Pernikahan

"Kamu tidak akan bisa untuk memulai kalau kamu tidak mau mencoba"

●●●●●_●

"Ambil berasnya, setengah liter saja jangan lebih" teriaknya yang sedang berada di dalam kamar sambil mengajarkan aku untuk memasak. Ini semua aku yang minta.

"Setengah liter itu berapa? "

"Hitungnya itu pakai gelas kecil yang ada disitu, ambilnya cukup dua gelas saja tidak usah lebih."

"Sudah. Setelah itu masaknya dikasih minyak gak? "

Terdengar samar dia tertawa, apa aku salah lagi? "Mana ada beras di goreng? Lucu tahu gak. "

Aku diam menaruh beras itu di depan, bukannya mengajar malah ngetawain, dasar. Seadainya aku tahu aku tidak bakalan juga mau bertanya! Sekali lagi manusia yang tidak memiliki rasa kemanusiaan!

Tunggu Hp? Iya hp, Adibah kenapa kamu terlalu bodoh! Kan bisa belajar dari tante google. Dan sekali lagi ternyata sifat pelupaku kembali, teleponku ada di rumah Aqilah.

"Kenapa diam? Mau tunggu saya yang ajarin? Berasnya dicuci dulu." Dia sudah seperti makhluk halus tahu enggak, tiba-tiba datang begitu saja dan tiba-tiba hilang mendadak.

"Dibah capek! " Aku bangkin untuk meninggalkan dia tapi tubuhnya terlebih dulu menahan jalanku!

"Kamu tidak akan bisa untuk memulai kalau kamu tidak mau mencoba," tegasnya.

"Gimana Dibah mau mulai kalau pak dokter ngetawai Dibah mulu!"

"Hem, marah yah? Ya sudah maaf, saya ajar sekarang ayo." Dia mengambil beras itu kemudian mencucinya, kenapa aku sampai lupa, aku selalu melihat ayah seperti ini setiap hari. Aku kira sikap pelupaku sudah hilang ternyata tidak. "Mana ada beras langsung digoreng harusnya itu dicuci dulu sesudah dicuci baru dimasak. "

"Di gorengnya kapan? "

"Setelah nasi nya masak baru bisa digoreng. Memasak nasi goreng yang warnanya ke kuning-kuningan itu." Aku mengangguki ucapan kak Farzan. "Kalau mau masak jangan lupa dinyalakan apinya, itu yang paling penting," katanya sambil menyalahkan kompor.

"Dibah bisa bantu gak? "

Kak Farzan berjalan ke arah kulkas dan mengeluarkan beberapa sayur-sayuran yang ada di sana. "Kamu potong ini kecil kecil."

"Ini yang merah nama dan fungsinya apa? "

Dia menepuk jidatnya. "Ya Allah. Adibah wartel saja kamu gak tahu? "

Aku terkekeh mendengarnya. "Perut Dibah sakit, " kataku disela tawa. Aku ingat sesuatu. "Tahu gak, Guru Dibah pernah menyuruh buat beliin wortel di pasar malah yang dibeli tomat. Soalnya gak nanya dulu ke penjualnya langsung beli saja. "

Kak Frazan ikut tertawa. "Astagfirullah. Ada-ada saja ya."

"Udah, udah ayo lanjut masaknya. Lama-lama ini maluin juga ya."

"Gak juga. Lagian cuma saya yang tahu. "

Wartel yang tadinya utuh kini menjadi kecil. Awalnya aku tidak tahu cara memotongnya tapi karena sudah diajar sama kak Farzan jadi seperti ini. Walau buatanku tidak terlalu beraturan, semisal ada yang kecil ada pula yang kebesaran, tidak apa ini baru proses pembelajaran kan buat aku.

Hampir sejam belajar memasak akhirnya kelar juga. Padahal kita cuma memasak beberapa masakan tapi prosesnya sangat lama. Kalau ayah yang masak dari tadi sudah selesai. Rasanya aku rindu masakan ayah.

"Kenapa tidak dimakan?"

"Masih panas. "

Dia mengambil makanan yang ada di depanku kemudian memberiku makanannya, semacam menukarnya. "Jelas saja gak dingin kalau makannya di tumpuk gini."

"Trus nasinya kok dikasih ke Dibah? "

"Itu sudah saya dinginkan, tinggal makan. Dan makanan kamu biar saya dinginkan dulu."

"Trus Dibah makan lagi? "

"Ya enggaklah, emang kuat makan dua piring?"

"Satu piring aja Dibah gak bisa apalagi dua piring bisa rusak organ dalamku. " ketusku.

Terdengar nafas panjang dari kak Farzan. "Apa kamu memiliki hobi bodoh ini? "

"Emang Dibah bodoh ya? "

Kak Farzan menatapku. "Sangat sulit untuk menjelakan ini. Bagaimana ya."

"Lupakan. Kalau dilanjutkan seharian ini bakalan tidak kelar ." Aku melahap makanan yang ada di depanku itu. Dan tunggu rasanya agak aneh.

Tapi lihat, kenapa kak Farzan tetap memakannya?

"Ini tidak enak. " kesalku. Ini pasti karenaku, andai saja aku tidak ikut memasak tadi.

Dia kembali menatapku. "Kamu tahu ini masakan terenak kedua setelah masakan ibuku yang pernah aku makan." Dia kembali memakan makanannya.

Apa sekarang terjadi kesalahan? Kenapa tadi rasanya tidak enak. Tunggu aku coba lagi. Dan lagi tetap tidak enak, sangat tidak enak sayurnya keasinan. Dan nasi gorengnya juga tidak ada rasanya sedikit pun.

Atau Kak Farzan memang menyukai masakan yang tidak enak? Kurasa iya, coba saja masa masakan seperti ini tetap di lahapnya.

Dengan terpaksa juga untuk menghargai jerih payah kita berdua. Kok sekarang rasanya kita seakan sangat dekat seperti inil? Apa ini rencana-Mu ya Allah?

●●●●●_●

Sekarang, aku duduk di meja rias. Menatap pantulan diriku dicermin. Hari terakhir menjadi seorang gadis. Ya Allah aku tahu ini takdirku, tapi kenapa rasanya seperti ini. Aku masih belum terlalu siap. Ayah pernah bilang setelah aku menikah nanti dialah pria pertama yang akan memegang tangan calonku tapi setelah aku ingin menikah, malah ayah yang sudah tidak ada.

Mengikhlaskan memang tidak mudah. Tapi aku berharap suatu saat nanti semuanya akan indah tanpa ayah dan ibu. Semoga saja Kak Farzan bisa menjadi ayah untukku maksudnya bisa menyayangiku seperti ayah.

Seorang wanita masuk ke kamar rias, dia menatapku dengan tatapan susah diartikan. "Assalamualaikum. "

Aku tersenyum menatapnya, senyum dibuat-buat tentunya."Waalaikumsalam."

"Aku Aqilah, adik Kak Farzan." Dia tersenyum. Dia juga memiliki lesung pipit, seperti kak Farzan, bedanya Aqilah memiliki dua lesung pipit. "Kalau boleh tahu, kakak udah setuju dengan ini? "

Pandangku beralih ke cermin. Apa ini diriku? Kenapa aku terlihat pucat sekarang? Kuharap Aqilah tidak menyadari akan hal itu.

"In Sha Allah, Adibah siap. "

Tiba-tiba dia memelukku. Pelukannya sangat hangat, aku merasa nyaman seperti ini. Aku merasa haru, ingin rasanya meneteskan air mata disaat seperti ini.

Mood-ku tiba-tiba berubah. Padahal awalnya biasa-biasa saja tapi entah kenapa harus berubah secanggung ini.

"Permisi, "seseorang masuk ke kamar perias, "Akad nikah segera dimulai. Mempelai wanita diharapkan untuk naik mobil menuju tempat acarah."

Aqilah mengangguk, kemudia kami bersama menuju Masjid Nurul Asiah. Disana tidak banyak orang cuma beberapa keluarga kak Farzan saja. Tanpa satu orang pun keluargaku. Jelas saja, aku sebatang kara sekarang.

Sesampainya di Masjid. Acaranya sangat sederhana, cuma dihadiri beberapa orang orang tanpa adanya bunga-bunga atau hiasan pernikahan yang mengatasnamakan aku dan kak Farzan.

Aku termenung beberapa menit lagi aku akan mengalami kehidupan baru. Sumpah jantungku sulit dikendalikan, nafasku ikut memburu rasanya semua berbeda.

Aqilah membimbingku menuju ke belakang Kak Farzan yang duduk tegap dihadapan penghulu. Rasanya sangat aneh, jantung sekali ini saja tolong hentikan kebiasaan kamu, aku gugup soalnya. Rasanya aku sedang bermimpi sekarang, kalau di usiaku yang masih menginjak tujuh belas tahun akan menikah. Ini seperti mimpi.

Penghulu menjabat tangan kak Farzan. "Bismillahirrohmanirrohim." Ucap penghulu itu. "Saudara Farzan, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Adibah Sakhila Atmarini binti Abdul Halik dengan cincin emas dan seperangkat alat salat dibayar tunai. "

"Saya terima nikah dan kawinnya Adibah Sakhila Atmarini binti Abdul Halik dengan mahar tersebut dibayar tunai!" katanya dengan lancar.

"Bagaimana para saksi? Sah? "

"SAH!"

"Alhamdulillah, " teriak orang yang ada di dalam ruangan itu.

Sesaat kemudian penghulu itu membaca doa. Sekarang aku sudah berstatus istri dari Farzan Rayhaan Shakeil.

Semoga aku adalah wanita yang diharapkan dia dan semoga dia yang kuharapkan selama ini.

Dear Allah.

Ya Allah. Andai kau berkenan, limpahkanlah rasa cinta kepada kami, yang kau jadikan pengikat rindu Rasulullah dan Khadijah Al Qubro yang kau jadikan mata air kasih sayang Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah Azzahra. yang kau jadikan penghias keluarga nabi-Mu yang suci.

Ya Allah. Andai semua itu tak layak bagi kami, maka cukuplah permohonan kami dengan rida-Mu. Jadikanlah kami suami dan istri yang saling mencintai di kala delat, saling menjaga kehormatan di kala jauh, saling menghibur di kala duka, saling mengingatkan di kala bahagia. saling mendoakan dalam kebaikan dan ketaqwaan, serta saling menyempurnakan dalam peribadatan.

Ya Allah. Sempurnakanlah kebahagiaan kami, dengan menjadikan perkawinan kami ini sebagai ibadah kepada-Mu dan bukti ketaatan kami kepada sunnah rasul-Mu.

●●●●●_●

Aku membasu wajahku dengan air di wastafel. Akhirnya semuanya selesai, memakai gaun pengantin seberat itu ditambah dengan jilbab dengan mahkota, walau cuma sebentar tapi rasanya aku sangat lelah.

Aku kembali memakai jilbab yang diberikan kak Farzan tadi, dia memberikan itu sewaktu pulang. Sekali pun aku belum pernah membuka jilbabku di depan kak Farzan, aku masih malu untuk hal itu.

Bahkan sekarang aku tidak sekamar dengannya. untunglah apartemennya memiliki dua kamar jadi kita tidak tidur sekamar sekarang. Astagfirullah kenapa pemikiranku seperti ini?

Bukannya aku tidak menghormati suamiku, tapi rasanya sangat aneh. Entah aku belum tahu bagaimana hubunganku dengan kak Farzan sekarang. Serasa aku baru mengenalnya, rasa canggung kembali meliputi kami kembali.

Beberapa detik kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarku. "Assalamualaikum."

Aku terjingkat kaget. Jantungku kembali melakukan kebiasaannya. Kenapa aku gugup seperti ini? Padahal ini sudah kesekian kalinya aku bertemu dengan dia.

"Assalamualaikum."

Aku memutar knop pintu yang menampilkan sosok kak Farzan di sana.

"Ada apa? " Aku menatap wajahnya langsung.

"Di luar ada Aqilah dan suaminya." Dia terlihat gugup juga. Aku menatapnya heran. "Aku bisa tidur dikamar ini? " bisiknya.

Aku mengangah, Ya Allah kenapa mereka harus datang di waktu yang tidak tepat seperti ini? Apa benar aku harus tidur dekat dengan kak Farzan? Bisa-bisa aku jantungan kalau lama-lama seperti ini.

"Dibah? " Dia menyadarkanku.

Aku tersentak sadar. "Bagaimana? " tanyanya.

"Dibah kan sekarang istri kak Farzan, buat apa minta izin ke Dibah dulu? "

Dia menghela nafas lega. "Ya sudah. Kamu tidak makan dulu? "

"Dibah kan belum masak," ucapku sambil mengaruk kepala yang tidak gatal. Aku sampai lupa untuk memasak.

"Aqilah udah masak tadi. " katanya sambil menatapku.Rasanya aneh saat dia menatap aku seperti itu.

"Kenapa harus Aqilah? " keluhku. Kemudian menunduk untuk menghindar dari tatapan anehnya, menurutku.

"Dia datang sepuluh menit setelah kita sampai."

"Kenapa tidak kabarin Dibah? Biar Dibah dengan sigap untuk memasak. "

"Bagaimana bisa? Kamu kan belum bisa masak? "

Tiba-tiba seseorang melintas, kebetulan kamarku saat ini berada dibagian belakang sofa jadi siapa pun yang datang bisa langsung melihat ke kamarku.

Dan orang itu menatapku. "Adibah gak bisa masak? " tanya Aqilah.

Aqilah menatap kami berdua secara bergantian.

"Dibah bisa kok, kemarin belajar. Kak Farzan saja sampai suka dengan masakan Dibah. " kataku percaya diri. Memang benar, aku pun jadi saksinya.

"Tapi kenapa akak bilang kalau Adibah gak bisa masak? Atau jangan-jangan akak iri yah sama masakan Adibah? Akak ma gitu. " Adibah terkekeh dan aku pun.

Kak Farzan diam, entah apa yang dipikirkan dia.

"Dibah. Mau gak masak bareng aku? "ajaknya, "kebetulan sayuran belum aku masak. "

Aku mengangguk. "Mau sekali." kataku antusias.

"Esa mana. Qilah? " Esa adalah suami dari Aqilah.

Entah aku harus memanggil Aqilah kakak atau adik ipar, dia bahkan sudah kuliah sekarang. Dan sekarang juga aku adalah kakak iparnya.

"Beli sayuran diluar," sesaat kemudian seseorang mengetuk pintu. "Itu pasti dia. "

Aqilah menjauh dari kita. Dia membukakan pintu untuk suaminya kemudian mencium punggung tangan Mahesa. Mahesa pun begitu, mencium kening istrinya. Terlalu romantis, aku bahkan cuma sekali mencium kak Farzan, iitupun saat akad nikah. Bukanya baru tadi akad nikahnya?

Terlihat Aqilah sedang berbicara dengan Mahesa hingga Aqilah memanggilku mendekat dengannya.

Aku meninggalkan kak Farzan disana, entah apa respon dia. Mungkin kita akan memulai memasak sekarang, lihat saja Aqilah memegang kantung yang berisi sayuran.

"Kamu tahu, akah Farzan sangat menyukai wortel, jadi sayur apapun dia akan memakannya asal wortelnya ikut. "

Aku mengangguk-angguk dia seperti kak Farzan bicaranya sangat informal, jadi siapa pun pasti dengan mudah berteman dengan mereka. "Kita masak sayur apa? " tanyanya.

Nama sayur pun aku tidak tahu bagaimana mau menentukan pilihan!

"Adibah?"

"Eh! Maaf maaf. Tadi nanya masak sayur apa kan? " Aqilah mengangguk. "Sayur wortel aja, kak Farzan kan sukanya wortel."

Aqilah menatapku dengan tatapan yang sulit didefinisikan. "Sayur wortel? Sayur wortel? Emang ada ya? " gumamnya.

Rasa sok tahuku membuatku seperti ini. Sebentar lagi Aqilah akan menertawaiku.

"Emang ada ya? " tanyanya.

Aku mengangguk. "Iya ada, kemarin aku memasak sayur itu.

"Mungkin resep baru kali," tanya Aqilah yang kubalas anggukan. Ini tidak terlalu sulit. "Trus resepnya apa aja?"

Aku terjebak sekarang. Yang aku tahu kemarin itu cuma wortel saja. Memang benar penyesalan ada di akhir.

"Adibah. " panggil Aqilah.

"Yah?"

"Resepnya apa? " tanyanya kembali.

Aku menggaruk kepalaku yang terbalut dengan jilbab berwarna biru. "aduh, Dibah lupa kemarin resepnya apa. " kataku sambil tersenyum, tersenyum bodoh maksudnya.

"Benar ya kata akak, kak Adibah itu pelupanya luar biasa." Dia tertawa. Dia menceritakan tentang aku ke orang lain seakan tahu segalanya tentang aku. "Yaudah daripada lama-lama kita mulai aja dulu, tapi kali ini resepku aja yang dipakai ya Dibah soalnya kamu sih pakai lupa. " Aqilah tertawa.

●●●●●_●

Semuanya telah siap. Yang mengerjakan cuma dua wanita ini, Adibah dan Aqilah tanpa bantuan dari suami mereka. Tidak seperti biasanya, Adibah hari ini tampak sangat bahagia walau awalnya dia merasa canggung.

Tidak cuma itu saja, mereka berdua juga memasak sangat banyak masakan hari ini. Mungkin bagi Aqilah ini biasa-biasa saja tapi bagi Adibah ini kemajuan yang sangat besar.

"Wah enak ni. " kata Farzan saat duduk di kursi makan.

"Jelaslah yang bikin kan Adibah, pastinya bakalan enak bagi akah. " ejek Aqilah, sedangkan Mahesa cuma diam memperhatikan apa yang di depannya, baginya ini sudah hal biasa.

Farzan duduk samping kiri kursi Adibah, mereka seakan menikah berdasarkan rasa cinta, kenapa? Adibah melayani makanan suaminya dengan sangat amat romantis tidak seperti tadi semuanya tampak formal.

"Ini sayur yang kemarin? " tanya Farzan melihat sayur yang kemarin mereka masak.

Adibah tersenyum. "Ini resep Adibah lo. " katanya dengan angkuh.

Farzan meneguk ludah susah paya. Apa ini saatnya dia berbohong lagi? Makanan Adibah bahkan tidak memiliki rasa sedikitpun.

Farzan menggeleng. Bagaimana kalau Mahesa mencoba makanan ini? Bisa-bisa dia berkata jujur. Tidak itu tidak boleh terjadi. Anak itu terlalu jujur.

"Adibah, ini kan makanan kesukaan saya. Bagaimana kalau kamu simpan saja dulu di kulkas biar mereka berdua gak makan. "

Adibah melempar tatapan bingun kearah suaminya itu. "Entar Dibah bikin lagi, gak apa kali kak. " Dibah mengambil sayur itu kemudi menuangkan ke piring suaminya. "Mahesa?? " tanyanya apakah mahesa juga mau sayurnya.

Mahesa mengangguk. "Pasti maulah. Mau coba masakan kesukaan Farzan dari kakak ipar, pasti enak contohnya saja dia sampai tidak mau membagi sayur itu. " Mahesa menyodorkan piringnya meminta agar diberi sayur.

Adibah tersenyum. "Dengan senang hati. "

Dring. Dring. Dring.

Telepon milik Farzan berbunyi di atas ruangan makan membuat Farzan segera mengambil teleponnya. Farzan menyipitkan matanya memastikan siapa yang menelepon dia.

Farzan memang tidak pernah meninggalkan teleponnya, disana selalu ada hal penting, semisal sesama dokter atau ibunya.

Farzan menempelkan telepon itu di pipi kirinya. "Assalamualaikum? Ada apa suster? "

"Walaikumsalam, maaf bapak. Pasien yang bernama Andika Purwanto krisis, di mohon segera kehadirannya. " terdengar suara lembut dari seorang suster di seberang sana.

"Memangnya tidak ada dokter lain ya sus? "

Adibah menatap suaminya penasaran.

"Tadinya ada tapi Pak Abdi sudah keluar kota sekarang. "

"Oh yaudah saya akan datang sepuluh menit lagi, berdua dengan Mahesa. "

Bersamaan dengan terputusnya sambungan telepon Farzan Mahesa berdiri.

"Ada apa? " tanya Mahesa.

"Ada pasien yang kritis sekarang. Dan kita harus segera sampai. " jelas Farzan.

"Emang gak boleh ya kalau Mahesa aja yang pergi? Kan akah baru nikah masa iya harus tugas? " ucap Aqilah, dibalas anggukan oleh Mahesa.

"Gak bisa, kita beda spesialis. Sa ayo, Kita gak bisa lama-lama disini." Ucapnya. Sesaat kemudian mereka sudah tidak terlihat lagi.

●●●●●_●

Aku diam terpaku melihat kepergian kak Farzan. Ini sangat lucu dia pergi tanpa berbicara denganku. Aku tahu siapa aku tapi setidaknya dia harus menghargai kehadiranku di sini. Tak perlu menganggapku istri cukup hargai kehadiranku. Terkadang merasa bodoh berada di posisi seperti ini.

Aqilah menatapku. Pandanngku sesekali kearah pintu tempat mereka lewati tadi. Berharap kak Farzan balik dan meminta izin kepadaku. Tapi sayang, itu tidak, kak Farzan tidak juga kunjung datang.

Rasanya aku mendadak, kenyang. "Dibah masuk dulu yah. " Aku bergegas bangkit. Selera makanku serasa hilang.

"Gak makan dulu? Katanya tadi lapar."

Aku menggeleng. "Dibah mendadak kenyak Qil. "

"Setidaknya temenin aku disini. Kamu gak kasihan sama calon bayi ku? "

Aku mengangah. "Kamu hamil Qil? "

Dia mengangguk. "Tapi Mahesa dan Akah belum tahu, entar kalau udah anniversary-ku yang ke satu tahun baru aku beritahu Mas Esa. "ucapnya sambil menyentuh perut ratanya. "Ini baru seminggu jadi Mas Esa gak bakalan tahu. Entar kita bobo bareng yah, entah mungkin aku ngidam bobo bareng istri akah. "

Aku terkekeh mendengar ucapan Aqilah, setidaknya aku terhibur karena dia. Sebentar lagi aku bakalan memiliki keponakan.

"Gak sopan ya aku, aku panggil kamu Adibah sedangkan kamu kan kakak iparku. Gimana kalau kupanggil kak ipar? " tawarnya.

"Enggak apa-apa. "

Aqilah kembali melanjutkan makannya, aku seakan orang kelaparan yang tidak memiliki uang yang cuma bisa melihatnya saja tanpa bisa ikut bersama dia. Hingga Aqilah selesai makan. Syukurlah.

"Kita bobo bareng ya Dibah? " aku mengangguk. "Nama kita hampir sama ya. Hahaha, Aqilah, Adibah lucu gitu. "

"Udah kayak anak yang tertukar kita."

Aqilah terkekeh. "Iya dan sekarang kita bertemu karena akah. "

Kenapa pak dokter itu lagi? Dia tidak memiliki hati! Apa pendapatku tidak penting bagi dia? Argh! Rasanya ingin menangis sekarang.

Dear pak dokter, aku cemburu ke pasien mu sekarang! Apa dia lebih penting dari Dibah? Ah bodoh! Ini menyangkut nyawa tapi kenapa pak dokter tidak mengabari Dibah dulu? Langsung pergi emang Dibah gak penting! Ah entah Dibah malas mikirin ini. Dibah marah sama pak dokter!

"Dibah, tiba-tiba aku ngantuk sekarang. Selama aku hamil aku cenderung ngantuk lebih cepat. " Aqilah membaringkan tubuhnya di kasur.

Ini sangat lucu malam pertama kami bukannya tidur bersama suamiku malah tidur bersama adiknya. Astagfirullah, kenapa aku memikirkan hal ini? Dia menikahimu karena rasa kasihan Adibah dan permintaan dari ayah jangan pernah berharap dia mencintaimu. Ah kenapa aku seperti ini? Ah dasar kau Adibah!

Tapi berharaplah suatu saat nanti akan ada cinta diantara kita, ya aku dan pak dokter, aku tahu anganku terlalu tinggi. Bermimpilah setinggi langit saat kau terjatuh nanti kau akan terjatuh di antara bintang-bintang yang tinggi. Ir soekarno.

Rasanya malam ini sangat panjang, semoga saja pak dokter datang dan meminta maaf ke aku berjanji tidak mengulangi lagi. Dan semuanya kembali normal. Pak dokter akan mencintaiku. Aku tidak bilang aku menyukai pak dokter tapi berharap akan ada masa dimana semuanya akan menjadi cinta.

Aku tahu pak dokter menikahi ku karena ayah tapi kenapa aku se-kecewa ini? Seharusnya aku belum tidak mempermasalahkan ini! Ah semuanya terasa lelucon.

Setelah beberapa jam memikirkan tentang pak dokter, aku menatap jam dinding yang ada di sudut kamarku yang menunjukkan pukul dua belas. Biasanya aku sudah bertemu dengan mimpiku sekarang. Ah ayah aku rindu. Aku terlalu cepat melupakan ayah karena dokter itu.

Air mataku yang tadinya berada dipelupuk mata akhirnya mengalir bebar dipipi kananku. Aku memang terlalu cengeng, keyakinan bukan cuma aku tapi semua wanita, wanita itu perasa.

Mata yang tadinya susah tertutup akhirnya meminta untuk di istirahatka. Aku baru tahu kenapa setelah menangis kita sering mendadak mengantuk? Itu karena Allah ingin mengistirahatkan kita untuk keesokan hari.

●●●●●_●

Aku terbangun sekitar pukul empat pagi, mataku langsung tertuju dengan tempat yang ada di sampingku. Semuanya tidak seperti harapan, yang ada cuma bantal, kemana Aqilah? Atau Mahesa sudah ada? Kurasa iya. Apa kak Farzan ada di kamar mandi? Kurasa iya.

Aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke arah kamar mandi. Ternyata kak Farzan tidak ada, mungkin masih di rumah sakit, kalau ada di rumah sakit kenapa Mahesa datang? Atau kak Farzan ada di luar sedang tidur? Mungkin. Aku melangkah masuk ke dalam kamar mandi untuk mengambil wudu setelah itu salat sepertiga malam. Ayah selalu mengajarkan aku untuk hal ini, katanya mengulangi doa di sepertiga malam itu ibarat mengayun sepeda pasti akan sampai juga.

Setelah salat aku melanjutkan hafalanku. Setidaknya menghafal bisa membuatmu melupakan segala masalah yang ada, seakan Allah telah merencanakan ini semua untukku membuatku semakin dekat dengannya.

Aku baru akan berhenti menghafal setelah waktu salat subuh tiba, biasanya ayah selalu mengajakku salat di masjid, semuanya terasa sangat berbeda. Wanita juga tidak diwajibkan salat di mesjid malahan kalau salat di rumah pahalanya malah semakin besar ketimbang di masjid.

Allahu Akbar. Allahu Akbar.

Aku menghentikan hafalanku setelah mendengar suara adzan subuh. Sudah beberapa hari aku selalu salat sendiri.

Setelah salat subuh, aku merapikan tempat tidurku. Apa aku harus ke sekolah? Apa aku harus pergi tanpa izin dulu ke kak Farzan? Bagaimana sekarang? Apa aku tetap sekolah? Aku baru melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Fauzi mulai kemarin.

Seharusnya sekarang harus pergi, kan punya alasan kalau kak Farzan marah, bilang saja kalau dia tidak ada, selama bersamanya juga aku belum pernah melihatnya marah. Kebetulan seragam Aqilah sewaktu SMA sudah ada disini, Aqilah yang membawanya sendiri, mungkin kak Farzan yang meminta.

"Mau kemana kak ipar? " tanya Aqilah. Sejak kapan dia disana?

"Mau ke sekolah." Kataku sambil mempersiapkan segalanya untuk sekolah.

Aqilah mengangah. "Kak ipar masih SMA? " tanyanya yang kubalas anggukan. "Aku kira teman akah. Aku lebih tua dong. Bentar lagi aku sarjana magistes."

Aku tersenyum. "Gak apa kan aku istri kak Farzan. Tapi Qil, kak Farzan mana? "

"Akah tidak bilang ke kak ipar? " sahutnya.

"Maksudnya bilang apa? Dibah malahan tidak ketemu kak Farzan. " jawabku. Rasanya sangat aneh.

"Tadi malam Akah pulang bareng suami aku. Atau karena kak ipar masih tidur kali jadi gak di kabarin."

"Kabarin? Mau kemana? " tanyaku heran.

"Akah mau ke Jakarta, mungkin seminggu dia kesan."

Aku menarik nafas panjang kemudian menghembuskan kembali. "Oh, kirain belum pulang. " hari ini aktingku mungkin sangat baik, berpura-pura untuk tidak kecewa.

Setelah itu Aqilah keluar dari kamarku katanya mau memasak untuk suaminya. Terkadang aku iri dengan mereka. Kak Farzan pergi bukan waktu yang sebentar tapi lama, seminggu.

Awalnya tidak tahu bagaimana caranya agar aku bisa ke sekolah sampai Aqilah datang menawarkan untuk naik ke mobilnya bareng mas Esa. Kebetulan dia sudah ingin pulang ke rumah megah yang pernah aku tempati dengan kak Farzan.

Saat aku masuk ke kelasku. Semua teman perempuan menghampiri aku, mungkin dia heran melihat kehadiranku. Terutama dengan Fauzin, dia selalu menatapku selama aku melangkah masuk diikuti dengan beberapa teman.

"Bagaimana keadaanmu? " teriak Fauzi ketika aku sudah duduk di bangku tempatku.

Semua teman perempuanku mengiyakan pertanyaan Fauzi, seakan mereka telah mengatur pertanyaan ini untukku.

"Dibah baik-baik saja kok. Kemarin banyak pekerjaan jadi gak sempat ke sekolah, lagian aku juga tinggal di rumah keluargaku. "

Fauzi melangkah mendekatiku. "Suka dan dukamu jangan kau sembunyikan Dibah, kami siap menjadi pendengar setia kamu disini. " katanya setelah duduk di depan mejaku.

"Maksudnya apa ya? " tanyaku dengan senyuman tidak mengerti.

"Kalau kamu ada masalah curhat ke kita aja. " kata Dani yang duduk di sampingku.

"Siap." Kataku kemudian hormat ke mereka yang ada disekitarku.

"Tapi Dibah, kamu tinggalnya dimana? " tanya Dani.

"Rumahlah " ketusku.

"Iya rumah siapa? "

Tunggu! Kalau aku jawab jujur rahasiaku akan terbongkar dan sekolah di sini tinggal kenangan. Ah tidak, itu tidak boleh. Mereka tidak harus tahu tentang tempat tinggalku.

"Dibah! " panggil Dani. Dia memang tipe orang kepo. "Semalam tidur dimana? "

"Staid. " Ahmad Fauzi kali ini menyelamatkan aku. Dia memang selalu tahu dimana waktu yang tepat untuk hal seperti ini.

Semua orang kini memperbaiki duduknya kemudian ketua kelas berteriak qiyaman yang artinya berdiri. Sekali lagi terimakasih banyak Fauzi.

●●●●●_●

*Dear Allah.

Ya Allah. Andai kau berkenan, limpahkanlah rasa cinta kepada kami, yang kau jadikan pengikat rindu Rasulullah dan Khadijah Al Qubro yang kau jadikan mata air kasih sayang Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah Azzahra. yang kau jadikan penghias keluarga nabi-Mu yang suci.

Ya Allah. Andai semua itu tak layak bagi kami, maka cukuplah permohonan kami dengan rida-Mu. Jadikanlah kami suami dan istri yang saling mencintai di kala delat, saling menjaga kehormatan di kala jauh, saling menghibur di kala duka, saling mengingatkan di kala bahagia. saling mendoakan dalam kebaikan dan ketaqwaan, serta saling menyempurnakan dalam peribadatan.

Ya Allah. Sempurnakanlah kebahagiaan kami, dengan menjadikan perkawinan kami ini sebagai ibadah kepada-Mu dan bukti ketaatan kami kepada sunnah rasul-Mu.*

Terpopuler

Comments

Istiqomah__

Istiqomah__

baper

2020-09-24

2

Nenk Iie Haerany

Nenk Iie Haerany

cerita'y bkin baper

2019-12-28

5

Mozha Dya

Mozha Dya

menyentuh

2019-10-22

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!