Girl In The Winter

Girl In The Winter

Bab 1

Gadis itu berdiri di tengah taman yang memutih oleh salju selaras dengan warna coat yang ia kenakan, rambut hitam panjangnya tertutup oleh topi rajut biru muda yang melindungi dari dinginnya salju.

"Salju." Wajah gadis itu menengadah menatap salju yang berjatuhan dengan perlahan, "Ayu sudah datang, Mah," bisik gadis itu lirih, "Tunggu, Ayu pasti akan menemukan Mamah," matanya masih menatap langit yang menjatuhkan butiran-butiran salju semakin deras.

Gadis itu membetulkan syalnya hingga menutupi mulut, dia mengambil napas dalam-dalam sebelum tangannya yang tertutup sarung tangan rajut dengan warna sama dengan topinya menarik koper tua di sampingnya, perlahan dia melanjutkan langkahnya menyusuri jalan setapak menuju jalanan kota Vancouver yang padat. Tanpa gadis itu sadari seseorang tengah memerhatikannya dari tadi, matanya terpaku kepada sosoknya yang tengah menarik koper merah di tengah hujan salju, setelah sosok gadis itu mulai tak terlihat lagi, perlahan orang itu membalikkan badannya dan mulai berjalan, berbaur dengan orang lain yang berjalan tergesa-gesa menghindari hujan salju sore itu.

Hujan salju semakin deras membuat semua orang berlindung di balik hangatnya tembok rumah lengkap dengan selimut, perapian dan secangkir coklat panas untuk menghangatkan tubuh mereka. Tapi tidak dengan gadis yang tengah menarik koper tua merah di antara hamparan salju yang menebal. Kakinya sudah lelah berjalan, tubuhnya menggigil, giginya gemerutuk karena dingin, secepatnya ia harus menemukan tempat untuk berteduh.

Seandainya... ya seandainya ibunya belum pindah dari alamat yang ia miliki, mungkin saat ini ia tak akan terluntang-lantung di tengah hujan salju di negri orang seperti saat ini. Tapi kini ia terus berjalan melawan angin dan hujan salju yang cukup lebat hingga ia kesulitan untuk berjalan apalagi harus membawa koper tuanya.

Akhirnya ia menemukan sebuah café yang telah tutup dengan kursi dan meja masih terpasang di teras. Dengan tubuh tergopoh-gopoh ia berjalan menuju teras café. Ia mengintip ke arah dalam tapi tak ada sorang-pun di sana.

Dengan tubuh gemetar kedinginan ia menarik beberapa meja kemudian dijadikan benteng yang melindunginya dari angin musim dingin yang menusuk hingga tulang, tapi meja-meja itu tak cukup menghangatkannya.

Ia kemudian membuka kopernya, mengeluarkan beberapa helai pakaian untuk menyelimuti tubuhnya yang semakin terasa beku. Tubuh kecilnya menggelung di balik meja, giginya gemerutuk hebat, bibirnya kini mulai membiru, wajahnya memucat, kelopak matanya semakin berat membuatnya terpejam.

Tidak! Ia tersentak, dengan sekuat tenaga mencoba menjaga agar ia tak kehilangan kesadaran. Tapi tubuhnya tak bisa lagi diajak kerjasama, kini pandangannya semakin buram, kelopak matanya semakin berat, perlahan kesadarannya semakin menipis bersamaan dengan datangnya sebuah cahaya yang semakin lama semakin mendekatinya.

******

Gadis berambut hitam itu tampak lincah ketika harus membereskan piring dan gelas-gelas kotor di atas meja di cafe.

"Ayumi!" Seorang wanita paruh baya dengan badan gemuk di balik apron bunga-bunga yang dikenakan memanggil gadis itu dari balik meja counter.

"Tolong antarkan ini kemeja luar, kau tahu kan ini pesanan salah satu pengemarmu." Wanita itu mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum jahil yang ditanggapi Ayumi dengan senyum manisnya.

"Dia bukan penggemarku, Marry."

"Oh, ayolah sayang, kau pikir dia setiap hari rela duduk di luar hanya untuk makan wafel buatanku? Wafelku tidak seenak itu, dear." Dengan logat Inggrisnya yang kental Marry tersenyum menggoda gadis mungil itu.

"Wafel buatanmu adalah yang terbaik yang ada di Vancouver ini, Marry." Ayumi tersenyum sambil mengambil nampan yang berisi wafel dengan es krim dan siraman sirup maple di atasnya, Marry menghentikan langkah Ayumi, dia menggenggam pergelangan gadis itu dan menariknya mendekat, dia memberi isyarat agar Ayumi mendekatkan telinganya supaya bisa berbisik.

"Dengar, jangan lupa tanyakan nama dan no teleponnya ok?" Mendengar itu Ayumi hanya bisa memutar bola matanya dan menggeleng sambil melanjutkan kembali langkahnya.

"Ayumi, jangan lupa, sebelum John mengambilnya." Mendengar perkataan itu sukses membuat Ayumi tertawa, John temannya yang ajaib, yah dia yakin kalau pria itu akan menjadi target John.

Ayumi berjalan menuju meja cafe yang ada di luar, meja itu memang selalu menjadi favorit, mungkin karena suasananya yang santai jadi pengunjung dapat menikmati makanan sambil menikmati alam Vancouver yang asri.

"Sir, ini pesanan anda." Ayumi menaruh piring wafel itu di atas meja bundar yang tertutup taplak meja kotak-kotak merah putih, pria di hadapannya hanya menatap sekilas kemudian mengangguk sebelum kembali melanjutkan aktifitasnya dengan pensil dan buku sketsa gambar yang ada di pangkuannya, "Apakah ada pesanan lain,Sir,"

"Tidak, terima kasih." Pria itu bahkan tanpa repot-repot harus mengangkat kepalanya dari buku gambar miliknya ketika menjawab pertanyaan Ayumi.

Ayumi mengangguk lalu kembali masuk ke dalam dimana Marry telah menunggunya.

"Bagaimana, apa kau berhasil?" Marry bertanya dengan antusias.

"Well, Marry, aku rasa tebakanmu kali ini salah." Ayumi mengangguk menatap wanita yang masih menatapnya dengan antusias.

"Tidak, hasil pengamatanku tidak pernah salah, sayang, dia menyukaimu aku tahu dari cara dia menatapmu."

"Marry, dia bahkan tidak menatapku."

"Dia menatapmu."

"Hanya satu detik." Ayumi mengangkat alis matanya sambil tersenyum ketika melihat Marry tidak mempercayinya, dia sangat yakin kalau pria itu menyukai Ayumi.

Pria itu tidak bisa dibilang cukup menarik, tapi sangat menarik. Bukan type pria Eropa dengan rambut pirang dan mata biru, tapi seperti kebanyakan pria Asia lainnya dengan rambut hitam dan mata sekelam malam, pria itu memiliki tinggi di atas rata-rata pria Asia lainnya, tingginya sekitar 185cm, kulitnya yang putih menandakan kalau pria itu bukan dari Asia Tenggara, entahlah Ayumi tidak bisa menebaknya mungkin dari Jepang, Korea atau Cina.

Hari ini pria itu mengenakan jaket tebal warna biru dipadukan dengan celana jeans biru tua, dia tampak serius dengan buku sketsanya. Mahasiswa seni, Ayumi yakin dia adalah mahasiswa seni di Universitas British Colombia, tempat Ayumi menimba ilmu di fakultas kedokteran, Ayumi pernah melihatnya beberapa kali di kampusnya itu.

"Siapa yang kau perhatikan, Ayumi?" Suara berat milik lelaki yang kini telah berdiri di samping gadis itu membuatnya sedikit tersentak kaget.

"Demi Tuhan, John, kau mengagetkanku," Ayumi menatap pria tampan itu dengan pandangan membunuh, John terkekeh melihat reaksi Ayumi dan mengalihkan pandangannya ke arah dimana gadis itu tadi memandang, John langsung bersiul ketika melihat sosok yang menjadi objek pandang Ayumi tadi.

"Jadi siapa pria tampan itu?" John tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari pria berjaket biru itu.

"Entahlah, aku juga tidak mengenalnya." Ayumi mengangkat sebelah bahunya sambil bersandar santai ke meja counter di sebelah John yang kini telah melipat kedua tangannya di atas dada dan menatap Ayumi penuh selidik.

"Aku serius, John, aku tak mengenalnya," Ayumi menatap John tak mau kalah.

"Jadi kau mengamatinya, bahkan ketika kau tak tahu namanya?" John mengikuti Ayumi yang berjalan memasuki dapur cafe itu.

"Aku tak mengamatinya, aku hanya melihatnya sebentar saja," Ayumi terus berjalan tanpa menghiraukan John yang masih mengikutinya.

"Oh ayolah, yang benar saja, kau pasti mengenalnya, minimal kau pasti tahu namanya."

"Aku serius, John, aku tak mengenalnya." Ayumi membuka apron bekerjanya, menaruhnya di dalam loker dan mengambil bajunya.

"John, aku mau ganti pakaian." Ayumi menatap John yang masih berdiri didepannya.

"Ok, ganti saja," jawaban John itu sukses membuat Ayumi melotot marah padanya.

"John!"

"Ayolah, Ayumi, kau tahu sendiri aku lebih tertarik melihat pria berjaket biru itu ganti pakaian dari pada aku melihatmu." John melipat tangan di dadanya dan menatap Ayumi santai dengan menaikan kedua alis matanya.

"John, bagaimanapun kau adalah pria dan aku perempuan."

"Lalu?"

"John, ini tidak pantas ok?" John hanya mengherdikan bahunya tak perduli, "Dengar, bagaimanapun kau adalah pria, dan insting priamu pasti akan muncul kalau melihat seorang perempuan telanjang di depanmu," Ayumi memandang John dengan sorot mata penuh pengertian.

"Dengan tubuh rata seperti milikmu? Percayalah, dear, aku bahkan pernah melihat tubuh seperti Pamela Anderson telanjang di hadapanku, dan itu tidak berpengaruh." John mengangguk dengan meyakinkan, sedangkan Ayumi hanya bisa menunduk menatap tubuhnya yang rata. Tidak mungkin serata itukan?

"John, keluar dari sini atau aku akan benar-benar membuatmu tak berfungsi." Ayumi menggeram sambil menatap mata John lalu turun ke bawah tepat di bawah perut sixpack milik laki-laki itu lalu naik lagi menatap mata John dengan sorot penuh ancaman.

"Baiklah-baiklah aku keluar, dasar perempuan cepat sekali marah, itulah kenapa aku tidak suka perempuan." John mendumel sambil pergi meninggalkan Ayumi yang tersenyum sambil menggelengkan kepalanya mendengar ocehan John sahabat ajaibnya dan penyelamat hidupnya.

Dia ingat dua tahun lalu ketika ayahnya memberitahu Ayumi kalau ibu kandungnya yang berkebangsaan Jepang masih hidup dan telah menikah lagi lalu menetap di Kanada, maka gadis muda itu memutuskan untuk mencari ibunya ke Vancouver berdasarkan alamat terakhir yang ayahnya dapatkan dari ibunya, tapi sayang semua tak semulus yang diharapkan. Ibunya ternyata telah pindah.

Tanpa arah tujuan gadis itu menyeret koper merahnya di tengah hujan salju di bulan Maret, dimana pada bulan itu udara di Vancouver bisa menembus -25C, terbiasa dengan udara panas di Indonesia Ayumi pada waktu itu hampir saja mati membeku, malam itu dia berlindung dari hujan salju di bawah atap sebuah cafe yang telah tutup. Untung saja John datang dan melihat gadis yang hampir saja meninggal karena hipotermia, John mengangkat tubuh Ayumi yang menggigil hebat masuk ke dalam cafe, dia mengganti semua baju basah gadis itu menyelimutinya dengan berlapis-lapis selimut, dan merendam kakinya dengan air panas, John bahkan menyuapi gadis yang tidak dia kenal itu sup ayam dan coklat panas sehingga akhirnya kondisinya membaik.

Ayumi sampai kapanpun tidak akan melupakan malam itu, dan sampai sekarang John David Parker adalah teman ajaibnya dan malaikat pelindungnya. Ayumi keluar dari ruangan loker karyawan setelah berganti pakaian dengan celana jeans, sweeter dan jaket tebal merahnya dia mengalungkan headset yang terhubung dengan ipone yang ada di saku jaketnya, dengan tas ransel putih hadiah ulang tahun dari John dia sudah siap untuk pergi kuliah sore itu.

Ayumi keluar dari pintu belakang setelah berpamitan pada Mary, lalu menuntun sepeda miliknya, kampusnya hanya berjarak beberapa blok saja dari cafe itu jadi Ayumi lebih memilih menaiki sepeda supaya bisa terus bergerak dan tidak kedinginan, setibanya di pinggir jalan raya sebelah cafe dia bisa melihat John yang kini tengah duduk dengan santai berbicara dengan pria berjaket biru, ayumi hanya bisa tersenyum melihat pemandangan itu, dia sudah tahu dari awal kalau malaikat pelindungnya itu tidak akan membiarkan begitu saja pria seperti itu.

Ayumi memakai headsetnya dan menyalakan ipone miliknya, musik dari Avanged sevenfold langsung membakar semangatnya melalui telinganya. Ia mulai bersepeda dengan santai melewati cafe dimana dia bekerja, ketika tiba-tiba suara teriakan John membuatnya harus menghentikan sepedanya, Ayumi membuka sebelah headsetnya karena tidak yakin apa John memanggilnya atau dia yang salah dengar.

"Kau memanggilku, John?"

"Iya."

"Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin memanggilmu," John tersenyum menggoda, sedangkan Ayumi hanya bisa memutar bola matanya melihat kelakuan teman ajaibnya itu.

"Ayumi!" John kembali memanggil gadis itu ketika dia hendak memasang headsetnya lagi.

"Apa?" Ayumi menatap John dengan malas.

"Namanya Erik, dia dari Korea, bukankah kau dari tadi ingin tahu namanya?" John mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum menggoda, Ayumi hanya bisa menganga tak percaya teman ajaibnya, malaikat pelindungnya, lupakan teman ajaib dan malaikat pelindung karena saat ini Ayumi berharap kalau badai salju tiba-tiba datang dan menghanyutkan malaikat pelindungnya itu.

Ayumi yakin kalau saat ini mukanya telah semerah apel Washington, dia memasang kembali headsetnya dan menatap John dengan pandangan seorang pembunuh profesional, lalu mulutnya berkata tanpa suara, "Aku akan membunuhmu!" Sebelum kembali mengayuh sepedanya dengan kekuatan penuh, dan sialnya Ayumi masih mendengar suara tawa John yang membahana.

******

Terpopuler

Comments

Ira arif

Ira arif

baru mulai baca, eh masak gak ada komen disini?

2024-01-17

0

Secret admirer 😊

Secret admirer 😊

Karena kangen karya teteh, jd mampir lagi ke novel-novel lama teteh.
Kapan launching novel baru teh?

2023-08-15

0

Maya Kitajima

Maya Kitajima

ga da satupun novelnya otor alana yang pernah ku baca buat kecewa...semuanya membuatku hanyut dan masuk kedalamnya...benar2 luar biasa..👍👍👍👍👍

2023-08-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!