بسم الله الرحمن الر حيم
Tidak ada yang tidak mungkin, Allah memiliki alur yang indah untuk hambanya yang tabah
●●●●●_●
Farzan memasuki ruangan ICU mencoba untuk memeriksa keadaan Abdul Haliq, ayah Adibah. Farzan tidak tahu bahwa gadis yang di antarnya tadi adalah anak dari pria yang di periksanya sekarang.
Saat Farzan keluar, Adibah dan Dani dengan cepatnya berdiri menemuinya. "Dokter, bagaimana keadaan ayah saya? Ayah saya baik-baik saja kan? Ayah dimana? saya mau lihat? " Mungkin karena terlalu panik membuat Adibah tidak mengenal dokter yang berdiri tegak di depannya itu adalah pria yang tadi.
Dokter Farzan diam. Dia sedikit kaget melihat Adibah, gadis yang sempat di dengar curhat dalam mobilnya. Dia tidak tega memberikan kabar ini ke wanita yang ada di depannya, bahwa keadaan ayahnya sekarang memburuk. Beban yang di alami Adibah sudah sangat banyak dia sudah kehilangan ibunya dan jika dia memberitahukan ini lagi, entah seberapa sulitnya hidup gadis itu.
"Dokter, tolong katakan keadaan ayah saya bagaimana? " tanyanya Adibah yang mulai terisak . "Tolong sampaikan kali ini kabar baik kepadaku. Semisal ayah sudah membaik. Tolong dokter apa ayah sudah membaik? "
Farzan diam. Berat rasanya mengucapkan hal yang mungkin biasa di ucapkan ke keluarga pasien lainnya. Tapi sulit dengan gadis yang ada di depannya ini, "Maaf. Keadaan saudara Abdul Haliq. Dia mengalami Penyakit Jantung Iskemik atau Jantung Koroner."
Adibah membisu dengan mimik wajah yang sulit didefinisikan. "tolong katakan kalau ini cuma bohong. Ya Allah kuatkan ayahku," Adibah bangkit, "Lihat saja, ayah akan baik-baik, ayah sayang Dibah, ayah pasti gak mau biarin Dibah sendiri," ucap Adibah terisak. Dia kembali menjatuhkan badannya dalam keadaan duduk. Gadis itu mulai nangis dengan sendu.
"Berdoalah Adibah jangan mau kehilangan semangat mu, " ucap Dani yang mensejajar-kan badannya dengan badan Adibah.
Dan Farzan? Dia tidak tahu ada apa dengan dirinya. Biasanya dia akan meninggalkan keluarga pasiennya setelah memberikan kabar tentang keadaan pasien. Tapi sekarang Farzan malahan ikut sedih akan hal terjadi di depannya. Farzan menunduk ikut mensejajarkan dirinya dengan kedua gadis itu "Tidak ada yang tidak mungkin, Allah memiliki alur yang indah untuk hambanya yang tabah."
Adibah menggeleng, seakan tidak percaya apa yang di dengarnya, "Kenapa ini terjadi Dok? , " tanya Adibah terisak.
"Kami akan mencoba untuk mengoperasi, tapi kami tidak bisa yakin sepenuhnya dan ini akan menyebabkan resiko.... " ucap Farzan meyakinkan Adibah. Dia tahu kalau gadis itu sekarang pasti sangat sedih.
Adibah bungkam sejenak, "apapun risikonya asal ayahku selamat, "
"Kami tidak bisa terlalu yakin akan hal itu, tapi akan kami usahakan. Berdoalah, " Berselang beberapa detik seorang suster memanggil Farzan.
"Dok, keadaan Abdul Haliq semakin memburuk, " Farzan berdiri kemudian memasuki ruangan ayah Adibah.
Farzan tampak mendekatkan defibrilator di bagian jantung Abdul Halik kemudian mengecek kedua mata Abdul Haliq menggunakan senter kecil dan memeriksa denyut nadinya. Terlibat dari layar kecil itu menunjukkan garis lurus. Ya, Abdul Halik sudah pergi, pergi untuk selamanya.
"Abdul Halik, pasien yang dinyatakan meninggal dunia pada jam 9.43. Akibat hipertensi dan jantung Iskemik ," kata Farzan pada suster yang bersama dengannya.
"Innalillahi wa innailahi raji'un," Ucap suster.
Farzan melangkah keluar dengan padangan kedepan dan pikiran entah kemana.
Adibah yang melihat kedatangan dokter itu kini mendekatinya dan berharap mendapatkan kabar gembira kembali. "Ayah say-"
"Maaf kami sudah melakukan semaksimal mungkin, tapi saudara Abdul Halik sudah tidak bisa di selamatkan lagi, " Kata Farzan.
Adibah berlari masuk ke ruangan ayahnya, memastikan apakah ini semua benar.Dia jatuh melorot. Mata Adibah kosong menatap wajah sang ayah yang kini tertutup kain. "Kenapa ayah pergi? Kenapa semua orang ninggalin Adibah sendiri? Siapa yang akan bersama adibah? Kenapa Allah merebut semua hal berharga di hidupku? Kenapa tidak sekalian ambil Dibah juga? Kenapa harus ayah? Apa Adibah hidup hanya untuk merasakan ini? Adibah harus apa? Adibah sendiri sekarang! " isak Adibah.
Farzan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Sebagai dokter ini mungkin sudah hal biasa tapi sekarang rasanya berbeda, Farzan seakan terbawa suasana atas apa yang terjadi di depan matanya. Farzan seakan ingin memeluk Adibah membiarkan gadis itu terisak di pelukannya, tapi dia bukan siapa-siapa bahkan dia baru mengenal gadis itu.
Sri Ramadhani mendekati sahabatnya sambil menenggelamkan wajah Adibah pelukannya. "Allah lebih sayang kepada kepada ayahmu Adibah. "
"Dan tidak sayang sama Adibah? Dan membiarkan Adibah sendiri? Kenapa? Kenapa harus ayah? Kenapa bukan Adibah saja? " teriak Adibah sambil terisak.
●●●●●_●
Aku terduduk lemas di ruangan terakhir ayah tempati yang kini bersih tanpa seorang pun terkecuali aku. Aku tak pernah membayangkan ayah akan pergi secepat ini, pergi meninggalkan aku seorang diri di dunia ini. Kupeluk erat-erat lutukku. Apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar sendiri sekarang. Bahkan semua orang telah pergi. Memang benar tidak ada yang sejati di dunia ini, semuanya akan hilang entah karena waktunya atau karena egonya.
"Kau pernah mendengar kisah nabi ayyub?" Kata seseorang memulai pembicaraan.
Dia menjatuhkan badannya disampingku. Aku menatapnya mulai melihat dari bajunya yang terlipat sampai siku hingga wajahnya. Dia adalah dokter yang memeriksa ayah tadi. Kenapa dia kesini? "Nabi yang terkenal karena kesabarannya. Nabi Ayyub diuji penyakit yang menimpa badannya, juga mengalami musibah yang menimpa harta dan anaknya, semua pada sirna. Ia pun terkena penyakit kulit, yaitu judzam, kusta atau lepra. Yang selamat pada dirinya hanyalah hati dan lisan yang beliau gunakan untuk banyak berdzikir pada Allah sehingga dirinya terus terjaga. Semua orang ketika itu menjauh dari Nabi Ayyub hingga ia mengasingkan diri di suatu tempat. " dia menatapku sambil tersenyum.
Aku mengusap kedua mataku yang kini menjatuhkan air begitu saja. "Kenapa Dokter kesini? " tanyaku tapi tidak menatapnya, aku tidak mau kalau dia melihat aku dalam keadaan menangis.
"Entah, aku pun tidak tahu kenapa aku kesini," ucapnya dengan pandangan fokus ke depan. Entah apa yang di dipikirkan-nya.
"Kamu tau, semua orang kini meninggalkanku, aku sendiri. " aku kembali terisak.
"Tidak! Masih ada aku di sini, "tegasnya.
"Dan setelah kamu pergi aku akan kembali sendiri. Apa takdirku harus settragis ini? Apa Allah mengira aku kuat untuk melewati ini? Aku tidak sekuat itu, " gumamku dengan tatapan kosong.
Terdengar napas panjang dari dirinya. Seperti pertama, aku tak berani menatap matanya langsung. . Aku tidak mau melibatkan ayah atas dosa yang aku lakukan. Bahkan sudah ada hadist tentang menundukkan pandangan jika bertemu dengan seseorang yang bukan mahram .
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman, "Katakanlah kepada wanita yang beriman "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) Nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya." (Qs. An- Nuur (24): 31).
"Kamu bisa tinggal sementara denganku, " katanya datar. Entah apa yang dipikirkan dia.
"Aku tidak suka di kasihani. Aku bisa hidup mandiri tidak usah memandangku kasihan!" aku beranjak pergi darinya, untuk menenangkan diriku.
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih, Q.S. Ibrahim:7" singgung nya.
Aku diam. Sesuatu mengganjal otakku. "Beri waktu aku untuk berfikir."
"Tidak! Aku menunggu jawabanmu sekarang." Tegasnya.
"Aku baru mengenal mu. Aku takut akan hal buruk terjadi di hidupku," Ucapku tidak bermaksud menyinggung nya tapi hanya untuk membuatnya pergi dari sini.
"Aku tidak akan berbuat hal yang menjijikkan ke dirimu, bahkan aku tidak akan menyentuh mu. Kalau aku ingin melakukannya, mungkin sudah kulakukan sekarang! Disini cuma ada aku dan kamu saja! Aku tau dosa orang berduaan yang bukan mahram."
Trus kenapa dia masih disini? Bukanya kita sedang berduaan?
"Ak-" dia memotong ucapanku.
"Sumpah aku tidak pernah bersikap seperti ini ke orang lain, tapi entah sekarang, rasanya ada aneh di diriku, "Dia menunduk sambil memutar-mutar cincin yang ada di jarinya. Apa dia sudah menikah?
Pipiku mendadak memanas. Ya Allah apa yang harus aku lakukan? Kalau aku ke rumahnya, itu sama saja aku mendekati dosa, bersama seseorang yang bukan mahramku. Tunjukkan satu saja jawaban untukku.
Druppp!!!
Sesuatu terjatuh di bagian dalam rumahku. Aku melangkah menuju tempat itu diikuti dokter tadi. Kulihat suasana bagian dalam rumahku kini hancur. Kenapa ini terjadi? Sejak kapan? Seluruh barang berharga di rumah ini sudah lenyap entah kemana.
"Aku benar-benar kehilangan segalanya, " kakiku mulai kaku hingga terjatuh. Samar-samar terlihat dokter itu mendekatiku, aku mulai tak sadarkan diri. Tak ada lagi tersisa di hidupku kecuali penderitaan. Takdir apa yang akan terjadi selanjutnya. Kuberharap semuanya sudah usai dan aku telah hilang di dunia ini, untuk bersama ayah dan ibu disana.
Tak pernah terlintas di pikiranku tentang hal ini. Benar, taqdir tiada yang tau.
●●●●●_●
Farzan menggendong tubuh Adibah kemudian membaringkan ke sofa yang ada di ruang tamunya. Entah kenapa tekadnya terlalu bulat untuk membawa anak pasiennya itu ke rumahnya. Ini baru pertama kalinya terjadi di hidupnya, membawa seorang gadis yang bukan mahram-nya ke apartemen miliknya.
Ada apa dengan semua ini? Farzan hampir saja melewatkan salatnya hanya karena gadis itu. Kepalanya seakan di penuhi dengan wajah Adibah. Entah apa yang Allah rencanakan untuk Farzan ke depannya.
Dia melangkah menjauh masuk ke kamarnya untuk salat magrib. Dia harus rela ketinggalan salat di mesjid hanya karena gadis itu. Entah apakah ia berdosa karena membawa gadis itu ke rumahnya atau tidak.
Selama melaksanakan salat magrib, Adibah kini sadarkan diri. Dia melihat sekitar ruangan yang sangat asing menurutnya, Gadis itu tidak tahu kalau dirinya sedang berada di rumah Dokter Farzan. Hingga suara lantunan ayat suci kini terdengar di telinga Adibah.
Tunggu! Ini suara yang pernah di dengarnya sebelumnya. Adibah terpaku mendengar bacaan surat yasin yang di lantunkan itu, ia meneteskan air mata hingga suara itu kembali menghilang tapi tidak dengan tangis Adibah. Dia teringat ayahnya kembali.
"Assalamualaikum, " Salam Farzan setelah melihat gadis itu yang sudah sadarkan diri.
Adibah diam. Dia terlalu larut dalam kesedihannya.
Farzan mencoba mendekati Adibah dengan berpakaian saat melaksanakan salat tadi. "sesungguhnya si mayat akan di siksa di dalam kuburnya disebabkan tangisan sebagian keluarganya."
Adibah berbalik menatap Farzan dengan pandangan iba, wajahnya terlihat pucat. "Maaf," ucapnya singkat kemudian mengusap air mata di pipinya. Pandangannya fokus ke depan, pikirannya entah ke mana.
"Kamu tidak salat? Bentar lagi isya, entar ketinggalan," tawar Farzan.
"Adibah mau pulang pak dokter, " kata Adibah sambil melangkah menjauh menuju pintu keluar.
"Stop! Kamu tidak boleh pulang, kamu mau mati kelaparan di rumah kamu? Rumah kamu habis kecurian, semuanya hilang, bahkan sertifikat tanah dan rumahmu juga ikut hilang, " Farzan mendekati Adibah, ingin rasanya dia menggenggam tangan gadis itu dan memeluknya, tapi semua itu tidak akan terjadi.
"Saya tidak mau membebani ayahku karena bersama dengan pria yang bukan mahram-ku, Adibah tidak mau melibatkan ayah di dosa yang aku buat."
"Saya akan menikahimu besok." Ucap Farzan spontan. Rasanya Farzan tidak ingin kehilangan gadis itu.
"Pernikahan bukan sebuah lelucon. Hanya karena Pak Dokter kasihan ke Adibah hingga berani mengajak menikah. Dibah tidak suka di pandang kasihan."
Farzan diam. Dia tidak kasihan kepada gadis itu, tapi perkataan Adibah dapat membungkam mulutnya, dia kehabisan kata-kata entah apa alasan sesungguhnya Farzan ingin menikahi Adibah.
"Terimah kasih atas semuanya, Assalamualaikum." Adibah kembali melanjutkan langkahnya.
"Stop! "ucapnya kembali, "Ini semua karena ayah kamu, ayahmu meminta ke saya untuk menikahi mu setelah dia pergi. Dia tau kalau kamu akan tinggal sendiri, "
Tidak ada lagi pergerakan, Adibah diam mendengar perkataan dari Farzan. "Ini semua karena ayah? Ayah menyuruh Pak Dokter untuk menikahi Adibah?" gumam Adibah.
"Maaf, aku baru mengatakannya, "
Adibah menatap Farzan kemudian menundukkan kembali pandangannya. Dia diam dengan waktu yang sangat lama, hingga akhirnya memutuskan untuk berbicara kembali. "Saya menerima lamaran bapak, saya siap menikahi bapak, perkataan ayah perintah yang Adibah harus turuti, "
"Sekolah mu? " tanyak Farzan, dia baru ingat kalau Adibah masih sekolah di bangku SMA bahkan dia pernah bertemu di sana saat kunjungan dan memberikan materi ke siswa. Siswa yang tidur saat dirinya menerangkan.
"Saya akan tetap sekolah. Dan tetap menikahi bapak tanpa sepengetahuan orang lain, dan wali nya saya serahkan ke bapak, " Gumam gadis itu tapi masih terdengar jelas oleh Farzan.
"Tunggu saya di situ, " perintah Farzan.
Dalam keadaan hening, handphone Adibah berbunyi. Menampilkan nama Sri Wahyuni disana, mungkin teman-teman Adibah baru tahu kalau ayahnya meninggal.
"Assalamualaikum, Dibah kamu dimana? Kita ke rumahmu, sudah gak ada orang-orang disini, " Tanya Sri saat teleponnya tersambung.
"Iya saya sekarang ada di rumah keluarga ini, " Jawabnya berbohong.
"Maaf yah kita gak pergi ke pemakaman ayah kamu. Kamu sih gak beritahu kami, kalau bukan Dani yang bilang kami gak bakalan tahu berita ini sampai sekarang Dibah, " Beginilah Adibah, dia tidak pernah ingin melibatkan orang lain dalam kesedihannya, dia tidak suka di pandang kasihan.
"iya tadi saya gak sempat ngabarin, maaf yah, "
Farzan datang menggunakan celana hitam dan kemeja putih dilipat hingga dua kali lipatan khasnya. Dia diam memperhatikan gadis berhijab warna hitam yang sedang menelepon di depannya.
"Yaudah kita ke sana yah? "
"Jangan pergi dulu, saya sedang ada di luar kota soalnya, " Ucap Adibah berbohong. Hingga ia sadar bahwa di belakangnya sudah ada Pak Farzan, "Yaudah, sudah dulu yah, Adibah mau salat soalnya. Assalamualaikum, "
Hening menyelimuti mereka kembali.
"Ayo ikut saya, " Ajak Farzan yang sudah berlalu keluar untuk ke suatu tempat.
"Kemana? " tanyanya sambil mengikuti Farzan.
Bukannya menjawab Farzan mala tetap melanjutkan langkahnya. Mana mungkin dia memberitahukan ke Adibah kalau dia akan ke rumah Mahesa sahabat Farzan atau istri adiknya.
Setelah sampai di mobil, Farzan membukakan pintu yang ada di belakang untuk Adibah. Dia tahu kalau Adibah tidak akan mau duduk berdampingan dengannya sebelum dirinya sudah sah untuk gadis itu.
"Nama kamu siapa? " tanya Farzan bersamaan dengan berlajunya mobil yang mereka kendarai.
Memang selama dia bertemu Adibah, dia belum tahu nama gadis itu dan bodohnya Farzan langsung ingin melamar nya. Seharusnya dia mencari waktu yang lain untuk mengenal lebih dalam sifat nya.
"Adibah Sakhila Atmarini," Jawabnya datar.
Setelah sampai di tujuan, Farzan turun sendiri. Tadinya Adibah ingin ikut tapi Farzan lebih dulu melarangnya.
●●●●●_●
"Kenapa harus mendadak seperti ini Zan? Bukanya kamu pernah bilang nikah nya setelah umur dua puluh sembilang? Siapa wanita yang bisa membuat mu berubah pikiran? " Ucap Mahesa sambil membuka jas yang melekat di tubuhnya.
"Apaan sih kamu Esa, bukannya kamu yang nyuruh saya untuk cepat menikah. Kenapa setelah saya mau menikah kamu malah bertanya seperti ini?"
"Enggak. Bukan begitu sih. Tapi agak aneh juga. "
"Saya baru mengenalnya tadi,"
"Apa!? Kamu baru mengenalnya dan langsung ingin melamar nya, memangnya tidak terlalu cepat Zan? "
"In sha Allah enggak Sa."Jawabnya datar.
"Kapan mau nikah?"
"Kamu sudah kayak wartawan tau gak. Nanya mulu, "Ketus Farzan.
Mahesa nyengir, "Jawab napa."
"Besok," ucapnya sambil meneguk kopi yang di sajikan Mahesa tadi.
"Besok!? Emang gak terlalu mendadak? " tanya Mahesa.
"Ya Allah Sa! Adibah di luar nungguin saya sendiri. Kamu mau bantu atau tidak? Soal cinta atau tidak itu tergantung hati dan hati saya berkata iya, " katanya terus terang.
Mahesa tersenyum. "Saya sedang tidak mimpi kan? Seorang dokter Farzan sedang jatuh cinta dan segera menikahi nya. Saya sangat bahagia Farzan. Tunggu! Kamu tidak iri kan sama saya? Karna saya duluan nikah daripada kamu?"
"Sifat iri bukan sifatku Sa," Kata Farzan.
Mahesa tertawa serasa ucapan sahabatnya itu lucu, "Terus Umi dan Abimu bagaimana?, "
"Umi lagi banyak urusan di Arab bareng Abi, dia baru bisa pulang setelah enam bulan depan. Ini baru akad nikahnya belum resepsi entar kalau udah resepsi baru deh Umi dan Abi datang"
"sumpah ini gak mendadak kan? Baru kenal tadi sudah mau nikah besok. Drama banget tau gak Zan. "
Farzan menggeleng. "In sha Allah, enggak. Ngomong-ngomong Aqilah mana?" tanya Farzan mengganti topik pembicaraan.
"Saya baru nikah enam bulan dengan adikmu, udah rindu saja kamu." Mahesa tertawa.
"Jelaslah dia satu-satu nya adikku. " Farzan ikut tertawa.
"Farzan lebih baik kamu pulang dulu dan urusin pernikahan mu besok, istri tercinta saya udah pulang ," lah bukannya dia yang sendiri yang menghalangi Farzan pulang dengan pertanyaan-pertanyaan?
"Ya Allah. Adibah juga sendiri di luar. Saya duluan yah, "
"Bareng, " Ajak Mahesa. Bukanya mendapatkan jawaban Farzan mala terus berjalan keluar meninggalkan Mahesa.
Memang benar, cinta dapat mengalahkan segalahnya.
●●●●●_●
Dari tadi aku menunggu di sini, tidak ada juga tanda-tanda kedatangan dokter itu. Apa dia tidak tahu kalau aku belum salat? Padahal waktu isya sudah sangat dekat, mau keluar juga tidak bisa, mobil ini terkunci dan suhu di mobil ini sangat dingin. Perutku bahkan sudah sangat keroncongan meminta untuk diisi segera dari tadi aku sudah lapar.
Apa dokter itu memang sengaja untuk meninggalkanku sendiri. Astagfirullah, Adibah jangan zoudzon dulu! Aku harus sabar menunggu dia disini. Semuanya akan indah jika kita selalu bersabar . Tunggu, atau dia lupa kalau aku ada? Diakan baru mengenalku. Semoga saja tidak.
Menunggu memang tidak enak tapi itu harus kulakukan hingga dia yang sandari tadi kutunggu akhirnya datang melangkah mendekat ke mobil. Kemana saja dia? Apa dia tidak tahu kalau aku di sini sendiri? Atau sifat pelupaku pindah ke dia? Menyebalkan!
"Maaf, tadi tidak sadar kamu nunggu di sini, " Katanya sambil melaju kan mobil nya.
Kan benar dia pelupa! Dasar dokter tua!
Aku diam tidak menanggapi ucapan dokter itu, sungguh aku sebal ke dia. Hingga mobil itu kembali berhenti pas di depan mesjid Nurul Asiah. Dokter itu melangkah keluar seperti tadi bedanya kali ini dia menyuruhku ikut bersama dia.
Tanpa disuruh pun aku akan tetap turun beberapa menit lagi memasuki waktu salat isya dan aku harus segera salat magrib, "Tempat berwudhu cewek nya disana," tunjuk nya ke arah kiri mesjid. Sedangkan dia terlebih dulu masuk ke masjid. Apa tidak berwudhu dulu? Atau dia sudah salat? Entah.
Setelah selesai berwudhu aku melangkah memasuki mesjid. Kulihat dokter itu sedang melantunkan ayat suci tapi volume suaranya tidak terlalu keras sehingga cuma orang yang berada di dalam masjid saja yang bisa mendengarnya.
Semoga saja setelah ini aku bisa mengikhlaskan kepergian ayah dengan cepat agar aku tidak menambah bebannya nanti.
Semoga saja pak dokter itu pilihan yang tepat untukku hingga ke jannah-Mu nanti Ya Allah, walau aku tahu dokter itu melamarku hanya karena kemauan dari ayah saja tapi aku berharap suatu hari nanti ada cinta diantara kita. Aku pun sama, aku tidak memiliki perasaan yang lebih ke Dokter itu. Tapi biarlah semoga suatu saat nanti semuanya akan berubah menjadi cinta.
Setelah salat aku menoleh ke belakang. Dokter itu memandangku sambil tersenyum tipis ke arahku. Tolong katakan kalau sekarang pipiku sedang tidak memerah saat ini. Aku kembali membalikkan kepalaku ke depan. Dan membereskan segalanya. Jantungku seolah-olah ingin lepas dari tempatnya.
Aku bangkit dari dudukku dan melangkah keluar hingga kami sudah bersejaja, aku tidak pernah sekali-kali menatapnya langsung. Dia belum sah untukku. Rasanya aku ingin teriak untuk berhenti ke jantung ini, apa dia sedang menatapku? Sungguh aku tidak nyaman dalam posisi seperti ini.
"Ayo, " ajaknya saat aku berhenti pas depannya.
Aku mengangguk, "Pak Dokter" panggilku..
Dokter itu berbalik dan sekali lagi aku tidak tahu apakah dia menatapku karena aku sendari tadi menundukkan kepala. "Apa? " tanyanya.
Jantungku kembali tidak tenang. Ya Allah kenapa ini? Kenapa harus kupanggil tadi? Aku harus bilang apa? "Hari ini aku bermalam dimana? " bodoh! Kenapa harus ini yang ku tanyakan! Adibah seharian ini kamu taruh otak mu dimana?
Terdengar dari suaranya dia sedang tertawa, "Lebih baik di apartemen aku dulu, " ucapnya yang kubalas anggukan ,"Tapi kita harus ke mall dulu buat belanja pakaian kamu, "
Apa bajuku bau? Sehingga menyuruhku membeli baju? Kucium baju yang kupakai sekarang, memang benar sih baunya agak menyengat, "Bajuku bau yah? " tanyaku membuat dia berhenti pas di depan mobilnya. Sendari tadi aku selalu menunduk tidak tau bagaimana dengan mimik wajahnya. Dia mulai mendekati ku hingga jarak kita semakin dekat "Stop! Bukan mahram! " teriakku.
"Memang benar sih bau, " dia tertawa kemudian masuk ke mobilnya.
Aku? Aku diam disana, rasanya aku mau mandi sekarang karena ucapan dari pak dokter.
Pip!
Farzan membunyikan klakson mobil miliknya, "Naik? " ajaknya.
Aku diam, sumpah aku malu dengan ucapannya tadi, takut karena bau badanku nanti membuatnya tidak nyaman didalam mobilnya. Hingga Farzan keluar dari mobilnya.
"kenapa gak naik? Mau aku gendong? " tawar Farzan.
"Bapak Dokter bisa gak bohong kali ini saja kalau badan saya gak bau? Dibah malu soalnya kalau di dalam buat Pak Dokter tidak nyaman"
"Tapi kalau saya bohong kamu gak bau terus saya tidak nyaman didalam mobil bagaimana? " tanyanya.
"Ya setidaknya saya tidak merasa, " ucapku yang masih sambil menunduk.
"Yaudah kamu tidak bau, kamu wangi. Ayo naik,"Katanya pasrah.
Aku tersenyum menyetujui ajakan dokter itu untuk naik. Selama di dalam mobil aku selalu berdzikir ayah selalu menyuruhku untuk selalu berdzikir. Hingga mobil pak dokter itu kembali berhenti di depan sebuah tempat perbelanjaan.
"Kamu mau turun? " tanyanya setelah keluar dan membukakan pintu mobil untukku.
Aku menggeleng, "Tidak. "
Dia membukakan pintu mobilnya. Terlihat dari sepatunya dia tetap diam, kenapa? Apa dia sudah tidak sadarkan diri karena bau badanku? Bodoh kalau dia tidak sadarkan diri sudah pasti dia jatuh bukannya tetap berdiri seperti ini. Ah entah!
Beberapa lama kemudian akhirnya dia membuka suara "Ini sudah tengah malam kalau kamu di sini sendiri dan pastinya saya di dalam tidak sebentar. Kalau terjadi apa-apa jangan salahkan saya ya."
"Lama? Bapak Dokter ngapain saja di dalam? Mau belanja? Buat apa? Kita makan saja dulu Bapak Dokter, Dibah lapar soalnya," ucapku trus terang.
Farzan tersenyum. Kenapa ini? Kenapa jantung ini begini? Saat aku melihatnya rasanya ada yang berbeda dengan diriku. Rasanya aku sudah sangat mengenal dokter yang baru kutemui tadi. Apa karena sebentar lagi dia akan menjadi suamiku? Bisa jadi.
"Assalamualaikum?" salamnya, membuatku sadar dari lamunanku. "Gimana? "
Aku mengangguk, rasanya aku seperti orang bodoh berada di posisi ini. Aku selalu kehilangan akal sehatku saat berbicara dengannya.
"Tunggu, " ucapku saat melangkah keluar mobil, "badanku bau Pak Dokter, "
"Di sana ada rumah Aqilah,," katanya hampir saja menarik tanganku tapi tidak jadi. Mungkin dia ingat batasan wanita dan laki-laki yang bukan mahram.
Tunggu! Aqilah itu siapa? Apa istrinya? Dan cincin yang digunakan waktu itu? Aku tidak pernah bermimpi untuk menikahi suami orang. Kenapa rasanya aku cemburu kepadanya. Dadaku rasanya sesak. Bodoh! Adibah dia itu menikahimu hanya karena ayahmu bukan karena cinta. Jadi walau dia punya istri dia akan tetap menikahiku karena wasiat dari ayah. Ayah kenapa harus dia? Kenapa bukan orang lain?
"Ayo, " ajaknya kembali yang kubalas anggukan.
Dia berada lima meter di depanku. Jalannya terlihat sangat ramai, baru kali ini aku berjalan di tempat seramai ini. Biasanya ayah cuma mengajakku jalan-jalan ke taman, rame sih tapi tidak seramai sekarang! Sungguh luar biasa, dari Nabi Adam hingga sekarang bisa sebanyak ini.
Akhirnya kita sampai di rumah yang sangat megah. Lebih megah dari rumah ayah. Entah berapa lama proses hingga jadinya rumah ini.
"Masuk, " Dia tersenyum kepadaku sambil memegang pintunya. Aku masuk. Didalam tak kalah megahnya dari luar. Bisa aku bertanya apa ini rumah? Atau istana? "Kamu masuk saja kamar sana," tunjuknya ke suatu kamar di sebelah kanan.
Aku mengangguk. Dia melangka menjauh dariku hingga aku sadar akan baju yang kupakai. "Pak Dokter! " panggilku.
"Apa? Ada yang kurang? Atau kamu tidak bisa membuka pintunya? Pintunya tidak terkunci tenang saja, " di kembali melanjutkan langkahnya.
"Ihh, " kesalku membuatnya berbalik kembali, terlihat dari kakinya kalau dia sedang berbalik. "Baju ku bagaimana? "
"Di dalam ada baju Aqilah yang bisa kau pakai, " katanya dengan lembut. Ya Allah, apa aku harus bahagia karena sifat lembutnya atau aku harus sedih saat ini, siapa Aqilah itu? Dasar kau Adibah! Apa hakmu untuk cemburu!
Aku mengangguk dan langsung meninggalkan dia berdiri kaku disana. Apa aku masih cemburu? Astagfirullah Allah lebih cemburu lagi kalau aku lebih mencintai umatnya ketimbang dirinya. Lagian kamu masih belum sah untuk dia buat apa cemburu, semuanya akan indah, walau aku belum tahu kapan itu.
●●●●●_●
"Soal cinta atau tidak itu tergantung hati dan hati saya berkata iya"
Maaf Teypo bertebaran.
Pelajaran :
3 doa jangan sampai terlewat dalam sujud,
Ya Allah aku meminta kepada-Mu husnul khotimah
-Ya Allah berikanlah aku rezeki taubat nasuha (atau sebenar-benarnya taubat) sebelum wafat,
-Ya Allah wahai sang pembolak balik hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Winda Ningsih
kalo rmh nya adibah lumyan besar, kok ada pencuri gk di usut apalagi bpknya aparat....
2020-11-26
0
hikmah
Ya Allah thorr ,, Trimakasih ilmunya di dalam cerita ini ❤️❤️
2020-06-21
0
Habibal qolby
Maaf kak, seharusnya kata 'In sha Allah' diganti dengan kata ' In sya Allah' karena itu huruf syin bukan huruf shod, terimakasih
2020-02-27
5