Rasanya semua seperti berputar pada poros yang itu-itu saja setiap hari. Terkadang aku berpikir untuk dapat melompati saja fase ini, tetapi tidak. Jika aku berpikir di fase selanjutnya aku akan bahagia, belum tentu seperti itu. Aku tau pasti bahwa di fase selanjutnya aku akan mengemban tanggung jawab yang lebih besar.
Aku menghela napas ketika bangun tidur dan masih menatap langit-langit. Rasanya baru lima menit lalu aku menghempaskan diri pada kasur empuk tempatku tidur. Tiba-tiba sudah pagi saja. Aku menghela napas sekali lagi. Berpikir bahwa nanti aku juga akan segera menghempaskan pantat pada tempat dudukku di kelas, lalu tiba-tiba sudah pulang ke rumah lagi. Mengerjakan beberapa tugas. Kemudian kembali tidur.
Setelah puas memikirkan semua itu, aku memilih untuk duduk sembari mengikat rambut sebahuku. Lalu seperti dugaanku, dengan cepat waktu sudah menginjak pukul enam lebih lima belas. Aku sudah selesai sarapan dan Fandi sedang memanaskan motornya di halaman depan. Aku menyusul Fandi keluar, segera setelah berpamitan dengan Mama yang hari ini berangkat agak siang ke tempat kerja.
Aku dan Fandi berangkat seperti biasa. Namun saat sampai di pertigaan dekat sekolahku, Fandi menghentikan motornya. "Kenapa, Fan? Mogok?" tanyaku yang mendapati jawaban nyolot dari Fandi.
"Enak aja mogok! Enggak. Kan sekolahmu dari sini udah deket. Turun sini aja, ya. Ke sekolah lanjut jalan kaki. Aku mau jemput pacar." Dengan berat hati aku menyetujui permintaan Fandi. Meski pun sebenarnya aku sedikit kesal, tetapi sudahlah.
"Hati-hati," pesanku sebelum Fandi kembali melajukan motornya. Dia mengangguk sebagai jawaban.
Aku mulai berjalan menuju sekolah setelah Fandi tidak lagi terlihat oleh kedua mataku. Sembari menenteng helm, aku menyusuri trotoar jalan yang sepi, tetapi tidak dengan jalanannya. Beberapa orang yang tidak kukenal lewat, beberapa kendaraan roda empat, beberapa orang yang menuju ke sekolah dengan seragam yang melekat pada tubuh mereka, serta beberapa pasang manusia yang kuketahui sebagai siswa-siswi dari SMA tempatku bersekolah.
Ngomong-ngomong masalah sepasang manusia, terkadang aku iri pada mereka. Bukan karena aku ingin punya pacar. Akan tetapi aku iri saat melihat mereka memiliki seseorang untuk diajak berbagi cerita. Sebenarnya aku juga punya Fandi. Tapi mendadak lelaki itu tidak seasik dulu lagi semenjak punya pacar dipertengahan kelas sebelasnya lalu. Aku bahkan muak melihat pacar Fandi yang kelewat manja.
Atau mungkin aku hanya iri bahwa Fandi lebih memanjakan pacaranya dibanding adiknya. Lagipula siapa yang tidak akan iri pada hal-hal berbau pasangan jika dirinya selalu sendirian kemana-mana, bahkan duduk di kelas pun sendiri. Aku terkadang merasa seperti angka satu yang ganjil, sementara mereka yang diciptakan berpasangan adalah angka genap yang beruntung. Terkadang aku menyebut nasibku dengan sebutan kutukan angka ganjil, untuk perempuan yang selalu duduk sendiri, tidak berkelompok, dan tidak pernah beruntung dalam pengalaman berkekasih.
Ah, sudahlah. Memikirkan apa aku pagi-pagi seperti ini. Hal-hal tadi adalah secuil hal yang aku pikirkan dipagi hari sembari berjalan menuju kelas. Sampai seseorang datang, mengagetkanku dan membuat apa-apa yang aku pikirkan menjadi buyar.
"Eya!" teriaknya sembari merangkul leherku dengan kasarnya hingga membuat leherku terasa seperti akan patah.
Aku tersedak begitu dia mengalungkan tangan pada leherku. Namun mendengar suara batukku, dia tidak juga menyingkirkan tangannya. Ngomong-ngomong dia ini adalah sahabatku. Meskipun aku tidak berkelompok, bukan berarti aku tidak punya sahabat walaupun hanya satu dua. "Apa, sih, Tha? Ngagetin aja."
Setelah mendengar ucapanku dia baru menurunkan tangannya. Aku kembali berjalan setelah tadi sempat terhenti. Dia bersama sahabatnya yang lain berjalan beriringan denganku. "Gak ada niatan ngagetin sebenernya. Cuma kamunya aja melamun, jelaslah jadi kaget."
"Iya, deh. Iya," ucapku mengalah. Setidaknya dengan dia aku tidak merasa menjadi angka ganjil. Aku hanyalah aku dengan dia dan terkadang sahabatnya yang lain, saling mendengarkan cerita dan berbagi cerita.
"Lagi gambar apa, Ca?" tanyaku pada sahabat Agatha yang lain. Namanya Caca, gadis introvert yang sangat suka dunia desain dan gambar menggambar. Bahkan dia sekarang menatap layar ponselnya, menggambar sembari berjalan.
"Biasa, My Beloved Idol." Dan jangan lupakan jiwa fangirl-nya.
Agatha satu kelas dengan dia yang aku suka, sementara Caca beda kelas tetapi satu jurusan dengan Agatha. Namun, ada saja yang membuat kami nyambung. Terkadang aku merasa merekalah lingkunganku, bukan Fandi dan mama ataupun teman-teman sekelasku. Itulah susahnya aku, susah menemukan tempat yang cocok. Mungkin karena itu juga aku menjadi tidak punya kelompok. Lagi pula apa bagusnya berkelompok saat mereka hanya akan membatasi segala hal tentangmu. Menatapkan peraturan-peraturan tidak tertulis yang akan memberatkan gaya hidupmu. Juga jangan lupakan jika mereka sudah mulai ikut campur pada urusan pribadimu, aku yakin itu terasa sangat menyebalkan.
Terkadang ada baiknya menjadi angka ganjil alias sendirian. Lebih tenang dan tidak ribet. Tetapi ada kalanya di mana seseorang tetap membutuhkan suatu kelompok yang akan diajaknya kerja sama. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang mau seindividualis apapun orang itu, tetap saja dia membutuhkan orang lain dalam hidupnya.
"Ya, udah tau belum?" tanya Agatha setelah sekian lama kami hanya diam.
"Belum, lah. Kan, belum dikasih tau."
"Yaudah, aku kasih tau. Tapi jangan kaget, ya." Aku menganggukkan kepala setuju. Entah kenapa jantungku mendadak berdegup lebih kencang. "Kayaknya ... Pram balikan sama mantannya."
Aku terdiam. Bahkan langkahku terhenti, tetapi hanya sejenak. Kemudian aku mendengus sembari tersenyum. Lalu melanjutkan berjalan. Saking terbiasanya dengan situasi di mana cintaku bertepuk sebelah tangan, lama-lama sitausi itu tidak lagi semenyakitkan awalnya. Lagipula sudah kubilang, kan? Aku itu ditakdirkan untuk menjadi angka ganjil.
"Tapi masih belum pasti. Cuma samar-samar aja denger di kelas," lanjut Agatha.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments