NovelToon NovelToon

Dear Imamku

Ayah Segalanya

"Ketika keadaan mengharuskan untuk menangis, tak semua air mata berarti lemah, "

●● ●● ●_●

Suara Adzan Subuh membangunkanku dari tidur yang cukup nyenyak walau udara rumah sakit yang terasa sangat dingin di jam seperti ini, tetap tidak mengurungkan niatku untuk bangun dan berwudu. Aku menjauhkan selimut yang tadinya melekat di tubuhku kemudian berdiri dan memperbaiki jilbab yang bentuknya sudah tidak teratur lagi mungkin karena aku terlalu banyak gerak saat tidur.

Aku bangkit dari tempatku tadi kemudian mengambil nafas panjang. alhamdulillahil ladzi ahyana ba'da ma amatana wailaihin nusyur .

Ayah menatapku sambil tersenyum di atas kasur rumah sakit, dia terlihat sangat tegar dengan wajah tuanya walau sekarang keadaan beliau sedang memprihatinkan. Ayah mengalami penyakit hipertensi. Penyakit hipertensi sendiri merupakan salah satu faktor resiko penyakit jantung yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah di atas ambang normal. Jika dibiarkan terus naik penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ lainnya seperti jantung dan ginjal, yang kemudian memicu komplikasi, "Ayah wudu dulu ya?," ajakku sambil tersenyum yang dibalas anggukan oleh ayah. Setiap hari aku memang selalu mengantar ayah untuk wudu di Mushollah kemudian menemaninya salat di ruangan, setelahnya aku baru bisa salat.

Kami berdua berjalan menjauh dari kasur tempat ayah tidur tadi. Ayah memegang tanganku erat-erat dengan pandangan fokus ke depan kemudian berkata, "Kalau sudah ganti pakaian ayah dan wudu kamu terus saja ke mushola di depan ruangan ini ya, biar ayah masuk sendiri saja," ucapnya dengan suara lembut khasnya.

Aku tersenyum. "Siap Ayah." Kebetulan ayahku seorang anggota TNI jadi kalau berbicara seperti tentara, itu semua dari ayah.

Sesampainya di mushola ayah masuk ke WC untuk mengganti pakaiannya menjadi pakaian layak pakai untuk salat. Setelah selesai mengganti pakaian ayah kemudian berwudu sambil duduk, ayah belum sanggup seutuhnya untuk berdiri lama-lama.

"Adibah antar Ayah saja dulu," ajakku untuk mengantar ke ruangan di mana ayah dirawat. Soalnya ini pertama kalinya aku meninggalkan ayah sendiri di ruangan itu.

"Udah mau iqamah nak, cepat sana masuk, " perintah ayah, yang mulai menjauh dariku.

"Ayah," panggilku sambil berlari mengejar ayah yang sudah agak menjauh. "Anter ayah gak sampai berjam-jam juga kan buat sampai di ruangan ayah, jadi Dibah antar ayah dulu,"bujukku alhamdulillah diterima oleh ayah.

"Yaudah pergi sana salat nak," perintah ayah setelah sampai ruangan. Kebetulan ayah salatnya berbaring jadi aku tidak perlu terlalu khawatir dengan keadaan ayah nantinya.

"Jaga diri ayah baik-baik ya, yah. " Aku berlari menuju mushola untuk salat walau sebenarnya aku sudah tertinggal satu rakaat salat subuh hari ini.

Aku berharap setelah salat subuh nanti keajaiban datang membuat ayah kembali membaik seperti dulu dan bisa beraktivitas lagi. Selama tujuh hari berada di rumah sakit aku harus pulang balik dari sekolah ke rumah sakit Fatimah yang terlalu jauh jaraknya. Terkadang aku kasihan kepada ayah tapi mau bagaimana lagi aku cuma bisa membantu seperti ini terus kalau bisa hidupku bagi dua dengan ayah sehingga aku bisa melihatnya hingga akhir hayatku. Tapi sayang itu mustahil apa pun yang terjadi mau tidak mau harus bisa disetujui walau terkadang hal itu sangat menyakitkan.

Uang ayah pun semakin menipis. Seandainya ibu masih ada mungkin semuanya tidak seperti ini. Ibu sudah meninggal dunia tujuh belas tahun lalu waktu beliau melahirkan aku, aku bahkan belum pernah melihatnya secara langsung, Allah terlalu sayang kepada ibuku. Sekarang aku cuma seorang pelajaran SMA yang sebentar lagi lulus, seandainya aku lahir lebih cepat lagi agar aku bisa bekerja saat ini dan bisa membantu pengobatan ayahku. Risiko menjadi anak semata wayang.

Sesudah salat subuh sekitar jam lima, aku membaca alquran sesuai kebiasaan aku setelah salat subuh dan sesudah salat-salat lainnya. Aku diam, tiba-tiba indera pendengaranku menangkap sosok suara yang begitu sangat merdu membacakan surat ar-rahman. Rasanya aku ingin mendatangi sumber suara itu dan merekamnya. Aku berdoa, 'tuhan kapan pun aku bertemu dengan pria yang sedang melantunkan ayat sucimu itu tolong sadarkan aku bahwa dia orangnya agar aku bisa merekam suara itu dan mendengarnya di lain waktu kalau aku sedang sendiri.'

Aku selalu mendengar suara itu hingga aku tersentak sadar dengan ayah yang sedang berada di ruangan rumah sakit sendiri. "Ya Allah kenapa harus bersamaan seperti ini," kesalku sambil merapikan peralatan salat yang aku kenakan tadi. "Semoga saja aku masih bisa mendengar suara itu lagi setidaknya sekali lagi ya Allah." Aku berlalu pergi dengan cepatnya menuju ruangan ayah.

Sekarang sudah jam 5 : 47 aku harus segera sampai di ruangan dan mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk ayah kemudian berangkat ke sekolah dan ayah harus sendiri lagi di ruangan itu. "Assalamualaikum Ayah." Aku membuka pintu ruangan ayah dengan pelan hingga cukup bagi badanku untuk masuk kemudian menutup pintu itu kembali karena ruangan ayah ber-AC. Aku menatap wajah ayah yang sedang tertidur pulas dengan pakaian salat yang masih melekat di tubuhnya. Ayah memang selalu tertidur setelah salat subuh dia terlalu sering kecapean akhir-akhir ini.

Selepas membereskan semuanya aku mulai mengganti pakaian yang kukenakan tadi menjadi seragam sekolah dan perlengkapan untuk ke sekolah lainnya seperti tas, sepatu dan sebagainya. Semenjak ayah sakit aku yang mengerjakan semunya. Dahulu aku terlalu manja, kerjaanku cuma belajar pelajaran sekolah saja tidak dengan pelajaran lainnya seperti memasak atau mencuci, mempersiapkan hal untuk masa depanku nanti. Ayah yang selalu mengerjakan segalanya bahkan memasak pun ayah yang melakukannya sampai akhirnya aku tumbuh dewasa menjadi gadis yang tidak banyak tahu untuk urusan rumah.

"Assalamualaikum Ayah. " Aku mencoba membangunkan ayah dengan pelan-pelan karena ayah selalu kaget saat dibangunkan.

"Astagfirullah," kaget ayah. Inilah yang aku takut kan saat membangunkan ayah. "Ya Allah, maaf nak ayah kirain apa," ucapnya dengan nafas memburu seperti orang yang habis lari berpuluh meter.

Aku tersenyum bersalah. "Maaf Ayah. Tadi Dibah berusaha buat banguni Ayah, tapi sumpah suara Dibah-"

"Tidak apa-apa nak. Udah mau ke sekolah yah? Uang jajannya ada di lemari, ambil saja terus ke sekolah yah," tunjuk ayah ke lemari yang ada di samping kirinya. Aku berjalan mendekati tempat yang ditunjuk ayah tadi kemudian mengambil uang untuk jajanku dan mendekat kembali ke ayah untuk bersalaman. "Hati-hati ya, jangan lupa salat dan belajar yang benar yang nak. Kesuksesan tidak datang kepada orang yang pemalas, ingat itu," ucap ayah dengan kata-kata bijaknya. Dia selalu memberiku motivasi untuk belajar setiap hari seperti 'seberapa kaya nya pun engkau tapi tidak memberikan sebagian hartamu untuk mereka yang membutuhkan sama saja kau hidup miskin,' dan 'Berpura-pura lah menjadi baik suatu kemajuan besar jika kamu bisa mengubah sifat pura-pura mu menjadi sifat aslimu.'

"Adiba pergi dulu Ayah, jangan lupa juga banyak istighfar ya. Assalamualaikum, " ucapku sambil memegang kedua tangan ayah kemudian menciumnya .

Ayah mengelus-elus rambutku, "Waalaikumsalam. Iya sayang." Aku kemudian berlalu menjauh dari ayah dengan rasa sangat berat membiarkan dia sendiri. Lamanya aku di sekolah cuma sembilan jam saja, kebetulan sekolahku belum menerapkan fullday.

Setelah berjalan melewati rumah sakit, aku segera menuju halte terdekat. Aku berdiri bersama dengan pelajar dan beberapa orang lainnya yang menunggu angkot juga, aku menatap satu-satu manusia yang berdiri di sana tapi tidak mengenal satu pun diantaranya. Saat menunggu beberapa menit, angkot akhirnya datang, aku malah tidak kebagian tempat. Terpaksa aku harus mengalah dan menunggu angkot berikutnya lagi. Aku tidak sendiri aku berdua dengan seorang pria yang kira-kira berumur seusia denganku.

Secara tidak sengaja aku selalu mencuri-curi pandang untuk bisa melihatnya hingga aku sadar dengan apa yang aku lakukan 'Astagfirullah.' maaf ya Allah aku telah memperhatikan seorang pria yang bukan mahramku, rasa penasaranku terlalu berlebihan hingga aku lupa dosa apa yang aku dapatkan nantinya. Aku menjauh beberapa langkah dari pemuda itu.

Angkot yang sendari tadi kutunggu akhirnya datang tanpa satu orang pun penumpang. Syukurlah setidaknya aku bisa sampai dengan cepat tanpa menunggu sang supir mengantar satu-satu dari penumpangnya. Aku masuk ke dalam mobil itu dengan pemuda yang tadi bersamaku.

"Turun di mana neng? Dan juga bang?" tanya krenek angkot memandang kami berdua secara bergantian.

"Man satu, " jawabku bersamaan dengan pria yang ada di belakangku.

Aku berbalik menatap pria itu untuk memastikan apa aku mengenalnya siapa tahu dia salah satu siswa atau siswi dari sekolahku? Dan nyatanya tidak, aku tidak mengenal pria itu. Wajahnya sangat asing menurutku. Apa siswa baru? 'astagfirullah ' dan lagi aku terlalu penasaran dengan hal yang tidak penting untukku.

"Ooh, satu sekolah ya? "

"Saya ada tujuan di man satu bang," sahut pria itu. Aku tidak tahu bagaimana mimik dia aku tidak pernah berbalik lagi untuk melihatnya. Yang kulihat cuma sopir angkot yang membelakangiku untuk melaju kan mobilnya sedang mengangguk-angguk kan perkataan pria tadi.

Rasanya hari ini angkotnya terlalu lama sampai di sekolahku. Sandari tadi aku duduk tapi tak kunjung sampai juga. Aku menatap arloji di tanganku yang menunjukkan pukul 6 : 30 dan tiga puluh menit lagi pukul 07.00 . Aku tidak tahu jalan yang dilalui sekarang rasanya ini baru kulihat. "Bang masih jauh tidak sih?" kesalku, dari tadi aku di sini tapi belum sampai juga.

Bang kernet itu berbalik melihatku. "Sabar neng cantik, di jalan kota sedang ada razia jadi kita lewat sini saja." Bang kernet itu tertawa.

"Bang, masalah itu dihadapi," ketusku.

"Iya neng, sekolahnya juga udah dekat tu'. Cantik-cantik galak, gak ada spesial nya neng, " rayu kernet itu. Kalau di lihat dari wajah dan postur tubuhnya dia masih terlalu mudah mungkin masih seusia anak SMP dan pastinya memutuskan untuk jadi pengangguran, entah apa alasan kuat dia. Aku terkadang kasihan dengan orang yang putus sekolah, terlalu banyak peluang yang terbuang sia-sia.

Aku diam memutuskan untuk diam hingga sampai di sekolah. Suasanya begitu sepi, entah ke mana para penghuninya apa pelajaran sudah mulai? Enggak mungkin, sekarang kan masih jam enam, sebentar lagi jam tujuh atau jam di percepatan? Semoga saja tidak, ya Allah. Aku mempercepat langkahku untuk bisa dengan cepat sampai ke kelas. Sesampai di sana juga terlihat sepi sampai aku mendengar suara dari arah mushola. Ah, ternyata semuanya sedang berada di sana, buat apa?

Aku masuk ke kelas menaruh tasku. Kemudian keluar untuk ke mushola. "Assalamuaaikum ," salamku setelah sampai di pintu mushola. Di sana sudah terlihat teman sekelasku yang sedang duduk di bagian pojok mushola.

"Sudah kayak mata panda tahu gak?" Tunju Dani ke arah mataku.

Aku duduk disamping Dani "Kamu tahu kan kalau ayahku sedang sakit jadi aku keseringan begadang saat ini."

Teman sekelasku, Sri Ramadhani, Nur Ainun, Sri Wahyuni, Jumiati, Eka, Nurpika, Ahmad Fauzi, Abdi Kurniawan, Andi Wahyudin, Aldi, Ardi dan Ilham yang kulihat di mushola ke mana yang lain? Biasanya kalau soal seperti ini mereka tidak akan mau melewatinya. Teman kelasku akan lengkap datang kalau acara kumpul di mushola seperti sekarang, tapi kenapa malah kurang delapan siswa? Kemana dia? Atau memang tidak pergi? Bisa jadi.

Perkumpulan siswa di mushola ini karena ingin membahas tentang kesehatan tubuh, aku tahu itu dari Jumiati. Tapi saat ini mataku berkata lain, dia selalu ingin tertutup. Rasanya aku sangat mengantuk hari ini, jam tidurku pun sudah berubah menjadi lebih sedikit semenjak ayah sakit. Aku mencoba menyandarkan tubuh ke tembok yang ada di belakangku. Sepertinya aku sangat lelah sampai ingin tertidur.

Suasana ruangan terdengar mendadak hening. Seseorang kini mengucapkan salam yang dijawab keseluruhan oleh siswa yang ada di sana terkecuali aku. Mataku sekarang sudah tertutup rapat. Kini ruangan itu mendadak kembali ricuh, terdengar samar ucapan dari seseorang entah siapa yang katanya, "Serasa lihat masa depan," ucapnya yang diakhiri tawa oleh orang yang mendengarnya. Aku mendengar semuanya hingga aku mulai tertidur.

"Perkenalkan nama saya Farzan Rayhaan Shakeil bisa dipanggil kak Farzan."

Seseorang kini bersuara. "Hay kak Farzan," Ucap beberapa siswa dengan genitnya

Tanpa menanggapi dokter langsung berbicara. "Saya dokter spesialis penyakit dalam," lanjutnya.

"Kalau mengobati hati bisa gak bapak? " tanya Sri Wahyuni. Aku tahu kalau dia yang berbicara karena aku sudah sangat hafal dengan suaranya.

Sorak ricuh terdengar dari barisan depan atau barisan laki-laki.

"Pembahasan saya kali ini adalah Gejala HIV AIDS pada remaja, Gejala terinfeksi HIV AIDS perlu diketahui, khususnya bagi para remaja. Ketika pertama kali seseorang terinfeksi HIV, maka virus itu akan berkembang di dalam tubuhnya. Di rangkum dari berbagai sumber, akan saya jelaskan gejala awal AIDS pada remaja yang tampak setelah beberapa bulan," jelas pria itu. Semua wanita yang biasanya jarang memperhatikan jika guru menjelaskan kini mendadak menjadi siswa teladan untuk sekali ini saja. "Remaja mengalami turunnya berat badan secara drastis. Remaja mengalami demam berkepanjangan, bisa lebih dari 380 C. Remaja mengalami pembesaran kelenjar. Remaja mengalami diare atau mencret berkepanjangan."

Tiba-tiba seorang siswi berkata "Bapak udin mencret sebentar doang tapi baunya sungguh siapa pun menciumnya pasti tidak tahan"

Mushola mendadak rame karena gelak tawa dari sebagian penghuni mushola. "Lanjut lagi? " tanyanya yang disetujui oleh semua orang "Remaja mengalami bercak merah kebiruan di kulit.... atau penyakit lain." Jelasnya.

"Oke sekian dulu informasi dari saya. In sha Allah kalau ketemu dengan saya silakan bertanya kapan pun yang adik mau. Dan buat yang ingin bertanya sekarang silakan angkat tangannya. Saya buka sesi tanya jawab sekarang" Ucapnya membuat suasana menjadi ricuh. Terdengar beberapa siswi kini berlomba-lomba ingin bertanya termasuk beberapa temanku. "Siapa namanya? " tanyanya ke salah satu siswa beruntung yang dapat bertanya ke dokter itu langsung.

"Saya Sri Ramadhani, saya mau bertanya, bapak umurnya berapa? Dan apa sudah punya pasangan? " tanya Dani dengan centil membuat semua pria menyorakinya.

"Oke tenang dulu," pintanya. "Maaf tadi saya lupa memperkenalkan diri. Sesuai kesepakatan saya akan menjawab, umur saya sudah 27 tahun dan saya masih singgel. Mohon maaf..."

Suara mulai menghilang, serasa ada yang Menyentuhku dan menggerak-gerakkan tanganku. "Bangun Adibah, Dibah Bangun, " titah Dani.

Aku bangun dengan mata yang masih agak tertutup. Pandanganku masih samar. Aku menatap sekeliling terlihat ruangan itu kini sepi cuma aku dan beberapa temanku saja yang ada di sana. 'Kenapa jadi sepi begini?'

"Ya Allah Adibah kau tidak lihat masa depanku tadi menjelaskan," ucap Sri Wahyuni kegirangan, "Ya Allah tampan nya pria itu, serasa aku sudah terbawa suasa dan mulai menyukainya,"

"Ahh! Kau setiap laki-laki kau bilang ganteng, " kesalku, sebenarnya aku masih mengantuk tapi mau bagaimana lagi aku sudah bangun dan jelas saja sudah sulit untuk tidur kembali. Apalagi aku bangun dalam keadaan perut keroncongan meminta untuk segera diisi. "Saya lapar ayo makan dulu, " aku bangkit dengan bantuan Dani dan Jumiati.

Selama di perjalanan menuju kantin aku selalu mendengar tentang dokter itu, dokter yang menjelaskan tadi. Entah rasanya aku sangat penasaran dengan sesosok dokter yang sekarang menjadi topik pembicaraan teman-temanku, seberapa tampannya dia? Seberapa kece-nya dia? Hingga semua wanita dikelasku menjadi menyukainya. Dan rasanya aku sangat penasaran dengan nabi Allah yang terkenal tampan itu, Nabi Yusuf Alaihisalam. Sang dokter saja baru memiliki berapa persen ketampanan bisa membuat wanita seheboh ini lantas bagaimana ketampanan nabi Yusuf sehingga membuat siapa pun wanita yang melihatnya pasti terbius akan dirinya.

"Lihat saja, kalau saya dapat Kak Farzan di jalan akan kusuruh dia untuk segera ke rumah melamarku dan membuatku bahagia. Rasanya khayalan ini segera akan menjadi nyata, " ucap Dani. Khayalannya memang selalu tinggi.

"Ya Allah engkau tahu kan di mana wanita yang pantas untuk Kak Farzan, tentu saja bukan wanita disampingku ini," Di akhir perkataan Sri menyengir.

Handphone-ku tiba-tiba berbunyi. Siapa yang menelepon? Biasanya handphone-ku tidak pernah berbunyi di jam sekolah seperti ini. Aku menatap layar telepon tidak ada nama yang tertera di sana. "Assalamualaikum siapa? " tanyaku ke seseorang yang menelpon.

"Ini Nyonya Adibah Sakhila Atmarini? " Dia berbalik bertanya.

Kembali aku tatap layar handphone-ku siapa tahu aku mengenal nomor yang menghubungiku dan sekali lagi tidak, aku tidak mengenal nomor itu. "Ya saya sendiri, ada apa? Siapa i-"

"Maaf ibu saya tukang pel." Aku mulai tahu, dia tukang pel yang dua kali tiap hari ke ruangan ayah, dia Ibu Fatimah umurnya mungkin seumur dengan ibuku. "Bapak nyonya sekarang gawat, tadi saya lihat suster-suster berlarian menuju ruangan ayah nyonya,"

pip.

Aku memutuskan panggilan sepihak. Tiba-tiba kakiku terkulai lemas. Rasanya seluruh anggota tubuhku mati rasa. Seadainya di belakangku tidak ada kursi mungkin aku sudah cedera bagian belakang.

Tolong siapa pun, sadarkan aku kalau ini cuma mimpi. Air mataku yang tadinya memaksa ingin keluar akhirnya keluar juga. "Kamu kenapa Diba?" tanya Dani yang melihatku tiba-tiba menangis. Apa pun yang menyangkut tentang ayah, itu adalah kelemahan terbesarku.

"Fauzi mana? Fauzi mana?" teriakku. "Aku harus pulang. Penyakit ayah." Aku tidak bisa lagi melanjutkan ucapanku. Ini semua karena tangisku.

"Ya Allah Diba, laki-laki di kelas kita semuanya sudah pulang, hari ini katanya jam kosong. Jadi mau pulang." Dani mendekatiku.

Air mataku kembali mengalir tanpa sadar aku meninggalkan semuanya kecuali ponselku, untuk berlari bertemu dengan ayah secepatnya. 'Ya Allah hanya kepadamu kami meminta. Tolong ayahku ya Allah'. Terdengar dari belakang seseorang juga ikut berlari, aku tahu itu salah satu dari temanku. Saat melewati pagar sekolah aku tidak sengaja menabrak laki-laki se angkot denganku tadi berbicara dengan kepalah sekolah. Mereka menatapku secara bersamaan. Aku sempat minta maaf kepada orang itu kemudian beralih menatap kepalah sekolah "Assalamualaikum bapak, saya bisa pulang sekarang? Keadaan ayah saya sekarang memburuk, bapak, " jelasku secara buru-buru dan tiba-tiba meneteskan air mata. Dani yang mengikutiku tadi kini memegang bahuku.

Tiba-tiba kepala sekolah mendekatiku. "Ayah kamu sakit nak? " tanyanya yang ku balas anggukan.

"Rumah sakit mana? " Laki-laki itu kini bertanya.

"Rumah sakit Fatimah kak," ucapku terisak. Sungguh aku menjadi sangat cengeng jika menyangkut tentang ayah. Dia orang satu-satunya yang kumiliki di dunia ini, dia satu-satunya hal berharga yang kumiliki saat ini juga.

"Oke kamu boleh ikut saya, kebetulan saya mau ke sana, untuk tugas" jelasnya ku balas anggukan. "Yaudah, bapak, saya pergi dulu Assalamualaikum, " izin laki-laki itu. Yang juga dibalas anggukan oleh kepala sekolah.

"Adibah dan Dani juga bapak, assalamualaikum. " Kita berdua berlari menuju mobil laki-laki itu. Setelah kepala sekolah menjawab salamku. Tunggu, bukannya tadi naik angkot bersamaku? Kenapa tiba-tiba punya mobil? Ah itu tidak penting aku harus bertemu dengan ayah secepatnya.

Selama di perjalanan aku cuma menangis di bahu Dani. Kita berdua duduk di bagian belakang mobil laki-laki itu. Walau sebenarnya agak tidak sopan jika menyuruh dia duduk sendiri di depan seakan dia adalah sopir. "Sabar ya, in shaa Allah ayah mu pasti baik-baik saja," Bujuk Dani.

"Kamu tahu kan, aku cuma punya Ayah di dunia ini. Semua keluarga aku telah meninggalkan aku. Aku gak mau kehilangan ayah di hidupku, aku tidak mau kehilangan seseorang lagi. Dani." Tangisku menjadi semakin dalam saat mengingat momen saat bersama ayah.

Dani mengelus-elus jilbab putih yang kukenakan sambil menyuruh aku untuk selalu istigfar. Tanpa disuruh pun aku selalu mengucapkan hal itu, ayah pernah bilang, 'Saat kau cemas jangan lupa untuk istigfar Allah bersama mereka yang sabar'.

Kenapa tadi aku harus ke sekolah? Kenapa tidak jaga ayah saja! Kenapa aku tidak merasakan tanda-tanda ini? Seharusnya aku merasakan suatu hal yang bisa membuatku tidak ke sekolah! Aku anaknya. Kalau aku tahu, mungkin aku sudah dekat dengan ayah sekarang.

Aku berharap setelah sampai nanti semuanya akan membaik, ayah akan sehat bugar kembali dan kita bisa jalan-jalan mengelilingi patung Habibie dan Ainun di alun-alun kota Pare-pare lagi dan cuma berdua saja bersama dengan lelaki hebat yang kusebut ayah.

Sekitar dua puluh menit menunggu di atas mobil bertiga, akhirnya sampai juga. Aku segera membuka pintu mobil dan segera berlari berdua dengan Dani menuju ruangan Ayah, meninggalkan lelaki yang mengantarku tadi tanpa ucapan terima kasih, semoga saja aku masih bisa ketemu dengan dia dan mengucapkan terima kasih. Rasa cemasku kian bertambah saat sampai di ruangan, ayah sudah ingin di pindahkan ke ruangan ICU. Langkahku tidak pernah berhenti, aku terus mengikuti di mana tempat ICU itu berada hingga akhirnya kita sampai di ruangan itu. Aku ingin ikut bersama ayah tapi tidak sembarang orang yang bisa masuk ke ruangan itu apalagi dalam keadaan seperti ini.

Badanku tiba-tiba menggigil tanganku mulai gemetar, rasa khawatir telah memenuhi pemikiranku. Dani mencoba membawaku ke kursi tunggu di depan lobi. Tiba-tiba seseorang pria dengan badan tegak masuk ke ruangan ayahku, aku yakin dia pasti dokter yang akan menangani ayah.

"Bersabarlah Allah tidak akan memberi ujian kalau kita tidak mampu melewatinya, kamu harus tegar jangan perlihatkanlah kelemahan kamu, Diba," ujarnya sambil memelukku.

"Ketika keadaan mengharuskan untuk menangis, tak semua air mata berarti lemah, " ucapku kalem. Aku berharap semuanya akan baik-baik saja. Atau setidaknya ini mimpi sehingga kalau aku bangun nanti semuanya kembali normal. Dan aku bisa melihat tawa ayah di pagi hari dan sepulang tugas.

●● ●● ●_●

'Berpura-puralah menjadi baik suatu kemajuan besar jika kamu bisa mengubah sifat pura-puramu menjadi sifat aslimu.'

Terima kasih yang sudah luangkan waktunya untuk membaca karya saya. Mohon maaf kalau kata-katanya masih ngawur dan banyak teypo/kesalahan kata. Kesempurnaan hanya milik Allah. ^_^

Pelajaran :

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang menertawakan orang-orang beriman. -Al-Muthoffifin: 29

Ayah Kenapa?

بسم الله الرحمن الر حيم

Tidak ada yang tidak mungkin, Allah memiliki alur yang indah untuk hambanya yang tabah

●●●●●_●

Farzan memasuki ruangan ICU mencoba untuk memeriksa keadaan Abdul Haliq, ayah Adibah. Farzan tidak tahu bahwa gadis yang di antarnya tadi adalah anak dari pria yang di periksanya sekarang.

Saat Farzan keluar, Adibah dan Dani dengan cepatnya berdiri menemuinya. "Dokter, bagaimana keadaan ayah saya? Ayah saya baik-baik saja kan? Ayah dimana? saya mau lihat? " Mungkin karena terlalu panik membuat Adibah tidak mengenal dokter yang berdiri tegak di depannya itu adalah pria yang tadi.

Dokter Farzan diam. Dia sedikit kaget melihat Adibah, gadis yang sempat di dengar curhat dalam mobilnya. Dia tidak tega memberikan kabar ini ke wanita yang ada di depannya, bahwa keadaan ayahnya sekarang memburuk. Beban yang di alami Adibah sudah sangat banyak dia sudah kehilangan ibunya dan jika dia memberitahukan ini lagi, entah seberapa sulitnya hidup gadis itu.

"Dokter, tolong katakan keadaan ayah saya bagaimana? " tanyanya Adibah yang mulai terisak . "Tolong sampaikan kali ini kabar baik kepadaku. Semisal ayah sudah membaik. Tolong dokter apa ayah sudah membaik? "

Farzan diam. Berat rasanya mengucapkan hal yang mungkin biasa di ucapkan ke keluarga pasien lainnya. Tapi sulit dengan gadis yang ada di depannya ini, "Maaf. Keadaan saudara Abdul Haliq. Dia mengalami Penyakit Jantung Iskemik atau Jantung Koroner."

Adibah membisu dengan mimik wajah yang sulit didefinisikan. "tolong katakan kalau ini cuma bohong. Ya Allah kuatkan ayahku," Adibah bangkit, "Lihat saja, ayah akan baik-baik, ayah sayang Dibah, ayah pasti gak mau biarin Dibah sendiri," ucap Adibah terisak. Dia kembali menjatuhkan badannya dalam keadaan duduk. Gadis itu mulai nangis dengan sendu.

"Berdoalah Adibah jangan mau kehilangan semangat mu, " ucap Dani yang mensejajar-kan badannya dengan badan Adibah.

Dan Farzan? Dia tidak tahu ada apa dengan dirinya. Biasanya dia akan meninggalkan keluarga pasiennya setelah memberikan kabar tentang keadaan pasien. Tapi sekarang Farzan malahan ikut sedih akan hal terjadi di depannya. Farzan menunduk ikut mensejajarkan dirinya dengan kedua gadis itu "Tidak ada yang tidak mungkin, Allah memiliki alur yang indah untuk hambanya yang tabah."

Adibah menggeleng, seakan tidak percaya apa yang di dengarnya, "Kenapa ini terjadi Dok? , " tanya Adibah terisak.

"Kami akan mencoba untuk mengoperasi, tapi kami tidak bisa yakin sepenuhnya dan ini akan menyebabkan resiko.... " ucap Farzan meyakinkan Adibah. Dia tahu kalau gadis itu sekarang pasti sangat sedih.

Adibah bungkam sejenak, "apapun risikonya asal ayahku selamat, "

"Kami tidak bisa terlalu yakin akan hal itu, tapi akan kami usahakan. Berdoalah, " Berselang beberapa detik seorang suster memanggil Farzan.

"Dok, keadaan Abdul Haliq semakin memburuk, " Farzan berdiri kemudian memasuki ruangan ayah Adibah.

Farzan tampak mendekatkan defibrilator di bagian jantung Abdul Halik kemudian mengecek kedua mata Abdul Haliq menggunakan senter kecil dan memeriksa denyut nadinya. Terlibat dari layar kecil itu menunjukkan garis lurus. Ya, Abdul Halik sudah pergi, pergi untuk selamanya.

"Abdul Halik, pasien yang dinyatakan meninggal dunia pada jam 9.43. Akibat hipertensi dan jantung Iskemik ," kata Farzan pada suster yang bersama dengannya.

"Innalillahi wa innailahi raji'un," Ucap suster.

Farzan melangkah keluar dengan padangan kedepan dan pikiran entah kemana.

Adibah yang melihat kedatangan dokter itu kini mendekatinya dan berharap mendapatkan kabar gembira kembali. "Ayah say-"

"Maaf kami sudah melakukan semaksimal mungkin, tapi saudara Abdul Halik sudah tidak bisa di selamatkan lagi, " Kata Farzan.

Adibah berlari masuk ke ruangan ayahnya, memastikan apakah ini semua benar.Dia jatuh melorot. Mata Adibah kosong menatap wajah sang ayah yang kini tertutup kain. "Kenapa ayah pergi? Kenapa semua orang ninggalin Adibah sendiri? Siapa yang akan bersama adibah? Kenapa Allah merebut semua hal berharga di hidupku? Kenapa tidak sekalian ambil Dibah juga? Kenapa harus ayah? Apa Adibah hidup hanya untuk merasakan ini? Adibah harus apa? Adibah sendiri sekarang! " isak Adibah.

Farzan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Sebagai dokter ini mungkin sudah hal biasa tapi sekarang rasanya berbeda, Farzan seakan terbawa suasana atas apa yang terjadi di depan matanya. Farzan seakan ingin memeluk Adibah membiarkan gadis itu terisak di pelukannya, tapi dia bukan siapa-siapa bahkan dia baru mengenal gadis itu.

Sri Ramadhani mendekati sahabatnya sambil menenggelamkan wajah Adibah pelukannya. "Allah lebih sayang kepada kepada ayahmu Adibah. "

"Dan tidak sayang sama Adibah? Dan membiarkan Adibah sendiri? Kenapa? Kenapa harus ayah? Kenapa bukan Adibah saja? " teriak Adibah sambil terisak.

●●●●●_●

Aku terduduk lemas di ruangan terakhir ayah tempati yang kini bersih tanpa seorang pun terkecuali aku. Aku tak pernah membayangkan ayah akan pergi secepat ini, pergi meninggalkan aku seorang diri di dunia ini. Kupeluk erat-erat lutukku. Apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar sendiri sekarang. Bahkan semua orang telah pergi. Memang benar tidak ada yang sejati di dunia ini, semuanya akan hilang entah karena waktunya atau karena egonya.

"Kau pernah mendengar kisah nabi ayyub?" Kata seseorang memulai pembicaraan.

Dia menjatuhkan badannya disampingku. Aku menatapnya mulai melihat dari bajunya yang terlipat sampai siku hingga wajahnya. Dia adalah dokter yang memeriksa ayah tadi. Kenapa dia kesini? "Nabi yang terkenal karena kesabarannya. Nabi Ayyub diuji penyakit yang menimpa badannya, juga mengalami musibah yang menimpa harta dan anaknya, semua pada sirna. Ia pun terkena penyakit kulit, yaitu judzam, kusta atau lepra. Yang selamat pada dirinya hanyalah hati dan lisan yang beliau gunakan untuk banyak berdzikir pada Allah sehingga dirinya terus terjaga. Semua orang ketika itu menjauh dari Nabi Ayyub hingga ia mengasingkan diri di suatu tempat. " dia menatapku sambil tersenyum.

Aku mengusap kedua mataku yang kini menjatuhkan air begitu saja. "Kenapa Dokter kesini? " tanyaku tapi tidak menatapnya, aku tidak mau kalau dia melihat aku dalam keadaan menangis.

"Entah, aku pun tidak tahu kenapa aku kesini," ucapnya dengan pandangan fokus ke depan. Entah apa yang di dipikirkan-nya.

"Kamu tau, semua orang kini meninggalkanku, aku sendiri. " aku kembali terisak.

"Tidak! Masih ada aku di sini, "tegasnya.

"Dan setelah kamu pergi aku akan kembali sendiri. Apa takdirku harus settragis ini? Apa Allah mengira aku kuat untuk melewati ini? Aku tidak sekuat itu, " gumamku dengan tatapan kosong.

Terdengar napas panjang dari dirinya. Seperti pertama, aku tak berani menatap matanya langsung. . Aku tidak mau melibatkan ayah atas dosa yang aku lakukan. Bahkan sudah ada hadist tentang menundukkan pandangan jika bertemu dengan seseorang yang bukan mahram .

Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman, "Katakanlah kepada wanita yang beriman "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) Nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya." (Qs. An- Nuur (24): 31).

"Kamu bisa tinggal sementara denganku, " katanya datar. Entah apa yang dipikirkan dia.

"Aku tidak suka di kasihani. Aku bisa hidup mandiri tidak usah memandangku kasihan!" aku beranjak pergi darinya, untuk menenangkan diriku.

"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih, Q.S. Ibrahim:7" singgung nya.

Aku diam. Sesuatu mengganjal otakku. "Beri waktu aku untuk berfikir."

"Tidak! Aku menunggu jawabanmu sekarang." Tegasnya.

"Aku baru mengenal mu. Aku takut akan hal buruk terjadi di hidupku," Ucapku tidak bermaksud menyinggung nya tapi hanya untuk membuatnya pergi dari sini.

"Aku tidak akan berbuat hal yang menjijikkan ke dirimu, bahkan aku tidak akan menyentuh mu. Kalau aku ingin melakukannya, mungkin sudah kulakukan sekarang! Disini cuma ada aku dan kamu saja! Aku tau dosa orang berduaan yang bukan mahram."

Trus kenapa dia masih disini? Bukanya kita sedang berduaan?

"Ak-" dia memotong ucapanku.

"Sumpah aku tidak pernah bersikap seperti ini ke orang lain, tapi entah sekarang, rasanya ada aneh di diriku, "Dia menunduk sambil memutar-mutar cincin yang ada di jarinya. Apa dia sudah menikah?

Pipiku mendadak memanas. Ya Allah apa yang harus aku lakukan? Kalau aku ke rumahnya, itu sama saja aku mendekati dosa, bersama seseorang yang bukan mahramku. Tunjukkan satu saja jawaban untukku.

Druppp!!!

Sesuatu terjatuh di bagian dalam rumahku. Aku melangkah menuju tempat itu diikuti dokter tadi. Kulihat suasana bagian dalam rumahku kini hancur. Kenapa ini terjadi? Sejak kapan? Seluruh barang berharga di rumah ini sudah lenyap entah kemana.

"Aku benar-benar kehilangan segalanya, " kakiku mulai kaku hingga terjatuh. Samar-samar terlihat dokter itu mendekatiku, aku mulai tak sadarkan diri. Tak ada lagi tersisa di hidupku kecuali penderitaan. Takdir apa yang akan terjadi selanjutnya. Kuberharap semuanya sudah usai dan aku telah hilang di dunia ini, untuk bersama ayah dan ibu disana.

Tak pernah terlintas di pikiranku tentang hal ini. Benar, taqdir tiada yang tau.

●●●●●_●

Farzan menggendong tubuh Adibah kemudian membaringkan ke sofa yang ada di ruang tamunya. Entah kenapa tekadnya terlalu bulat untuk membawa anak pasiennya itu ke rumahnya. Ini baru pertama kalinya terjadi di hidupnya, membawa seorang gadis yang bukan mahram-nya ke apartemen miliknya.

Ada apa dengan semua ini? Farzan hampir saja melewatkan salatnya hanya karena gadis itu. Kepalanya seakan di penuhi dengan wajah Adibah. Entah apa yang Allah rencanakan untuk Farzan ke depannya.

Dia melangkah menjauh masuk ke kamarnya untuk salat magrib. Dia harus rela ketinggalan salat di mesjid hanya karena gadis itu. Entah apakah ia berdosa karena membawa gadis itu ke rumahnya atau tidak.

Selama melaksanakan salat magrib, Adibah kini sadarkan diri. Dia melihat sekitar ruangan yang sangat asing menurutnya, Gadis itu tidak tahu kalau dirinya sedang berada di rumah Dokter Farzan. Hingga suara lantunan ayat suci kini terdengar di telinga Adibah.

Tunggu! Ini suara yang pernah di dengarnya sebelumnya. Adibah terpaku mendengar bacaan surat yasin yang di lantunkan itu, ia meneteskan air mata hingga suara itu kembali menghilang tapi tidak dengan tangis Adibah. Dia teringat ayahnya kembali.

"Assalamualaikum, " Salam Farzan setelah melihat gadis itu yang sudah sadarkan diri.

Adibah diam. Dia terlalu larut dalam kesedihannya.

Farzan mencoba mendekati Adibah dengan berpakaian saat melaksanakan salat tadi. "sesungguhnya si mayat akan di siksa di dalam kuburnya disebabkan tangisan sebagian keluarganya."

Adibah berbalik menatap Farzan dengan pandangan iba, wajahnya terlihat pucat. "Maaf," ucapnya singkat kemudian mengusap air mata di pipinya. Pandangannya fokus ke depan, pikirannya entah ke mana.

"Kamu tidak salat? Bentar lagi isya, entar ketinggalan," tawar Farzan.

"Adibah mau pulang pak dokter, " kata Adibah sambil melangkah menjauh menuju pintu keluar.

"Stop! Kamu tidak boleh pulang, kamu mau mati kelaparan di rumah kamu? Rumah kamu habis kecurian, semuanya hilang, bahkan sertifikat tanah dan rumahmu juga ikut hilang, " Farzan mendekati Adibah, ingin rasanya dia menggenggam tangan gadis itu dan memeluknya, tapi semua itu tidak akan terjadi.

"Saya tidak mau membebani ayahku karena bersama dengan pria yang bukan mahram-ku, Adibah tidak mau melibatkan ayah di dosa yang aku buat."

"Saya akan menikahimu besok." Ucap Farzan spontan. Rasanya Farzan tidak ingin kehilangan gadis itu.

"Pernikahan bukan sebuah lelucon. Hanya karena Pak Dokter kasihan ke Adibah hingga berani mengajak menikah. Dibah tidak suka di pandang kasihan."

Farzan diam. Dia tidak kasihan kepada gadis itu, tapi perkataan Adibah dapat membungkam mulutnya, dia kehabisan kata-kata entah apa alasan sesungguhnya Farzan ingin menikahi Adibah.

"Terimah kasih atas semuanya, Assalamualaikum." Adibah kembali melanjutkan langkahnya.

"Stop! "ucapnya kembali, "Ini semua karena ayah kamu, ayahmu meminta ke saya untuk menikahi mu setelah dia pergi. Dia tau kalau kamu akan tinggal sendiri, "

Tidak ada lagi pergerakan, Adibah diam mendengar perkataan dari Farzan. "Ini semua karena ayah? Ayah menyuruh Pak Dokter untuk menikahi Adibah?" gumam Adibah.

"Maaf, aku baru mengatakannya, "

Adibah menatap Farzan kemudian menundukkan kembali pandangannya. Dia diam dengan waktu yang sangat lama, hingga akhirnya memutuskan untuk berbicara kembali. "Saya menerima lamaran bapak, saya siap menikahi bapak, perkataan ayah perintah yang Adibah harus turuti, "

"Sekolah mu? " tanyak Farzan, dia baru ingat kalau Adibah masih sekolah di bangku SMA bahkan dia pernah bertemu di sana saat kunjungan dan memberikan materi ke siswa. Siswa yang tidur saat dirinya menerangkan.

"Saya akan tetap sekolah. Dan tetap menikahi bapak tanpa sepengetahuan orang lain, dan wali nya saya serahkan ke bapak, " Gumam gadis itu tapi masih terdengar jelas oleh Farzan.

"Tunggu saya di situ, " perintah Farzan.

Dalam keadaan hening, handphone Adibah berbunyi. Menampilkan nama Sri Wahyuni disana, mungkin teman-teman Adibah baru tahu kalau ayahnya meninggal.

"Assalamualaikum, Dibah kamu dimana? Kita ke rumahmu, sudah gak ada orang-orang disini, " Tanya Sri saat teleponnya tersambung.

"Iya saya sekarang ada di rumah keluarga ini, " Jawabnya berbohong.

"Maaf yah kita gak pergi ke pemakaman ayah kamu. Kamu sih gak beritahu kami, kalau bukan Dani yang bilang kami gak bakalan tahu berita ini sampai sekarang Dibah, " Beginilah Adibah, dia tidak pernah ingin melibatkan orang lain dalam kesedihannya, dia tidak suka di pandang kasihan.

"iya tadi saya gak sempat ngabarin, maaf yah, "

Farzan datang menggunakan celana hitam dan kemeja putih dilipat hingga dua kali lipatan khasnya. Dia diam memperhatikan gadis berhijab warna hitam yang sedang menelepon di depannya.

"Yaudah kita ke sana yah? "

"Jangan pergi dulu, saya sedang ada di luar kota soalnya, " Ucap Adibah berbohong. Hingga ia sadar bahwa di belakangnya sudah ada Pak Farzan, "Yaudah, sudah dulu yah, Adibah mau salat soalnya. Assalamualaikum, "

Hening menyelimuti mereka kembali.

"Ayo ikut saya, " Ajak Farzan yang sudah berlalu keluar untuk ke suatu tempat.

"Kemana? " tanyanya sambil mengikuti Farzan.

Bukannya menjawab Farzan mala tetap melanjutkan langkahnya. Mana mungkin dia memberitahukan ke Adibah kalau dia akan ke rumah Mahesa sahabat Farzan atau istri adiknya.

Setelah sampai di mobil, Farzan membukakan pintu yang ada di belakang untuk Adibah. Dia tahu kalau Adibah tidak akan mau duduk berdampingan dengannya sebelum dirinya sudah sah untuk gadis itu.

"Nama kamu siapa? " tanya Farzan bersamaan dengan berlajunya mobil yang mereka kendarai.

Memang selama dia bertemu Adibah, dia belum tahu nama gadis itu dan bodohnya Farzan langsung ingin melamar nya. Seharusnya dia mencari waktu yang lain untuk mengenal lebih dalam sifat nya.

"Adibah Sakhila Atmarini," Jawabnya datar.

Setelah sampai di tujuan, Farzan turun sendiri. Tadinya Adibah ingin ikut tapi Farzan lebih dulu melarangnya.

●●●●●_●

"Kenapa harus mendadak seperti ini Zan? Bukanya kamu pernah bilang nikah nya setelah umur dua puluh sembilang? Siapa wanita yang bisa membuat mu berubah pikiran? " Ucap Mahesa sambil membuka jas yang melekat di tubuhnya.

"Apaan sih kamu Esa, bukannya kamu yang nyuruh saya untuk cepat menikah. Kenapa setelah saya mau menikah kamu malah bertanya seperti ini?"

"Enggak. Bukan begitu sih. Tapi agak aneh juga. "

"Saya baru mengenalnya tadi,"

"Apa!? Kamu baru mengenalnya dan langsung ingin melamar nya, memangnya tidak terlalu cepat Zan? "

"In sha Allah enggak Sa."Jawabnya datar.

"Kapan mau nikah?"

"Kamu sudah kayak wartawan tau gak. Nanya mulu, "Ketus Farzan.

Mahesa nyengir, "Jawab napa."

"Besok," ucapnya sambil meneguk kopi yang di sajikan Mahesa tadi.

"Besok!? Emang gak terlalu mendadak? " tanya Mahesa.

"Ya Allah Sa! Adibah di luar nungguin saya sendiri. Kamu mau bantu atau tidak? Soal cinta atau tidak itu tergantung hati dan hati saya berkata iya, " katanya terus terang.

Mahesa tersenyum. "Saya sedang tidak mimpi kan? Seorang dokter Farzan sedang jatuh cinta dan segera menikahi nya. Saya sangat bahagia Farzan. Tunggu! Kamu tidak iri kan sama saya? Karna saya duluan nikah daripada kamu?"

"Sifat iri bukan sifatku Sa," Kata Farzan.

Mahesa tertawa serasa ucapan sahabatnya itu lucu, "Terus Umi dan Abimu bagaimana?, "

"Umi lagi banyak urusan di Arab bareng Abi, dia baru bisa pulang setelah enam bulan depan. Ini baru akad nikahnya belum resepsi entar kalau udah resepsi baru deh Umi dan Abi datang"

"sumpah ini gak mendadak kan? Baru kenal tadi sudah mau nikah besok. Drama banget tau gak Zan. "

Farzan menggeleng. "In sha Allah, enggak. Ngomong-ngomong Aqilah mana?" tanya Farzan mengganti topik pembicaraan.

"Saya baru nikah enam bulan dengan adikmu, udah rindu saja kamu." Mahesa tertawa.

"Jelaslah dia satu-satu nya adikku. " Farzan ikut tertawa.

"Farzan lebih baik kamu pulang dulu dan urusin pernikahan mu besok, istri tercinta saya udah pulang ," lah bukannya dia yang sendiri yang menghalangi Farzan pulang dengan pertanyaan-pertanyaan?

"Ya Allah. Adibah juga sendiri di luar. Saya duluan yah, "

"Bareng, " Ajak Mahesa. Bukanya mendapatkan jawaban Farzan mala terus berjalan keluar meninggalkan Mahesa.

Memang benar, cinta dapat mengalahkan segalahnya.

●●●●●_●

Dari tadi aku menunggu di sini, tidak ada juga tanda-tanda kedatangan dokter itu. Apa dia tidak tahu kalau aku belum salat? Padahal waktu isya sudah sangat dekat, mau keluar juga tidak bisa, mobil ini terkunci dan suhu di mobil ini sangat dingin. Perutku bahkan sudah sangat keroncongan meminta untuk diisi segera dari tadi aku sudah lapar.

Apa dokter itu memang sengaja untuk meninggalkanku sendiri. Astagfirullah, Adibah jangan zoudzon dulu! Aku harus sabar menunggu dia disini. Semuanya akan indah jika kita selalu bersabar . Tunggu, atau dia lupa kalau aku ada? Diakan baru mengenalku. Semoga saja tidak.

Menunggu memang tidak enak tapi itu harus kulakukan hingga dia yang sandari tadi kutunggu akhirnya datang melangkah mendekat ke mobil. Kemana saja dia? Apa dia tidak tahu kalau aku di sini sendiri? Atau sifat pelupaku pindah ke dia? Menyebalkan!

"Maaf, tadi tidak sadar kamu nunggu di sini, " Katanya sambil melaju kan mobil nya.

Kan benar dia pelupa! Dasar dokter tua!

Aku diam tidak menanggapi ucapan dokter itu, sungguh aku sebal ke dia. Hingga mobil itu kembali berhenti pas di depan mesjid Nurul Asiah. Dokter itu melangkah keluar seperti tadi bedanya kali ini dia menyuruhku ikut bersama dia.

Tanpa disuruh pun aku akan tetap turun beberapa menit lagi memasuki waktu salat isya dan aku harus segera salat magrib, "Tempat berwudhu cewek nya disana," tunjuk nya ke arah kiri mesjid. Sedangkan dia terlebih dulu masuk ke masjid. Apa tidak berwudhu dulu? Atau dia sudah salat? Entah.

Setelah selesai berwudhu aku melangkah memasuki mesjid. Kulihat dokter itu sedang melantunkan ayat suci tapi volume suaranya tidak terlalu keras sehingga cuma orang yang berada di dalam masjid saja yang bisa mendengarnya.

Semoga saja setelah ini aku bisa mengikhlaskan kepergian ayah dengan cepat agar aku tidak menambah bebannya nanti.

Semoga saja pak dokter itu pilihan yang tepat untukku hingga ke jannah-Mu nanti Ya Allah, walau aku tahu dokter itu melamarku hanya karena kemauan dari ayah saja tapi aku berharap suatu hari nanti ada cinta diantara kita. Aku pun sama, aku tidak memiliki perasaan yang lebih ke Dokter itu. Tapi biarlah semoga suatu saat nanti semuanya akan berubah menjadi cinta.

Setelah salat aku menoleh ke belakang. Dokter itu memandangku sambil tersenyum tipis ke arahku. Tolong katakan kalau sekarang pipiku sedang tidak memerah saat ini. Aku kembali membalikkan kepalaku ke depan. Dan membereskan segalanya. Jantungku seolah-olah ingin lepas dari tempatnya.

Aku bangkit dari dudukku dan melangkah keluar hingga kami sudah bersejaja, aku tidak pernah sekali-kali menatapnya langsung. Dia belum sah untukku. Rasanya aku ingin teriak untuk berhenti ke jantung ini, apa dia sedang menatapku? Sungguh aku tidak nyaman dalam posisi seperti ini.

"Ayo, " ajaknya saat aku berhenti pas depannya.

Aku mengangguk, "Pak Dokter" panggilku..

Dokter itu berbalik dan sekali lagi aku tidak tahu apakah dia menatapku karena aku sendari tadi menundukkan kepala. "Apa? " tanyanya.

Jantungku kembali tidak tenang. Ya Allah kenapa ini? Kenapa harus kupanggil tadi? Aku harus bilang apa? "Hari ini aku bermalam dimana? " bodoh! Kenapa harus ini yang ku tanyakan! Adibah seharian ini kamu taruh otak mu dimana?

Terdengar dari suaranya dia sedang tertawa, "Lebih baik di apartemen aku dulu, " ucapnya yang kubalas anggukan ,"Tapi kita harus ke mall dulu buat belanja pakaian kamu, "

Apa bajuku bau? Sehingga menyuruhku membeli baju? Kucium baju yang kupakai sekarang, memang benar sih baunya agak menyengat, "Bajuku bau yah? " tanyaku membuat dia berhenti pas di depan mobilnya. Sendari tadi aku selalu menunduk tidak tau bagaimana dengan mimik wajahnya. Dia mulai mendekati ku hingga jarak kita semakin dekat "Stop! Bukan mahram! " teriakku.

"Memang benar sih bau, " dia tertawa kemudian masuk ke mobilnya.

Aku? Aku diam disana, rasanya aku mau mandi sekarang karena ucapan dari pak dokter.

Pip!

Farzan membunyikan klakson mobil miliknya, "Naik? " ajaknya.

Aku diam, sumpah aku malu dengan ucapannya tadi, takut karena bau badanku nanti membuatnya tidak nyaman didalam mobilnya. Hingga Farzan keluar dari mobilnya.

"kenapa gak naik? Mau aku gendong? " tawar Farzan.

"Bapak Dokter bisa gak bohong kali ini saja kalau badan saya gak bau? Dibah malu soalnya kalau di dalam buat Pak Dokter tidak nyaman"

"Tapi kalau saya bohong kamu gak bau terus saya tidak nyaman didalam mobil bagaimana? " tanyanya.

"Ya setidaknya saya tidak merasa, " ucapku yang masih sambil menunduk.

"Yaudah kamu tidak bau, kamu wangi. Ayo naik,"Katanya pasrah.

Aku tersenyum menyetujui ajakan dokter itu untuk naik. Selama di dalam mobil aku selalu berdzikir ayah selalu menyuruhku untuk selalu berdzikir. Hingga mobil pak dokter itu kembali berhenti di depan sebuah tempat perbelanjaan.

"Kamu mau turun? " tanyanya setelah keluar dan membukakan pintu mobil untukku.

Aku menggeleng, "Tidak. "

Dia membukakan pintu mobilnya. Terlihat dari sepatunya dia tetap diam, kenapa? Apa dia sudah tidak sadarkan diri karena bau badanku? Bodoh kalau dia tidak sadarkan diri sudah pasti dia jatuh bukannya tetap berdiri seperti ini. Ah entah!

Beberapa lama kemudian akhirnya dia membuka suara "Ini sudah tengah malam kalau kamu di sini sendiri dan pastinya saya di dalam tidak sebentar. Kalau terjadi apa-apa jangan salahkan saya ya."

"Lama? Bapak Dokter ngapain saja di dalam? Mau belanja? Buat apa? Kita makan saja dulu Bapak Dokter, Dibah lapar soalnya," ucapku trus terang.

Farzan tersenyum. Kenapa ini? Kenapa jantung ini begini? Saat aku melihatnya rasanya ada yang berbeda dengan diriku. Rasanya aku sudah sangat mengenal dokter yang baru kutemui tadi. Apa karena sebentar lagi dia akan menjadi suamiku? Bisa jadi.

"Assalamualaikum?" salamnya, membuatku sadar dari lamunanku. "Gimana? "

Aku mengangguk, rasanya aku seperti orang bodoh berada di posisi ini. Aku selalu kehilangan akal sehatku saat berbicara dengannya.

"Tunggu, " ucapku saat melangkah keluar mobil, "badanku bau Pak Dokter, "

"Di sana ada rumah Aqilah,," katanya hampir saja menarik tanganku tapi tidak jadi. Mungkin dia ingat batasan wanita dan laki-laki yang bukan mahram.

Tunggu! Aqilah itu siapa? Apa istrinya? Dan cincin yang digunakan waktu itu? Aku tidak pernah bermimpi untuk menikahi suami orang. Kenapa rasanya aku cemburu kepadanya. Dadaku rasanya sesak. Bodoh! Adibah dia itu menikahimu hanya karena ayahmu bukan karena cinta. Jadi walau dia punya istri dia akan tetap menikahiku karena wasiat dari ayah. Ayah kenapa harus dia? Kenapa bukan orang lain?

"Ayo, " ajaknya kembali yang kubalas anggukan.

Dia berada lima meter di depanku. Jalannya terlihat sangat ramai, baru kali ini aku berjalan di tempat seramai ini. Biasanya ayah cuma mengajakku jalan-jalan ke taman, rame sih tapi tidak seramai sekarang! Sungguh luar biasa, dari Nabi Adam hingga sekarang bisa sebanyak ini.

Akhirnya kita sampai di rumah yang sangat megah. Lebih megah dari rumah ayah. Entah berapa lama proses hingga jadinya rumah ini.

"Masuk, " Dia tersenyum kepadaku sambil memegang pintunya. Aku masuk. Didalam tak kalah megahnya dari luar. Bisa aku bertanya apa ini rumah? Atau istana? "Kamu masuk saja kamar sana," tunjuknya ke suatu kamar di sebelah kanan.

Aku mengangguk. Dia melangka menjauh dariku hingga aku sadar akan baju yang kupakai. "Pak Dokter! " panggilku.

"Apa? Ada yang kurang? Atau kamu tidak bisa membuka pintunya? Pintunya tidak terkunci tenang saja, " di kembali melanjutkan langkahnya.

"Ihh, " kesalku membuatnya berbalik kembali, terlihat dari kakinya kalau dia sedang berbalik. "Baju ku bagaimana? "

"Di dalam ada baju Aqilah yang bisa kau pakai, " katanya dengan lembut. Ya Allah, apa aku harus bahagia karena sifat lembutnya atau aku harus sedih saat ini, siapa Aqilah itu? Dasar kau Adibah! Apa hakmu untuk cemburu!

Aku mengangguk dan langsung meninggalkan dia berdiri kaku disana. Apa aku masih cemburu? Astagfirullah Allah lebih cemburu lagi kalau aku lebih mencintai umatnya ketimbang dirinya. Lagian kamu masih belum sah untuk dia buat apa cemburu, semuanya akan indah, walau aku belum tahu kapan itu.

●●●●●_●

"Soal cinta atau tidak itu tergantung hati dan hati saya berkata iya"

Maaf Teypo bertebaran.

Pelajaran :

3 doa jangan sampai terlewat dalam sujud,

Ya Allah aku meminta kepada-Mu husnul khotimah

-Ya Allah berikanlah aku rezeki taubat nasuha (atau sebenar-benarnya taubat)  sebelum wafat,

-Ya Allah wahai sang pembolak balik hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu

Teman Hidup

"Taqdir itu dinikmati bukan diubah"

●●●●●_●

Kebetulan di kamar ini sudah ada baju seragam sekolah jadi aku bisa langsung berangkat ke sekolah tanpa ke rumah lagi. Hari pertama tanpa ayah. Jangan lemah Adibah ayah pasti bahagia lihat kamu sekarang, dia yakin kamu pasti kuat.

Di kamar ini sudah lengkap akan semuanya, bahkan hal yang tidak aku butuh kan sudah ada di sini semisal alat make up bahkan ke sekolah aku tidak pernah menggunakan alat-alat itu. Kata ayah, wajahku masih sangat mudah untuk alat-alat seperti itu.

Entah berapa kaya dokter itu hingga kamarnya harus semegah ini. Bahkan kamarku saja tidak seperti ini, kalau di perkirakan kamarku tiga kali lipat dari ini, saking luasnya sekelas bisa tinggal di kamar ini.

Saking luasnya membuatku tidak bisa tidur nyenyak. Mungkin karena masih baru biasanya ayah selalu masuk untuk menghiburku, menceritakan bidadari yang belum pernah aku lihat selama ini, bidadari yang sangat sempurna di mata ayah. Ya ibuku kata ayah wajahku dan ibu hampir mirip jadi kalau aku ingin melihat ibu lihat saja wajahku. Ayah selalu menceritakan itu hingga aku tertidur.

Setelah semuanya siap aku tidak tahu harus apa lagi. Ini kali pertamanya aku kesini, jalan ke sekolah aku tidak tahu, bahkan uang sepersen pun tidak ada. Bagaimana ke sekolah? Hp ada, pulsanya yang tidak ada.

Tok! Tok! Tok!

Seseorang kini mengetuk pintu kamar. Aku langkah kan kakiku menuju sumber suara tersebut hingga menampilkan sosok dokter itu yang sedang berdiri.

Dia tersenyum. Apa pipiku tidak memerah saat ini? Kuharap tidak.

"Mau ke sekolah? " bodoh sudah lihat saya memakai seragam sekolah jelas saja mau.

"Iya mau. Sudah jam tujuh sekarang pastinya kelas sudah mulai, " kataku cemberut.

"Tapi... Bagaimana ya? " Dia diam terlihat kalau dia ingin mengatakan sesuatu. "Hari ini pernikahan kita kan? "

Deg.

Aku sampai lupa akan hal itu. Kalau bersamanya aku bisa saja berpenyakit jantung. Tak apa setidaknya aku bisa bertemu dengan ayah secepatnya.

"T... Tapi," ucapku gugup.

"Kenapa? "

Serasa ada sesuatu yang membisik. 'Kamu harus mau Dibah! Ini karena ayahmu. Nikahi dia. Kemarin kamu sudah janji ke pak dokter itu. ' Ya Allah takdir apa yang kau tuliskan untukku?

Aku tersenyum, Bismillah. "Enggak, lupakan Pak, sekarang kan? Maaf tadi lupa jadi gak siap-siap dulu, " ucapku menormalkan mimik wajah.

Aku tidak sengaja menangkap rasa bahagia pada dirinya. Apa dia bahagia menikah denganku? Atau dia tersenyum hanya karena hal lain? "Yaudah kita langsung pesan baju saja dan sorenya baru akadnya akan dimulai. "

"Jadi Dibah ganti baju dulu atau pakai ini saja Pak Dokter? "

Dia mengangguk. "Iyalah masa ke butik dengan pakaian seragam. Entar dikiranya saya menculik kamu." Dia tertawa.

"Tapi, Pak Dokter memangnya kalau ke butik pakaiannya langsung jadi? Dibah kira harus nunggu dulu."

"Kita beli yang langsung jadi saja dulu. Entar kalau sudah resepsinya baru jahit. Sekarang baru akad nikahnya jadi tidak usah terlalu megah. "

Aku mengangguk ."Yaudah, Bapak Dokter keluar dulu, Adibah mau ganti baju soalnya." Sesuai permintaan, pak dokter itu keluar.

Sama seperti pertama bertemu. Aku belum pernah melihat wajah pak dokter itu lama-lama. Aku belum bisa menarik kesimpulan kalau di itu tampan atau tidak, yang aku lihat Cuma hidung dan lesung pipinya saja. Pak dokter berhidung mancung dan memiliki lesung di pipi kirinya.

Kalau soal siap atau tidak untuk menikahi pak dokter aku belum bisa menjawab. Terkadang ada saat aku menerima sepenuhnya dan terkadang ada saat sebaliknya. Dan semoga saja Allah memberikan takdir yang indah setelah ini untukku dan pak dokter juga.

Aku berharap suatu saat aku akan mencintai pak dokter secara langsung dan semoga saja dialah imam yang baik untukku. Imam yang akan menuntunku hingga ke jannah nanti. Jodoh adalah cerminan akhlak dan aku tahu akhlakku masih belum sempurna, aku berharap semoga dialah panutan aku nanti.

Sepuluh menit lamanya aku di kamar hingga aku keluar. Kulihat pak dokter sedang membaca salah satu surat alquran. Dia terlalu khusyuk hingga tidak menyadari kedatanganku. Boleh aku jujur? Aku menyukainya saat membaca alquran terlihat ada yang beda dengan dirinya saat ini. Dia terlihat sangat tampan. Astagfirullah ya Allah, aku sampai menatapnya berlebihan. Dia belum sah untukku.

"Sodakalllahul adzim. " Pak dokter menutup alqurannya. Mungkin dia menyadari kedatanganku atau memang sudah mau berhenti, entah. "Udah siap?"

Aku mengangguk, "Emang bacaan ayat sucinya udah selesai ya pak dokter? Kalau belum. Gak apa-apa Dibah tunggu dulu sampai bacaan pak dokter kelar."

"Iya sudah selesai bacaannya. Ayo. " Dia berlalu keluar meninggalkanku . Selalu saja seperti ini.

Dear organ tubuh yang bernama jantung tolong jalan terlalu banyak gerak yah di dalam aku tidak nyaman soalnya. Semoga saja pak dokter tidak mendengar suara mu. kalau sampai didengarnya dia akan tau aku sedang tidak nyaman dan acaranya menjadi batal. Eh tunggu! Kenapa aku seperti ini? Seakan aku sangat mengingatkan hal ini terjadi, ah tidaklah aku seperti ini karena baru mengenal pak dokter dan tidak mau membuatnya menunggu terlalu lama, bagaimana kalau dia menganggap aku tidak baik? Jelek kan?

Baru kali ini suhu di dalam mobil pak dokter menjadi sangat dingin, badan ku rasanya menggigil berada disini. "Pak Dokter, " panggilku.

Aku memang selalu memanggilnya pak dokter karena aku belum mengetahui namanya. Aneh bukan, pernikahan kita tinggal menunggu jam tapi aku belum mengetahui namanya. Jangan salahkan aku ini semua karena dia yang tidak memperkenalkan namanya. Bukannya aku tidak mau mengalah tapi memang inilah faktanya.

Pak dokter berbalik memandangku. Aku yang tadinya menatapnya kini menundukkan kepala kembali. "Ya Ada apa? " tanyanya.

"Suhunya bisa dikurangi sedikit tidak? Dibah kedinginan soalnya." Aku mulai menggigil.

"Padahal suhu udaranya sangat rendah kenapa bisa masih dingin? Dan kalau dimatikan udaranya pasti masih dingin, " katanya.

Aku diam. Tidak sanggup lagi berkata-kata. Padahal aku sudah sangat terbiasa akan suhu AC tapi sekali lagi entah kenapa aku bisa kedinginan seperti ini.

Terdengar samar dia berkata "yaudah tunggu." Aku tidak tau apa maksud dari perkataan pak dokter itu. Hingga sesuatu yang hangat melekat ditubuhku. Aku mendongak melihat kehadirannya disampingku.

Aku diam tidak bisa bergerak. Dia memakaikan jasnya di badanku, aku kaku berada di posisi seperti ini. Jantung kali ini saja jangan perlihatkan kebiasaanmu,jangan sampai dia mendengar suaramu.

Pandangan kami bertemu. Dia diam menatapku, aku pun begitu. Seakan-akan kami sedang terkutuk menjadi patung dalam posisi seperti ini.

Aku menyadari satu hal. "Stop! " teriakku mulai mundur beberapa senti dengannya hingga jaket yang melekat di tubuhku tadi terjatuh. Dan mengalihkan pandanganku darinya.

Ya Allah dosa apa yang aku lakukan sekarang? Kenapa aku selalu lupa dengan hal ini kalau bersama pak dokter? Seolah aku terbius karenanya.

"Tidak! Bukan gitu, tadi saya cuma mau ngasih jas ini ke kamu. " Dia mulai keluar dari mobilnya dan masuk kembali ke tempatnya semula.

"Kenapa tidak dimatikan saja AC nya? " Aku kembali memakai jas pemberian dia tadi.

"Ini sudah dimatikan AC nya. Memang di luar sedang hujan, lihat saja bajuku sampai basa karena air hujan, " katanya, tidak pernah memandangku. "Apa ini phobia mu?"

Aku mengangguk. "Mungkin. Karena setiap hujan aku selalu menggigil seperti ini. Tunggu, aku ingat kata ayah waktu aku menggigil kedinginan dia pernah bilang kalau ibu juga memiliki kebiasaan seperti Dibah selalu kedinginan saat hujan, daya tahan tubuh kami mungkin lemah, " jelasku sembari menahan dingin.

Dia diam. Mungkin dia merasa canggung berada dekat denganku. Emang benar pak dokter itu canggung? Untung aku tipe orang yang canggungnya gak keseringan, kalau keseringan mungkin aku akan kayak pak dokter.

"Butiknya sudah dekat." Dia mengarahkan mobilnya ke tempat parkir. Hingga akhirnya dia menghentikan mobilnya. "Ini butik tante saya."

Aku mengangguk. Apa dia dari keluarga kaya? Lihat saja butiknya sampai sebesar ini. Aku baru melihat dari luar saja sudah seperti ini. Bangunan di dunia saja sudah semegah ini, terus bagaimana dengan jannah mu Ya Allah?

"Kenapa diam saja? " tanyanya ketika membukakan pintu untukku.

"Masih hujan," ketusku.

"Udah enggak, lihat ini cuma gerimis, " katanya melambaikan tangannya ke langit.

Akhirnya dengan terpaksa aku turun. Seperti awal ketemu dia selalu mendahuluiku jalan. Apa dia lupa kalau sekarang aku sedang kedinginan? Bagaimana kalau tiba-tiba aku pingsan dan dia tetap saja berlalu tanpa sadar aku diculik orang, bagaimana? Apa dia mampu mencariku? Biarlah semoga saja ada yang menculikku sekarang! Biar dia tahu rasa dan tidak meninggalkan anak gadis di belakangnya!

"Kenapa kamu diam di sana? Tunggu ada yang mau nyulik kamu? " teriaknya seakan tau isi pemikiranku.

Dengan sigap aku berlari. Jangan sampai ada yang menculikku atas kata hatiku tadi Ya Allah. "Pak Dokter," panggilku ketika posisiku sudah berada di sampingnya. Rasanya aku sedang berjalan dengan kakakku. Tinggiku cuma sampai pundaknya. Dia yang terlalu tinggi atau aku yang terlalu pendek?

"Kenapa? Ada yang mau nyulik kamu? Atau kamu masih kedinginan? " dia sudah seperti wartawan. Terlalu banyak tanya.

Aku menggeleng, "Tidak! Tapi Dibah takut Pak Dokter."

"Buat apa takut? Saya ikut denganmu tidak bakalan ada yang berani denganmu," katanya menenangkanku. "Dan tunggu, sekali ini saja jangan panggil saya pak dokter di dalam, bagaimana kalau ada yang dengar kalau calonku masih memanggilku pak dokter."

"Maaf, Dibah gak tau nama Pak Dokter, " Aku kembali menunduk.

"Nama saya, Farzan Rayhaan Shakeil. Panggil saja Farzan, " ajarnya seperti mengajar anak SD menyebutkan kata.

"Panjang sekali, Farzan Herman-"

"Edd! Kenapa ada Herman? " dia menepuk jidatnya prustasi. "Farzan Rayhaan Shakeil. Apa ini juga fobia-mu? " dia menertawakanku. Dasar!

"Pak Dokter sih namanya kepanjangan! " keluhku.

"Tunggu bukannya nama mu juga sebanyak tiga kata? Adibah Sakhila Atmarini kan? Tapi saya sudah hapal namamu. "

"Itu karena Pak Dokter sudah tua." Apa yang kau katakan Adibah? Kau mengatakan dia tua? Tamatlah riwatatmu!

Dia tertawa. Ini aneh seharusnya dia marah karena kupanggil tua. Apa dia tahu kalau tadi aku cuma asal bicara? Mana mau dia tersinggung kalau usianya mungkin masih dua puluh.

"Pak-" aku menutup mulutku spontan. "eh maksudnya Kak Farzan Her. Adduh susah amat sih!" Gumamku.

"Panggil Kak Farzan saja, " bisiknya. Di sini sangat banyak orang kalau dia tidak berbisik bisa didengar semua orang.

Dia berhenti pas di depan seorang wanita. Aku tidak berani menatapnya, aku malu jika aku harus melihatnya.

"Eh kamu rupanya Zan, " kata wanita berhijab panjang itu sembari memeluk Kak Farzan. Hijabnya sama dengan yang kupakai cuma beda warna saja aku berwarna ungu sedangkan dia biru. Dan dia siapa? "katanya kamu mau nikah ya? Tante ikut bahagia keponakan tante akhirnya nikah juga, dan mengurungkan niatnya untuk menikah di usia dua puluh sembilang tahun."

"Hehehe... Alhamdulillah tante."

"Apa ini calonmu? " Dia menunjukku.

"Iya dia tante, namanya Adibah Sakhila Atmarini. Adibah ini tanteku, Jumiati. " katanya memperkenalkan kami.

"Cantik juga yah." Dengan penuh keberanian aku tersenyum menanggapi ucapan tante Jumiati. Kalau boleh jujur, aku canggung berada di posisi ini. " karena keponakan tante yang mau nikah apapun gaungnya gratis buat kalian berdua." Dia menepuk bahu kak Farzan.

"Ini baru akad nikahnya tante, jadi gak terlalu meriah. Entar kalau udah resepsinya baru megah. " Kak Farzan tertawa.

"Oh, memangnya Umi dan Abi kamu belum balik? " Wanita itu duduk di sofa yang sudah ada di sana. "Mari duduk."

"Umi dan abi baru akan pulang tiga bulan ke depan tante. Hari ini akad nikahnya jadi tante perlihatkan gaun yang cocok untuk calon Farzan. Tante hadir juga kan? "

"Jelas saja. Masa iya keponakan tante yang nikah malah tante gak pergi." Ucapnya sambil terkekeh. "Kalau soal gaung tenang saja, tante udah siapkan itu untuk." Tante Jumiati diam, mungkin lupa dengan namaku.

"Dibah? "

"Ya Dibah." Dia tertawa bersama Kak Farzan. "tante yang urus calon kamu dan yang urus pakaian kamu biar Beti."

"Kenapa harus cewek tante? " tanya Kak Farzan heran.

"Bukan cewek tapi banci," bisik tante Jumiati. Aku sempat kaget waktu mendengar kata Beti saya kira wanita ternyata banci.

"Ya Allah tante memangnya gak ada yang lain? Farzan jijik soalnya tante." Aku tersenyum melihat wajahnya sekilas. Ternyata dia takut juga dengan makhluk itu.

"Ada sih tapi cewek." kak Farzan menatapku seakan meminta izin kepadaku. Buat apa dia minta izin ke aku belum sah untuknya tapi kalau sejujurnya aku cemburu sih. Maksudnya cemburu karena aku akan menikah dengan dia, bukan karena saya menyukainya.

Aku menatapnya cemberut. Aku tadi bilang cemburu jadi pastinya aku tidak suka. Walau tidak langsung bilang ke dia.

"Yaudah gak apa-apa tante. Biar Beti yang urus Farzan, " ucapnya pasrah. Dia terlihat mengemaskan kalau seperti itu. Astagfirullah aku menatapnya lagi? Aku malu Ya Allah.

"Apa ini karena Adibah? " Tante Jumiati menatapku sambil menaikturunkan alisnya.

"Iyalah, Dibah kan bentar lagi jadi istri Farzan tante, gimana nanti kalau Farzan jatuh cinta kepegawaian tante? "

Uhuk!. Uhuk!. Uhukk!

Farzan mendekatiku. "Kamu kenapa? Masih dingin? Kamu mending istirahat dulu saja, biar saya yang pilihkan bajunya," tanyanya antusias. Bisa jadi dugaanku tadi benar kalau Kak Farzan itu seorang wartawan!

Hingga tante Jumiati datang membawakan air untukku. Sejak kapan dia pergi mengambil air? Kenapa aku tidak menyadari? Ini semua karena Kak Farzan!

"Minum dulu sayang, " titah tante Jumiati yang memberiku air segelas. "Kamu kenapa tadi? "

"Gak apa-apa biar ceweknya yang ngurusin Kak Farzan. Dibah gak apa-apa. "

"Tidak apa-apa, tapi kalimatnya seperti ini. Tante rasa cemburunya mulai terlihat de Farzan, lihat pipinya sekarang memerah," ucap tante Jumiati sambil mencubit kedua pipiku.

"Daripada ini gak kelar-kelar mending saya pergi dulu buat pilih bajunya." Dia berlalu pergi. Mungkin dia juga canggung dengan keadaan seperti ini.

"Tunggu! " Kak Farzan berhenti. "Kak Farzan mau ketempat Beti kan? " Bukannya aku cemburu, tapi saja kalau dia pergi bersama perempuan dosa juga kan buat dia? Jadi ini caraku untuk dia terhindar dari dosa.

Dia mengangguk, "Kamu mau ikut? " tawarnya.

"Iya Adibah mau ikut, " kataku mulai mendekati kak Farzan.

"Tunggu, kalau Beti yang urus kalian berdua bagaimana dengan Faradillah? Jannah? Dan pegawai saya yang lainnya? "

Aku kembali diam. Aku tidak mau sendiri, bagaimana kalau Kak Farzan benar-benar jatuh cinta sama pegawai tante Jumiati? Ya Allah pikiran apa ini! Jangan sampai itu terjadi.

Kak Farzan menatapku heran, jelas saja aku baru kali ini bicara seperti ini dengan dia. Tunggu! Apa aku sedang cemburu? Aku tidak tahu!

"Gak apa-apa, Adibah ikut Farzan saja tante. Bajunya kan juga harus kesepakatan berdua, dari pada Beti-nya capek-capek kesana kesini buat tunjukan baju. Walau Beti sudah terbiasa tapi kali ini beda tante. " Kak Farzan menatapku. "Ayo," panggilnya.

Terlihat tante Jumiati tersenyum menatap kami berdua.

"Tadi kamu cemburu yah? " tanya kak Farzan saat aku sudah berada di sampingnya.

Memang benar dia terlalu tinggi. Tinggiku saja 150 cm mungkin dia 160 cm. "Kak tingginya berapa cm? " tanyanya.

"175 cm kenapa? Saya terlalu tinggi? Bukan saya yang terlalu tinggi tapi kamu yang terlalu pendek." Dia tertawa. Rasanya ingin kucincang tubuhnya itu dan kubawah ke kolam ikan piranha!

Sabar Dibah, sabar. Kamu harus terbiasa dengan sikapnya ini. Dugaanku salah, aku kira dia dewasa ternyata sifatnya seperti ini!

"Tunggu pertanyaanku tadi belum dijawab. Kamu cemburu kalau aku berdua dengan Beti? Tenang Adibah aku tidak bakalah jatuh cinta sama Beti aku masih normal dalam hal itu, aku juga jijik kalau sama bencong." Dia tertawa.

"Ihh! Tidak, Dibah gak cemburu! " ketusku. Tunggu, aku benar-benar tidak cemburu tapi cuma karena dia sebentar lagi jadi suamiku.

"Yaudah kalau gak mau jujur." Dia kembali berlalu meninggalkanku. Kebiasaan dia ini! Ini bukan tempat sepi, disini banyak orang mulai dari remaja hingga berusia lanjut ada. Bagaimana kalau Allah mengabulkan ucapanku tadi? Bagaimana kalau aku diculik? Dasar manusia yang tidak kemanusiaan! Maksudnya tidak memiliki rasa kasihan.

Rasanya kali ini pembicaraan kita benar-benar terasa formal sejak tadi dan semoga saja seterusnya seperti ini. Aku dan dia berbicara seakan semuanya saling mengenal sejak lama.

"Nyonya Farzan dan Adibah kan? "Apa? Nyonya Farzan? Dasar banci aneh! Kak Farzan tidak seperti kamu! Pake panggil nyonya segala!

Terlihat kak Farzan cuma mengiyakan perkataan bencong itu. Bukan tanpa alasan dia seperti itu tapi karena Kak Farzan malas berbicara dengan makhluk yang bernama banci, katanya dia manusia yang tidak memiliki rasa syukur. Bahkan kalau dilihat dari wajah dari banci itu dia terlihat tampan, terlalu mubazir!

"Eyke punya baju yang cantik buat kalian berdua, cetar deh embak, emas yang guangteng paket banget, mas punya kembaran gak? Kalau ada kenalin dong sama eyke nyonya Beti." Banci itu menyentuh dagu Kak Farzan sekilas. Jijik tahu gak!

Aku menggeleng sambil beristigfar. Dasar manusia jadi-jadian! Ingin rasanya menggigit tangan banci itu biar dia tidak melengkungkan tangannya persis orang yang menderita penyakit stroke. Naudzubillahimindzalik.

Selama berjalan-jalan menyusuri tempat yang ingin dituju oleh banci itu akhirnya kita berhenti di depan buah gaun sederhana tapi megah. Katanya cuma resepsi kenapa bajunya harus seindah ini? Jilbab yang lengkap dengan mahkota berwarna putih dengan manik-manik berwarna abu-abu dan baju yang yang panjang mungkin kalau kukenakan bisa melewati kakiku.

"Nah ini, buat embak nya, cantik kan? Ini dekorasi dari embak e." Yang disebut embak e itu tante Jumiati. Tunggu, dekorasi? Bencong ini memang benar-benar gila."kalian tahu tidak, embak e itu punya daya instim yang baik, contohnya saja ini dibuatnya minggu lalu katanya buat pernikahan keponakan gantengnya lah mala sekarang sudah mau dipakai." Dia terkekeh.

Baru kali ini kulihat kak Farzan ikut tertawa karena banci itu. Tapi jujur ini terdengar aneh aku dan kak Farzan baru kenal dan tante Jumiati sudah membuat baju ini minggu lalu.

"Embak bisa pakai dulu di dalam dan emasnya sama eyke disini nungguin." Beti hampir saja memeluk tubuh kak Farzan kalau saja dia tidak mengindar. Dasar bencong kecentilan!

"Enggak ah! Baju saya juga sudah ada buat apa saya nunggu Adibah keluar."

"Mas e, sekali-kali sama embak Beti. Beti gak masalah."

Iya bukan kamu yang gak masalah tapi kak Farzan!

"Bisa tidak berhenti dulu? Dan kamu mas Beti, disini kamu disuruh buat nunjukin pakaian bukan untuk kecentilan! Taqdir itu dinikmati bukan diubah! Cowok kok kayak cewek, " kesalku.

Aku memang tidak pernah suka dengan orang yang mengubah ciptaan Allah semisal Mas ini. .

"Yaelah embaknya sensi amat sih! Yaudah emasnya juga ikut masuk di kamar ganti yang disebelahnya. "

.

●●●●●_●

Kulihat pantulan diriku dicermin. Sungguh ini terlalu aneh, gerah, berat. Kenapa bukan pakaian adat saja? Sepertinya ini membuatku tidak percaya diri untuk keluar dari ruangan ganti ini. Padahal Beti sendari tadi mengetuk pintu. Tadi saya kedinginan sekarang malah kepanasan! Kalau aku keluar bisa-bisa mereka menertawaiku.

"Assalamualaikum, " panggil Kak Farzan. "Sudah selesai belum? "

Aku harus bilang apa? Bismillah, kamu harus bisa Dibah. Semangat.

Aku melangkah keluar ruangan itu dengan keringat yang sudah membasahi dahiku. Kulihat Kak Farzan dan Beti menatapku. Kan sudah kubilang mereka pasti menertawakan aku!

"Panas, " kataku mencairkan suasana.

Kak Farzan menggeleng. "Kamu sudah selesai? " Bodoh, sudah lihat saya berdiri di depannya, pastinya sudah selesai. Apa pak dokter juga seperti ini? Maksudnya menjadi pelupa.

"Ya Tuhan mas ganteng, tanya kok aneh-aneh gitu." Beti tertawa. "Udah lihat mbaknya pakai baju pengantin sekarang, tergoda ya lihat mbak nya? Masih cantikan Beti kali."

"Nyamankan sama bajunya? " tanyanya tidak menghiraukan perkataan Beti.

Aku mengangguk. "Iya tapi, agak berat gitu. Emangnya gak bisa pakai baju adat saja ya? "

Dia tersenyum. Ya Allah tolong katakan ke dia untuk tidak tersenyum kali ini saja. "Pakaian adatnya entar kalau udah resepsinya."

"Yaudah. Bisa ganti pakaiannya sekarang? Dibah gerah soalnya, "

"Tunggu, " ucapnya sambil memasukkan tangannya ke saku. "Fotoin dulu bang Beti, "

Beti mengambil telepon yang diberikan oleh Kak Farzan tadi. "Enak aja bang beti. Mbak beti dong, " kesalnya. Aku terkekeh melihat mimik wajah dari Beti, begitu pun Kak Farzan. "Ngomong-ngomong masnya mau minta nomor whatsapp Beti gak?"

Kak Farzan nyegir. "Enggaklah, saya suruh kamu untuk foto kita." Sekilas aku menatap Kak Farzan. "Buat dikirim ke umi, "dia tersenyum, tersenyum canggung. Terlihat dari mimik wajahnya.

"Yaelah, kalau abang dilanda lope-lope nih gini, serasa dunia milik berdua tanpa sadar eyke juga ada disini. " Aku terkekeh melihatnya. "Cepat eyke mau foto kalian waktu eyke cuma dikit yah."

Jarak kami sudah sangat dekat, aku diam terpaku di tempatku. Apa ini nyata? Aku selalu menundukkan kepala jangan sampai dia melihat pipiku yang memerah saat ini.

Cekrek. Cekrek. Cekrek.

"Udah ni." Dia memberikan telepon kak Farzan." Eyke fotoin tiga kali ini, gak usah terimakasih. " Dia berlalu meninggalkan kami. Apa dia juga memiliki kebiasaan seperti ini? Suka meninggalkan orang!

"Yaudah Dibah ganti pakaian dulu ya,"Aku masuk ke ruangan ganti itu kembali, serasa baru tadi aku keluar sekarang sudah masuk kembali.

Setelah keluar nanti kami akan langsung ke rumah, kata kak Farzan cincinnya sudah ada jadi semuanya sudah siap tinggal tunggu jam satu untuk persiapan dan setelahnya baru akad.

Aku kembali teringat dengan Aqilah, siapa itu? Apa benar dia istri kak Farzan? Selama kenal kak Farzan dia belum mengatakan siapa Aqilah itu, walau pun aku tidak pernah bertanya setidaknya dia peka akan hal itu.

Aku kembali membuka pintu ruangan itu. Disana sudah ada kak Farzan menunggu. Buat apa coba?

"Ayo, " ajaknya yang kubalas anggukan. "Boleh saya bertanya? "

"Jangan bilang kalau aku lapar atau tidak, jelas saja Dibah lapar pak dokter, eh salah." Aku tersenyum dan dia juga dia. "Kak Farzan. "

"Bukan, tapi bagaimana perasaan kamu saat ini? "

"Dibah lapar kak, seharian gak makan, " keluhku.

Dia terkekeh. "Yaudah kita ke restoran dulu."

"Enggak ah kak, kata ayah kalau mau beli gak usah di tempat yang mewah kalau penjual kaki lima aja enak." Aku meneguk ludah susah paya, rasanya aku sudah sangat lapar saat ini.

"Terserah kamu, ayo. " Dia berlalu meninggalkan aku, kebiasaan dia.

Aku menatap sekeliling, ada yang aneh kenapa semua orang melihat ke arahku? Ahh ini cuma pemikiranku saja! Tunggu, pak dokter dimana? Apa dia meninggal aku sekarang? Kenapa tempat ini menjadi asing? Kemana Beti kemana tante Jumiati? Jangan bilang aku tersesat sekarang! Ah pak dokter kamu dimana?

Mataku mulai berkaca-kaca. Ini salahnya yang selalu meninggalkan aku sendiri, lihat saja kalau kudapat akan kupukul dia lihat saja! Manusia tak berperikemanusiaan!

Langkahku mulai berhenti saat keluar dari butik itu. Aku sudah sangat capek sekarang. Kemana dia? "Kuharap dia mencariku sekarang, kalau tidak biar saja akan kucubit dia! " gumamku.

Tiba-tiba tangan kekar menghalangi penglihatan aku. "Kamu mau cubit saya kan? " kak Farzan menyodorkan kedua tangannya. "Cubitlah sepuasmu, biar kamu tidak marah lagi ke saya. "

Aku mengalihkan pandanganku dari dia. Aku sangat jengkel melihatnya!

"Maaf. Tadi saya beliin kamu es kelapa, " katanya sambil memberikan es kelapa untukku. Tunggu, ini sangat ajaib tadi dia tidak memegang apa-apa kenapa tiba-tiba ada es kelapa itu? "Eh setelah saya balik kamunya gak ada. Trus saya ke tempat tante Jum tapi tetap gak ada, saya ngos-ngosan cari kamu tau gak."

"Tadi kamu taruh es kelapa itu dimana? "

"Di belakangku." Dia menunjuk kursi yang ada di belakangnya. "Kamu hauskan? Ini."

Dan ternyata rasa laparku sudah menguasai diriku sekarang, jadi marah pun tetap kuterima.

"Kamu tidak marah yah sekarang?"

Aku menggeleng.

"Iya atau tidak? Jawab pakai mulut bukan gerakan. " Rasanya kami sudah menikah sekarang, lihat bahkan dia sudah duduk dekat denganku.

Aku bangkit. "Belum mahram, gak usah dekat-dekat Dibah dulu!"

"Yaudah kita pulang sekarang."

Berbeda dari sebelumnya dia menyuruhku untuk berjalan lebih dulu, apa dia sudah peka? Baguslah kalau begitu.

"Tapi tunggu kak. " Dan kembali, kami berhenti lagi. "Semalam kan bilangnya mau ke mall tapi kok ke rumah cewek itu. "

Dia mengerutkan dahinya. "Ohh, kan itu udah jam sepuluh, mall nya sudah tutup, jadi kita ke rumah Aqilah dulu. Kebetulan saat itu Aqilahnya gak ada. "

"Kemana? "

"Siapa? "

"Aqilah. "

"Oh itu, dia lagi ada di rumah suaminya. Dia itu adikku satu-satunya." Ternyata dugaanku salah! Aku kira itu istrinya. Dosa lagi ini! Dasar kau Adibah!

Aku mengangguk pertanda mengerti. Mengerti akan kebodohanku, sangat bodoh malahan aku kira Aqilah itu istrinya ternyata dia adiknya. Mempercayai hal yang belum jelas benarnya.

"Kita singgah makan dulu atau langsung ke rumah? " tanyanya sambil menyetir mobil.

"Dibah lapar tapi gak mau singgah malas, kak pesan aja yah," kataku dengan pandangan fokus ke depan.

"Kita ke apartemenku saja, kebetulan disana sudah ada makanan tinggal dimasak aja."

"Tapi Dibah gak pintar masak, " keluhku. Sudah tujuh belas tahun usiaku sekarang tapi aku belum pernah belajar memasak. Keseharian aku cuma belajar tentang sekolah saja. Bahkan memasak nasi pun aku tidak tahu.

"Apa? Kamu tidak bisa masak? " Lihat dia tertawa. "Astagfirullah, entar saya ajar deh," ucapnya di sela tawa. Perasaan ini tidak lucu.

"Menertawakan orang itu gak baik!"

Kulihat dari cermin dia masih tertawa. Hingga akhirnya kita singgah di sebuah bangunan yang menunjang tinggi. Apertemen nya dimana ya?

●●●●●_●

Cubitlah sepuasmu biar kamu tidak marah lagi ke saya.

Terima kasih yang sudah luangkan waktunya untuk membaca karya saya. Mohon maaf kalau kata-katanya masih ngawur dan banyak teypo/kesalahan kata. Kesempurnaan hanya milik Allah. ^_^

Pelajaran.

Sunnah sebelum tidur.

Wudhu

Membersihkan tempat tidur

Membaca ayatul kursi

Meniup telapak tangan

Membaca surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An nas.

Mengusap kepala, badan dan wajah.

Berdzikir.

Posisi tidur miring ke kanan.

Jika telentang, kaki kanan di atas kaki kiri.

Membaca doa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!