Episode 3 Tentang Awan

Aku tahu aku cantik. Dua sepupuku terang-terangan mengatakan wajahku mirip artis remaja Febi Febiola. Badanku proporsional, dengan kulit kuning langsat dan rambut panjang hitam legam. Kata seseorang yang bertanggungjawab atas luka yang kuemban : Kamu punya mata cemerlang dan wajah yang meyakinkan untuk mempengaruhi lawan bicaramu.

Senyumku mengembang mendengar pujiannya hari itu, tak kuasa menyembunyikan kebahagiaan yang tiba-tiba buncah. Bahagia karena dia memujiku, padahal aku tahu dia tak sembarang memuji orang lain. Pujian itu membuatku berjanji. Aku tak akan pernah menyia-nyiakan kepercayaannya.

Sayang sekali, bertahun-tahun setelah diucapkannya pujian itu. Aku menyesal memiliki wajah meyakinkan seperti yang dia maksud.

Mungkin wajah meyakinkan yang kupunyai itulah yang dulu juga mempengaruhi Awan. Waktu itu kami masih kelas tiga SMP. Sisa jam istirahat dihabiskan di dalam kelas, setiap baris bangku membentuk kelompok mengobrol masing-masing. Aku, Dani, dan Awan membentuk kelompok mengobrol sendiri. Awan sedari tadi bergerak-gerak gelisah di tempat duduknya, saling melempar kode mata dengan Dani.

Aku yang merasa terabaikan dengan gusar bertanya ada apa.

“Awan mau ngumumin sesuatu di depan kelas. Penting.” Jawab Dani cepat, suaranya sengaja dibesar-besarkan biar seisi kelas mendengar.

Dari raut mukanya, Awan sepertinya keberatan. Tapi apa boleh buat, anak-anak sekelas

sudah penasaran bahkan cenderung menuntut. Awan tidak bisa menolak.

Jalannya rikuh, gugup memandang wajah-wajah kami yang menatapnya penuh rasa ingin tahu.

Dia berdehem membasahi tenggorokan, “Ehm, gue mau ngaku.” Sebuah prolog yang menegangkan, menghadirkan kasak-kusuk.

Gue suka lo Diandra.

Aku terperangah. Kalimatnya jelas terarah padaku. Akau tidak menyangka Awan bisa bertingkah sekonyol itu.

Bangkuku berada di barisan tengah bersama Dani. Barisan bangku di sebelah kananku yang isinya perempuan semua, beramai-ramai menyerukan ‘Ciee..’. baris bangku sebelah kiri, yang isinya laki-laki semua tak mau kalah suara. Mereka bersuit-suit panjang, bersambung-sambung. Suara-suara gaduh itu terdengar seperti ejekan buatku.

Aku lari keluar kelas, berderai air mata.

Bukan tidak mungkin aku akan menjadi bulan-bulanan seluruh sekolah sepanjang sisa waktu sekolah kami. Kabar konyol seperti ini mudah sekali tersebar, apalagi ada banyak mata yang menyaksikan.

Dengan mata yang bengkak dan merah, aku tidak mau masuk kelas lagi. Aku tidak mau guru bahasa Indonesiaku yang baik hati menanyai sebab kedua mataku bengkak. Aku malu. Akhirnya Dani bersedia mengantarku pulang.

Sama seperti kalian para lelaki sering bilang kalauperempuan adalah makhluk paling sulit dimengerti. Aku pun menganggap Awan demikian. Sulit dimengerti. Betapa dangkalnya dia, hendak menukar hubungan pertemanan kami yang terjalin baik dan nyaman, dengan tingkah konyol yang nantinya bakal merentang jarak dan menciptakan kecanggungan di antara kami. Bukankah itu pertukaran yang merugikan?

Lagipula apa tidak cukup aku berkali-kali menolak pengakuannya dengan halus. Entah itu disampaikan lewat Dani atau dia tulis sendiri lewat surat. Tidak bisakah dia mengerti bahwa aku tidak suka tingkah kekanak-kanakannya.

Setelah insiden pengakuan itu aku selalu berusaha menghindar darinya. Aku tidak lagi hadir setiap hari sabtu di rumah Dani untuk belajar bersama. Hal-hal yang dulu biasa kami lakukan bertiga tak lagi kuikuti. Bahkan seandainya aku bisa pindah kelas, aku tidak akan berpikir dua kali untuk melakukannya. Agar tidak perlu bertemu dengan Awan setiap hari.

Selama sisa studi sampai hari pengumuman kelulusan, hubungan kami tidak pernah membaik. Aku yang selalu menghindar, dan dia yang mungkin terlanjur putus asa menghadapi serangan perang dinginku tak pernah berani menatapku lagi, apalagi berinisiatif mulai menyapa duluan.

Dani kehabisan cara untuk mendamaikan kami kembali. Dia menyerah sambil bersungut-sungut.

“Diamnya lo itu nyesekin tau, Ndra”. Keluhnya.

Dan seperti itulah kiranya hubungan pertemanan kami berakhir. Aku menganggapnya selesai ditandai dengan insiden pengakuan itu. Namun sepertinya masalah di antara kami belum benar-benar selesai.

Seperti siklus terbit dan tenggelamnya matahari. Setiap pagi di waktu-waktu tertentu dia akan datang, menyelesaikan beberapa hal yang belum sempat terselesaikan kemarin ketika dengan terpaksa ia harus tenggelam. Dia juga datang pagi ini, mungkin hendak menyelesaikan beberapa hal yang belum sempat terselesaikan di masa lalu.

 

*mohon kritik dan sarannya demi perkembangan karya author ya :)

Terpopuler

Comments

off

off

masih tetap keren... 👍👍👍👍

2020-12-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!