Gadis itu berdiri di tengah taman yang memutih oleh salju selaras dengan warna coat yang ia kenakan, rambut hitam panjangnya tertutup oleh topi rajut biru muda yang melindungi dari dinginnya salju.
"Salju." Wajah gadis itu menengadah menatap salju yang berjatuhan dengan perlahan, "Ayu sudah datang, Mah," bisik gadis itu lirih, "Tunggu, Ayu pasti akan menemukan Mamah," matanya masih menatap langit yang menjatuhkan butiran-butiran salju semakin deras.
Gadis itu membetulkan syalnya hingga menutupi mulut, dia mengambil napas dalam-dalam sebelum tangannya yang tertutup sarung tangan rajut dengan warna sama dengan topinya menarik koper tua di sampingnya, perlahan dia melanjutkan langkahnya menyusuri jalan setapak menuju jalanan kota Vancouver yang padat. Tanpa gadis itu sadari seseorang tengah memerhatikannya dari tadi, matanya terpaku kepada sosoknya yang tengah menarik koper merah di tengah hujan salju, setelah sosok gadis itu mulai tak terlihat lagi, perlahan orang itu membalikkan badannya dan mulai berjalan, berbaur dengan orang lain yang berjalan tergesa-gesa menghindari hujan salju sore itu.
Hujan salju semakin deras membuat semua orang berlindung di balik hangatnya tembok rumah lengkap dengan selimut, perapian dan secangkir coklat panas untuk menghangatkan tubuh mereka. Tapi tidak dengan gadis yang tengah menarik koper tua merah di antara hamparan salju yang menebal. Kakinya sudah lelah berjalan, tubuhnya menggigil, giginya gemerutuk karena dingin, secepatnya ia harus menemukan tempat untuk berteduh.
Seandainya... ya seandainya ibunya belum pindah dari alamat yang ia miliki, mungkin saat ini ia tak akan terluntang-lantung di tengah hujan salju di negri orang seperti saat ini. Tapi kini ia terus berjalan melawan angin dan hujan salju yang cukup lebat hingga ia kesulitan untuk berjalan apalagi harus membawa koper tuanya.
Akhirnya ia menemukan sebuah café yang telah tutup dengan kursi dan meja masih terpasang di teras. Dengan tubuh tergopoh-gopoh ia berjalan menuju teras café. Ia mengintip ke arah dalam tapi tak ada sorang-pun di sana.
Dengan tubuh gemetar kedinginan ia menarik beberapa meja kemudian dijadikan benteng yang melindunginya dari angin musim dingin yang menusuk hingga tulang, tapi meja-meja itu tak cukup menghangatkannya.
Ia kemudian membuka kopernya, mengeluarkan beberapa helai pakaian untuk menyelimuti tubuhnya yang semakin terasa beku. Tubuh kecilnya menggelung di balik meja, giginya gemerutuk hebat, bibirnya kini mulai membiru, wajahnya memucat, kelopak matanya semakin berat membuatnya terpejam.
Tidak! Ia tersentak, dengan sekuat tenaga mencoba menjaga agar ia tak kehilangan kesadaran. Tapi tubuhnya tak bisa lagi diajak kerjasama, kini pandangannya semakin buram, kelopak matanya semakin berat, perlahan kesadarannya semakin menipis bersamaan dengan datangnya sebuah cahaya yang semakin lama semakin mendekatinya.
******
Gadis berambut hitam itu tampak lincah ketika harus membereskan piring dan gelas-gelas kotor di atas meja di cafe.
"Ayumi!" Seorang wanita paruh baya dengan badan gemuk di balik apron bunga-bunga yang dikenakan memanggil gadis itu dari balik meja counter.
"Tolong antarkan ini kemeja luar, kau tahu kan ini pesanan salah satu pengemarmu." Wanita itu mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum jahil yang ditanggapi Ayumi dengan senyum manisnya.
"Dia bukan penggemarku, Marry."
"Oh, ayolah sayang, kau pikir dia setiap hari rela duduk di luar hanya untuk makan wafel buatanku? Wafelku tidak seenak itu, dear." Dengan logat Inggrisnya yang kental Marry tersenyum menggoda gadis mungil itu.
"Wafel buatanmu adalah yang terbaik yang ada di Vancouver ini, Marry." Ayumi tersenyum sambil mengambil nampan yang berisi wafel dengan es krim dan siraman sirup maple di atasnya, Marry menghentikan langkah Ayumi, dia menggenggam pergelangan gadis itu dan menariknya mendekat, dia memberi isyarat agar Ayumi mendekatkan telinganya supaya bisa berbisik.
"Dengar, jangan lupa tanyakan nama dan no teleponnya ok?" Mendengar itu Ayumi hanya bisa memutar bola matanya dan menggeleng sambil melanjutkan kembali langkahnya.
"Ayumi, jangan lupa, sebelum John mengambilnya." Mendengar perkataan itu sukses membuat Ayumi tertawa, John temannya yang ajaib, yah dia yakin kalau pria itu akan menjadi target John.
Ayumi berjalan menuju meja cafe yang ada di luar, meja itu memang selalu menjadi favorit, mungkin karena suasananya yang santai jadi pengunjung dapat menikmati makanan sambil menikmati alam Vancouver yang asri.
"Sir, ini pesanan anda." Ayumi menaruh piring wafel itu di atas meja bundar yang tertutup taplak meja kotak-kotak merah putih, pria di hadapannya hanya menatap sekilas kemudian mengangguk sebelum kembali melanjutkan aktifitasnya dengan pensil dan buku sketsa gambar yang ada di pangkuannya, "Apakah ada pesanan lain,Sir,"
"Tidak, terima kasih." Pria itu bahkan tanpa repot-repot harus mengangkat kepalanya dari buku gambar miliknya ketika menjawab pertanyaan Ayumi.
Ayumi mengangguk lalu kembali masuk ke dalam dimana Marry telah menunggunya.
"Bagaimana, apa kau berhasil?" Marry bertanya dengan antusias.
"Well, Marry, aku rasa tebakanmu kali ini salah." Ayumi mengangguk menatap wanita yang masih menatapnya dengan antusias.
"Tidak, hasil pengamatanku tidak pernah salah, sayang, dia menyukaimu aku tahu dari cara dia menatapmu."
"Marry, dia bahkan tidak menatapku."
"Dia menatapmu."
"Hanya satu detik." Ayumi mengangkat alis matanya sambil tersenyum ketika melihat Marry tidak mempercayinya, dia sangat yakin kalau pria itu menyukai Ayumi.
Pria itu tidak bisa dibilang cukup menarik, tapi sangat menarik. Bukan type pria Eropa dengan rambut pirang dan mata biru, tapi seperti kebanyakan pria Asia lainnya dengan rambut hitam dan mata sekelam malam, pria itu memiliki tinggi di atas rata-rata pria Asia lainnya, tingginya sekitar 185cm, kulitnya yang putih menandakan kalau pria itu bukan dari Asia Tenggara, entahlah Ayumi tidak bisa menebaknya mungkin dari Jepang, Korea atau Cina.
Hari ini pria itu mengenakan jaket tebal warna biru dipadukan dengan celana jeans biru tua, dia tampak serius dengan buku sketsanya. Mahasiswa seni, Ayumi yakin dia adalah mahasiswa seni di Universitas British Colombia, tempat Ayumi menimba ilmu di fakultas kedokteran, Ayumi pernah melihatnya beberapa kali di kampusnya itu.
"Siapa yang kau perhatikan, Ayumi?" Suara berat milik lelaki yang kini telah berdiri di samping gadis itu membuatnya sedikit tersentak kaget.
"Demi Tuhan, John, kau mengagetkanku," Ayumi menatap pria tampan itu dengan pandangan membunuh, John terkekeh melihat reaksi Ayumi dan mengalihkan pandangannya ke arah dimana gadis itu tadi memandang, John langsung bersiul ketika melihat sosok yang menjadi objek pandang Ayumi tadi.
"Jadi siapa pria tampan itu?" John tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari pria berjaket biru itu.
"Entahlah, aku juga tidak mengenalnya." Ayumi mengangkat sebelah bahunya sambil bersandar santai ke meja counter di sebelah John yang kini telah melipat kedua tangannya di atas dada dan menatap Ayumi penuh selidik.
"Aku serius, John, aku tak mengenalnya," Ayumi menatap John tak mau kalah.
"Jadi kau mengamatinya, bahkan ketika kau tak tahu namanya?" John mengikuti Ayumi yang berjalan memasuki dapur cafe itu.
"Aku tak mengamatinya, aku hanya melihatnya sebentar saja," Ayumi terus berjalan tanpa menghiraukan John yang masih mengikutinya.
"Oh ayolah, yang benar saja, kau pasti mengenalnya, minimal kau pasti tahu namanya."
"Aku serius, John, aku tak mengenalnya." Ayumi membuka apron bekerjanya, menaruhnya di dalam loker dan mengambil bajunya.
"John, aku mau ganti pakaian." Ayumi menatap John yang masih berdiri didepannya.
"Ok, ganti saja," jawaban John itu sukses membuat Ayumi melotot marah padanya.
"John!"
"Ayolah, Ayumi, kau tahu sendiri aku lebih tertarik melihat pria berjaket biru itu ganti pakaian dari pada aku melihatmu." John melipat tangan di dadanya dan menatap Ayumi santai dengan menaikan kedua alis matanya.
"John, bagaimanapun kau adalah pria dan aku perempuan."
"Lalu?"
"John, ini tidak pantas ok?" John hanya mengherdikan bahunya tak perduli, "Dengar, bagaimanapun kau adalah pria, dan insting priamu pasti akan muncul kalau melihat seorang perempuan telanjang di depanmu," Ayumi memandang John dengan sorot mata penuh pengertian.
"Dengan tubuh rata seperti milikmu? Percayalah, dear, aku bahkan pernah melihat tubuh seperti Pamela Anderson telanjang di hadapanku, dan itu tidak berpengaruh." John mengangguk dengan meyakinkan, sedangkan Ayumi hanya bisa menunduk menatap tubuhnya yang rata. Tidak mungkin serata itukan?
"John, keluar dari sini atau aku akan benar-benar membuatmu tak berfungsi." Ayumi menggeram sambil menatap mata John lalu turun ke bawah tepat di bawah perut sixpack milik laki-laki itu lalu naik lagi menatap mata John dengan sorot penuh ancaman.
"Baiklah-baiklah aku keluar, dasar perempuan cepat sekali marah, itulah kenapa aku tidak suka perempuan." John mendumel sambil pergi meninggalkan Ayumi yang tersenyum sambil menggelengkan kepalanya mendengar ocehan John sahabat ajaibnya dan penyelamat hidupnya.
Dia ingat dua tahun lalu ketika ayahnya memberitahu Ayumi kalau ibu kandungnya yang berkebangsaan Jepang masih hidup dan telah menikah lagi lalu menetap di Kanada, maka gadis muda itu memutuskan untuk mencari ibunya ke Vancouver berdasarkan alamat terakhir yang ayahnya dapatkan dari ibunya, tapi sayang semua tak semulus yang diharapkan. Ibunya ternyata telah pindah.
Tanpa arah tujuan gadis itu menyeret koper merahnya di tengah hujan salju di bulan Maret, dimana pada bulan itu udara di Vancouver bisa menembus -25C, terbiasa dengan udara panas di Indonesia Ayumi pada waktu itu hampir saja mati membeku, malam itu dia berlindung dari hujan salju di bawah atap sebuah cafe yang telah tutup. Untung saja John datang dan melihat gadis yang hampir saja meninggal karena hipotermia, John mengangkat tubuh Ayumi yang menggigil hebat masuk ke dalam cafe, dia mengganti semua baju basah gadis itu menyelimutinya dengan berlapis-lapis selimut, dan merendam kakinya dengan air panas, John bahkan menyuapi gadis yang tidak dia kenal itu sup ayam dan coklat panas sehingga akhirnya kondisinya membaik.
Ayumi sampai kapanpun tidak akan melupakan malam itu, dan sampai sekarang John David Parker adalah teman ajaibnya dan malaikat pelindungnya. Ayumi keluar dari ruangan loker karyawan setelah berganti pakaian dengan celana jeans, sweeter dan jaket tebal merahnya dia mengalungkan headset yang terhubung dengan ipone yang ada di saku jaketnya, dengan tas ransel putih hadiah ulang tahun dari John dia sudah siap untuk pergi kuliah sore itu.
Ayumi keluar dari pintu belakang setelah berpamitan pada Mary, lalu menuntun sepeda miliknya, kampusnya hanya berjarak beberapa blok saja dari cafe itu jadi Ayumi lebih memilih menaiki sepeda supaya bisa terus bergerak dan tidak kedinginan, setibanya di pinggir jalan raya sebelah cafe dia bisa melihat John yang kini tengah duduk dengan santai berbicara dengan pria berjaket biru, ayumi hanya bisa tersenyum melihat pemandangan itu, dia sudah tahu dari awal kalau malaikat pelindungnya itu tidak akan membiarkan begitu saja pria seperti itu.
Ayumi memakai headsetnya dan menyalakan ipone miliknya, musik dari Avanged sevenfold langsung membakar semangatnya melalui telinganya. Ia mulai bersepeda dengan santai melewati cafe dimana dia bekerja, ketika tiba-tiba suara teriakan John membuatnya harus menghentikan sepedanya, Ayumi membuka sebelah headsetnya karena tidak yakin apa John memanggilnya atau dia yang salah dengar.
"Kau memanggilku, John?"
"Iya."
"Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin memanggilmu," John tersenyum menggoda, sedangkan Ayumi hanya bisa memutar bola matanya melihat kelakuan teman ajaibnya itu.
"Ayumi!" John kembali memanggil gadis itu ketika dia hendak memasang headsetnya lagi.
"Apa?" Ayumi menatap John dengan malas.
"Namanya Erik, dia dari Korea, bukankah kau dari tadi ingin tahu namanya?" John mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum menggoda, Ayumi hanya bisa menganga tak percaya teman ajaibnya, malaikat pelindungnya, lupakan teman ajaib dan malaikat pelindung karena saat ini Ayumi berharap kalau badai salju tiba-tiba datang dan menghanyutkan malaikat pelindungnya itu.
Ayumi yakin kalau saat ini mukanya telah semerah apel Washington, dia memasang kembali headsetnya dan menatap John dengan pandangan seorang pembunuh profesional, lalu mulutnya berkata tanpa suara, "Aku akan membunuhmu!" Sebelum kembali mengayuh sepedanya dengan kekuatan penuh, dan sialnya Ayumi masih mendengar suara tawa John yang membahana.
******
Sepuluh menit kemudian Ayumi sudah berada di kampusya di UBC, mukanya masih ditekuk karena kesal dengan kelakuan malaikat penyelamatnya yang sepertinya hari ini berubah menjadi Loki yang menyebalkan.
"Ayumi!" Seorang wanita mungil dengan rambut hitam sebahu berlari menyambut gadis itu dengan senyuman lebar.
"Aku ada kabar baik untukmu." Yuki, gadis keturunan Jepang dan salah satu teman baik Ayumi di kampus.
"Ceritakan padaku, karena aku sangat membutuhkannya hari ini." Ayumi terus berjalan memasuki lorong fakultas kedokteran dan masuk ke dalam kelas diikuti Yuki di sampingnya.
"Kau tahukan kalau setiap warga keturunan yang ada di Kanada mempunyai perkumpulan masing-masing, seperti kau yang mengikuti perkumpulan warga Indonesia?" Yuki bertanya dengan penuh antusias, sedangkan Ayumi masih terlihat belum begitu tertarik dengan tema pembicaraan ini, dia mengeluarkan beberapa buku di dalam tasnya kemudian menaruhnya di atas meja.
"Iya, lalu?"
"Begitu dengan warga Jepang, kami punya perkumpulan sendiri," Ayumi mulai mengerti arah pembicaraan temannya itu, dia mengalihkan pandangannya dari catatan pelajaran ke mata sipit gadis Jepang yang sedang tersenyum dan mengangguk-anggukan kepala dengan semangat.
"Ibuku, kau menemukan Ibuku?" Ayumi hampir saja berteriak karena bahagia, akhirnya dia bisa menemukan ibunya setelah pencarian selama dua tahun ini.
"Hei, tenang dulu." Yuki menarik napas sebelum melanjutkan ceritanya, "Aku telah bertanya hampir ke semua orang yang ku kenal dalam perkumpulanku tentang Ibumu, tapi sayang tak seorang-pun mengenalnya." Ayumi menghembuskan napas kecewa lalu melanjutkan kembali aktifitasnya membaca buku catatan tentang organ tubuh manusia setelah seperti biasanya informasi tentang ibunya selalu berakhir dengan jalan buntu.
"Jangan lemas dulu, aku belum selesai bercerita." Yuki tersenyum melihat temannya yang cemberut itu.
"Dengar, kau tahu teman Ibuku dari Toronto datang berkunjung semalam, dan aku sebenarnya hanya iseng saja ketika menanyakan apakah ada wanita Jepang di sana yang bernama Minami Takeda?" Yuki membetulkan kacamata minusnya lalu menatap Ayumi dengan sorot mata serius.
"Dan dia bilang ada," Ayumi membelalakan matanya tak percaya, jantungnya berdebar kencang mendengar kabar yang hampir saja membuatnya putus asa dalam mencari ibunya selama dua tahun terakhir ini.
"Ibuku? Dia kenal Ibuku?" Suara Ayumi terdengar gugup tak percaya kalau akhirnya dia mendengar kabar tentang seseorang yang mengenal ibunya.
"Iya dia mengenal Ibumu!" Yuki tak kalah histeris karena bahagia dari pada Ayumi, mereka saling berpelukan sambil melompat-lompat tak perduli kaki mereka membentur meja.
"Ok cukup, kakiku mulai sakit." Yuki menghentikan acara lompat-lompatnya lalu mengelus-elus lututnya yang terbentur meja, berbeda dengan Ayumi yang tersenyum bahagia tak perduli dengan rasa sakit kakinya.
"Aku lupa, apa kau mempunyai foto ibumu?"
"Iya aku mempunyainya, tapi itu foto lama, bahkan sebelum aku lahir."
"Tidak masalah, teman ibuku meminta fotonya siapa tahu Minami Takeda yang dia kenal adalah orang yang sama dengan Ibumu, jadi apa kau sekarang membawanya?" Ayumi mengambil dompetnya lalu membukanya, di dalam dompetnya ada foto dia bersama Ayah dan adik perempuannya Rama, di bawah foto itu ada foto dengan kertas yang sudah sedikit menguning.
Di dalam foto itu ada seorang gadis dengan pakaian Yukata yang terlihat sangat cantik, matanya bulat seperti mata milik Ayumi, di sebelahnya berdiri dengan gagah ayah Ayumi dengan memakai Yukata juga, serta ada beberapa teman mereka yang lain dengan pakaian yang sama, foto itu diambil pada saat festival kembang api musim panas di Jepang.
"Ini," Ayumi memberikan foto itu kepada Yuki dengan antusias.
"Wow, Ibumu sangat cantik, sangat mirip denganmu," Ayumi tersenyum mendengar pujian itu, Ayumi memang sangat sering mendengar ayahnya mengatakan kalau dia sangat mirip dengan ibunya, tapi berbeda rasanya ketika orang lain yang mengatakannya, ada perasaan sedikit bangga, minimal ada perasaan kalau ibunya akan mengenalnya ketika bertemu dengannya.
"Kau simpan foto ini, kita akan menemui teman Ibuku nanti malam." Ayumi mengangguk dengan semangat, dia tidak sabar untuk mengetahui kabar mengenai ibunya.
****
Mereka duduk di ruang tamu rumah Yuki, rumah bergaya minimalis oriental dengan sentuhan hiasan khas Jepang.
"Jadi, kau putri dari Minami?" wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu memandang Ayumi dengan penuh selidik.
"Iya, Nyonya," Ayumi menjawab dengan gugup, dari pertama dia menginjakan kakinya ke rumah ini dia merasakan keringat dingin membasahi badannya dan jantungnya berdetak dengan kencang karena gugup, Ayumi tak henti-hentinya meremas jari-jari tangannya yang sedingin es.
"Maafkan aku, kau pasti merasa gugup karena sikapku ini. Aku hanya tidak menyangka kalau Minami sudah memiliki putri sebesar ini." Wanita yang dipanggil Yuki dengan sebutan Megumi Sama itu tersenyum lembut setelah melihat Ayumi duduk dengan gugup di hadapannya.
"Tidak apa-apa, Nyonya, jadi anda mengenal Ibu saya?" Mata bulat Ayumi memandang penuh harap.
"Kau membawa foto Ibumu? Hanya untuk meyakinkan saja, aku takut kalau kita sedang membicarakan orang yang berbeda, walaupun kau memiliki mata yang sama dengan temanku." Ayumi mengangguk lalu memangambil foto yang sudah dia siapkan di dalam dompet kemudian menyerahkannya pada wanita itu.
"Kau memang putri Minami temanku," wanita itu menatap foto itu dengan rasa haru.
"Aku ingat foto ini aku ambil pada saat hanabi matsuri terakhirku sebelum aku menikah dan pindah ke Kanada," Wanita itu kembali tersenyum sambil menatap foto tua itu.
"Jadi siapa namamu, Nak?" Wanita itu kini menatap Ayumi dengan sorot mata lembut seperti seorang ibu menatap anaknya.
"Nama saya, Ayumi Maheswara." Wanita itu sedikit mengerutkan keningnya ketika mendengar nama Ayumi.
"Maheswara? Maksudmu kau putri Minami dan Radit Maheswara?" Wanita itu menatap Ayumi tak percaya.
"Iya, Nyonya, Ayahku Radit Maheswara, anda mengenalnya juga?" Ayumi bertanya dengan sorot mata penasaran.
"Iya, aku mengenal Radit, kami kuliah di tempat yang sama walaupun berbeda jurusan, aku tahu Ayahmu adalah laki-laki yang baik, pintar dan juga tampan, aku hanya tak mengira Minami akhirnya menikah dengan Radit." Ayumi sedikit bingung ketika mendengar penjelasan wanita yang kini tengah menatap foto itu dengan serius.
"Katakan, Nak, berapa umurmu?" Wanitu itu menatap Ayumi dengan serius.
"Bulan Juli lalu umur saya 21 tahun," Wanita itu memicingkan matanya, keningnya berkerut lalu kembali menatap foto tua itu seperti sedang berpikir, tiba-tiba mukanya memucat menatap Ayumi tak percaya.
"Nyonya, apa semuanya baik-baik saja?" Ayumi terkejut melihat perubahan ekspresi wanita paruh baya yang kini sepucat mayat, dia menatap Ayumi seolah mencari jawaban di dalam mata hitam milik gadis itu.
Ayumi memberinya teh yang tadi disediakan ibu Yuki, setelah beberapa saat akhirnya wanita itu bisa mengendalikan diri, dia kembali tenang, saat ini mereka memang hanya berdua di ruangan itu, keluarga Yuki sengaja memberikan mereka sedikit ruang pribadi.
"Aku tidak apa-apa, Nak, maafkan aku tadi aku hanya teringat Ibumu," wanita itu kembali tersenyum walau sedikit dipaksakan, Ayumi mengangguk tanda mengerti lalu kembali duduk dengan tenang dihadapan wanita itu.
Wanita itu berdiri lalu berjalan mengelilingi meja dan duduk di sebelah Ayumi, sebelum kembali bercerita tentang ibu Ayumi.
"Ibumu adalah seorang perempuan yang cantik dan pintar, banyak pria yang jatuh cinta padanya tapi hanya satu orang yang membuatnya jatuh cinta," wanita itu tersenyum sambil menggenggam tangan mungil Ayumi, tangan wanita itu sangat dingin dan sedikit gemetar, Ayumi tidak mengetahui apa yang telah terjadi dengan wanita di sampingnya itu, kini dia kembali menatap mata hitam milik gadis itu, alisnya sedikit berkerut seolah-olah kembali mencari jawaban di sana.
Untuk beberapa saat wanita itu berhasil mengendalikan dirinya, dan kembali bersikap normal, "Aku kehilangan kontak dengan Ibumu ketika aku pindah ke Kanada, tapi dua tahun kemudian Ibumu menghubungiku dan berkata kalau dia akan pindah ke Vancouver, aku bahagia mendengarnya karena aku tidak akan merasa sendiri di negara asing ini." Wanita itu menatap Ayumi dan tersenyum lembut sebelum meneruskan ceritanya.
"Ibumu tinggal di Vancouver hanya beberapa bulan, suaminya mendapatkan tugas di Seattle lalu mereka pindah ke sana, mungkin Ibumu lupa untuk memberi tahu soal kepindahannya itu." Wanita itu menatap Ayumi dengan sorot mata penuh simpati.
"Jadi, Ibuku sekarang berada di Seattle?" Ayumi menatap wanita paruh baya itu dengan sorot mata penuh harap, setelah pencarian selama dua tahun akhirnya dia bisa bertemu ibunya.
Tapi wanita itu hanya diam membisu, tiba-tiba ruangan itu dicengkram rasa hening, jantung Ayumi berdetak kencang menanti jawaban dari wanita disampingnya yang mulai berkaca-kaca.
"Nyonya?" Suara Ayumi sarat akan rasa takut.
"Oh sayang, maafkan aku," wanita itu mulai terisak, Ayumi bingung melihat wanita itu menangis tanpa alasan yang jelas.
"Nyonya, anda tidak apa-apa?" Ayumi berusaha menenangkan wanita itu dengan gugup.
"Sayang, maafkan aku," hanya itu yang kembali keluar dari mulutnya di balik isak tangis wanita itu.
Perasaan Ayumi mengatakan kalau ada sesuatu yang salah di sini, jantungnya kembali berdetak kencang, tubuhnya terasa dingin, dia diam membeku mencoba memahami perkataan wanita itu. Tidak ini tidak mungkin seperti apa yang dia pikirkan.
*****
Matahari belum juga menampakan diri ketika Ayumi mulai berjalan menaiki area haiking di Stanley Park, dengan mengenakan jaket merah tebal miliknya ia terus berjalanan menaiki pegunungan itu tak memedulikan cuaca dingin yang mulai menusuk kulitnya, dengan hanya ditemani lagu-lagu mp3 di dalam iponenya ia berjalan semakin cepat menembus hutan.
Dia berhenti sesaat hanya untuk menaikan volume ipone miliknya yang terhubung dengan earphone di telinganya, ia tidak memedulikan peringatan yang muncul di layar kalau volume itu sudah melewati ambang batas aman, yang ia inginkan adalah menghilangkan suara-suara milik wanita yang mengaku sebagai teman ibunya, tapi sayang suara Chris Martin tidak dapat mengalahkan suara wanita itu yang masih terngiang-ngiang di dalam kepalanya.
"Sembilan tahun terakhir Ibumu mulai merasakan sakit." Ayumi masih mengingat kata demi kata dari wanita itu ketika menceritakan Ibunya.
"Awalnya Ibumu mengira kalau itu hanya sakit biasa." Ayumi mengganti lagu Cold Play dengan lagu Avenged sevenfold yang lebih keras, ia berharap kalau suara teriakan Shadow sang vokalis ketika menyanyikan lagu little piece of heaven lebih bisa meredam suara-suara itu, tapi rupanya itu tidak berhasil.
"Sampai akhirnya empat tahun yang lalu Ibumu baru mengetahui kalau dia menderita leukeumia," Ayumi terus berjalan melewati pohon-pohon western red cedar dan hemlock yang berdiri kokoh menjulang, ia semakin mempercepat jalannya sesekali dia berlari ketika semburat merah cahaya matahari mulai mengintip di balik pohon-pohon raksasa itu. Dia tidak memedulikan napasnya yang semakin terengah-engah, ia terus berjalan cepat berharap meninggalkan suara wanita itu jauh di belakangnya, tapi sayang suara itu seperti bayangan yang terus mengikutinya.
"Tapi semua sudah terlambat." Ayumi hampir mencapai puncak, dengan napas terengah dan kaki yang mulai terasa pegal ia terus menaiki sisa dari trek haiking itu yang semakin menanjak.
"Satu-satunya cara untuk menyelamatkannya adalah dengan pencangkokan sumsum tulang belakang." Suara khas Adam Lavine sudah mulai menggantikan suara Shadow ketika akhirnya ia mencapai puncak.
"Tapi sayang tidak ada donor yang cocok, sampai akhirnya beberapa bulan kemudian Ibumu menyerah dan dia meninggal." Ayumi mencoba mengatur napasnya yang masih terengah ketika mencapai puncak, pemandangan yang memperlihatkan matahari terbit di pantai Stanley yang ada dibawahnya tidak dapat mengalihkan pikiran Ayumi dari kata-kata terakhir wanita itu.
Bukan rasa sedih yang ia rasakan ketika mendengar kematian Ibunya tapi rasa kecewa lebih menguasai hatinya, dia tidak peduli kalau orang akan menganggapnya kejam atau anak yang tak berbakti, apa yang harus ditangisi? Tidak ada sedikitpun kenangan tentang ibunya yang bisa dia ingat. Selama dua puluh satu tahun hidupnya tak pernah sekalipun dia bertemu dengan ibunya, hanya satu lembar foto dan cerita yang dikisahkan ayahnya yang membentuk sosok ibu yang menemaninya tumbuh.
Beberapa saat Ayumi berdiri sambil mengatur napasnya, gumpalan uap terlihat setiap kali dia membuang napas menandakan kalau cuaca pagi itu sangat dingin, wajah putihnya semakin terlihat pucat tapi hidung dan bibirnya terlihat memerah, setelah napasnya kembali normal dia memanjat ke atas batu besar lalu duduk di atasnya. Matanya memandang jauh lautan yang terhampar luas, tapi tidak dengan pikirannya yang tak mau lepas dari sosok ibunya yang kini telah tiada itu. Dua tahun lalu ketika dia memutuskan mencari ibunya jauh ke negri orang, hanya satu keinginannya yaitu membuktikan kalau pikirannya salah selama ini. Pikiran merasa dibuang oleh ibu kandungnya walaupun ayahnya selalu marah setiap kali ia melontarkan kata-kata itu, ayahnya selalu mengatakan kalau ibunya sangat menyayanginya hanya situasi dan kondisilah yang membuatnya harus terpisah dari anak yang telah dilahirkannya.
Tapi tidak adakah keinginan ibunya itu untuk mencarinya? Apakah ibunya tidak ingin melihatnya? Memeluknya? Atau hanya memandangnya dari kejauhan? Apakah hati ibunya sudah benar-benar membencinya hanya karena dia adalah sebuah kesalahan di masa muda? Hei, perlu diingat yang melakukan kesalahan itu ibu dan ayahnya, tapi kenapa ia yang disalahkan dan dihukum? Mata Ayumi memandang kumpulan burung camar yang terbang mengelilingi pantai untuk mencari makan atau sekedar berjemur, ia merasa iri dengan burung-burung itu yang terbang bebas tanpa beban sedikitpun, tanpa pikiran-pikiran jahat tentang ibunya yang semakin menggerogoti jiwa, ia membuang napas berat hanya untuk sedikit meringankan beban yang menghimpit dadanya.
Dua tahun terakhir ini ia berusaha berdamai dengan ibunya, mencari ke sana - ke sini sosok yang belum ia temui itu hanya untuk berdiri di depannya dan dengan lantang berkata, "Bu, aku Ayumi putrimu, apa Ibu ingat? Kau yang melahirkanku untuk kemudian kau tinggalkan, tapi Ibu tidak perlu khawatir walau kau tak ada di sampingku karena Ayah telah mendidik dan membesarkanku dengan baik. Aku sengaja datang hanya untuk bertemu denganmu, tidak usah khawatir, Bu, aku tak akan menuntut apa-apa yang aku inginkan hanya... ya minimal seumur hidup aku bertemu sekali dengan Ibuku bukan hanya dari foto dan cerita kenangan Ayah saja, karena sepertinya mustahil untukku menunggumu untuk mencariku. Aku hanya ingin meminta maaf karena telah jadi bebanmu selama ini, walaupun bukan kesalahanku aku terlahir di dunia ini, tapi tidak apa-apa aku berterima kasih karena kau telah melahirkanku ke dunia ini, dan Bu, aku memaafkanmu untuk tidak pernah hadir dalam dua puluh satu tahun hidupku."
Tapi sekarang kata-kata itu menguap begitu saja seiring kabar yang diterima tentang ibunya, apa sebegitu tidak maunyakah ibunya bertemu dengan Ayumi, sampai ibunya pergi ke tempat yang tidak bisa ia datangi? Ayumi menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, berharap udara dingin pagi itu bisa membersihkan pikirannya dari hal-hal yang mengganggunya.
Suara jepretan kamera membuatnya tersentak, seketika pikiran serta fokusnya kembali seutuhnya ke tempat ia berada sekarang. Ayumi menatap sekeliling mencari asal suara itu, sampai ia menemukan sosok pria tinggi dengan jaket biru keluar dari balik pohon, ia memicingkan matanya berusaha mengenali sosok yang berjalan mendekatinya. Pria itu... perlahan ia mengenali sosok yang semakin mendekat, pria yang setiap hari ia temui di cafe, pria yang namanya John teriakan kepadanya kemari. Erik. Pria itu kembali mengambil beberapa gambar dengan kamera profesional miliknya mengacuhkan Ayumi seolah-olah ia adalah makhluk tak kasat mata.
Menyadari hal itu Ayumi kembali mengalihkan pandangannya ke depan, lalu memasang earphonenya kembali setelah sebelumnya ia melepas benda itu ketika mencapai puncak, ia tersentak ketika menyadari betapa keras suara yang keluar dari benda mungil itu, secepat kilat ia mengecilkan volumenya dan suara merdu dari Chris Martin kembali mengalun dalam telinganya membisikan syair lagu Magic.
Entah berapa lama ia duduk terdiam menikmati pemandangan pantai dan taman di bawah sana bertemankan suara merdu yang keluar dari earphonenya ketika dia menyadari seseorang telah duduk di sampingnya di atas batu. Ayumi melirik sosok pria berjaket biru itu yang tengah menatap lurus ke depan ke hamparan laut biru, seperti yang ia lakukan dari tadi.
"Indah bukan?" Suara berat milik pria itu memecah keheningan di antara mereka, Ayumi melepas earphonenya sambil menganguk setuju.
"Iya." Ayumi kembali menatap ke depan dimana matahari sudah mulai memancarkan sinar keemasan.
"Apa kau sering datang ke sini?" Pria itu kini fokus menatap gadis berambut hitam itu.
"Tidak begitu sering," Ayumi tersenyum sambil menjawab pertanyaan Erik yang masih menatapnya.
"Hanya pada saat kau melarikan diri?"
Ayumi tersentak mendengar ucapan pria itu, untuk sesaat ia terdiam dan hanya menatap mata hitam sekelam malam yang masih menatapnya dengan sorot mata tajam, tapi ada kilatan lembut di dalam sorot itu yang membuatnya berpikir kalau ia bisa mempercayai pria itu.
"Iya, hanya disaat melarikan diri." Ayumi menekuk kakinya lalu menarik kedua lututnya ke dalam pelukan, ia menyandarkan kepalanya di atas lutut sambil menatap pria di sampingnya.
"Apa kau juga sedang melarikan diri?" Erik tertawa mendengar pertanyaan gadis bermata bulat itu.
"Tidak, aku sengaja datang ke sini untuk mengambil gambar." Ia mengangkat kamera yang terkalung dileharnya.
"Aku pernah melihatku di UBC, apa kau mahasiswa seni?" Ayumi berdiri sambil meregangkan badannya, diikuti oleh Erik yang langsung lompat turun dari atas batu, dia menjulurkan tangannya untuk membantu gadis itu turun, awalnya Ayumi ragu dan hanya memandang uluran tangan yang menunggunya itu tapi akhirnya Ayumi menerima uluran itu lalu dengan bertumpu pada tangan kokoh itu ia melompat dari atas batu.
"Lebih tepatnya, mengajar, aku dosen di sana," Ayumi berhenti dari langkahnya dan menatap pria itu tak percaya.
"Kau, dosen?"
"Iya, apa aku tak pantas jadi dosen?" Pria itu menatap Ayumi dengan geli, bibir pria itu menyunggingkan senyum miring dan Ayumi baru menyadarinya kalau pria itu memiliki lesung pipit di sebelah pipinya.
Ayumi melanjutkan jalannya menuruni area hiking itu, "Well, aku yakin kalau kau akan menjadi dosen favorit mahasiswi di sana." Erik tersenyum mendengar perkataan gadis mungil yang kini berjalan disampingnya.
"Tidak juga, mereka menjulukiku patung es."
"Tidak mungkin," Ayumi membelalakan matanya sambil tertawa tak percaya, pria tampan di sampingnya, pemilik senyum menggoda itu dijuluki patung es? Itu tidak mungkinkan?
Erik hanya tersenyum sambil mengangguk, mereka melanjutkan perjalanan turun dari area hiking, "Dan kau adalah mahasiswi fakultas kedokteran?"
"Bagaimana kau tahu?"
"John yang menceritakannya padaku."
Ayumi tertawa ketika mendengar teman ajaibnya itu disebutkan.
"Iya, aku mahasiswi kedokteran."
"Apa kau ingin menjadi ahli bedah? Atau mungkin dokter anak?" Ayumi terdiam sesaat sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Tidak."
"Maksudmu kau tidak akan mengambil specialisasi?" Erik sedikit mengerutkan keningnya mendengar ucapan gadis itu.
"Maksudku aku tidak mau jadi ahli bedah atau dokter anak." Ayumi diam beberapa saat sebelum melanjutkan ucapannya, "Aku ingin menjadi ahli forensik."
Erik membelalakan matanya tak percaya dengan apa yang dia dengar, "Kau mau jadi ahli forensik?"
"Iya." Ayumi terus berjalan meninggalkan Erik yang masih menganga tak percaya, saat ini ia sudah sampai di tempat sepedanya diparkirkan. Ia sudah bersiap di atas sepeda dengan earphone yang kembali terpasang di kedua telinganya, tangannya dengan lincah memainkan ipone miliknya mencari lagu untuk menemaninya dalam perjalanan menuju cafe tempat ia bekerja, untuk kali ini ia memilih ditemani oleh Tailor Swift.
"Katakan kepadaku alasanmu memilih menjadi ahli forensik?" Erik telah berdiri di samping sepeda Ayumi sambil memerhatikan gadis itu yang sudah siap di atas sepeda. Ayumi mencopot sebelah earphonenya supaya Erik mengulangi pertanyaannya, ia terdiam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaain itu.
"Tidak ada alasan khusus, ya minimal mereka tidak akan menuntutku kalau hasil jahitanku jelek," Dengan santai ia memasang kembali earphonenya dan mulai melaju meninggalkan Erik yang masih diam mematung mendengar jawaban singkat gadis itu.
Erik tertawa setelah menyadari jawaban gadis yang kini telah mulai menjauh, tanpa pikir panjang ia mengangkat kameranya dan mengambil gambar tampak belakang gadis berjaket merah yang tengah mengayuh sepeda di tengah suasana pagi Vancouver yang dingin.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!