Kamu Adalah Semanis-Manisnya Kenyataan Pahit
Minggu pagi yang sejuk, persis seperti pagi pada hari-hari sebelumnya. Menenangkan. Terutama karena udara jauh lebih segar setelah hujan turun semalaman. Hujan yang benar-benar deras sampai-sampai suasana dalam rumah terasa ganjil. Suara-suara hujan berjeratuhan di atas atap seng rumah terdengar seperti suara latar film horror di bioskop-bioskop. Celakanya tidak ada suara lain yang bisa didengar selain itu.
Agak sedikit membungkuk, kuperbaiki ikatan tali sepatuku, lalu pelan-pelan menghirup udara pagi yang bersih. Dingin serta-merta menelusup melewati lubang hidung, melewati tenggorokan dan menyebar memenuhi paru-paru.
Ada sepotong luka yang tetiba meringis.
Sepagi ini..
Bahkan sebelum matahari mengintip malu-malu.
***
Luka itu terlalu mengiris untuk diabaikan, tetapi bagian lain di hatiku yang sejak lama ingin bebas, tidak mengizinkan aku untuk melewatkan suasana sejuk menjelang matahari terbit dengan lari-lari pagi. Bagaimanapun, hidup harus dijalani.
Di lapangan sepakbola kota kami yang terletak persis di depan rumahku, kalian bisa melihat satu dua kambing digembalakan dengan bebas memakani tunas-tunas hijau rumput muda, kelihatannya terasa manis akibat titik air yang disisakan hujan semalam. Ada patung jenderal bercat putih di sudut kiri lapangan bola, keberadaannya dibatasi oleh pagar beton berterali besi dicat biru muda.
Entah sejak kapan patung jenderal putih itu ada di sana, perkiraanku sudah lama sekali karena kakekku mengaku sudah melihatnya di sana sejak masa kecilnya. Berdiri patuh, agak serong ke kanan dengan posisi menghormat ke rumah adat kota kami, jaraknya hanya sepelemparan batu. Dipisahkan oleh satu-satunya jalan poros besar kota kami.
Sering kudengar desas-desus dari penduduk kota perihal patung jenderal putih itu. Konon, setiap malam ketika jarum jam paling panjang bertindihan dengan jarum jam terpendek tepat di angka 12, patung jenderal putih secara misterius akan berdiri di tengah lapangan dengan posisi masih menghormat ke arah rumah adat kota kami. Sampai saat ini, tidak ada yang tahu alasan jenderal putih berpindah posisi.
Aku sepenuhnya tidak percaya pada desas-desus ini, sulit untuk dicerna secara rasional. Sebuah patung batu bisa bergerak sendiri. Aku curiga, jangan-jangan desas-desus itu hanya akal-akalan dewan kota agar lebih banyak orang tertarik untuk datang berkunjung ke kota kami. Kecurigaanku beralasan, setiap hari kulihat semakin banyak saja orang-orang yang mengantri berfoto di depan patung jenderal. Strategi yang cerdik memang. Tetapi toh kedatangan orang-orang itu justru memberikan keuntungan bagi kota kami.
Sekian menit berlalu, aku masih berdiri takzim di depan pagar kayu rumahku. Menunggu beberapa saat lagi sampai matahari mengintip sedikit, agar aku dapat melihat jelas jalan yang akan kulalui. Tidak lucu kan kalau aku sedang asyik lari, lalu tiba-tiba kakiku tersandung.
Satu dua tetangga terlihat sedang berjalan-jalan di sekitar jalan kecil beraspal yang mengelilingi lapangan bola. Ibu-ibu gendut penjual kue juga sudah melintas sembari berteriak-teriak nyaring berirama.
Kue! Kueeee!
Kalian juga bisa melihat pemuda-pemuda tanggung yang kemungkinan sedang berlatih fisik untuk mempersiapkan diri mendaftar di akademi militer, mereka semua berbaur. Penduduk kota ini selalu membaur di lapangan bola dengan kegiatan masing-masing. Setiap pagi selalu begitu.
Sepasang muda-mudi, yang perempuan memakai jaket oranye menyala, senada dengan sepatuyang dia kenakan, dan yang laki-laki dengan jaket hitam-abu-abu tampak menepi. Istirahat sambil menyelonjorkan kaki di atas rumput yang masih basah, dengan punggung masing-masing bersandar pada batang pohon akasia yang tumbuh di pojok
lain lapangan bola. Dari saku jaketnya, perempuan berjaket oranye mengeluarkan handuk kecil. Disodorkannya kepada si laki-laki. Sikap itu cukup sudah untuk menjelaskan betapa mesranya mereka.
Di puncak topi sang jenderal, sebaris cahaya jingga menerobos. Beberapa detik kemudian batang-batang cahaya menelisik di sela-sela daun-daun akasia, warnanya bersaing dengan semburat warna oranye dari jaket perempuan tadi. Tetapi betapa aku terkesima begitu menyaksikan kilapan-kilapan kecil di ujung-ujung rumput. Seluruh permukaan lapangan bola seolah disulap menjadi pertunjukan kelap-kelip jernih serupa berlian.
Tidak ingin terlena dengan pertunjukan kelip di hadapanku, aku memutuskan untuk mengayunkan langkah pertama. Dengan ritme lari perlahan, pelan-pelan kutinggalkan halaman rumah, menyisir pinggiran lapangan. Rambutku yang kuikat ekor kuda melambai-lambai mengikuti irama lariku. Pasangan muda-mudi di bawah pohon akasia tadi sudah kulewati.
Jalan poros besar kota kami sepagi ini masih sepi dari kendaraan bermotor, apalagi hari minggu begini. Orang-orang jaman sekarang lebih suka mengayuh sepeda, berlari-lari kecil atau hanya berjalan-jalan ringan untuk menikmati pagi di hari libur.
Agar tubuh lebih sehat, katanya.
Omong kosong! Bagaimana mungkin tubuh akan sehat bila enam hari dalam seminggu dihabiskan untuk duduk berjam-jam di kantor, makan makanan cepat saji, tidur larut malam tanpa olahraga, dan kebiasaan-kebiasaan tidak sehat lainnya bisa ditutupi dengan satu hari jalan-jalan ringan di sekitaran rumah. Enam hari banding satu hari. Anak SD juga tahu mana yang jauh lebih dominan.
Ah, terlalu banyak paradoks di dunia ini.
***
Lima belas menit berlari aku sudah sampai di pintu masuk dermaga yang menjadi landmark kota kami, selain patung jenderal putih. Jalan masuknya selebar ukuran jalan poros besar kota kami, bedanya di sini tidak beraspal, melainkan terdiri dari susunan bata paving blok. Di sisi kanan jalan berderetanlah rumah-rumah panggung warga setempat, dengan halaman rumah disulap menjadi tempat berbisnis. Mulai dari warung makan, tempat cuci-cetak foto, toko alat-alat memancing hingga fotokopian segala. Dermaga ini menumbuhkan perekonomian kota.
Seluruh wilayah dermaga ditutupi pagar besi putih dengan alas paving di bagian luar, tetapi dermaga ini tetap terbuka bagi siapa saja. Entah itu untuk para pemancing atau untuk orang-orang yang sengaja datang sekedar berjalan-jalan dan mengambil gambar. Sebagaimana tempat rekreasi lain, tetapi yang berbeda adalah tidak ada pungutan biaya apapun untuk memasuki dermaga kota kami.
Selain gratis, yang membuat dermaga kota kami berbeda adalah tidak ada kegiatan bongkar muat perahu nelayan di sini−dermaga kami bukan tempat menaikkan dan menurunkan penumpang. Dermaga ini sepertinya sengaja dibangun sebagai tempat wisata. Itulah mungkin yang membuat orang-orang merasa nyaman menghabiskan waktunya di dermaga ini.
Dermaga kota kami tidak pernah tertutup. Hebatnya lagi tempat ini tetap aman tanpa penjaga keamanan.
Setiap subuh menjelang matahari terbit, satu dua orang sudah terlihat dari mulut jalan sedang berlari-lari kecil sambil sesekali berhenti untuk mengatur napas atau meregangkan badan. Dermaga ini selalu menjadi tempat tujuan utama bagi para pelari pagi.
Aku berhenti sejenak mengatur napas. Dua pasang muda-mudi berlari bersama melewatiku. Dari pelataran dermaga, aku menjatuhkan pandang ke ujung dermaga yang dari jauh tampak mengecil. Butuh sekitar satu kilometer lagi untuk mencapai ujungnya.
Tempat ini menyenangkan. Menjadi jogging track yang lapang dan lancar. Tempat menyaksikan banyak orang lalu-lalang. Bau laut yang khas−asin tapi menyegarkan. Juga kesempatan untuk berapapasan dengan sekelompok gadis-gadis remaja yang masih mengenakan mukena sehabis subuh. Mereka berjalan sambil cekikikan tanpa
menghiraukan tatapan tidak suka dari pasangan suami-istri tua yang berjalan berlawanan arah. Masa muda memang selalu indah, ada saja bahan tertawaan.
Tempat ini juga terkenal dengan sunsetnya yang mengagumkan. Saban sore selepas ashar, laki-laki, perempuan, tua-muda, yang sendirian atau yang berpasangan seolah sepakat memenuhi halaman dermaga. Kerumunan orang-orang berseliweran hanya demi menyaksikan matahari turun dari langit, tenggelam ke bawah laut yang mendadak jingga. Lebih dari itu, tempat ini sangat berarti bagiku. Menyimpan banyak potongan cerita.
“Diandra, kan?” Seorang lelaki tanggung dengan jaket parasut merah, ragu-ragu menegurku. Takut salah mengenali, apa aku Diandra yang dia kenal atau bukan.
Aku mengangguk, “ya, saya Diandra.” Sahutku sambil mendongakkan kepala sekilas untuk melihat siapa gerangan lelaki itu. Hanya sekilas, tak cukup untuk membuatku ingat di bagian kenangan mana lelaki itu pernah ada. Tali sepatuku lagi-lagi terlepas−kebiasaan buruk yang selalu terulang meskipun sudah menggunakan simpul mati dan menyelipkan ujung tali sepatu ke dalam tumit.
Aku berdecak kesal.
Tanpa peringatan, lelaki itu tiba-tiba berlutut di depanku, tangannya cekatan menyimpulkan tali sepatuku yang terlepas. Sementara aku terlalu terpana menyaksikan sikap spontan dan sedikit ‘kurang ajar’ dari lelaki ini, sampai lupa harus berbuat apa.
“Udah segede ini tapi masih saja bermasalah dengan tali sepatu.” Gumamnya, seolah-olah menuduhku tidak becus.
Hey! Siapa cowok ini? Selain bahwa dia tahu namaku, apa haknya mengeluhkan kebiasaan burukku. Seolah
dia ini dulunya punya tempat istimewa sehingga berhak menegurku.
Lelaki itu kemudian menyejajarkan wajahnya denganku. Mungkin merasa aneh karena dari tadi aku diam saja. Matanya menatapku, dan aku balas menatapnya sengit. Sejenis tatapan−siapa kau! Berani-beraninya!
Dia punya mata hitam yang tegas dan bulu mata lentik. Sebuah perpaduan yang aneh.
“Kamu natap aku seolah-olah aku ini terdakwa, tahu nggak.” Dengan nada sedikit menggoda lelaki itu protes kutatap sengit sedemikian rupa.
Dalam hati aku dongkol berat. Ternyata cowok berbulu mata lentik ini sama sekali tidak sadar pada sikap kurang ajarnya barusan. Dasar laki-laki!
“Kamu siapa sih?!” Semburku jengkel, lalu berdiri dengan gerakan cepat. Aku tidak terima dia datang tiba-tiba mengusik suasana pagiku yang damai. Apa dia tidak tahu, butuh berbulan-bulan yang melelahkan sampai aku bisa datang ke tempat ini tanpa menghidupkan alarm kenangan yang membuat dadaku sesak.
Dia juga berdiri. Kami sekarang berhadapan.
“Datang-datang nyelonong ngikat tali sepatu aku. Kurang ajar banget.” Lanjutku menceracau dengan tatapan makin sengit.
Dia tampak terpana mendengar tuduhanku, ada sekelabat sirat terluka di manik mata hitamnya.
Dengan gugup dia mengalihkan tatapannya dariku. Menatap berkeliling untuk menyembunyikan kegugupan yang tergambar jelas dari air mukanya, sambil berkata lirih, “maaf, aku nggak bermaksud kurang ajar. Aku.. aku hanya nggak mau liat kamu jatuh lagi gara-gara nginjak tali sepatu sendiri.”
Lagi, katanya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Istrinya Oppaijo
wah baru baca chap awal udh bikin pengen baca terus kak thor. karyamu 😍😍😍😍
2021-01-25
1
smithswift
hai thor,aku mampir
yuk mampir juga keceritaku
sesakit inikah mencintaimu
semangat!!!
2020-12-09
2
Tukiyem Samudra
51
masih bingung???
2020-12-09
1