Teman Hidup

"Taqdir itu dinikmati bukan diubah"

●●●●●_●

Kebetulan di kamar ini sudah ada baju seragam sekolah jadi aku bisa langsung berangkat ke sekolah tanpa ke rumah lagi. Hari pertama tanpa ayah. Jangan lemah Adibah ayah pasti bahagia lihat kamu sekarang, dia yakin kamu pasti kuat.

Di kamar ini sudah lengkap akan semuanya, bahkan hal yang tidak aku butuh kan sudah ada di sini semisal alat make up bahkan ke sekolah aku tidak pernah menggunakan alat-alat itu. Kata ayah, wajahku masih sangat mudah untuk alat-alat seperti itu.

Entah berapa kaya dokter itu hingga kamarnya harus semegah ini. Bahkan kamarku saja tidak seperti ini, kalau di perkirakan kamarku tiga kali lipat dari ini, saking luasnya sekelas bisa tinggal di kamar ini.

Saking luasnya membuatku tidak bisa tidur nyenyak. Mungkin karena masih baru biasanya ayah selalu masuk untuk menghiburku, menceritakan bidadari yang belum pernah aku lihat selama ini, bidadari yang sangat sempurna di mata ayah. Ya ibuku kata ayah wajahku dan ibu hampir mirip jadi kalau aku ingin melihat ibu lihat saja wajahku. Ayah selalu menceritakan itu hingga aku tertidur.

Setelah semuanya siap aku tidak tahu harus apa lagi. Ini kali pertamanya aku kesini, jalan ke sekolah aku tidak tahu, bahkan uang sepersen pun tidak ada. Bagaimana ke sekolah? Hp ada, pulsanya yang tidak ada.

Tok! Tok! Tok!

Seseorang kini mengetuk pintu kamar. Aku langkah kan kakiku menuju sumber suara tersebut hingga menampilkan sosok dokter itu yang sedang berdiri.

Dia tersenyum. Apa pipiku tidak memerah saat ini? Kuharap tidak.

"Mau ke sekolah? " bodoh sudah lihat saya memakai seragam sekolah jelas saja mau.

"Iya mau. Sudah jam tujuh sekarang pastinya kelas sudah mulai, " kataku cemberut.

"Tapi... Bagaimana ya? " Dia diam terlihat kalau dia ingin mengatakan sesuatu. "Hari ini pernikahan kita kan? "

Deg.

Aku sampai lupa akan hal itu. Kalau bersamanya aku bisa saja berpenyakit jantung. Tak apa setidaknya aku bisa bertemu dengan ayah secepatnya.

"T... Tapi," ucapku gugup.

"Kenapa? "

Serasa ada sesuatu yang membisik. 'Kamu harus mau Dibah! Ini karena ayahmu. Nikahi dia. Kemarin kamu sudah janji ke pak dokter itu. ' Ya Allah takdir apa yang kau tuliskan untukku?

Aku tersenyum, Bismillah. "Enggak, lupakan Pak, sekarang kan? Maaf tadi lupa jadi gak siap-siap dulu, " ucapku menormalkan mimik wajah.

Aku tidak sengaja menangkap rasa bahagia pada dirinya. Apa dia bahagia menikah denganku? Atau dia tersenyum hanya karena hal lain? "Yaudah kita langsung pesan baju saja dan sorenya baru akadnya akan dimulai. "

"Jadi Dibah ganti baju dulu atau pakai ini saja Pak Dokter? "

Dia mengangguk. "Iyalah masa ke butik dengan pakaian seragam. Entar dikiranya saya menculik kamu." Dia tertawa.

"Tapi, Pak Dokter memangnya kalau ke butik pakaiannya langsung jadi? Dibah kira harus nunggu dulu."

"Kita beli yang langsung jadi saja dulu. Entar kalau sudah resepsinya baru jahit. Sekarang baru akad nikahnya jadi tidak usah terlalu megah. "

Aku mengangguk ."Yaudah, Bapak Dokter keluar dulu, Adibah mau ganti baju soalnya." Sesuai permintaan, pak dokter itu keluar.

Sama seperti pertama bertemu. Aku belum pernah melihat wajah pak dokter itu lama-lama. Aku belum bisa menarik kesimpulan kalau di itu tampan atau tidak, yang aku lihat Cuma hidung dan lesung pipinya saja. Pak dokter berhidung mancung dan memiliki lesung di pipi kirinya.

Kalau soal siap atau tidak untuk menikahi pak dokter aku belum bisa menjawab. Terkadang ada saat aku menerima sepenuhnya dan terkadang ada saat sebaliknya. Dan semoga saja Allah memberikan takdir yang indah setelah ini untukku dan pak dokter juga.

Aku berharap suatu saat aku akan mencintai pak dokter secara langsung dan semoga saja dialah imam yang baik untukku. Imam yang akan menuntunku hingga ke jannah nanti. Jodoh adalah cerminan akhlak dan aku tahu akhlakku masih belum sempurna, aku berharap semoga dialah panutan aku nanti.

Sepuluh menit lamanya aku di kamar hingga aku keluar. Kulihat pak dokter sedang membaca salah satu surat alquran. Dia terlalu khusyuk hingga tidak menyadari kedatanganku. Boleh aku jujur? Aku menyukainya saat membaca alquran terlihat ada yang beda dengan dirinya saat ini. Dia terlihat sangat tampan. Astagfirullah ya Allah, aku sampai menatapnya berlebihan. Dia belum sah untukku.

"Sodakalllahul adzim. " Pak dokter menutup alqurannya. Mungkin dia menyadari kedatanganku atau memang sudah mau berhenti, entah. "Udah siap?"

Aku mengangguk, "Emang bacaan ayat sucinya udah selesai ya pak dokter? Kalau belum. Gak apa-apa Dibah tunggu dulu sampai bacaan pak dokter kelar."

"Iya sudah selesai bacaannya. Ayo. " Dia berlalu keluar meninggalkanku . Selalu saja seperti ini.

Dear organ tubuh yang bernama jantung tolong jalan terlalu banyak gerak yah di dalam aku tidak nyaman soalnya. Semoga saja pak dokter tidak mendengar suara mu. kalau sampai didengarnya dia akan tau aku sedang tidak nyaman dan acaranya menjadi batal. Eh tunggu! Kenapa aku seperti ini? Seakan aku sangat mengingatkan hal ini terjadi, ah tidaklah aku seperti ini karena baru mengenal pak dokter dan tidak mau membuatnya menunggu terlalu lama, bagaimana kalau dia menganggap aku tidak baik? Jelek kan?

Baru kali ini suhu di dalam mobil pak dokter menjadi sangat dingin, badan ku rasanya menggigil berada disini. "Pak Dokter, " panggilku.

Aku memang selalu memanggilnya pak dokter karena aku belum mengetahui namanya. Aneh bukan, pernikahan kita tinggal menunggu jam tapi aku belum mengetahui namanya. Jangan salahkan aku ini semua karena dia yang tidak memperkenalkan namanya. Bukannya aku tidak mau mengalah tapi memang inilah faktanya.

Pak dokter berbalik memandangku. Aku yang tadinya menatapnya kini menundukkan kepala kembali. "Ya Ada apa? " tanyanya.

"Suhunya bisa dikurangi sedikit tidak? Dibah kedinginan soalnya." Aku mulai menggigil.

"Padahal suhu udaranya sangat rendah kenapa bisa masih dingin? Dan kalau dimatikan udaranya pasti masih dingin, " katanya.

Aku diam. Tidak sanggup lagi berkata-kata. Padahal aku sudah sangat terbiasa akan suhu AC tapi sekali lagi entah kenapa aku bisa kedinginan seperti ini.

Terdengar samar dia berkata "yaudah tunggu." Aku tidak tau apa maksud dari perkataan pak dokter itu. Hingga sesuatu yang hangat melekat ditubuhku. Aku mendongak melihat kehadirannya disampingku.

Aku diam tidak bisa bergerak. Dia memakaikan jasnya di badanku, aku kaku berada di posisi seperti ini. Jantung kali ini saja jangan perlihatkan kebiasaanmu,jangan sampai dia mendengar suaramu.

Pandangan kami bertemu. Dia diam menatapku, aku pun begitu. Seakan-akan kami sedang terkutuk menjadi patung dalam posisi seperti ini.

Aku menyadari satu hal. "Stop! " teriakku mulai mundur beberapa senti dengannya hingga jaket yang melekat di tubuhku tadi terjatuh. Dan mengalihkan pandanganku darinya.

Ya Allah dosa apa yang aku lakukan sekarang? Kenapa aku selalu lupa dengan hal ini kalau bersama pak dokter? Seolah aku terbius karenanya.

"Tidak! Bukan gitu, tadi saya cuma mau ngasih jas ini ke kamu. " Dia mulai keluar dari mobilnya dan masuk kembali ke tempatnya semula.

"Kenapa tidak dimatikan saja AC nya? " Aku kembali memakai jas pemberian dia tadi.

"Ini sudah dimatikan AC nya. Memang di luar sedang hujan, lihat saja bajuku sampai basa karena air hujan, " katanya, tidak pernah memandangku. "Apa ini phobia mu?"

Aku mengangguk. "Mungkin. Karena setiap hujan aku selalu menggigil seperti ini. Tunggu, aku ingat kata ayah waktu aku menggigil kedinginan dia pernah bilang kalau ibu juga memiliki kebiasaan seperti Dibah selalu kedinginan saat hujan, daya tahan tubuh kami mungkin lemah, " jelasku sembari menahan dingin.

Dia diam. Mungkin dia merasa canggung berada dekat denganku. Emang benar pak dokter itu canggung? Untung aku tipe orang yang canggungnya gak keseringan, kalau keseringan mungkin aku akan kayak pak dokter.

"Butiknya sudah dekat." Dia mengarahkan mobilnya ke tempat parkir. Hingga akhirnya dia menghentikan mobilnya. "Ini butik tante saya."

Aku mengangguk. Apa dia dari keluarga kaya? Lihat saja butiknya sampai sebesar ini. Aku baru melihat dari luar saja sudah seperti ini. Bangunan di dunia saja sudah semegah ini, terus bagaimana dengan jannah mu Ya Allah?

"Kenapa diam saja? " tanyanya ketika membukakan pintu untukku.

"Masih hujan," ketusku.

"Udah enggak, lihat ini cuma gerimis, " katanya melambaikan tangannya ke langit.

Akhirnya dengan terpaksa aku turun. Seperti awal ketemu dia selalu mendahuluiku jalan. Apa dia lupa kalau sekarang aku sedang kedinginan? Bagaimana kalau tiba-tiba aku pingsan dan dia tetap saja berlalu tanpa sadar aku diculik orang, bagaimana? Apa dia mampu mencariku? Biarlah semoga saja ada yang menculikku sekarang! Biar dia tahu rasa dan tidak meninggalkan anak gadis di belakangnya!

"Kenapa kamu diam di sana? Tunggu ada yang mau nyulik kamu? " teriaknya seakan tau isi pemikiranku.

Dengan sigap aku berlari. Jangan sampai ada yang menculikku atas kata hatiku tadi Ya Allah. "Pak Dokter," panggilku ketika posisiku sudah berada di sampingnya. Rasanya aku sedang berjalan dengan kakakku. Tinggiku cuma sampai pundaknya. Dia yang terlalu tinggi atau aku yang terlalu pendek?

"Kenapa? Ada yang mau nyulik kamu? Atau kamu masih kedinginan? " dia sudah seperti wartawan. Terlalu banyak tanya.

Aku menggeleng, "Tidak! Tapi Dibah takut Pak Dokter."

"Buat apa takut? Saya ikut denganmu tidak bakalan ada yang berani denganmu," katanya menenangkanku. "Dan tunggu, sekali ini saja jangan panggil saya pak dokter di dalam, bagaimana kalau ada yang dengar kalau calonku masih memanggilku pak dokter."

"Maaf, Dibah gak tau nama Pak Dokter, " Aku kembali menunduk.

"Nama saya, Farzan Rayhaan Shakeil. Panggil saja Farzan, " ajarnya seperti mengajar anak SD menyebutkan kata.

"Panjang sekali, Farzan Herman-"

"Edd! Kenapa ada Herman? " dia menepuk jidatnya prustasi. "Farzan Rayhaan Shakeil. Apa ini juga fobia-mu? " dia menertawakanku. Dasar!

"Pak Dokter sih namanya kepanjangan! " keluhku.

"Tunggu bukannya nama mu juga sebanyak tiga kata? Adibah Sakhila Atmarini kan? Tapi saya sudah hapal namamu. "

"Itu karena Pak Dokter sudah tua." Apa yang kau katakan Adibah? Kau mengatakan dia tua? Tamatlah riwatatmu!

Dia tertawa. Ini aneh seharusnya dia marah karena kupanggil tua. Apa dia tahu kalau tadi aku cuma asal bicara? Mana mau dia tersinggung kalau usianya mungkin masih dua puluh.

"Pak-" aku menutup mulutku spontan. "eh maksudnya Kak Farzan Her. Adduh susah amat sih!" Gumamku.

"Panggil Kak Farzan saja, " bisiknya. Di sini sangat banyak orang kalau dia tidak berbisik bisa didengar semua orang.

Dia berhenti pas di depan seorang wanita. Aku tidak berani menatapnya, aku malu jika aku harus melihatnya.

"Eh kamu rupanya Zan, " kata wanita berhijab panjang itu sembari memeluk Kak Farzan. Hijabnya sama dengan yang kupakai cuma beda warna saja aku berwarna ungu sedangkan dia biru. Dan dia siapa? "katanya kamu mau nikah ya? Tante ikut bahagia keponakan tante akhirnya nikah juga, dan mengurungkan niatnya untuk menikah di usia dua puluh sembilang tahun."

"Hehehe... Alhamdulillah tante."

"Apa ini calonmu? " Dia menunjukku.

"Iya dia tante, namanya Adibah Sakhila Atmarini. Adibah ini tanteku, Jumiati. " katanya memperkenalkan kami.

"Cantik juga yah." Dengan penuh keberanian aku tersenyum menanggapi ucapan tante Jumiati. Kalau boleh jujur, aku canggung berada di posisi ini. " karena keponakan tante yang mau nikah apapun gaungnya gratis buat kalian berdua." Dia menepuk bahu kak Farzan.

"Ini baru akad nikahnya tante, jadi gak terlalu meriah. Entar kalau udah resepsinya baru megah. " Kak Farzan tertawa.

"Oh, memangnya Umi dan Abi kamu belum balik? " Wanita itu duduk di sofa yang sudah ada di sana. "Mari duduk."

"Umi dan abi baru akan pulang tiga bulan ke depan tante. Hari ini akad nikahnya jadi tante perlihatkan gaun yang cocok untuk calon Farzan. Tante hadir juga kan? "

"Jelas saja. Masa iya keponakan tante yang nikah malah tante gak pergi." Ucapnya sambil terkekeh. "Kalau soal gaung tenang saja, tante udah siapkan itu untuk." Tante Jumiati diam, mungkin lupa dengan namaku.

"Dibah? "

"Ya Dibah." Dia tertawa bersama Kak Farzan. "tante yang urus calon kamu dan yang urus pakaian kamu biar Beti."

"Kenapa harus cewek tante? " tanya Kak Farzan heran.

"Bukan cewek tapi banci," bisik tante Jumiati. Aku sempat kaget waktu mendengar kata Beti saya kira wanita ternyata banci.

"Ya Allah tante memangnya gak ada yang lain? Farzan jijik soalnya tante." Aku tersenyum melihat wajahnya sekilas. Ternyata dia takut juga dengan makhluk itu.

"Ada sih tapi cewek." kak Farzan menatapku seakan meminta izin kepadaku. Buat apa dia minta izin ke aku belum sah untuknya tapi kalau sejujurnya aku cemburu sih. Maksudnya cemburu karena aku akan menikah dengan dia, bukan karena saya menyukainya.

Aku menatapnya cemberut. Aku tadi bilang cemburu jadi pastinya aku tidak suka. Walau tidak langsung bilang ke dia.

"Yaudah gak apa-apa tante. Biar Beti yang urus Farzan, " ucapnya pasrah. Dia terlihat mengemaskan kalau seperti itu. Astagfirullah aku menatapnya lagi? Aku malu Ya Allah.

"Apa ini karena Adibah? " Tante Jumiati menatapku sambil menaikturunkan alisnya.

"Iyalah, Dibah kan bentar lagi jadi istri Farzan tante, gimana nanti kalau Farzan jatuh cinta kepegawaian tante? "

Uhuk!. Uhuk!. Uhukk!

Farzan mendekatiku. "Kamu kenapa? Masih dingin? Kamu mending istirahat dulu saja, biar saya yang pilihkan bajunya," tanyanya antusias. Bisa jadi dugaanku tadi benar kalau Kak Farzan itu seorang wartawan!

Hingga tante Jumiati datang membawakan air untukku. Sejak kapan dia pergi mengambil air? Kenapa aku tidak menyadari? Ini semua karena Kak Farzan!

"Minum dulu sayang, " titah tante Jumiati yang memberiku air segelas. "Kamu kenapa tadi? "

"Gak apa-apa biar ceweknya yang ngurusin Kak Farzan. Dibah gak apa-apa. "

"Tidak apa-apa, tapi kalimatnya seperti ini. Tante rasa cemburunya mulai terlihat de Farzan, lihat pipinya sekarang memerah," ucap tante Jumiati sambil mencubit kedua pipiku.

"Daripada ini gak kelar-kelar mending saya pergi dulu buat pilih bajunya." Dia berlalu pergi. Mungkin dia juga canggung dengan keadaan seperti ini.

"Tunggu! " Kak Farzan berhenti. "Kak Farzan mau ketempat Beti kan? " Bukannya aku cemburu, tapi saja kalau dia pergi bersama perempuan dosa juga kan buat dia? Jadi ini caraku untuk dia terhindar dari dosa.

Dia mengangguk, "Kamu mau ikut? " tawarnya.

"Iya Adibah mau ikut, " kataku mulai mendekati kak Farzan.

"Tunggu, kalau Beti yang urus kalian berdua bagaimana dengan Faradillah? Jannah? Dan pegawai saya yang lainnya? "

Aku kembali diam. Aku tidak mau sendiri, bagaimana kalau Kak Farzan benar-benar jatuh cinta sama pegawai tante Jumiati? Ya Allah pikiran apa ini! Jangan sampai itu terjadi.

Kak Farzan menatapku heran, jelas saja aku baru kali ini bicara seperti ini dengan dia. Tunggu! Apa aku sedang cemburu? Aku tidak tahu!

"Gak apa-apa, Adibah ikut Farzan saja tante. Bajunya kan juga harus kesepakatan berdua, dari pada Beti-nya capek-capek kesana kesini buat tunjukan baju. Walau Beti sudah terbiasa tapi kali ini beda tante. " Kak Farzan menatapku. "Ayo," panggilnya.

Terlihat tante Jumiati tersenyum menatap kami berdua.

"Tadi kamu cemburu yah? " tanya kak Farzan saat aku sudah berada di sampingnya.

Memang benar dia terlalu tinggi. Tinggiku saja 150 cm mungkin dia 160 cm. "Kak tingginya berapa cm? " tanyanya.

"175 cm kenapa? Saya terlalu tinggi? Bukan saya yang terlalu tinggi tapi kamu yang terlalu pendek." Dia tertawa. Rasanya ingin kucincang tubuhnya itu dan kubawah ke kolam ikan piranha!

Sabar Dibah, sabar. Kamu harus terbiasa dengan sikapnya ini. Dugaanku salah, aku kira dia dewasa ternyata sifatnya seperti ini!

"Tunggu pertanyaanku tadi belum dijawab. Kamu cemburu kalau aku berdua dengan Beti? Tenang Adibah aku tidak bakalah jatuh cinta sama Beti aku masih normal dalam hal itu, aku juga jijik kalau sama bencong." Dia tertawa.

"Ihh! Tidak, Dibah gak cemburu! " ketusku. Tunggu, aku benar-benar tidak cemburu tapi cuma karena dia sebentar lagi jadi suamiku.

"Yaudah kalau gak mau jujur." Dia kembali berlalu meninggalkanku. Kebiasaan dia ini! Ini bukan tempat sepi, disini banyak orang mulai dari remaja hingga berusia lanjut ada. Bagaimana kalau Allah mengabulkan ucapanku tadi? Bagaimana kalau aku diculik? Dasar manusia yang tidak kemanusiaan! Maksudnya tidak memiliki rasa kasihan.

Rasanya kali ini pembicaraan kita benar-benar terasa formal sejak tadi dan semoga saja seterusnya seperti ini. Aku dan dia berbicara seakan semuanya saling mengenal sejak lama.

"Nyonya Farzan dan Adibah kan? "Apa? Nyonya Farzan? Dasar banci aneh! Kak Farzan tidak seperti kamu! Pake panggil nyonya segala!

Terlihat kak Farzan cuma mengiyakan perkataan bencong itu. Bukan tanpa alasan dia seperti itu tapi karena Kak Farzan malas berbicara dengan makhluk yang bernama banci, katanya dia manusia yang tidak memiliki rasa syukur. Bahkan kalau dilihat dari wajah dari banci itu dia terlihat tampan, terlalu mubazir!

"Eyke punya baju yang cantik buat kalian berdua, cetar deh embak, emas yang guangteng paket banget, mas punya kembaran gak? Kalau ada kenalin dong sama eyke nyonya Beti." Banci itu menyentuh dagu Kak Farzan sekilas. Jijik tahu gak!

Aku menggeleng sambil beristigfar. Dasar manusia jadi-jadian! Ingin rasanya menggigit tangan banci itu biar dia tidak melengkungkan tangannya persis orang yang menderita penyakit stroke. Naudzubillahimindzalik.

Selama berjalan-jalan menyusuri tempat yang ingin dituju oleh banci itu akhirnya kita berhenti di depan buah gaun sederhana tapi megah. Katanya cuma resepsi kenapa bajunya harus seindah ini? Jilbab yang lengkap dengan mahkota berwarna putih dengan manik-manik berwarna abu-abu dan baju yang yang panjang mungkin kalau kukenakan bisa melewati kakiku.

"Nah ini, buat embak nya, cantik kan? Ini dekorasi dari embak e." Yang disebut embak e itu tante Jumiati. Tunggu, dekorasi? Bencong ini memang benar-benar gila."kalian tahu tidak, embak e itu punya daya instim yang baik, contohnya saja ini dibuatnya minggu lalu katanya buat pernikahan keponakan gantengnya lah mala sekarang sudah mau dipakai." Dia terkekeh.

Baru kali ini kulihat kak Farzan ikut tertawa karena banci itu. Tapi jujur ini terdengar aneh aku dan kak Farzan baru kenal dan tante Jumiati sudah membuat baju ini minggu lalu.

"Embak bisa pakai dulu di dalam dan emasnya sama eyke disini nungguin." Beti hampir saja memeluk tubuh kak Farzan kalau saja dia tidak mengindar. Dasar bencong kecentilan!

"Enggak ah! Baju saya juga sudah ada buat apa saya nunggu Adibah keluar."

"Mas e, sekali-kali sama embak Beti. Beti gak masalah."

Iya bukan kamu yang gak masalah tapi kak Farzan!

"Bisa tidak berhenti dulu? Dan kamu mas Beti, disini kamu disuruh buat nunjukin pakaian bukan untuk kecentilan! Taqdir itu dinikmati bukan diubah! Cowok kok kayak cewek, " kesalku.

Aku memang tidak pernah suka dengan orang yang mengubah ciptaan Allah semisal Mas ini. .

"Yaelah embaknya sensi amat sih! Yaudah emasnya juga ikut masuk di kamar ganti yang disebelahnya. "

.

●●●●●_●

Kulihat pantulan diriku dicermin. Sungguh ini terlalu aneh, gerah, berat. Kenapa bukan pakaian adat saja? Sepertinya ini membuatku tidak percaya diri untuk keluar dari ruangan ganti ini. Padahal Beti sendari tadi mengetuk pintu. Tadi saya kedinginan sekarang malah kepanasan! Kalau aku keluar bisa-bisa mereka menertawaiku.

"Assalamualaikum, " panggil Kak Farzan. "Sudah selesai belum? "

Aku harus bilang apa? Bismillah, kamu harus bisa Dibah. Semangat.

Aku melangkah keluar ruangan itu dengan keringat yang sudah membasahi dahiku. Kulihat Kak Farzan dan Beti menatapku. Kan sudah kubilang mereka pasti menertawakan aku!

"Panas, " kataku mencairkan suasana.

Kak Farzan menggeleng. "Kamu sudah selesai? " Bodoh, sudah lihat saya berdiri di depannya, pastinya sudah selesai. Apa pak dokter juga seperti ini? Maksudnya menjadi pelupa.

"Ya Tuhan mas ganteng, tanya kok aneh-aneh gitu." Beti tertawa. "Udah lihat mbaknya pakai baju pengantin sekarang, tergoda ya lihat mbak nya? Masih cantikan Beti kali."

"Nyamankan sama bajunya? " tanyanya tidak menghiraukan perkataan Beti.

Aku mengangguk. "Iya tapi, agak berat gitu. Emangnya gak bisa pakai baju adat saja ya? "

Dia tersenyum. Ya Allah tolong katakan ke dia untuk tidak tersenyum kali ini saja. "Pakaian adatnya entar kalau udah resepsinya."

"Yaudah. Bisa ganti pakaiannya sekarang? Dibah gerah soalnya, "

"Tunggu, " ucapnya sambil memasukkan tangannya ke saku. "Fotoin dulu bang Beti, "

Beti mengambil telepon yang diberikan oleh Kak Farzan tadi. "Enak aja bang beti. Mbak beti dong, " kesalnya. Aku terkekeh melihat mimik wajah dari Beti, begitu pun Kak Farzan. "Ngomong-ngomong masnya mau minta nomor whatsapp Beti gak?"

Kak Farzan nyegir. "Enggaklah, saya suruh kamu untuk foto kita." Sekilas aku menatap Kak Farzan. "Buat dikirim ke umi, "dia tersenyum, tersenyum canggung. Terlihat dari mimik wajahnya.

"Yaelah, kalau abang dilanda lope-lope nih gini, serasa dunia milik berdua tanpa sadar eyke juga ada disini. " Aku terkekeh melihatnya. "Cepat eyke mau foto kalian waktu eyke cuma dikit yah."

Jarak kami sudah sangat dekat, aku diam terpaku di tempatku. Apa ini nyata? Aku selalu menundukkan kepala jangan sampai dia melihat pipiku yang memerah saat ini.

Cekrek. Cekrek. Cekrek.

"Udah ni." Dia memberikan telepon kak Farzan." Eyke fotoin tiga kali ini, gak usah terimakasih. " Dia berlalu meninggalkan kami. Apa dia juga memiliki kebiasaan seperti ini? Suka meninggalkan orang!

"Yaudah Dibah ganti pakaian dulu ya,"Aku masuk ke ruangan ganti itu kembali, serasa baru tadi aku keluar sekarang sudah masuk kembali.

Setelah keluar nanti kami akan langsung ke rumah, kata kak Farzan cincinnya sudah ada jadi semuanya sudah siap tinggal tunggu jam satu untuk persiapan dan setelahnya baru akad.

Aku kembali teringat dengan Aqilah, siapa itu? Apa benar dia istri kak Farzan? Selama kenal kak Farzan dia belum mengatakan siapa Aqilah itu, walau pun aku tidak pernah bertanya setidaknya dia peka akan hal itu.

Aku kembali membuka pintu ruangan itu. Disana sudah ada kak Farzan menunggu. Buat apa coba?

"Ayo, " ajaknya yang kubalas anggukan. "Boleh saya bertanya? "

"Jangan bilang kalau aku lapar atau tidak, jelas saja Dibah lapar pak dokter, eh salah." Aku tersenyum dan dia juga dia. "Kak Farzan. "

"Bukan, tapi bagaimana perasaan kamu saat ini? "

"Dibah lapar kak, seharian gak makan, " keluhku.

Dia terkekeh. "Yaudah kita ke restoran dulu."

"Enggak ah kak, kata ayah kalau mau beli gak usah di tempat yang mewah kalau penjual kaki lima aja enak." Aku meneguk ludah susah paya, rasanya aku sudah sangat lapar saat ini.

"Terserah kamu, ayo. " Dia berlalu meninggalkan aku, kebiasaan dia.

Aku menatap sekeliling, ada yang aneh kenapa semua orang melihat ke arahku? Ahh ini cuma pemikiranku saja! Tunggu, pak dokter dimana? Apa dia meninggal aku sekarang? Kenapa tempat ini menjadi asing? Kemana Beti kemana tante Jumiati? Jangan bilang aku tersesat sekarang! Ah pak dokter kamu dimana?

Mataku mulai berkaca-kaca. Ini salahnya yang selalu meninggalkan aku sendiri, lihat saja kalau kudapat akan kupukul dia lihat saja! Manusia tak berperikemanusiaan!

Langkahku mulai berhenti saat keluar dari butik itu. Aku sudah sangat capek sekarang. Kemana dia? "Kuharap dia mencariku sekarang, kalau tidak biar saja akan kucubit dia! " gumamku.

Tiba-tiba tangan kekar menghalangi penglihatan aku. "Kamu mau cubit saya kan? " kak Farzan menyodorkan kedua tangannya. "Cubitlah sepuasmu, biar kamu tidak marah lagi ke saya. "

Aku mengalihkan pandanganku dari dia. Aku sangat jengkel melihatnya!

"Maaf. Tadi saya beliin kamu es kelapa, " katanya sambil memberikan es kelapa untukku. Tunggu, ini sangat ajaib tadi dia tidak memegang apa-apa kenapa tiba-tiba ada es kelapa itu? "Eh setelah saya balik kamunya gak ada. Trus saya ke tempat tante Jum tapi tetap gak ada, saya ngos-ngosan cari kamu tau gak."

"Tadi kamu taruh es kelapa itu dimana? "

"Di belakangku." Dia menunjuk kursi yang ada di belakangnya. "Kamu hauskan? Ini."

Dan ternyata rasa laparku sudah menguasai diriku sekarang, jadi marah pun tetap kuterima.

"Kamu tidak marah yah sekarang?"

Aku menggeleng.

"Iya atau tidak? Jawab pakai mulut bukan gerakan. " Rasanya kami sudah menikah sekarang, lihat bahkan dia sudah duduk dekat denganku.

Aku bangkit. "Belum mahram, gak usah dekat-dekat Dibah dulu!"

"Yaudah kita pulang sekarang."

Berbeda dari sebelumnya dia menyuruhku untuk berjalan lebih dulu, apa dia sudah peka? Baguslah kalau begitu.

"Tapi tunggu kak. " Dan kembali, kami berhenti lagi. "Semalam kan bilangnya mau ke mall tapi kok ke rumah cewek itu. "

Dia mengerutkan dahinya. "Ohh, kan itu udah jam sepuluh, mall nya sudah tutup, jadi kita ke rumah Aqilah dulu. Kebetulan saat itu Aqilahnya gak ada. "

"Kemana? "

"Siapa? "

"Aqilah. "

"Oh itu, dia lagi ada di rumah suaminya. Dia itu adikku satu-satunya." Ternyata dugaanku salah! Aku kira itu istrinya. Dosa lagi ini! Dasar kau Adibah!

Aku mengangguk pertanda mengerti. Mengerti akan kebodohanku, sangat bodoh malahan aku kira Aqilah itu istrinya ternyata dia adiknya. Mempercayai hal yang belum jelas benarnya.

"Kita singgah makan dulu atau langsung ke rumah? " tanyanya sambil menyetir mobil.

"Dibah lapar tapi gak mau singgah malas, kak pesan aja yah," kataku dengan pandangan fokus ke depan.

"Kita ke apartemenku saja, kebetulan disana sudah ada makanan tinggal dimasak aja."

"Tapi Dibah gak pintar masak, " keluhku. Sudah tujuh belas tahun usiaku sekarang tapi aku belum pernah belajar memasak. Keseharian aku cuma belajar tentang sekolah saja. Bahkan memasak nasi pun aku tidak tahu.

"Apa? Kamu tidak bisa masak? " Lihat dia tertawa. "Astagfirullah, entar saya ajar deh," ucapnya di sela tawa. Perasaan ini tidak lucu.

"Menertawakan orang itu gak baik!"

Kulihat dari cermin dia masih tertawa. Hingga akhirnya kita singgah di sebuah bangunan yang menunjang tinggi. Apertemen nya dimana ya?

●●●●●_●

Cubitlah sepuasmu biar kamu tidak marah lagi ke saya.

Terima kasih yang sudah luangkan waktunya untuk membaca karya saya. Mohon maaf kalau kata-katanya masih ngawur dan banyak teypo/kesalahan kata. Kesempurnaan hanya milik Allah. ^_^

Pelajaran.

Sunnah sebelum tidur.

Wudhu

Membersihkan tempat tidur

Membaca ayatul kursi

Meniup telapak tangan

Membaca surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An nas.

Mengusap kepala, badan dan wajah.

Berdzikir.

Posisi tidur miring ke kanan.

Jika telentang, kaki kanan di atas kaki kiri.

Membaca doa.

Terpopuler

Comments

hikmah

hikmah

❤️❤️❤️ lope lope lope

2020-06-21

0

Arfani

Arfani

terima kasih atas ilmu, juga novelx

2020-06-21

1

Dwi Tyass PasukanArmada Sllusyangibu

Dwi Tyass PasukanArmada Sllusyangibu

selalu dpt ilmu bukan dpt cerira novel terbaik aj..

2020-02-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!