Dear Imamku
"Ketika keadaan mengharuskan untuk menangis, tak semua air mata berarti lemah, "
●● ●● ●_●
Suara Adzan Subuh membangunkanku dari tidur yang cukup nyenyak walau udara rumah sakit yang terasa sangat dingin di jam seperti ini, tetap tidak mengurungkan niatku untuk bangun dan berwudu. Aku menjauhkan selimut yang tadinya melekat di tubuhku kemudian berdiri dan memperbaiki jilbab yang bentuknya sudah tidak teratur lagi mungkin karena aku terlalu banyak gerak saat tidur.
Aku bangkit dari tempatku tadi kemudian mengambil nafas panjang. alhamdulillahil ladzi ahyana ba'da ma amatana wailaihin nusyur .
Ayah menatapku sambil tersenyum di atas kasur rumah sakit, dia terlihat sangat tegar dengan wajah tuanya walau sekarang keadaan beliau sedang memprihatinkan. Ayah mengalami penyakit hipertensi. Penyakit hipertensi sendiri merupakan salah satu faktor resiko penyakit jantung yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah di atas ambang normal. Jika dibiarkan terus naik penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ lainnya seperti jantung dan ginjal, yang kemudian memicu komplikasi, "Ayah wudu dulu ya?," ajakku sambil tersenyum yang dibalas anggukan oleh ayah. Setiap hari aku memang selalu mengantar ayah untuk wudu di Mushollah kemudian menemaninya salat di ruangan, setelahnya aku baru bisa salat.
Kami berdua berjalan menjauh dari kasur tempat ayah tidur tadi. Ayah memegang tanganku erat-erat dengan pandangan fokus ke depan kemudian berkata, "Kalau sudah ganti pakaian ayah dan wudu kamu terus saja ke mushola di depan ruangan ini ya, biar ayah masuk sendiri saja," ucapnya dengan suara lembut khasnya.
Aku tersenyum. "Siap Ayah." Kebetulan ayahku seorang anggota TNI jadi kalau berbicara seperti tentara, itu semua dari ayah.
Sesampainya di mushola ayah masuk ke WC untuk mengganti pakaiannya menjadi pakaian layak pakai untuk salat. Setelah selesai mengganti pakaian ayah kemudian berwudu sambil duduk, ayah belum sanggup seutuhnya untuk berdiri lama-lama.
"Adibah antar Ayah saja dulu," ajakku untuk mengantar ke ruangan di mana ayah dirawat. Soalnya ini pertama kalinya aku meninggalkan ayah sendiri di ruangan itu.
"Udah mau iqamah nak, cepat sana masuk, " perintah ayah, yang mulai menjauh dariku.
"Ayah," panggilku sambil berlari mengejar ayah yang sudah agak menjauh. "Anter ayah gak sampai berjam-jam juga kan buat sampai di ruangan ayah, jadi Dibah antar ayah dulu,"bujukku alhamdulillah diterima oleh ayah.
"Yaudah pergi sana salat nak," perintah ayah setelah sampai ruangan. Kebetulan ayah salatnya berbaring jadi aku tidak perlu terlalu khawatir dengan keadaan ayah nantinya.
"Jaga diri ayah baik-baik ya, yah. " Aku berlari menuju mushola untuk salat walau sebenarnya aku sudah tertinggal satu rakaat salat subuh hari ini.
Aku berharap setelah salat subuh nanti keajaiban datang membuat ayah kembali membaik seperti dulu dan bisa beraktivitas lagi. Selama tujuh hari berada di rumah sakit aku harus pulang balik dari sekolah ke rumah sakit Fatimah yang terlalu jauh jaraknya. Terkadang aku kasihan kepada ayah tapi mau bagaimana lagi aku cuma bisa membantu seperti ini terus kalau bisa hidupku bagi dua dengan ayah sehingga aku bisa melihatnya hingga akhir hayatku. Tapi sayang itu mustahil apa pun yang terjadi mau tidak mau harus bisa disetujui walau terkadang hal itu sangat menyakitkan.
Uang ayah pun semakin menipis. Seandainya ibu masih ada mungkin semuanya tidak seperti ini. Ibu sudah meninggal dunia tujuh belas tahun lalu waktu beliau melahirkan aku, aku bahkan belum pernah melihatnya secara langsung, Allah terlalu sayang kepada ibuku. Sekarang aku cuma seorang pelajaran SMA yang sebentar lagi lulus, seandainya aku lahir lebih cepat lagi agar aku bisa bekerja saat ini dan bisa membantu pengobatan ayahku. Risiko menjadi anak semata wayang.
Sesudah salat subuh sekitar jam lima, aku membaca alquran sesuai kebiasaan aku setelah salat subuh dan sesudah salat-salat lainnya. Aku diam, tiba-tiba indera pendengaranku menangkap sosok suara yang begitu sangat merdu membacakan surat ar-rahman. Rasanya aku ingin mendatangi sumber suara itu dan merekamnya. Aku berdoa, 'tuhan kapan pun aku bertemu dengan pria yang sedang melantunkan ayat sucimu itu tolong sadarkan aku bahwa dia orangnya agar aku bisa merekam suara itu dan mendengarnya di lain waktu kalau aku sedang sendiri.'
Aku selalu mendengar suara itu hingga aku tersentak sadar dengan ayah yang sedang berada di ruangan rumah sakit sendiri. "Ya Allah kenapa harus bersamaan seperti ini," kesalku sambil merapikan peralatan salat yang aku kenakan tadi. "Semoga saja aku masih bisa mendengar suara itu lagi setidaknya sekali lagi ya Allah." Aku berlalu pergi dengan cepatnya menuju ruangan ayah.
Sekarang sudah jam 5 : 47 aku harus segera sampai di ruangan dan mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk ayah kemudian berangkat ke sekolah dan ayah harus sendiri lagi di ruangan itu. "Assalamualaikum Ayah." Aku membuka pintu ruangan ayah dengan pelan hingga cukup bagi badanku untuk masuk kemudian menutup pintu itu kembali karena ruangan ayah ber-AC. Aku menatap wajah ayah yang sedang tertidur pulas dengan pakaian salat yang masih melekat di tubuhnya. Ayah memang selalu tertidur setelah salat subuh dia terlalu sering kecapean akhir-akhir ini.
Selepas membereskan semuanya aku mulai mengganti pakaian yang kukenakan tadi menjadi seragam sekolah dan perlengkapan untuk ke sekolah lainnya seperti tas, sepatu dan sebagainya. Semenjak ayah sakit aku yang mengerjakan semunya. Dahulu aku terlalu manja, kerjaanku cuma belajar pelajaran sekolah saja tidak dengan pelajaran lainnya seperti memasak atau mencuci, mempersiapkan hal untuk masa depanku nanti. Ayah yang selalu mengerjakan segalanya bahkan memasak pun ayah yang melakukannya sampai akhirnya aku tumbuh dewasa menjadi gadis yang tidak banyak tahu untuk urusan rumah.
"Assalamualaikum Ayah. " Aku mencoba membangunkan ayah dengan pelan-pelan karena ayah selalu kaget saat dibangunkan.
"Astagfirullah," kaget ayah. Inilah yang aku takut kan saat membangunkan ayah. "Ya Allah, maaf nak ayah kirain apa," ucapnya dengan nafas memburu seperti orang yang habis lari berpuluh meter.
Aku tersenyum bersalah. "Maaf Ayah. Tadi Dibah berusaha buat banguni Ayah, tapi sumpah suara Dibah-"
"Tidak apa-apa nak. Udah mau ke sekolah yah? Uang jajannya ada di lemari, ambil saja terus ke sekolah yah," tunjuk ayah ke lemari yang ada di samping kirinya. Aku berjalan mendekati tempat yang ditunjuk ayah tadi kemudian mengambil uang untuk jajanku dan mendekat kembali ke ayah untuk bersalaman. "Hati-hati ya, jangan lupa salat dan belajar yang benar yang nak. Kesuksesan tidak datang kepada orang yang pemalas, ingat itu," ucap ayah dengan kata-kata bijaknya. Dia selalu memberiku motivasi untuk belajar setiap hari seperti 'seberapa kaya nya pun engkau tapi tidak memberikan sebagian hartamu untuk mereka yang membutuhkan sama saja kau hidup miskin,' dan 'Berpura-pura lah menjadi baik suatu kemajuan besar jika kamu bisa mengubah sifat pura-pura mu menjadi sifat aslimu.'
"Adiba pergi dulu Ayah, jangan lupa juga banyak istighfar ya. Assalamualaikum, " ucapku sambil memegang kedua tangan ayah kemudian menciumnya .
Ayah mengelus-elus rambutku, "Waalaikumsalam. Iya sayang." Aku kemudian berlalu menjauh dari ayah dengan rasa sangat berat membiarkan dia sendiri. Lamanya aku di sekolah cuma sembilan jam saja, kebetulan sekolahku belum menerapkan fullday.
Setelah berjalan melewati rumah sakit, aku segera menuju halte terdekat. Aku berdiri bersama dengan pelajar dan beberapa orang lainnya yang menunggu angkot juga, aku menatap satu-satu manusia yang berdiri di sana tapi tidak mengenal satu pun diantaranya. Saat menunggu beberapa menit, angkot akhirnya datang, aku malah tidak kebagian tempat. Terpaksa aku harus mengalah dan menunggu angkot berikutnya lagi. Aku tidak sendiri aku berdua dengan seorang pria yang kira-kira berumur seusia denganku.
Secara tidak sengaja aku selalu mencuri-curi pandang untuk bisa melihatnya hingga aku sadar dengan apa yang aku lakukan 'Astagfirullah.' maaf ya Allah aku telah memperhatikan seorang pria yang bukan mahramku, rasa penasaranku terlalu berlebihan hingga aku lupa dosa apa yang aku dapatkan nantinya. Aku menjauh beberapa langkah dari pemuda itu.
Angkot yang sendari tadi kutunggu akhirnya datang tanpa satu orang pun penumpang. Syukurlah setidaknya aku bisa sampai dengan cepat tanpa menunggu sang supir mengantar satu-satu dari penumpangnya. Aku masuk ke dalam mobil itu dengan pemuda yang tadi bersamaku.
"Turun di mana neng? Dan juga bang?" tanya krenek angkot memandang kami berdua secara bergantian.
"Man satu, " jawabku bersamaan dengan pria yang ada di belakangku.
Aku berbalik menatap pria itu untuk memastikan apa aku mengenalnya siapa tahu dia salah satu siswa atau siswi dari sekolahku? Dan nyatanya tidak, aku tidak mengenal pria itu. Wajahnya sangat asing menurutku. Apa siswa baru? 'astagfirullah ' dan lagi aku terlalu penasaran dengan hal yang tidak penting untukku.
"Ooh, satu sekolah ya? "
"Saya ada tujuan di man satu bang," sahut pria itu. Aku tidak tahu bagaimana mimik dia aku tidak pernah berbalik lagi untuk melihatnya. Yang kulihat cuma sopir angkot yang membelakangiku untuk melaju kan mobilnya sedang mengangguk-angguk kan perkataan pria tadi.
Rasanya hari ini angkotnya terlalu lama sampai di sekolahku. Sandari tadi aku duduk tapi tak kunjung sampai juga. Aku menatap arloji di tanganku yang menunjukkan pukul 6 : 30 dan tiga puluh menit lagi pukul 07.00 . Aku tidak tahu jalan yang dilalui sekarang rasanya ini baru kulihat. "Bang masih jauh tidak sih?" kesalku, dari tadi aku di sini tapi belum sampai juga.
Bang kernet itu berbalik melihatku. "Sabar neng cantik, di jalan kota sedang ada razia jadi kita lewat sini saja." Bang kernet itu tertawa.
"Bang, masalah itu dihadapi," ketusku.
"Iya neng, sekolahnya juga udah dekat tu'. Cantik-cantik galak, gak ada spesial nya neng, " rayu kernet itu. Kalau di lihat dari wajah dan postur tubuhnya dia masih terlalu mudah mungkin masih seusia anak SMP dan pastinya memutuskan untuk jadi pengangguran, entah apa alasan kuat dia. Aku terkadang kasihan dengan orang yang putus sekolah, terlalu banyak peluang yang terbuang sia-sia.
Aku diam memutuskan untuk diam hingga sampai di sekolah. Suasanya begitu sepi, entah ke mana para penghuninya apa pelajaran sudah mulai? Enggak mungkin, sekarang kan masih jam enam, sebentar lagi jam tujuh atau jam di percepatan? Semoga saja tidak, ya Allah. Aku mempercepat langkahku untuk bisa dengan cepat sampai ke kelas. Sesampai di sana juga terlihat sepi sampai aku mendengar suara dari arah mushola. Ah, ternyata semuanya sedang berada di sana, buat apa?
Aku masuk ke kelas menaruh tasku. Kemudian keluar untuk ke mushola. "Assalamuaaikum ," salamku setelah sampai di pintu mushola. Di sana sudah terlihat teman sekelasku yang sedang duduk di bagian pojok mushola.
"Sudah kayak mata panda tahu gak?" Tunju Dani ke arah mataku.
Aku duduk disamping Dani "Kamu tahu kan kalau ayahku sedang sakit jadi aku keseringan begadang saat ini."
Teman sekelasku, Sri Ramadhani, Nur Ainun, Sri Wahyuni, Jumiati, Eka, Nurpika, Ahmad Fauzi, Abdi Kurniawan, Andi Wahyudin, Aldi, Ardi dan Ilham yang kulihat di mushola ke mana yang lain? Biasanya kalau soal seperti ini mereka tidak akan mau melewatinya. Teman kelasku akan lengkap datang kalau acara kumpul di mushola seperti sekarang, tapi kenapa malah kurang delapan siswa? Kemana dia? Atau memang tidak pergi? Bisa jadi.
Perkumpulan siswa di mushola ini karena ingin membahas tentang kesehatan tubuh, aku tahu itu dari Jumiati. Tapi saat ini mataku berkata lain, dia selalu ingin tertutup. Rasanya aku sangat mengantuk hari ini, jam tidurku pun sudah berubah menjadi lebih sedikit semenjak ayah sakit. Aku mencoba menyandarkan tubuh ke tembok yang ada di belakangku. Sepertinya aku sangat lelah sampai ingin tertidur.
Suasana ruangan terdengar mendadak hening. Seseorang kini mengucapkan salam yang dijawab keseluruhan oleh siswa yang ada di sana terkecuali aku. Mataku sekarang sudah tertutup rapat. Kini ruangan itu mendadak kembali ricuh, terdengar samar ucapan dari seseorang entah siapa yang katanya, "Serasa lihat masa depan," ucapnya yang diakhiri tawa oleh orang yang mendengarnya. Aku mendengar semuanya hingga aku mulai tertidur.
"Perkenalkan nama saya Farzan Rayhaan Shakeil bisa dipanggil kak Farzan."
Seseorang kini bersuara. "Hay kak Farzan," Ucap beberapa siswa dengan genitnya
Tanpa menanggapi dokter langsung berbicara. "Saya dokter spesialis penyakit dalam," lanjutnya.
"Kalau mengobati hati bisa gak bapak? " tanya Sri Wahyuni. Aku tahu kalau dia yang berbicara karena aku sudah sangat hafal dengan suaranya.
Sorak ricuh terdengar dari barisan depan atau barisan laki-laki.
"Pembahasan saya kali ini adalah Gejala HIV AIDS pada remaja, Gejala terinfeksi HIV AIDS perlu diketahui, khususnya bagi para remaja. Ketika pertama kali seseorang terinfeksi HIV, maka virus itu akan berkembang di dalam tubuhnya. Di rangkum dari berbagai sumber, akan saya jelaskan gejala awal AIDS pada remaja yang tampak setelah beberapa bulan," jelas pria itu. Semua wanita yang biasanya jarang memperhatikan jika guru menjelaskan kini mendadak menjadi siswa teladan untuk sekali ini saja. "Remaja mengalami turunnya berat badan secara drastis. Remaja mengalami demam berkepanjangan, bisa lebih dari 380 C. Remaja mengalami pembesaran kelenjar. Remaja mengalami diare atau mencret berkepanjangan."
Tiba-tiba seorang siswi berkata "Bapak udin mencret sebentar doang tapi baunya sungguh siapa pun menciumnya pasti tidak tahan"
Mushola mendadak rame karena gelak tawa dari sebagian penghuni mushola. "Lanjut lagi? " tanyanya yang disetujui oleh semua orang "Remaja mengalami bercak merah kebiruan di kulit.... atau penyakit lain." Jelasnya.
"Oke sekian dulu informasi dari saya. In sha Allah kalau ketemu dengan saya silakan bertanya kapan pun yang adik mau. Dan buat yang ingin bertanya sekarang silakan angkat tangannya. Saya buka sesi tanya jawab sekarang" Ucapnya membuat suasana menjadi ricuh. Terdengar beberapa siswi kini berlomba-lomba ingin bertanya termasuk beberapa temanku. "Siapa namanya? " tanyanya ke salah satu siswa beruntung yang dapat bertanya ke dokter itu langsung.
"Saya Sri Ramadhani, saya mau bertanya, bapak umurnya berapa? Dan apa sudah punya pasangan? " tanya Dani dengan centil membuat semua pria menyorakinya.
"Oke tenang dulu," pintanya. "Maaf tadi saya lupa memperkenalkan diri. Sesuai kesepakatan saya akan menjawab, umur saya sudah 27 tahun dan saya masih singgel. Mohon maaf..."
Suara mulai menghilang, serasa ada yang Menyentuhku dan menggerak-gerakkan tanganku. "Bangun Adibah, Dibah Bangun, " titah Dani.
Aku bangun dengan mata yang masih agak tertutup. Pandanganku masih samar. Aku menatap sekeliling terlihat ruangan itu kini sepi cuma aku dan beberapa temanku saja yang ada di sana. 'Kenapa jadi sepi begini?'
"Ya Allah Adibah kau tidak lihat masa depanku tadi menjelaskan," ucap Sri Wahyuni kegirangan, "Ya Allah tampan nya pria itu, serasa aku sudah terbawa suasa dan mulai menyukainya,"
"Ahh! Kau setiap laki-laki kau bilang ganteng, " kesalku, sebenarnya aku masih mengantuk tapi mau bagaimana lagi aku sudah bangun dan jelas saja sudah sulit untuk tidur kembali. Apalagi aku bangun dalam keadaan perut keroncongan meminta untuk segera diisi. "Saya lapar ayo makan dulu, " aku bangkit dengan bantuan Dani dan Jumiati.
Selama di perjalanan menuju kantin aku selalu mendengar tentang dokter itu, dokter yang menjelaskan tadi. Entah rasanya aku sangat penasaran dengan sesosok dokter yang sekarang menjadi topik pembicaraan teman-temanku, seberapa tampannya dia? Seberapa kece-nya dia? Hingga semua wanita dikelasku menjadi menyukainya. Dan rasanya aku sangat penasaran dengan nabi Allah yang terkenal tampan itu, Nabi Yusuf Alaihisalam. Sang dokter saja baru memiliki berapa persen ketampanan bisa membuat wanita seheboh ini lantas bagaimana ketampanan nabi Yusuf sehingga membuat siapa pun wanita yang melihatnya pasti terbius akan dirinya.
"Lihat saja, kalau saya dapat Kak Farzan di jalan akan kusuruh dia untuk segera ke rumah melamarku dan membuatku bahagia. Rasanya khayalan ini segera akan menjadi nyata, " ucap Dani. Khayalannya memang selalu tinggi.
"Ya Allah engkau tahu kan di mana wanita yang pantas untuk Kak Farzan, tentu saja bukan wanita disampingku ini," Di akhir perkataan Sri menyengir.
Handphone-ku tiba-tiba berbunyi. Siapa yang menelepon? Biasanya handphone-ku tidak pernah berbunyi di jam sekolah seperti ini. Aku menatap layar telepon tidak ada nama yang tertera di sana. "Assalamualaikum siapa? " tanyaku ke seseorang yang menelpon.
"Ini Nyonya Adibah Sakhila Atmarini? " Dia berbalik bertanya.
Kembali aku tatap layar handphone-ku siapa tahu aku mengenal nomor yang menghubungiku dan sekali lagi tidak, aku tidak mengenal nomor itu. "Ya saya sendiri, ada apa? Siapa i-"
"Maaf ibu saya tukang pel." Aku mulai tahu, dia tukang pel yang dua kali tiap hari ke ruangan ayah, dia Ibu Fatimah umurnya mungkin seumur dengan ibuku. "Bapak nyonya sekarang gawat, tadi saya lihat suster-suster berlarian menuju ruangan ayah nyonya,"
pip.
Aku memutuskan panggilan sepihak. Tiba-tiba kakiku terkulai lemas. Rasanya seluruh anggota tubuhku mati rasa. Seadainya di belakangku tidak ada kursi mungkin aku sudah cedera bagian belakang.
Tolong siapa pun, sadarkan aku kalau ini cuma mimpi. Air mataku yang tadinya memaksa ingin keluar akhirnya keluar juga. "Kamu kenapa Diba?" tanya Dani yang melihatku tiba-tiba menangis. Apa pun yang menyangkut tentang ayah, itu adalah kelemahan terbesarku.
"Fauzi mana? Fauzi mana?" teriakku. "Aku harus pulang. Penyakit ayah." Aku tidak bisa lagi melanjutkan ucapanku. Ini semua karena tangisku.
"Ya Allah Diba, laki-laki di kelas kita semuanya sudah pulang, hari ini katanya jam kosong. Jadi mau pulang." Dani mendekatiku.
Air mataku kembali mengalir tanpa sadar aku meninggalkan semuanya kecuali ponselku, untuk berlari bertemu dengan ayah secepatnya. 'Ya Allah hanya kepadamu kami meminta. Tolong ayahku ya Allah'. Terdengar dari belakang seseorang juga ikut berlari, aku tahu itu salah satu dari temanku. Saat melewati pagar sekolah aku tidak sengaja menabrak laki-laki se angkot denganku tadi berbicara dengan kepalah sekolah. Mereka menatapku secara bersamaan. Aku sempat minta maaf kepada orang itu kemudian beralih menatap kepalah sekolah "Assalamualaikum bapak, saya bisa pulang sekarang? Keadaan ayah saya sekarang memburuk, bapak, " jelasku secara buru-buru dan tiba-tiba meneteskan air mata. Dani yang mengikutiku tadi kini memegang bahuku.
Tiba-tiba kepala sekolah mendekatiku. "Ayah kamu sakit nak? " tanyanya yang ku balas anggukan.
"Rumah sakit mana? " Laki-laki itu kini bertanya.
"Rumah sakit Fatimah kak," ucapku terisak. Sungguh aku menjadi sangat cengeng jika menyangkut tentang ayah. Dia orang satu-satunya yang kumiliki di dunia ini, dia satu-satunya hal berharga yang kumiliki saat ini juga.
"Oke kamu boleh ikut saya, kebetulan saya mau ke sana, untuk tugas" jelasnya ku balas anggukan. "Yaudah, bapak, saya pergi dulu Assalamualaikum, " izin laki-laki itu. Yang juga dibalas anggukan oleh kepala sekolah.
"Adibah dan Dani juga bapak, assalamualaikum. " Kita berdua berlari menuju mobil laki-laki itu. Setelah kepala sekolah menjawab salamku. Tunggu, bukannya tadi naik angkot bersamaku? Kenapa tiba-tiba punya mobil? Ah itu tidak penting aku harus bertemu dengan ayah secepatnya.
Selama di perjalanan aku cuma menangis di bahu Dani. Kita berdua duduk di bagian belakang mobil laki-laki itu. Walau sebenarnya agak tidak sopan jika menyuruh dia duduk sendiri di depan seakan dia adalah sopir. "Sabar ya, in shaa Allah ayah mu pasti baik-baik saja," Bujuk Dani.
"Kamu tahu kan, aku cuma punya Ayah di dunia ini. Semua keluarga aku telah meninggalkan aku. Aku gak mau kehilangan ayah di hidupku, aku tidak mau kehilangan seseorang lagi. Dani." Tangisku menjadi semakin dalam saat mengingat momen saat bersama ayah.
Dani mengelus-elus jilbab putih yang kukenakan sambil menyuruh aku untuk selalu istigfar. Tanpa disuruh pun aku selalu mengucapkan hal itu, ayah pernah bilang, 'Saat kau cemas jangan lupa untuk istigfar Allah bersama mereka yang sabar'.
Kenapa tadi aku harus ke sekolah? Kenapa tidak jaga ayah saja! Kenapa aku tidak merasakan tanda-tanda ini? Seharusnya aku merasakan suatu hal yang bisa membuatku tidak ke sekolah! Aku anaknya. Kalau aku tahu, mungkin aku sudah dekat dengan ayah sekarang.
Aku berharap setelah sampai nanti semuanya akan membaik, ayah akan sehat bugar kembali dan kita bisa jalan-jalan mengelilingi patung Habibie dan Ainun di alun-alun kota Pare-pare lagi dan cuma berdua saja bersama dengan lelaki hebat yang kusebut ayah.
Sekitar dua puluh menit menunggu di atas mobil bertiga, akhirnya sampai juga. Aku segera membuka pintu mobil dan segera berlari berdua dengan Dani menuju ruangan Ayah, meninggalkan lelaki yang mengantarku tadi tanpa ucapan terima kasih, semoga saja aku masih bisa ketemu dengan dia dan mengucapkan terima kasih. Rasa cemasku kian bertambah saat sampai di ruangan, ayah sudah ingin di pindahkan ke ruangan ICU. Langkahku tidak pernah berhenti, aku terus mengikuti di mana tempat ICU itu berada hingga akhirnya kita sampai di ruangan itu. Aku ingin ikut bersama ayah tapi tidak sembarang orang yang bisa masuk ke ruangan itu apalagi dalam keadaan seperti ini.
Badanku tiba-tiba menggigil tanganku mulai gemetar, rasa khawatir telah memenuhi pemikiranku. Dani mencoba membawaku ke kursi tunggu di depan lobi. Tiba-tiba seseorang pria dengan badan tegak masuk ke ruangan ayahku, aku yakin dia pasti dokter yang akan menangani ayah.
"Bersabarlah Allah tidak akan memberi ujian kalau kita tidak mampu melewatinya, kamu harus tegar jangan perlihatkanlah kelemahan kamu, Diba," ujarnya sambil memelukku.
"Ketika keadaan mengharuskan untuk menangis, tak semua air mata berarti lemah, " ucapku kalem. Aku berharap semuanya akan baik-baik saja. Atau setidaknya ini mimpi sehingga kalau aku bangun nanti semuanya kembali normal. Dan aku bisa melihat tawa ayah di pagi hari dan sepulang tugas.
●● ●● ●_●
'Berpura-puralah menjadi baik suatu kemajuan besar jika kamu bisa mengubah sifat pura-puramu menjadi sifat aslimu.'
Terima kasih yang sudah luangkan waktunya untuk membaca karya saya. Mohon maaf kalau kata-katanya masih ngawur dan banyak teypo/kesalahan kata. Kesempurnaan hanya milik Allah. ^_^
Pelajaran :
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang menertawakan orang-orang beriman. -Al-Muthoffifin: 29
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Riska Yusuff
😍😍😍😍
2022-07-21
0
Wachidul Qohar Al Anshori
woowww......bagus critanya.....lanjuuttt
2022-06-04
0
Salsabila Sulaiman
iya Allah Allah tp sayang .itu cm ada di dunia dogeng jalan jalan Gatau kenapa sabar gapapa haha iy 😔🙂
2021-03-13
0