4. Orang-Orang Yang Berkelompok

Aku meletakkan ponsel ke atas meja. Menghirup napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya kuat-kuat. Terkadang jam kosong bisa jadi teramat menyenangkan. Akan tetapi untuk beberapa orang, hal itu bisa berubah membosankan saat sejak jam pertama sampai nyaris jam keenam, kelas terus saja kosong.

Aku memutar arah hadap duduk menjadi 90°, membuat yang tadinya menghadap depan menjadi menghadap samping. Kusenderkan punggung ke tembok. Kemudian mengangkat kaki dan menyelonjorkannya pada kursi kosong di depanku. Begitu posisiku sudah nyaman, mataku langsung tertuju pada sekelompok orang di tengah-tengah kelas yang baru saja berdiri dari duduknya.

Mereka adalah kelompok anak-anak populer di kelasku. Orang-orang yang haus akan kebutuhan media sosial. Video sana sini. Foto sana-sini. Menjadikan orang lain yang lebih populer sebegai tolak ukur kehidupan mereka. Apakah tidak lelah seperti itu?

Dulu semasa awal kelas sepuluh, aku pernah mencoba bergaul dengan mereka. Akan tetapi, pada akhirnya aku memilih menyerah dan mengalah pada kondisi diriku. Bagiku terlalu melelahkan untuk mengikuti gaya hidup mereka. Belum lagi lingkungan yang toxic.

Biar kuberitau kalian suatu hal. Ini mengenai hidup kebanyakan anak-anak populer dibalik feed instagram mereka yang estetis. Dibalik instastories mereka yang hahaha hihihi. Dibalik segala kesenangan yang mereka pamerkan di media sosial, ada aturan tidak tertulis yang mengheruskan mereka saling bersaing dalam hal kepopuleran meskipun mereka dalam satu lingkaran yang sama. Saling menunjukkan gaya siapa yang paling kekinian.

Namun, terkadang aku juga mendapati bahwa mereka hanya seseorang yang biasa ketika mereka tidak bersama kelompok tersebut, ketika mereka hanya sendirian. Mereka hanya seseorang yang berada di depan layar ponsel, yang terlihat acuh tetapi sebenarnya merasa kesepian. Seseorang yang akan datang pada orang-orang sepertiku ketika mereka dikeluarkan dari lingkarannya. Seseorang yang terlihat begitu angkuh ketika bersama kelompoknya, tetapi terlihat tidak cukup tangguh ketika sendirian.

Percayalah, itu adalah lingkungan yang sangat melelahkan. Ketika bersamaku, mereka membicarakan keburukan orang lain. Ketika tidak bersamaku, mereka akan membicarakan keburukanku. Lalu yang lebih menyebalkan lagi, mereka datang ketika butuh lalu hilang ketika dibutuhkan. Memaksa orang lain menolong mereka tetapi tidak mau menolong orang lain.

Beralih dari anak-anak populer yag sudah keluar dari kelas, mataku sekarang memandang pada sekolompok anak-anak pintar yang duduk pada barisan di samping barisan tempat dudukku. Salah satu dari mereka adalah Tina dan teman sebangkunya. Orang-orang seperti mereka itu orang-orang yang sulit dimintai tolong, tetapi bukan berarti tidak mau menolong. Mereka hanya butuh lebih banyak rangasangan untuk mau bergerak menolong orang lain.

Orang yang katakan saja mereka sedikit pelit masalah bekerja sama ketika ujian atau ulangan harian. Namun, mereka bisa diandalkan ketika tugas kelompok datang. Mereka mau bersusah payah mengambil bagian paling sulit atau paling banyak demi tugas kelompok mereka mendapat nilai lebih baik. Aku memang tidak pernah mencoba berada dalam lingkaran mereka, tetapi aku pernah satu dua kali berada dalam tugas kelompok yang sama dengan mereka.

Setelah itu aku mengalihkan pandangan dari anak-anak pintar yang sedang sibuk belajar. Pandanganku beralih pada sekelompok orang yang tempat duduknya berada di belakangku. Mereka adalah sekelompok orang dengan gurauan paling bermutu di kelas, meski terkadang gurauan mereka menyakitiku. Orang-orang biasa saja yang tidak populer juga tidak pintar-pintar sekali. Orang yang sapu-sapu, sekolah pulang-sekolah pulang. Tidak ikut organisasi, tidak ikut ekstrakurikuler apapun. Mungkin hanya sesekali ikut jika diminta guru.

Dulu setelah aku tidak tahan berada di sekitar anak-anak populer, aku memutuskan untuk pindah ke sini. Lalu aku mulai dekat dengan Febry, Kisa, Tika, dan Riani. Meskipun mereka terkadang juga hanya hahaha hihihi di kelas, tetapi ada kalanya mereka juga bisa serius ketika pelajaran.

Namun, dari mereka semua. Sebaik apapun kelompok mereka. Sebaik apapun orang-orang dalam lingkara mereka. Aku tetap merasa ... sendirian. Aku berada di sekitar mereka. Terlihat seperti salah satu bagian dari lingkaran mereka. Akan tetapi, sebenarnya aku hanya berdiri di luar lingkaran dengan jarak yang terlalu dekat. Hingga ketika lingkaran itu berputar terlalu cepat, aku tersenggol, tergores, dan minggalkan sebuah luka.

Terkadang aku tidak ingin, bahkan tidak suka berkelompok. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa aku juga merasa iri dengan mereka yang memiliki sekelompok orang untuk dijadikan tempat saling bertukar cerita meskipun akhirnya hanya untuk saling dibicarakan. Memiliki tempat untuk saling bertukar pikiran. Memiliki tempat untuk bersendau gurau meskipun pada akhirnya gurauan itu melukai diri sendiri.

Seolah perasaan iri yang ada dalam diriku sengaja diciptakan, agar alam semesta dapat menunjukkan bahwa bagaimana pun manusia tetap makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Bahkan untuk aku yang sebenarnya tidak berkelompok dengan siapapun, masih bisa memiliki identitas dengan embel-embel kata kelompok. Iya, kelompok minoritas, kelompok orang-orang yang tersisihkan, kelompok orang-orang yang tidak memiliki kelompok. Miris bukan?

***

Mataku beralih pada pintu masuk ruang kelas saat guru kesenian yang kemarin mengajar, hari ini mendadak masuk kelas lagi. "Selamat siang, anak-anak," sapanya.

Seisi kelas langsung menghentikan kegiatannya masing-masing. Suara-suara percakapan berhenti. Duduk-duduk dirapikan. Kelas menjadi senyap, hingga guru kesenian kembali berbicara, "Yang lain ke mana?"

"Tidak tau, Bu," sahut salah satu dari anak laki-laki yang tadi duduk-duduk di belakang kelas sembari bermain game.

"Ya sudah, nanti temennya yang lain kalian saja yang memberitahukan," ucapnya memutuskan. "Untuk penilaian keterampilan, kalian nanti buat kelompok. Maksimal beranggotakan lima orang. Mau saya pilihkan atau pilih sendiri?" Pertanyaan itu, kenapa dia harus mengimbuhkan pertanyaan itu di akhir kalimatnya? Aku sudah tidak cukup senang dengan permintaan membentuk kelompok.

"Pilih sendiri, Bu," teriak mayoritas teman-teman skelasku.

Sementara suaraku yang meminta untuk dipilihkan saja tidak terdengan oleh guru kesenian. Suaraku teredam dan tenggelam. Jika nanti sekalinya terangkat dan terdengar, pasti akan digoyahkan dengan berbagai argumen yang mempunyai begitu banyak pendukung. Sementara aku yang hanya terdiri dari diriku sendiri rasanya seperti dihujani duri yang ikut keluar dari mulut mereka saat berbicara.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!