"Aku satu kelompok sama kalian, ya." Tidak satupun mendengarkan. Febry, Kisa, Tika, dan Riani, mereka masih sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri.
Aku memutuskan untuk beranjak dari tempat duduk. Kemudian berdiri di samping tempat duduk Tika. "Aku satu kelompok sama kalian, ya?" tanyaku sekali lagi.
Kali ini, barulah mereka memusatkan perhatian kepadaku. "Nanti, Ya. Kita obrolin dulu," jawab Riani. Firasatku tidak cukup baik soal ini. "Coba tanya Tika."
Aku menglihkan pandangan pada Tika. "Aku ngikut yang lain aja."
Selanjutnya jawaban seperti itu menyusul dari Febry dan Kisa. Aku hanya tersenyum setelah mendengar jawaban mereka semua. Lalu kembali ke tempat duduk. Mau marah pun tidak bisa. Aku tidak punya hak untuk marah jika memang mereka tidak memilihku untuk diajak berkelompok. Sekalipun aku dekat dengan mereka, tetapi pada kenyataannya aku hanya berada di luar lingkaran.
Selain masalah teman sebangku. Sejak sekolah dasar, memilih teman untuk tugas kelompok juga menjadi masalah tersendiri buatku. Tunggu dulu, mimilih? Tidak, aku tidak pernah bisa memilih. Jika beruntung aku akan dipilih oleh mereka. Jika tidak, maka aku harus memohon agar mereka memilihku. Namun, semakin ke sini, aku semakin malas untuk menjatuhkan harga diri hanya demi sebuah kelompok dalam tugas. Bahkan dulu saat SMP aku pernah mengerjakan tugas kelompok sendirian karena aku tidak mendapat teman satu kelompok.
Setelahnya, satu hari yang melelahkan pun berlalu. Aku menghempaskan tubuhku pada tempat tidur, masih dengan memakai seragam lengkap. Padahal tadi sebelum masuk kamar, Fandi sudah mengingatkanku. "Langsung ganti baju, Ya. Biar bisa langsung dicuci jadi mama gak panik karena malem-malem seragam kamu belum dicuci."
"Iya, Fan, iya. Langsung aku ganti, kok." Tetapi pada kenyataannya, sekarang aku lebih memilih untuk rebahan dulu sembari bermain ponsel.
Awalnya hanya mengecek kalau-kalau ada pesan yang masuk. Kemudian aku beralih membuka salah satu aplikasi berkirim pesan yang meiliki fitur berbagi cerita. Aku mengecek satu persatu cerita-cerita yang dibagikan temanku. Masih seperti biasa. Sampai muncul lagi sebuah cerita dari Wida--salah satu teman sekelasku--yang waktunya tertulis, "Baru saja."
Aku memutuskan untuk membuka cerita Wida sebelum beranjak mandi. Saat aku membukanya, kudapati sebuha gambar screencapture chatting dari grup yang beranggotakan Febry, Kisa, Riani, Tika, dan Wida sendiri. Foto yang menampakkan sebuah percakapan itu menunjukkan nama grup yang terpampang dengan jelas diatasnya. "Kelompok Kesenian"
Aku tersenyum saat membaca tulisan itu. Jadi ini alasan mereka mencoba bertele-tele saat kutanya. Ada rasa sakit hati, tetapi entah kenapa aku hanya bisa tersenyum. Meskipun rasanya aku ingin membanting ponselku. Sudah entah berapa kali aku ditusuk oleh seseorang bernama Wida ini.
Dia dulunya satu kelompok dengan anak-anak pintar. Tetapi mungkin dengan alasan yang sama sepertiku, dia meninggalkan anak-anak pintar yang kaku. Kemudian bergabung dengan Kisa, Tika, Febry, dan Riani. Mereka berempat jadi lebih sering menghabiskan waktu dengan Wida dibanding bersamaku. Mereka juga terihat ... lebih nyaman bersama Wida. Itu menyakitkan, tetapi aku tidak bisa apa-apa. Jika aku marah, itu justru akan membuat mereka semakin menjauh dariku.
Aku memutuskan untuk segera berhenti menonton cerita yang diposting oleh Wida. Setelah itu aku mengetik nama seseorang yang terlintas dalam benakku di kolom pencarian nama kontak. Setelah ketemu aku segera masuk ke ruang obrolannya, bersiap mengetikkan sesuatu. Namun sampai situ, aku berhenti bergerak. Cukup lama hanya menatap layar ponsel yang masih menyala terang.
Seseorang itu adalah orang yang dulunya berada dalam satu kelompok dengan Febry, Kisa, Riani, dan Tika. Aku ragu untuk menghubungi orang itu meskipun aku yakin dia juga sama sepertiku yang belum mendapat kelompok atau setidaknya kelompok yang dia miliki belum lengkap.
Aku ragu karena aku sempat ikut membencinya hanya karena aku dekat dengan orang-orang yang memiliki masalah dengannya kemudian aku jadi ikut terpengaruh untuk membenci dia. Setelah itu sampai sekitar satu bulan yang lalu aku mulai tidak nyaman dengan perasaan benci yang aku simpan sendiri tanpa alasan yang jelas. Padahal aku tau bahwa sebenarnya dia tidak seburuk yang orang-orang bilang, meskipun tidak benar-benar baik juga.
Namun, mau bagaimana pun aku membutuhkan kelompok. Aku harus menghubunginya. Jadi aku segera mengetik sebuah pertanyaan. "Mina, udah dapat teman kelompok kesenian belum?"
Aku menunggu, lalu tidak berselang lama aku mendapatkan balasan darinya. "Udah, Ya. Tapi belum lengkap. Kurang satu. Kamu mau gabung?"
Lihat? Dia tidak seburuk yang orang-orang bilang. Bahkan dengan menawari masuk kelompoknya, dia cukup peka menurutku. Tanpa menunggu lama, aku membalas pesannya. "Iya, aku mau gabung sama kelompokmu."
"Tapi aku satu kelompok sama Kalid, Dion, Adit. Tau sendiri kalau mereka susah diatur, kan?"
"Gak apa-apa, kok." Aku juga tidak bisa menolak sekalipun pada akhirnya mendapat kelompok yang susah diatur. Mau bagaimana pun aku butuh dan hanya tersisa mereka, aku tidak bisa memilih.
Setelahnya aku mengucapkan terimakasih dan obrolan kami berakhir. Aku semakin yakin bahwa Mina tidak seburuk yang mereka bilang. Manusia memang seperti itu, menilai terlalu berlebihan hanya karena sebuah masalah. Kemudian membicarakan penilaian buruk mereka pada orang lain. Membuat orang lain mempercayai itu lalu berakhir ikut membenci.
Padahal mungkin orang yang mereka benci hanya terlihat buruk dalam pendengaran mereka. Sementara dalam penglihatan, belum tentu terlihat sama buruknya. Bisa jadi lebih baik, bisa jadi juga lebih buruk. Jadi jangan menilai hanya dari mendengar, lalu membagikan penilaian yang salah itu kepada orang lain. Nilailah secara seimbang dari pengalaman mendengar dan melihat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments