Bab 3

Matahari belum juga menampakan diri ketika Ayumi mulai berjalan menaiki area haiking di Stanley Park, dengan mengenakan jaket merah tebal miliknya ia terus berjalanan menaiki pegunungan itu tak memedulikan cuaca dingin yang mulai menusuk kulitnya, dengan hanya ditemani lagu-lagu mp3 di dalam iponenya ia berjalan semakin cepat menembus hutan.

Dia berhenti sesaat hanya untuk menaikan volume ipone miliknya yang terhubung dengan earphone di telinganya, ia tidak memedulikan peringatan yang muncul di layar kalau volume itu sudah melewati ambang batas aman, yang ia inginkan adalah menghilangkan suara-suara milik wanita yang mengaku sebagai teman ibunya, tapi sayang suara Chris Martin tidak dapat mengalahkan suara wanita itu yang masih terngiang-ngiang di dalam kepalanya.

"Sembilan tahun terakhir Ibumu mulai merasakan sakit." Ayumi masih mengingat kata demi kata dari wanita itu ketika menceritakan Ibunya.

"Awalnya Ibumu mengira kalau itu hanya sakit biasa." Ayumi mengganti lagu Cold Play dengan lagu Avenged sevenfold yang lebih keras, ia berharap kalau suara teriakan Shadow sang vokalis ketika menyanyikan lagu little piece of heaven lebih bisa meredam suara-suara itu, tapi rupanya itu tidak berhasil.

"Sampai akhirnya empat tahun yang lalu Ibumu baru mengetahui kalau dia menderita leukeumia," Ayumi terus berjalan melewati pohon-pohon western red cedar dan hemlock yang berdiri kokoh menjulang, ia semakin mempercepat jalannya sesekali dia berlari ketika semburat merah cahaya matahari mulai mengintip di balik pohon-pohon raksasa itu. Dia tidak memedulikan napasnya yang semakin terengah-engah, ia terus berjalan cepat berharap meninggalkan suara wanita itu jauh di belakangnya, tapi sayang suara itu seperti bayangan yang terus mengikutinya.

"Tapi semua sudah terlambat." Ayumi hampir mencapai puncak, dengan napas terengah dan kaki yang mulai terasa pegal ia terus menaiki sisa dari trek haiking itu yang semakin menanjak.

"Satu-satunya cara untuk menyelamatkannya adalah dengan pencangkokan sumsum tulang belakang." Suara khas Adam Lavine sudah mulai menggantikan suara Shadow ketika akhirnya ia mencapai puncak.

"Tapi sayang tidak ada donor yang cocok, sampai akhirnya beberapa bulan kemudian Ibumu menyerah dan dia meninggal." Ayumi mencoba mengatur napasnya yang masih terengah ketika mencapai puncak, pemandangan yang memperlihatkan matahari terbit di pantai Stanley yang ada dibawahnya tidak dapat mengalihkan pikiran Ayumi dari kata-kata terakhir wanita itu.

Bukan rasa sedih yang ia rasakan ketika mendengar kematian Ibunya tapi rasa kecewa lebih menguasai hatinya, dia tidak peduli kalau orang akan menganggapnya kejam atau anak yang tak berbakti, apa yang harus ditangisi? Tidak ada sedikitpun kenangan tentang ibunya yang bisa dia ingat. Selama dua puluh satu tahun hidupnya tak pernah sekalipun dia bertemu dengan ibunya, hanya satu lembar foto dan cerita yang dikisahkan ayahnya yang membentuk sosok ibu yang menemaninya tumbuh.

Beberapa saat Ayumi berdiri sambil mengatur napasnya, gumpalan uap terlihat setiap kali dia membuang napas menandakan kalau cuaca pagi itu sangat dingin, wajah putihnya semakin terlihat pucat tapi hidung dan bibirnya terlihat memerah, setelah napasnya kembali normal dia memanjat ke atas batu besar lalu duduk di atasnya. Matanya memandang jauh lautan yang terhampar luas, tapi tidak dengan pikirannya yang tak mau lepas dari sosok ibunya yang kini telah tiada itu. Dua tahun lalu ketika dia memutuskan mencari ibunya jauh ke negri orang, hanya satu keinginannya yaitu membuktikan kalau pikirannya salah selama ini. Pikiran merasa dibuang oleh ibu kandungnya walaupun ayahnya selalu marah setiap kali ia melontarkan kata-kata itu, ayahnya selalu mengatakan kalau ibunya sangat menyayanginya hanya situasi dan kondisilah yang membuatnya harus terpisah dari anak yang telah dilahirkannya.

Tapi tidak adakah keinginan ibunya itu untuk mencarinya? Apakah ibunya tidak ingin melihatnya? Memeluknya? Atau hanya memandangnya dari kejauhan? Apakah hati ibunya sudah benar-benar membencinya hanya karena dia adalah sebuah kesalahan di masa muda? Hei, perlu diingat yang melakukan kesalahan itu ibu dan ayahnya, tapi kenapa ia yang disalahkan dan dihukum? Mata Ayumi memandang kumpulan burung camar yang terbang mengelilingi pantai untuk mencari makan atau sekedar berjemur, ia merasa iri dengan burung-burung itu yang terbang bebas tanpa beban sedikitpun, tanpa pikiran-pikiran jahat tentang ibunya yang semakin menggerogoti jiwa, ia membuang napas berat hanya untuk sedikit meringankan beban yang menghimpit dadanya.

Dua tahun terakhir ini ia berusaha berdamai dengan ibunya, mencari ke sana - ke sini sosok yang belum ia temui itu hanya untuk berdiri di depannya dan dengan lantang berkata, "Bu, aku Ayumi putrimu, apa Ibu ingat? Kau yang melahirkanku untuk kemudian kau tinggalkan, tapi Ibu tidak perlu khawatir walau kau tak ada di sampingku karena Ayah telah mendidik dan membesarkanku dengan baik. Aku sengaja datang hanya untuk bertemu denganmu, tidak usah khawatir, Bu, aku tak akan menuntut apa-apa yang aku inginkan hanya... ya minimal seumur hidup aku bertemu sekali dengan Ibuku bukan hanya dari foto dan cerita kenangan Ayah saja, karena sepertinya mustahil untukku menunggumu untuk mencariku. Aku hanya ingin meminta maaf karena telah jadi bebanmu selama ini, walaupun bukan kesalahanku aku terlahir di dunia ini, tapi tidak apa-apa aku berterima kasih karena kau telah melahirkanku ke dunia ini, dan Bu, aku memaafkanmu untuk tidak pernah hadir dalam dua puluh satu tahun hidupku."

Tapi sekarang kata-kata itu menguap begitu saja seiring kabar yang diterima tentang ibunya, apa sebegitu tidak maunyakah ibunya bertemu dengan Ayumi, sampai ibunya pergi ke tempat yang tidak bisa ia datangi? Ayumi menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, berharap udara dingin pagi itu bisa membersihkan pikirannya dari hal-hal yang mengganggunya.

Suara jepretan kamera membuatnya tersentak, seketika pikiran serta fokusnya kembali seutuhnya ke tempat ia berada sekarang. Ayumi menatap sekeliling mencari asal suara itu, sampai ia menemukan sosok pria tinggi dengan jaket biru keluar dari balik pohon, ia memicingkan matanya berusaha mengenali sosok yang berjalan mendekatinya. Pria itu... perlahan ia mengenali sosok yang semakin mendekat, pria yang setiap hari ia temui di cafe, pria yang namanya John teriakan kepadanya kemari. Erik. Pria itu kembali mengambil beberapa gambar dengan kamera profesional miliknya mengacuhkan Ayumi seolah-olah ia adalah makhluk tak kasat mata.

Menyadari hal itu Ayumi kembali mengalihkan pandangannya ke depan, lalu memasang earphonenya kembali setelah sebelumnya ia melepas benda itu ketika mencapai puncak, ia tersentak ketika menyadari betapa keras suara yang keluar dari benda mungil itu, secepat kilat ia mengecilkan volumenya dan suara merdu dari Chris Martin kembali mengalun dalam telinganya membisikan syair lagu Magic.

Entah berapa lama ia duduk terdiam menikmati pemandangan pantai dan taman di bawah sana bertemankan suara merdu yang keluar dari earphonenya ketika dia menyadari seseorang telah duduk di sampingnya di atas batu. Ayumi melirik sosok pria berjaket biru itu yang tengah menatap lurus ke depan ke hamparan laut biru, seperti yang ia lakukan dari tadi.

"Indah bukan?" Suara berat milik pria itu memecah keheningan di antara mereka, Ayumi melepas earphonenya sambil menganguk setuju.

"Iya." Ayumi kembali menatap ke depan dimana matahari sudah mulai memancarkan sinar keemasan.

"Apa kau sering datang ke sini?" Pria itu kini fokus menatap gadis berambut hitam itu.

"Tidak begitu sering," Ayumi tersenyum sambil menjawab pertanyaan Erik yang masih menatapnya.

"Hanya pada saat kau melarikan diri?"

Ayumi tersentak mendengar ucapan pria itu, untuk sesaat ia terdiam dan hanya menatap mata hitam sekelam malam yang masih menatapnya dengan sorot mata tajam, tapi ada kilatan lembut di dalam sorot itu yang membuatnya berpikir kalau ia bisa mempercayai pria itu.

"Iya, hanya disaat melarikan diri." Ayumi menekuk kakinya lalu menarik kedua lututnya ke dalam pelukan, ia menyandarkan kepalanya di atas lutut sambil menatap pria di sampingnya.

"Apa kau juga sedang melarikan diri?" Erik tertawa mendengar pertanyaan gadis bermata bulat itu.

"Tidak, aku sengaja datang ke sini untuk mengambil gambar." Ia mengangkat kamera yang terkalung dileharnya.

"Aku pernah melihatku di UBC, apa kau mahasiswa seni?" Ayumi berdiri sambil meregangkan badannya, diikuti oleh Erik yang langsung lompat turun dari atas batu, dia menjulurkan tangannya untuk membantu gadis itu turun, awalnya Ayumi ragu dan hanya memandang uluran tangan yang menunggunya itu tapi akhirnya Ayumi menerima uluran itu lalu dengan bertumpu pada tangan kokoh itu ia melompat dari atas batu.

"Lebih tepatnya, mengajar, aku dosen di sana," Ayumi berhenti dari langkahnya dan menatap pria itu tak percaya.

"Kau, dosen?"

"Iya, apa aku tak pantas jadi dosen?" Pria itu menatap Ayumi dengan geli, bibir pria itu menyunggingkan senyum miring dan Ayumi baru menyadarinya kalau pria itu memiliki lesung pipit di sebelah pipinya.

Ayumi melanjutkan jalannya menuruni area hiking itu, "Well, aku yakin kalau kau akan menjadi dosen favorit mahasiswi di sana." Erik tersenyum mendengar perkataan gadis mungil yang kini berjalan disampingnya.

"Tidak juga, mereka menjulukiku patung es."

"Tidak mungkin," Ayumi membelalakan matanya sambil tertawa tak percaya, pria tampan di sampingnya, pemilik senyum menggoda itu dijuluki patung es? Itu tidak mungkinkan?

Erik hanya tersenyum sambil mengangguk, mereka melanjutkan perjalanan turun dari area hiking, "Dan kau adalah mahasiswi fakultas kedokteran?"

"Bagaimana kau tahu?"

"John yang menceritakannya padaku."

Ayumi tertawa ketika mendengar teman ajaibnya itu disebutkan.

"Iya, aku mahasiswi kedokteran."

"Apa kau ingin menjadi ahli bedah? Atau mungkin dokter anak?" Ayumi terdiam sesaat sebelum menjawab pertanyaan itu.

"Tidak."

"Maksudmu kau tidak akan mengambil specialisasi?" Erik sedikit mengerutkan keningnya mendengar ucapan gadis itu.

"Maksudku aku tidak mau jadi ahli bedah atau dokter anak." Ayumi diam beberapa saat sebelum melanjutkan ucapannya, "Aku ingin menjadi ahli forensik."

Erik membelalakan matanya tak percaya dengan apa yang dia dengar, "Kau mau jadi ahli forensik?"

"Iya." Ayumi terus berjalan meninggalkan Erik yang masih menganga tak percaya, saat ini ia sudah sampai di tempat sepedanya diparkirkan. Ia sudah bersiap di atas sepeda dengan earphone yang kembali terpasang di kedua telinganya, tangannya dengan lincah memainkan ipone miliknya mencari lagu untuk menemaninya dalam perjalanan menuju cafe tempat ia bekerja, untuk kali ini ia memilih ditemani oleh Tailor Swift.

"Katakan kepadaku alasanmu memilih menjadi ahli forensik?" Erik telah berdiri di samping sepeda Ayumi sambil memerhatikan gadis itu yang sudah siap di atas sepeda. Ayumi mencopot sebelah earphonenya supaya Erik mengulangi pertanyaannya, ia terdiam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaain itu.

"Tidak ada alasan khusus, ya minimal mereka tidak akan menuntutku kalau hasil jahitanku jelek," Dengan santai ia memasang kembali earphonenya dan mulai melaju meninggalkan Erik yang masih diam mematung mendengar jawaban singkat gadis itu.

Erik tertawa setelah menyadari jawaban gadis yang kini telah mulai menjauh, tanpa pikir panjang ia mengangkat kameranya dan mengambil gambar tampak belakang gadis berjaket merah yang tengah mengayuh sepeda di tengah suasana pagi Vancouver yang dingin.

****

Terpopuler

Comments

sakura🇵🇸

sakura🇵🇸

erik terpesona sebagai seorang laki2 atau hanya sekedar mengagumi karena ayumi memang cantik dan pintar....

2025-04-04

0

Dwi Sasi

Dwi Sasi

Erik ini apakah stalker, atau penggemar rahasia??

2022-11-19

0

Retno Dwi

Retno Dwi

visual nya thooor

2022-01-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!