-sungguh hingga sanggup mencapai keberhasilan di usianya yang baru sepuluh tahun.
----------------
Malam ini, Anita baru kembali dari pertemuan yang melibatkan Arga selaku pengembang game termuda di dunia. Memasuki sebuah rumah yang hanya ditempati berdua, Anita sejenak duduk di ruang tamu bersama putranya melepas rasa lelah.
“Arga ambilkan minum buat mama sebentar,” kata bocah berambut hitam pekat itu.
“Tidak perlu, Sayang. Kemarilah,” sahut Anita mengulurkan tangan kanan.
Arga duduk di samping sang mama, yang tak pernah bosan memperhatikan tiap pahatan indah dari Tuhan pada wajahnya. Terkadang, Anita bertanya pada hatinya tentang wajah sang anak yang begitu mirip lelaki di kamar hotel hari itu. Ya, mungkin saja jika kecerdasan Arga juga turunan darinya.
“Ma, boleh Arga tanya sesuatu?” menoleh bocah kini tengah menyandarkan kepala pada pangkuan sang mama.
“Apa?” sahut Anita seraya membelai rambut bocah berkemeja hitam pendek tersebut.
“Who’s my dad?” tanya Arga tanpa lagi basa-basi, ia telah menahan cukup lama atas pertanyaan tak pernah berani dilontarkan.
Anita tersentak, dia menatap putranya. Apa yang harus ia jawab, apakah ia harus mengakui semua jika anaknya terlahir tanpa seorang ayah?
Apa yang akan terjadi ketika Arga mengetahui hal itu? Apakah ia akan menganggap bahwa dirinya penghancur sebuah keluarga, ataukah akan menganggap bahwa kehadirannya tak pernah diharapkan?
“Kenapa? Kenapa kamu bertanya hal itu?” senyum paksa dikembangkan Anita.
“Just want to know, Mom. Bukankah aku harus mengetahui siapa ayahku? Apa mama tidak merasa hal itu sangat penting untukku? Aku ingin mengenalnya,” terang Arga.
“You know, Mom? Actually, aku begitu iri dengan mereka yang memiliki ayah. Aku ingin bisa bermain bola dan menghabiskan waktu seperti mereka di taman lalu bercanda. Mungkin makan es krim dan menikmati hari libur,” tambahnya seraya menatap ke langit-langit rumah seolah tengah membayangkan.
Luruh air mata Anita, tatkala mendengarkan ucapan dari putranya. Dia tak pernah memikirkan hal itu sama sekali, dan berusaha sebaik mungkin memberikan kasih sayang pada Arga tanpa membiarkan dirinya merasa kekurangan.
Namun, anak tetaplah membutuhkan kedua orang tua dalam pertumbuhannya. Tak peduli seberapa jenius anak itu, tak peduli seberapa mandiri sikap ditunjukkan selama ini, Arga tetaplah seorang anak yang memiliki hati dan perasaan.
Rasa iri terhadap anak-anak lain yang bisa menghabiskan waktu bersama kedua orang tua, jelas dirasakan oleh Arga. Bocah itu pun sering menatap di balik pagar rumahnya ketika hari minggu. Di mana beberapa dari tetangga lingkungannya tinggal, saling melakukan rutinitas jalan-jalan pagi.
Sang anak berjalan di antara kedua orang tua, saling menyatukan tangan. Arga bermimpi tentang itu, dia meminta pada Tuhan untuk diberikan kesempatan merasakan hal sama layaknya anak seusianya.
Tak banyak yang diharapkan oleh Arga dalam hidupnya, hanya ingin menghabiskan waktu dan tertawa. Bukan harta, bukan kecerdasan yang menjadikannya berbeda, bukan pula ketenaran seperti apa yang dicapainya. Tapi keutuhan keluarga kecil yang bahagia.
Air mata menetes tepat di wajahnya, menyadarkan Arga dari lamunan indah tentang sebuah keluarga. Ia menatap sang mama, lalu duduk di sampingnya menyeka air mata.
“Don’t cry, please. I’am sorry, really sorry.” Arga menyeka air mata mamanya lembut.
Pelukan diberikan oleh Anita pada seorang anak yang dianggapnya terlalu dewasa. “Maafkan, Mama.”
Arga tak berkata apa-apa, dia merasa bersalah atas air mata sang mama. Bukan kali ini, tapi Arga sering melihat mata coklat itu berurai air mata kala malam.
Isakan tangis pun terdengar begitu menyiksa, tanpa pernah Arga tahu mengapa.
Itulah alasan darinya tak pernah mengutarakan tentang keinginan, tak pernah bertanya tentang seseorang yang mungkin harus dipanggilnya papa. Arga melepaskan pelukan, dia mengukir senyum. “Give me your beautiful smile, Mom. Please,” pintanya dalam senyuman.
“Love you, Honey. You are my life,” kata Anita tulus.
“Love you too, Mom. You are my everything,” sahut Arga tersenyum lebar.
Anita pun mengukir senyum lebar yang sama, kembali memeluk putranya dan mengecup kening. Arga tak hentinya menggerutu ketika harus dicium, namun itu terlihat lucu bagi Anita ketika memperhatikan.
Dia tak menyukai ketika dicium, tapi sangat menyukai untuk bersandar kepala dan dibelai lembut rambutnya. Tak hentinya ia berterima kasih pada Tuhan, karena sudah menghadirkan Arga dalam hidupnya yang mampu menjadi penyemangat, juga alasan untuknya tetap menjalani kehidupan.
“Sekarang kamu harus istirahat,” ucap Anita. “Tapi ganti pakaian dulu,”
“Aku ingin makan, apa tidak boleh?” jawab Arga seraya mengusap perutnya.
“Tentu, mama akan buatkan makan dan kamu ganti baju dulu. Setuju?” sahut Anita mencubit gemas kedua sisi wajah putranya.
“Oh ayolah, aku bukan anak kecil. Jangan mencubitku seperti ini,” protes Arga.
“Kamu bilang mencintai mama, tapi dicubit dan dicium tidak mau?” berlagak merajuk Anita melipat tangan depan dada.
“Ah, baiklah. Tapi jangan lakukan di depan orang lain seperti tadi,” ucap Arga, berhasil membuat mamanya tersenyum.
“Anak tampan,” cubit Anita gemas pada pipi kanan Arga, hingga kepalanya turut bergoyang mengikuti gerakan tangan.
Menuruti sang mama untuk berganti pakaian, Arga berpamitan lebih dulu ke kamar. Anita langsung menuju dapur, anaknya memang selalu makan sebelum tidur di malam hari. Itu sudah menjadi kebiasaannya dari kecil, tak akan bisa tidur sebelum makan malam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Desii Bune Arka
lha masa anaknya baru usia 7 thun sih?? kan udah 10thn sejak kelahiran bayi mungil🤔
2022-06-24
0
✪⃟𝔄ʀ ησƒяιтα 🅾︎🅵︎🅵 ⍣⃝కꫝ🎸
punya keluarga lengkap impian setiap anak2
2021-12-25
0
Asri Rahmadani
penasaran siapa bapaknya arga..
2021-10-11
0